Share

Chapter 5. Rahsa Mimpi

Deburan ombak di laut menguning itu memabukkan sekali ditelinga Diwana. Lagi, ia berdiri sepuluh meter dari sosok perempuan yang ia beri nama Biru karena gaunnya itu.

“Biruuu.. aku rindu lagi. Kali ini rindunya lebih dari yang kemarin-kemarin.”

Demi Tuhan, Diwana sangat ingin mendekat. Tapi ia tahu, tepat ketika tangannya membelai Biru, saat itu juga ia akan terbangun dari mimpi. Begitu peraturannya.

Demi Tuhan pula, Diwana ingin sekali memanggil gadis pujaan hatinya itu. Tapi ia juga tahu, tepat ketika mulutnya berucap maka gadis itu akan lenyap nak asap mengepul di tungku perapian, kemudian terjagalah ia. Begitu peraturan kedua dimimpinya.

Entah bagaimana segala peraturan-peraturan mimpinya itu bermula, Diwana tak tahu. Tidak ada yang tahu. Halusinasi di mimpinya memang sangat parah sampai-sampai wajah perempuan asing itu bisa tergambar dengan sangat jelas di memori, membuatnya tak mungkin bisa lupa dengan si gadis.

Entah sejak kapan pula ia mengikat jiwanya pada mimpi yang fana, hingga membuat hidup yang nyata terasa seperti mimpi dan mimpi terasa seperti hidup.

Diwana sangat rindu pada Birunya, ia menatap lekat-lekat gadis itu dari samping. Hidungnya terpahat sempurna, bibirnya mengatup rapat, matanya terpejam menghadap lautan yang kali ini berwarna jingga.

Lautan itu selalu berdebur ombak tenang yang menenangkan, salah satu yang Diwa sukai dari mimpinya selain kehadiran sosok Biru. Lautan itu kadang berwarna jingga dan kadang kekuningan, lengkap dengan matahari yang selalu pada tempatnya yaitu di tengah-tengah lazuardi.

Kemudian, harum itu datang lagi. Wangi memabukkan yang sangat amat Diwana rindu itu menyeruak lagi. Sungguh candu. Matanya terpejam menikmati buaian aroma harum semerbak di indera penciumannya.

Ia tidak pernah bisa menggambarkan seharum apa aroma itu di dunia nyata. Wanginya seperti perpaduan antara aroma woody yang misterius, citrus yang menyejukkan, dan disempurnakan aroma manis yang entah harum apa itu. Ia tidak pernah menemukan harum yang sama di dunia nyata.

Kali ini Diwana bertekad untuk diam. Iya, serindu itu ia pada Sang Gadis Bergaun Biru. Biar netranya yang bekerja, menyimpan lebih banyak memori bersama gadisnya. Tunggu, memang segila itukah Diwa yang baru saja mengklaim Biru sebagai gadisnya? Tapi, dia memang segila itu. Kalau Aiden atau Jovyan tahu, mereka pasti akan kegirangan meledek betapa bucinnya Diwana.

"Kak Diwa ih, ini gambar yang ke berapa puluh, Kak? Lebih serem dari sketsa yang kemaren, tau. Mending juga gambar aku daripada gambar hantu."

"Ya ampun, Diw, itu si Jamila semok kenapa lo tolak? Lo diguna-guna setan yang selalu lo mimpiin itu sih, rukyah yuk?"

Begitu kira-kira Aiden dan Jovyan akan meledeknya. Tanggapan Diwa hanya sebatas "Dia cantik, bukan serem. Dia cuma delusi, bukan setan".

Bedanya, kalau mood sedang adem ayem, maka kalimat tadi akan ia katakan dengan kalem. Tapi kalau sedang kesal, akan ia katakan sambil berteriak atau minimal dengan sedikit mengoceh.

Senyum kembali mengembang di wajah Diwana begitu Biru tiba-tiba membuka mata tepat ketika ia juga membuka matanya.

“Ayo, menengoklah... Kumohon...”

Seakan mendengar suara hati Diwa, Biru menoleh menatapnya lekat-lekat tepat pada netra.

DEG

"B-biru.." Ucapnya tak tertahan saat perempuan itu tiba-tiba menangis. Iya, menangis.

Jika ingatan Diwa benar, Biru tidak pernah menangis di mimpinya. Namun justru tersenyum manis setiap kali tatapan mereka bertemu.

Tapi jelas-jelas baru saja mata itu basah dan air mata jatuh dari sana berkali-kali. Raut mukanya seakan berteriak “Aku tidak baik-baik saja”, yang kemudian lenyap lagi disusul bangunnya Diwana.

Keringat dingin membasahi kening Diwana, suhu badannya panas tapi ia menggigil kedinginan. Kicau burung diluar sana sukses mengacaukan mimpi dan menyadarkan Diwa yang tertidur di meja kerja dikamarnya. Matanya yang masih setengah terbuka melihat kearah jendela, menyaksikan seekor burung kolibri mematuk-matuk dibalik kaca yang tirainya juga lupa ia tutup.

Saat weekdays, Diwana akan tinggal di apartemennya sendiri karena jarak rumah dan kantor cukup jauh, meninggalkan bunda dan sang adik dirumah. Tentu hal itu bukan masalah baginya, karena hidup mandiri adalah nama tengahnya.

Hanya saja, tidak ada yang bisa menghentikan Diwana dari gaya hidup workaholicnya yang kian hari semakin parah saja. Entah kapan terakhir kali ia tidur di kasur, Diwa bahkan tidak ingat.

"Ah, ketiduran lagi," gumamnya. Ia memeriksa suhu keningnya sendiri dengan telapak tangan. Pening menjalar di kepala sampai ke tengkuk leher yang kram akibat tidur di meja.

Kemarin ia sempat kehujanan sebentar saat mengurus berkas-berkas ke kantor cabang di luar kota. Kemeja yang ia kenakan dibiarkan basah karena terburu-buru. Ditambah mengendarai mobil full AC kurang lebih dua jam saat kembali ke kantor, pastilah ia demam tinggi. Bodoh, memang.

Matahari masih belum tinggi, jam menunjukkan sekitar pukul enam pagi. Masih ada waktu dua jam untuk bersiap berangkat ke kantor, tapi bukan Diwana namanya jika ia kembali tidur lagi.

Kalau bisa bicara, tubuhnya mungkin sedang protes minta untuk dibaringkan barang sebentar. Tapi ini “Diwana Rajinbaikhatinanpolos Derurindu”, begitu Jovyan dan Tama memberinya nama tengah.

Bermalas-malasan tidak akan ditemukan di kamus hidupnya. Entahlah, mungkin karena belasan tahun sudah ia hidup di lingkungan rumah sakit dengan hampir tidak bisa berbuat apa-apa alias bed rest hampir sepanjang waktu. Menghibur diri pun hanya dengan berjalan-jalan kecil alias tak boleh kelelahan sama sekali.

Ia mungkin jengah dengan hidupnya di masa lalu. Kemudian, tanpa disadari ia seakan balas dendam pada takdirnya terdahulu dengan bekerja sepanjang waktu.

Diraihnya handphone yang tergeletak di meja kerja, melihat schedule kerja hari itu membuatnya mengusap wajah sedikit frustasi. Ia lelah, tentu. Otak dan jantungnya sudah mengatakan demikian, tapi entah kenapa ambisinya mengatakan tidak.

Ada dua meeting hari itu, pagi jam delapan dengan internal divisi keuangan, dan general meeting di siang hari dengan seluruh manager divisi. Kemudian sore harinya ada beberapa berkas yang harus ia bahas bersama bosnya-Tama-dan harus ia selesaikan hari itu juga. Tidak, bukan Tama yang membuat deadline mematikan itu melainkan dirinya sendiri.

Rasa sakit tubuhnya menyerang lebih dari sebelumnya, pandangannya bahkan sedikit kabur. Berusaha sekuat tenaga, ia memasukkan berkas-berkas di meja kedalam tas kerja. Diraihnya gelas diatas water dispenser di samping nakas, dengan susah payah.

Namun seakan kehilangan kekuatan tangannya, gelas itu mendadak terjatuh dari genggaman lemahnya dan pecah berserakan di lantai. Kepalanya mendadak terasa berat bahkan hanya untuk mendongak dan menopangnya. Dadanya juga agak sesak, namun ia paksakan berdiri dan berusaha berjalan ke kamar mandi.

“Kenapa ini? Kenapa rasanya seperti rasa sakit yang dulu?”

----

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status