Semesta hanya bermain-main, ia suka bercanda.
Jangat takut pulang.
Rindumu seperti lautan lepas yang tak berujung.
Indah, tapi juga bisa membunuhmu.
Diwana… apa yang kau cari?
Diwana… pulanglah.
Alunan puisi menggema di mimpi misterius itu, sedang Diwana masih berdiri terpaku di bibir pantai. Ia memindai ke sekeliling, mencari siapapun sosok bernyawa yang bisa ia temukan.
Pandangan matanya pun menangkap sosok tak asing dikejauhan, sekitar dua puluh kaki dari tempat ia berdiri, lebih jauh dari biasanya. Lelaki yang duduk memeluk lutut di pasir pantai yang basah.
“Itu… aku?” batin Diwana yang masih enggan bersuara karena takut akan terbangun tiba-tiba.
Aoakah peraturan mimpinya masih sama? Entahlah. Dan kenapa mimpi itu datang lagi setelah sekian lama? Entahlah.
Saat pikirannya berkecamuk, Diwana muda di depan sana tau-tau bangkit
Perempuan bergaun biru itu memandang kearah lautan lepas berwarna jingga di depannya dengan sendu. Tangan yang mungil terkulai begitu saja di kedua sisi tubuhnya. Bibirnya mengatup rapat, helai demi helai rambut itu terurai menari-nari mengikuti alunan lagu sang anila. Tatapannya nampak kosong, namun disaat yang bersamaan juga nampak penuh dengan kebimbangan. Beralaskan pasir pantai yang basah, kakinya tetap memaku tatkala diterpa ombak yang menyapa. Sepertinya ia tidak keberatan sama sekali saat dingin air laut berusaha mengusik jemari kakinya. Tak ada kicau burung bernyanyi, tak ada musik mengalun mengiringi. Perlahan matanya terpejam menikmati detik demi detik waktu yang berlalu, menyisakan tanda tanya besar pada sosok yang mengamatinya sejak tadi. "Cantik," batin laki-laki yang entah sejak kapan mengamati gadis misterius itu dalam diam. Senyum mengembang di bibirnya, seakan sudah tertahan sejak lama. Bait-bait puisi kerinduan tertulis jelas di wajahnya ya
"Bun, Ai tadi bangunin kakak pake nampar tau." Diwana mengadu sambil memegangi pipi kanannya yang sebenarnya tidak sakit juga, hanya berpura-pura agar adik jahilnya itu setidaknya dimarah sang bunda. Ia bahkan tidak tahu kalau sebenarnya bukan pipi kanan melainkan pipi kirinya yang ditampar Aiden. "Aiden.. udah gede kok masih jahil?" ucap bunda yang tangannya sibuk mengaduk-aduk krim sup buatannya. "Dengerin tuh" Diwana menjulurkan lidah penuh kemenangan. "Loh loh loh kok gue yang salah sih. Lo aja yang ngigau lagi. Bunda tau kan kalo kakak udah teriak-teriak sambil tidur tuh serem banget." Si bungsu membela diri. "Bilang apa barusan? Gua gue gua gue? Udah dibilangin kan jangan pake lo-gue ke kakak ih. Kayak si Junio itu loh, Dek. Udah cakep, baik, sopaaan banget sama kakak, pinter, rajin, ganteng lagi. Duh paket komplit banget, adek idaman semua abang pokoknya." Junio adalah tetangga keluarga Diwana yang sekaligus teman Aiden sejak mereka pin
Diwana masih duduk terdiam di kasur kamar rumah sakit memandangi infus yang terpasang di tangan. Otaknya tak berhenti berkelana sambil memikirkan satu demi satu kemungkinan yang bisa terjadi. Jantungnya berdegup cukup kencang, membuat nafasnya ikut sedikit memburu, khawatir. "Bun, Dokter Tano kenapa lama banget ya? Katanya beliau tuh teman Bunda?" tanyanya lembut pada bunda yang duduk di sofa. Tapi keburu disahut duluan oleh sang adik. "Santai dong, Kak. Grogi ya? Baca-baca majalah gini nih biar santai kaya aku, ah elah grogian amat hahaha," ledek Aiden sambil tertawa kecil. Tapi semua juga tahu kalau suaranya sedikit bergetar. Diwana tahu Aiden sebenarnya tak kalah cemas darinya. Diwa hanya tersenyum melihat Aiden sedang menutupi wajah khawatirnya dengan pura-pura membaca majalah yang bahkan tidak ia balik halamannya sejak lima belas menit yang lalu. Berjudul Kumpulan Resep MPASI Praktis Balita. "Bentar lagi, Kak. Baru juga beberapa jam yang
"Halo, Rindu sayang. Lagi ngapain?" ujar suara di seberang telepon, terdengar seperti ledekan yang disengaja. Disambut raut masam si penerima. "Sibuk aku, Ta. Kalo nggak penting jangan telfon dulu ya," jawab Diwana yang untuk keseribu kalinya merasa kesal kenapa bunda memberinya nama belakang 'Derurindu' yang selalu jadi bahan ejekan teman-temannya. Ia meletakkan ponsel di meja dengan mode speaker, tak berniat melepaskan pandangan dari layar komputer. Diwana kini tengah memutar otak mengutak-atik anggaran dana untuk proyek pusat perbelanjaan baru yang sedang dikerjakannya. Diwana punya banyak sekali bawahan, tentu saja, ia adalah seorang manager perusahaan retail terbesar nomor dua. Tapi sifat perfeksionis yang mendarah daging itu tak membiarkannya menyerahkan semua pekerjaan pada yang lain. Ia lebih memilih ikut pusing dan andil dalam semua tahap bebelit itu ketimbang mendapat hasil akhir yang tidak sempurna. "Diw, kamu pulang a
Deburan ombak di laut menguning itu memabukkan sekali ditelinga Diwana. Lagi, ia berdiri sepuluh meter dari sosok perempuan yang ia beri nama Biru karena gaunnya itu. “Biruuu.. aku rindu lagi. Kali ini rindunya lebih dari yang kemarin-kemarin.” Demi Tuhan, Diwana sangat ingin mendekat. Tapi ia tahu, tepat ketika tangannya membelai Biru, saat itu juga ia akan terbangun dari mimpi. Begitu peraturannya. Demi Tuhan pula, Diwana ingin sekali memanggil gadis pujaan hatinya itu. Tapi ia juga tahu, tepat ketika mulutnya berucap maka gadis itu akan lenyap nak asap mengepul di tungku perapian, kemudian terjagalah ia. Begitu peraturan kedua dimimpinya. Entah bagaimana segala peraturan-peraturan mimpinya itu bermula, Diwana tak tahu. Tidak ada yang tahu. Halusinasi di mimpinya memang sangat parah sampai-sampai wajah perempuan asing itu bisa tergambar dengan sangat jelas di memori, membuatnya tak mungkin bisa lupa dengan si gadis. Entah sejak kapa
Pagi itu suasana kantor divisi keuangan agak berbeda dari biasanya. Sembilan orang yang ternyata bawahan Diwana nampak berkerumun disatu meja di aula rapat. Meeting harusnya sudah dimulai di ruangan besar itu, yang kini justru tampak tak kondusif. Salah satu pegawai-Jeanne-tak henti-henti menelepon nomor seseorang dengan khawatir. Ya, Diwana. "Udah yang kelima belas nih, kalau Kak Diwa nggak angkat juga, kita gimana?" kata Jeanne panik, lantas mengerang frustasi saat suara operator di seberang telepon kembali terdengar, tanda si empunya tak mengangkatnya untuk yang kelima belas kali. Jeanne adalah pegawai terlama di divisi keuangan, ia direkrut bahkan sebelum perusahaan berdiri. Jadi ia paham betul bagaimana Tama CS merintis perusahaan itu. Sejak saat itu pula ia mengenal Diwana dan memberikan perhatian lebih padanya. Hanya dia yang memanggil Diwa dengan sebutan 'Kak' karena mereka memang cukup dekat sebagai rekan kerja, setidaknya menu
"Lantai sembilan apa sepuluh sih, Ta? Lupa gue." Dengan langkah tergesa, Jovyan dan Tama berjalan menuju lift. Keduanya agak lega tapi sekaligus khawatir disaat yang sama usai melihat mobil Diwana yang nampak masih terparkir di basement apartemen. Diwana hanya menaiki mobil hyundai putihnya itu saja kemana-mana, ia tidak punya sepeda kayuh ataupun sepeda motor karena ia bahkan tidak bisa mengendarai keduanya. Pun tidak pernah naik kendaraan umum seperti taksi atau bus karena tidak terbiasa. Atas dasar itulah Jovyan dan Tama menyimpulkan, Diwana ada di apartemen meski entah dalam keadaan apa. Hati keduanya sungguh tengah berdegup kencang. Tama bahkan sudah memiliki skenario di otaknya dimana Diwana mungkin sedang tergeletak kesakitan di kamar mandi, atau terbaring lemas tak sadarkan diri di atas tempat tidur. "Lantai sembilan, Jo. Kamu udah ratusan kali kesini." Tama berdecak sambil masuk ke dalam lift. Jo hanya menggaruk rambut belakangnya cengengesan
Selesai mandi, badan diwa justru semakin panas, nafasnya bahkan sedikit tak beraturan. Pusing itu menyerang lagi padahal ia harus segera berangkat kerja. Tepat ketika ia hendak mengambil obat darurat di nakas, bel pintu berbunyi. Siapa? Pikirnya. Karena memang tak banyak yang tahu apartemen Diwana, atau lebih tepatnya karena temannya pun tak banyak juga. Hanya Aiden, bunda, dan duo Jovyan Tama saja yang pernah mampir. “Maaf, siapa?” tanya Diwa dari interkom pintu rumahnya. “Mmm.. maaf mengganggu, saya penghuni baru yang pindah hari ini ke rumah 092. Apakah kakak punya nomor telepon SE yang bisa dihubungi? Interkom pintu rumah saya sepertinya bermasalah, jadi saya belum bisa masuk,” ucap suara dari seberang pintu yang ternyata adalah seorang perempuan. Dengan masih menahan sisa pening di kepalanya, Diwana mengambil kartu nama sales executive gedung yang ia simpan di dompet. Begitu ia membuka pintu, pandangannya langsung t