Diwana berdiam diri di depan interkom pintu rumah Nilakandi selama lebih dari sepuluh menit. Ia ingin mengajak Nilakandi entah kemana, berusaha mempraktekkan saran dari sang master cinta-Jovyan.
Namun tanpa sepengetahuan Diwana, pemilik rumah sebetulnya sudah menatapnya dengan keheranan dari kamera interkom. Ya, Nilakandi yang hendak mengambil paket ke resepsionis pun urung saat dilihatnya lelaki itu mondar mandir bertopang dagu di depan pintu rumahnya.
"Lucunya..." lontar Nilakandi tanpa ia sadari.
TING TONG
Nilakandi sedikit terperanjat usai dikejutkan bel pintu rumahnya sendiri. Ia pun menghitung mundur sepuluh detik menggunakan jarinya sebelum akhirnya membuka pintu.
"Iya, Kak Diwa? Ada apa?" tanya Nilakandi begitu mata mereka bertemu. Ia berani bersumpah, Diwana terlihat begitu manis saat itu.
"Mmm, aku.. mmm, boleh minta nomor telepon kamu? Sebagai seorang tetangga kayanya kita perlu bertukar nomor telepon masing-masing.
"Aduh, pakai yang mana ini?" gundah Nilakandi sambil mengeluarkan satu persatu baju yang ia punya dari lemari. Ia sebetulnya penyuka gaun-gaun vintage cantik, tapi hampir semuanya memiliki vibes seram seperti pakaian hantu kolosal. Ia sudah trauma diteriaki setan oleh tiga orang. Kacau sudah rencananya untuk memakai gaun cantik selutut berwarna biru yang sebelumnya sudah ia persiapkan. Itu karena sebuah lebam membiru sangat terlihat di lutut kanannya. Ia tentu tak ingin Diwana melihatnya lebam-lebam, lagi. Ya, siang tadi, Ten dan anak buahnya datang menghampirinya. Ten murka karena mengetahui Kandi dan Nana mengunjungi makam Luna tempo hari. Ten memang tak pernah memaafkan hal itu. Baginya, Nilakandi adalah pembawa sial pantas mati yang tak boleh untuk sekadar berkunjung ke makam almarhum kekasihnya-Luna. Tak banyak yang terjadi, hanya satu tamparan di pipi kiri dan pukulan di lutut kanannya dengan kursi. Kalau tak ada anak buah Ten yang menah
Diwana tengah panik lantaran Nilakandi tak bisa juga ia hubungi sejak tiga puluh menit yang lalu. Puluhan kali ia bunyikan bel tapi tak bersaut juga. Diwana kini menelepon satpam apartemen untuk membantu. Ia tiba-tiba teringat pada sosok laki-laki misterius yang siang tadi berpapasan dengannya di tangga darurat. "Kak Diwana?" sapa sosok laki-laki jangkung saat melihat Diwana tengah berdiri di depan pintu apartemen Nilakandi. "I-iya? Maaf, siapa?" tanya Diwana. Wajah lelaki itu memang nampak tak asing, tapi otaknya sedang tak bisa diajak berfikir jernih. "Saya Nana, teman Ka-maksudnya Nilakandi," jawabnya kemudian. Lampu kuning pun menyala di atas kepala Diwana "Oh, iya," sahut Diwana sambil melirik ke arah tangan Nana yang memegang satu buket bunga dan satu paper bag berwarna merah muda. "Maaf, tapi ada apa ya? Kenapa Kakak memencet bel rumah Kandi berkali-kali?" tanya Nana memasang wajah curiga. Tak dipungkiri, hatinya masih sedikit p
“Kamu mau stay di sini malam ini?” tanya Tama menatap kearah Diwana yang masih berdiri bersandar di samping kamar Nilakandi. “Diw? Duduk dulu gih, udah hampir satu jam nih kamu berdiri di situ,” tawar Tama lagi saat yang diajak bicara mengabaikannya. Kalimat itu pun berhasil mengusik lamunan Diwana yang kemudian menyahut, “Iya, kan? Udah satu jam kan? Kenapa sih lama banget dia di dalam, Ta?” “Dia itu Nana yang diceritain Jovyan tempo hari? Yang bikin kamu... ekhm, cemburu?” tanya Tama lagi, yang kali ini mendapat balasan tatapan tajam dari Diwana. “Iyain aja deh. Makannya, kamu tahu kan perasaanku sekarang harus biarin mereka berdua di-“ “Sudah selesai,” ucap Nana yang tiba-tiba membuka pintu kamar hingga membuat ucapan Diwana terpotong. Tanpa basa-basi, Diwana pun segera masuk, disusul Tama dan Nana dibelakangnya. Dilihatnya baju Nilakandi yang sudah berubah dari gaun biru tua menjadi kemeja santai lengan pendek berwarna putih, membu
Diwana tertidur bersandar di sisi ranjang Nilakandi sambil duduk di lantai yang dingin, masih dengan memegang tangan kiri perempuan itu. Sedangkan Nana, memilih berbaring di sofa ruang tamu yang masih penuh dengan pecahan kaca. Sekalian berjaga kalau-kalau ada orang lain yang hendak masuk, karena pintu rumah Nilakandi masih belum diperbaiki. Jam menunjukkan pukul empat dini hari saat Nilakandi perlahan membuka matanya. Merasa ada kehangatan yang berbeda di tangan kirinya, ia pun menoleh. Meskipun agak sedikit terkejut, tapi senyum akhirnya mengulas di wajahnya saat mengetahui sosok itu adalah Diwana. "Ah, pasti dingin sekali," batinnya saat menyadari Diwana duduk beralaskan lantai. Kemudian dilihatnya tangannya sendiri yang penuh lebam dan plester di sana-sini, sungguh Nana sekali, pikirnya. Ia pun mencari-cari keberadaan Nana di antara cahaya redup lampu tidur kekuningan dalam kamarnya, tapi tak ada siapapun selain dirinya sendiri dan Diwana.
Ponsel Diwana berbunyi, ia pun terbangun di pelukan Nilakandi dari tidur paling nyenyaknya seumur hidup. Segera diraihnya ponsel di atas nakas yang memperlihatkan nama Tama di layarnya. "Halo? Iya, Ta?" Diwana mengawali. "Diw, bad things happened. I'm sorry, musuh kamu benar-benar lolos, dia keluar sel pagi tadi jam empat," ucap Tama terdengar penuh penyesalan. Namun Diwana tak terkejut, seakan ia sudah menduga hal itu sebelumnya. Seketika semua cerita Nana tentang Ten kembali terngiang. Ia tak boleh lupa, bahwa Ten bukanlah "Iya, nggak papa. Aku udah tahu bakal kaya gini. Kamu gimana?" lanjut Diwa yang justru khawatir pada sahabatnya itu. "I'm okay, tapi jelas-jelas semalam aku udah isi semua berkas-berkas saksi. Lawyer aku sudah turun tangan, tapi bisa-bisanya bajingan itu lolos. Benar kata teman Nilakandi itu, Diw." "Udah, pelan-pelan aja. Kita ini orang asing yang baru saja terlibat di masalah runyam mereka. Aku akan jelasin besok
Suasana divisi keuangan tengah riuh oleh cuitan semua karyawan yang asik menggunjing di cubicle masing-masing. Jeanne yang baru datang dari cafe pun terlihat keheranan menatap teman-temannya. "Ada apa, sih?" tanyanya kemudian. Evan yang sadar akan kehadiran Jeanne langsung menarik perempuan itu untuk duduk di meja kerjanya. "Jangan kaget, ya." Evan memberi peringatan. "Cih, lebay amat sih. Iya, ada apa?" protes Jeanne yang mulai kesal. "Pak Diwa bawa perempuan ke kantor, sekarang mereka ada di ruangan," bisik Evan di telinga Jeanne. "Ah, partner bisnis mungkin? Atau rekan kerja dari luar kota gitu?" elak Jeanne tak mau berburuk sangka. "Eits bentar dulu, mana ada tamu luar kota kesini pakai hoodie? Gandengan tangan pula sama Pak Diwana." Mata Jeanne langsung melotot tak percaya. Padahal baru Minggu lalu ia mengutarakan rasa sukanya pada bosnya itu. Tak cukup hanya dengan penolakan, kenyataan bahwa kini lelaki it
Diwana merapikan berkas-berkasnya di meja, tak sabar untuk segera kembali ke ruangannya menemui Nilakandi. Meeting pagi itu berjalan dengan lancar, meskipun pekerjaan rumahnya nampaknya akan semakin menumpuk. Saat semua peserta rapat sudah meninggalkan aula menyisakan trio Tama, Jovyan, dan Diwana, Tama pun memulai pembicaraan mengenai Nilakandi. "Diw, kita ngumpul bentar. Ada yang harus aku sampaikan," mulainya. "Ih, jangan serius-serius dong. Gue takut kalau kaya gini, vibesnya serem," protes Jovyan. "Okay, aku juga. Tapi jangan lebih dari tiga puluh menit ya, aku kan dit-" Kalimat Diwana langsung dipotong Jovyan dengan nada mengejek. "Ditunggu si pacar baru ya, iya bos... iya, siap," goda Jovyan. Belum lengkap rasanya hari-hari Jovyan kalau belum menistakan sahabat polosnya yang sudah tak polos lagi itu. "Oke, sekarang kamu dulu. Ada informasi apa aja dari teman Nilakandi?" tanya Tama. "Nilakandi itu sebatang kara, ayahnya s
Oh Pecandu, rupanya matahari menyambutmu dengan senyumnya, Desir angin itu akhirnya mendekatkanmu pada bahagia, Ah tunggu, bahagiakah? petakakah? Sang waktu menunggumu bercerita, datanglah. Puisi misteri menggema di laut menguning lagi. Ya, Diwana lagi-lagi terjebak di dalam mimpi versi keduanya itu. Tapi entah kenapa, kali ini ia merasa sangat lelah sekali meskipun hanya untuk sekadar berpikir. Ia pun mendudukkan dirinya di pinggir pantai, menatap ke arah sosok yang ia panggil Si Diwana Dua yang juga duduk tersedu sepuluh kaki dari tempatnya. Diwana diam saja, tak mau berbuat apa-apa. Lelah ia memusingkan mimpi konyol yang menghantuinya itu. Namun, tiba-tiba suara gemerincing lonceng pun terdengar, semakin lama semakin kencang. Bersamaan dengan rasa hangat tiba-tiba yang ia rasakan di dahi dan pipinya. Dilihatnya Si Diwana Dua yang perlahan berubah menjadi kepulan asap dan akhirnya l