Deburan ombak di laut menguning itu memabukkan sekali ditelinga Diwana. Lagi, ia berdiri sepuluh meter dari sosok perempuan yang ia beri nama Biru karena gaunnya itu.
“Biruuu.. aku rindu lagi. Kali ini rindunya lebih dari yang kemarin-kemarin.”
Demi Tuhan, Diwana sangat ingin mendekat. Tapi ia tahu, tepat ketika tangannya membelai Biru, saat itu juga ia akan terbangun dari mimpi. Begitu peraturannya.
Demi Tuhan pula, Diwana ingin sekali memanggil gadis pujaan hatinya itu. Tapi ia juga tahu, tepat ketika mulutnya berucap maka gadis itu akan lenyap nak asap mengepul di tungku perapian, kemudian terjagalah ia. Begitu peraturan kedua dimimpinya.
Entah bagaimana segala peraturan-peraturan mimpinya itu bermula, Diwana tak tahu. Tidak ada yang tahu. Halusinasi di mimpinya memang sangat parah sampai-sampai wajah perempuan asing itu bisa tergambar dengan sangat jelas di memori, membuatnya tak mungkin bisa lupa dengan si gadis.
Entah sejak kapan pula ia mengikat jiwanya pada mimpi yang fana, hingga membuat hidup yang nyata terasa seperti mimpi dan mimpi terasa seperti hidup.
Diwana sangat rindu pada Birunya, ia menatap lekat-lekat gadis itu dari samping. Hidungnya terpahat sempurna, bibirnya mengatup rapat, matanya terpejam menghadap lautan yang kali ini berwarna jingga.
Lautan itu selalu berdebur ombak tenang yang menenangkan, salah satu yang Diwa sukai dari mimpinya selain kehadiran sosok Biru. Lautan itu kadang berwarna jingga dan kadang kekuningan, lengkap dengan matahari yang selalu pada tempatnya yaitu di tengah-tengah lazuardi.
Kemudian, harum itu datang lagi. Wangi memabukkan yang sangat amat Diwana rindu itu menyeruak lagi. Sungguh candu. Matanya terpejam menikmati buaian aroma harum semerbak di indera penciumannya.
Ia tidak pernah bisa menggambarkan seharum apa aroma itu di dunia nyata. Wanginya seperti perpaduan antara aroma woody yang misterius, citrus yang menyejukkan, dan disempurnakan aroma manis yang entah harum apa itu. Ia tidak pernah menemukan harum yang sama di dunia nyata.
Kali ini Diwana bertekad untuk diam. Iya, serindu itu ia pada Sang Gadis Bergaun Biru. Biar netranya yang bekerja, menyimpan lebih banyak memori bersama gadisnya. Tunggu, memang segila itukah Diwa yang baru saja mengklaim Biru sebagai gadisnya? Tapi, dia memang segila itu. Kalau Aiden atau Jovyan tahu, mereka pasti akan kegirangan meledek betapa bucinnya Diwana.
"Kak Diwa ih, ini gambar yang ke berapa puluh, Kak? Lebih serem dari sketsa yang kemaren, tau. Mending juga gambar aku daripada gambar hantu."
"Ya ampun, Diw, itu si Jamila semok kenapa lo tolak? Lo diguna-guna setan yang selalu lo mimpiin itu sih, rukyah yuk?"
Begitu kira-kira Aiden dan Jovyan akan meledeknya. Tanggapan Diwa hanya sebatas "Dia cantik, bukan serem. Dia cuma delusi, bukan setan".
Bedanya, kalau mood sedang adem ayem, maka kalimat tadi akan ia katakan dengan kalem. Tapi kalau sedang kesal, akan ia katakan sambil berteriak atau minimal dengan sedikit mengoceh.
Senyum kembali mengembang di wajah Diwana begitu Biru tiba-tiba membuka mata tepat ketika ia juga membuka matanya.
“Ayo, menengoklah... Kumohon...”
Seakan mendengar suara hati Diwa, Biru menoleh menatapnya lekat-lekat tepat pada netra.
DEG
"B-biru.." Ucapnya tak tertahan saat perempuan itu tiba-tiba menangis. Iya, menangis.
Jika ingatan Diwa benar, Biru tidak pernah menangis di mimpinya. Namun justru tersenyum manis setiap kali tatapan mereka bertemu.
Tapi jelas-jelas baru saja mata itu basah dan air mata jatuh dari sana berkali-kali. Raut mukanya seakan berteriak “Aku tidak baik-baik saja”, yang kemudian lenyap lagi disusul bangunnya Diwana.
Keringat dingin membasahi kening Diwana, suhu badannya panas tapi ia menggigil kedinginan. Kicau burung diluar sana sukses mengacaukan mimpi dan menyadarkan Diwa yang tertidur di meja kerja dikamarnya. Matanya yang masih setengah terbuka melihat kearah jendela, menyaksikan seekor burung kolibri mematuk-matuk dibalik kaca yang tirainya juga lupa ia tutup.
Saat weekdays, Diwana akan tinggal di apartemennya sendiri karena jarak rumah dan kantor cukup jauh, meninggalkan bunda dan sang adik dirumah. Tentu hal itu bukan masalah baginya, karena hidup mandiri adalah nama tengahnya.
Hanya saja, tidak ada yang bisa menghentikan Diwana dari gaya hidup workaholicnya yang kian hari semakin parah saja. Entah kapan terakhir kali ia tidur di kasur, Diwa bahkan tidak ingat.
"Ah, ketiduran lagi," gumamnya. Ia memeriksa suhu keningnya sendiri dengan telapak tangan. Pening menjalar di kepala sampai ke tengkuk leher yang kram akibat tidur di meja.
Kemarin ia sempat kehujanan sebentar saat mengurus berkas-berkas ke kantor cabang di luar kota. Kemeja yang ia kenakan dibiarkan basah karena terburu-buru. Ditambah mengendarai mobil full AC kurang lebih dua jam saat kembali ke kantor, pastilah ia demam tinggi. Bodoh, memang.
Matahari masih belum tinggi, jam menunjukkan sekitar pukul enam pagi. Masih ada waktu dua jam untuk bersiap berangkat ke kantor, tapi bukan Diwana namanya jika ia kembali tidur lagi.
Kalau bisa bicara, tubuhnya mungkin sedang protes minta untuk dibaringkan barang sebentar. Tapi ini “Diwana Rajinbaikhatinanpolos Derurindu”, begitu Jovyan dan Tama memberinya nama tengah.
Bermalas-malasan tidak akan ditemukan di kamus hidupnya. Entahlah, mungkin karena belasan tahun sudah ia hidup di lingkungan rumah sakit dengan hampir tidak bisa berbuat apa-apa alias bed rest hampir sepanjang waktu. Menghibur diri pun hanya dengan berjalan-jalan kecil alias tak boleh kelelahan sama sekali.
Ia mungkin jengah dengan hidupnya di masa lalu. Kemudian, tanpa disadari ia seakan balas dendam pada takdirnya terdahulu dengan bekerja sepanjang waktu.
Diraihnya handphone yang tergeletak di meja kerja, melihat schedule kerja hari itu membuatnya mengusap wajah sedikit frustasi. Ia lelah, tentu. Otak dan jantungnya sudah mengatakan demikian, tapi entah kenapa ambisinya mengatakan tidak.
Ada dua meeting hari itu, pagi jam delapan dengan internal divisi keuangan, dan general meeting di siang hari dengan seluruh manager divisi. Kemudian sore harinya ada beberapa berkas yang harus ia bahas bersama bosnya-Tama-dan harus ia selesaikan hari itu juga. Tidak, bukan Tama yang membuat deadline mematikan itu melainkan dirinya sendiri.
Rasa sakit tubuhnya menyerang lebih dari sebelumnya, pandangannya bahkan sedikit kabur. Berusaha sekuat tenaga, ia memasukkan berkas-berkas di meja kedalam tas kerja. Diraihnya gelas diatas water dispenser di samping nakas, dengan susah payah.
Namun seakan kehilangan kekuatan tangannya, gelas itu mendadak terjatuh dari genggaman lemahnya dan pecah berserakan di lantai. Kepalanya mendadak terasa berat bahkan hanya untuk mendongak dan menopangnya. Dadanya juga agak sesak, namun ia paksakan berdiri dan berusaha berjalan ke kamar mandi.
“Kenapa ini? Kenapa rasanya seperti rasa sakit yang dulu?”
----
Pagi itu suasana kantor divisi keuangan agak berbeda dari biasanya. Sembilan orang yang ternyata bawahan Diwana nampak berkerumun disatu meja di aula rapat. Meeting harusnya sudah dimulai di ruangan besar itu, yang kini justru tampak tak kondusif. Salah satu pegawai-Jeanne-tak henti-henti menelepon nomor seseorang dengan khawatir. Ya, Diwana. "Udah yang kelima belas nih, kalau Kak Diwa nggak angkat juga, kita gimana?" kata Jeanne panik, lantas mengerang frustasi saat suara operator di seberang telepon kembali terdengar, tanda si empunya tak mengangkatnya untuk yang kelima belas kali. Jeanne adalah pegawai terlama di divisi keuangan, ia direkrut bahkan sebelum perusahaan berdiri. Jadi ia paham betul bagaimana Tama CS merintis perusahaan itu. Sejak saat itu pula ia mengenal Diwana dan memberikan perhatian lebih padanya. Hanya dia yang memanggil Diwa dengan sebutan 'Kak' karena mereka memang cukup dekat sebagai rekan kerja, setidaknya menu
"Lantai sembilan apa sepuluh sih, Ta? Lupa gue." Dengan langkah tergesa, Jovyan dan Tama berjalan menuju lift. Keduanya agak lega tapi sekaligus khawatir disaat yang sama usai melihat mobil Diwana yang nampak masih terparkir di basement apartemen. Diwana hanya menaiki mobil hyundai putihnya itu saja kemana-mana, ia tidak punya sepeda kayuh ataupun sepeda motor karena ia bahkan tidak bisa mengendarai keduanya. Pun tidak pernah naik kendaraan umum seperti taksi atau bus karena tidak terbiasa. Atas dasar itulah Jovyan dan Tama menyimpulkan, Diwana ada di apartemen meski entah dalam keadaan apa. Hati keduanya sungguh tengah berdegup kencang. Tama bahkan sudah memiliki skenario di otaknya dimana Diwana mungkin sedang tergeletak kesakitan di kamar mandi, atau terbaring lemas tak sadarkan diri di atas tempat tidur. "Lantai sembilan, Jo. Kamu udah ratusan kali kesini." Tama berdecak sambil masuk ke dalam lift. Jo hanya menggaruk rambut belakangnya cengengesan
Selesai mandi, badan diwa justru semakin panas, nafasnya bahkan sedikit tak beraturan. Pusing itu menyerang lagi padahal ia harus segera berangkat kerja. Tepat ketika ia hendak mengambil obat darurat di nakas, bel pintu berbunyi. Siapa? Pikirnya. Karena memang tak banyak yang tahu apartemen Diwana, atau lebih tepatnya karena temannya pun tak banyak juga. Hanya Aiden, bunda, dan duo Jovyan Tama saja yang pernah mampir. “Maaf, siapa?” tanya Diwa dari interkom pintu rumahnya. “Mmm.. maaf mengganggu, saya penghuni baru yang pindah hari ini ke rumah 092. Apakah kakak punya nomor telepon SE yang bisa dihubungi? Interkom pintu rumah saya sepertinya bermasalah, jadi saya belum bisa masuk,” ucap suara dari seberang pintu yang ternyata adalah seorang perempuan. Dengan masih menahan sisa pening di kepalanya, Diwana mengambil kartu nama sales executive gedung yang ia simpan di dompet. Begitu ia membuka pintu, pandangannya langsung t
Kicau burung kolibri yang tadi pagi membangunkan Diwana kembali terdengar, tapi kali ini bukan dari balik jendela kamar Diwa. Diwana dan Nilakandi kini duduk di bangku taman apartemen. Perempuan itu duduk di ujung bangku, memberi jarak sejauh yang ia bisa dari lelaki asing disampingnya. Matanya berkeliling sebentar, lega dirasa saat matanya menangkap pos satpam disamping gerbang utama, lengkap dengan seorang satpam yang tengah bertugas. Bagaimanapun juga, ia sedang bersama orang asing saat ini. Awalnya hening, tak ada yang memulai. "Saya.. Diwana" ucap Diwa tanpa melirik kearah gadis disampingnya, mengulangi kalimatnya di lift tadi. Jika boleh jujur, hatinya masih berdegup kencang memandang Biru, maksudnya Nilakandi. "Saya penghuni rumah 903, calon tetangga kamu. Maaf atas apa yang saya lakukan tadi. Saya hanya salah orang." Ia masih terus memandang tanah berselimut rumput dikakinya, sambil memainkan sapu tangan penuh bercak darah ditangan. Mi
Diwana berdiam diri di balik pintu rumahnya, menimbang-nimbang jam berapakah ia akan keluar dan berangkat kerja. Berangkat ke kantor tidak pernah serumit itu sebelumnya, sebelum Nilakandi hadir mengusiknya. “Kalau berangkat sekarang bisa ketemu nggak ya?” “Atau agak siangan?” “Sebentar, kalau dia dirumah seharian dan nggak keluar-keluar gimana dong?” Hati Diwana benar-benar sedang berdebat dengan otaknya sendiri. Dua hari sudah sejak insiden hilangnya Diwana. Jovyan sudah ratusan kali mengejeknya bucin, Tama juga. Bahkan mereka bersikeras ingin bertemu Nilakandi lagi. Karena dilihat dari sisi manapun, perempuan itu sangat mirip dengan Biru. Ah tidak, mereka bahkan sama, benar-benar sama. Hanya saja wajah Nilakandi yang sekarang terasa lebih... dewasa. Sudah sejak saat itu pula Diwana belum bertemu lagi dengan Nilakandi. Entah kenapa, dia rindu. Aneh memang, rindunya terasa sama seperti saat ia merindukan soso
"Udah sampai, sini Kak," ujar Kandi mengulurkan tangannya, bermaksud meraih kantong belanjaan yang dipegang Diwana. Lelaki itu membisu sejak dari minimarket tadi. Nilakandi juga tak tahu harus memulai pembicaraan seperti apa, sedangkan Diwana hanya sibuk dengan pikiran-pikirannya sendiri. "Eh, iya ini. Sampai ketemu lagi," ucap Diwana saat perempuan itu sudah hampir menghilang dibalik pintu. Nilakandi tersenyum mendengar ucapan Diwana yang entah kenapa terdengar sangat polos ditelinganya. Hati Diwana berkecamuk, apa gerangan yang sudah terjadi pada perempuan itu? Luka-luka itu jelas bukan luka terjatuh atau sejenisnya. Luka-luka itu seperti hasil pukulan benda tumpul yang sepertinya disengaja. Apa gerangan latar belakang wanita misterius ini? Ada kisah apa dibaliknya? Diwana pusing dibuatnya. --- "Aw, kenapa kamu nggak kering-kering sih," gumam Kandi sambil mengoleskan obat merah ke luka terbuka di lengan kanannya. Usai memakaikan ples
Seperti debur ombak yang terus menghantam pesisir, Deru rindumu pun tak akan pernah berhenti mengulir, Meskipun mungkin ia telah sedikit mencair. Jangan mencari, jangan menunggu, biar semesta yang menguaknya satu-satu. Menangislah, kalau itu membuatmu lega. Sebentar atau lama, ada hati yang harus kau jaga. Puisi menggema kembali terdengar. Ya, laut menguning. Matahari masih berada di tengah-tengah ufuk, tak peduli berapa lama lelaki itu berdiri disana. "Kenapa matahari itu tak pernah meninggi?" batin Diwana yang kembali terseret ke bunga tidurnya. Mata Diwana kini mengabsen satu-satu objek di mimpi yang sudah beberapa hari tak mengusiknya itu. Matahari, ada. Laut menguning, ada. Deburan kecil ombak yang menyapu pantai pun ada. Hanya satu yang hilang dari pandangannya, Biru. Gadis bergaun biru itu tak lagi berdiri di tepi pantai menatap laut lepas. Kini tanah
"Argh... masih pagi," erang Aiden yang terbangun usai mendengar bunyi alarm yang sudah berdering puluhan kali. Korden kamar apartemen Diwana sudah terbuka, menampakkan matahari yang sorotnya menerobos masuk lewat jendela kaca. Jam memang sudah menunjukkan pukul sepuluh siang, hanya Aiden yang menganggapnya masih pagi. Diwana pun sudah melejit ke kantor sejak pukul tujuh tepat. Aiden bangun dengan wajah kesal, menyumpahi kakaknya yang sengaja membuka tirai lebar-lebar sebelum berangkat ke kantor. Namun cemberut di wajahnya perlahan memudar, digantikan oleh senyum lebar hingga deretan gigi-giginya nampak. Matanya mengarah ke atas nakas, menatap satu gelas susu putih hangat dan dua potong besar sandwich lengkap dengan scrambled egg kesukaannya. Tapi yang membuatnya tersenyum bak orang gila bukanlah sarapan paginya, melainkan sebuah benda tipis warna biru tua berlogo bank bertuliskan “Kartu Kredit” yang sudah Diwana tinggalkan untuknya. Terselip d