"Lantai sembilan apa sepuluh sih, Ta? Lupa gue."
Dengan langkah tergesa, Jovyan dan Tama berjalan menuju lift. Keduanya agak lega tapi sekaligus khawatir disaat yang sama usai melihat mobil Diwana yang nampak masih terparkir di basement apartemen.
Diwana hanya menaiki mobil hyundai putihnya itu saja kemana-mana, ia tidak punya sepeda kayuh ataupun sepeda motor karena ia bahkan tidak bisa mengendarai keduanya. Pun tidak pernah naik kendaraan umum seperti taksi atau bus karena tidak terbiasa. Atas dasar itulah Jovyan dan Tama menyimpulkan, Diwana ada di apartemen meski entah dalam keadaan apa.
Hati keduanya sungguh tengah berdegup kencang. Tama bahkan sudah memiliki skenario di otaknya dimana Diwana mungkin sedang tergeletak kesakitan di kamar mandi, atau terbaring lemas tak sadarkan diri di atas tempat tidur.
"Lantai sembilan, Jo. Kamu udah ratusan kali kesini." Tama berdecak sambil masuk ke dalam lift. Jo hanya menggaruk rambut belakangnya cengengesan, sambil meredakan paniknya.
"Maaf, boleh tolong pencetkan untuk saya?" pinta seseorang yang nampaknya petugas jasa pindah rumah kepada Jo.
"Lantai berapa, Pak?"
"Sembilan, terimakasih."
Kedua tangan kurir itu membawa kardus-kardus besar yang sepertinya terlihat enteng namun menjulang hingga menutupi pandangannya. Di bagian punggung kemeja seragam yang ia kenakan bertuliskan 'Go Deliveree'. Diam-diam Jovyan mengamati kurir pindahan itu dari belakang kemudian berbisik pada Tama disampingnya.
"Calon tetangga baru Diwa nih, Ta" bisiknya, Tama hanya mengangguk menanggapi.
---
"Eh, jangan main masuk aja Lo, ckckck mana sopan santun anda wahai Bapak CEO?" Cegah Jovyan pada Tama yang sudah terlanjur memasukkan dua digit sandi pintu rumah Diwa.
"Hah? Kan ini urgent, Jo. Lagi panik kaya gini loh."
"Ya tapi siapa tau kan dia lagi sama cewek gitu di dalem, atau lagi anu dan ehem, ya pokoknya privasi lah. Etika tuh ketok atau pencet bel dulu." Jovyan sok menggurui sambil menahan tawa karena ucapannya sendiri, lantas memencet bel berkali-kali.
"Diwana? Sama cewek? Hahahaha... ini Diwana Rajinbaikhati Derurindu ya, bukan Jovyan Buayalokal Easton.. Kalo sampe iya nih, Hyundai kantor yang tadi kita pake kesini buat kamu deh. Ngaco banget kamu tuh." Tama merotasikan bola mata, malas menanggapi lebih jauh lagi.
Tapi bahkan setelah pencetan bel Jovyan yang ke dua puluh pun tidak juga ada jawaban dari dalam sana. Petugas jasa pindahan yang ada di depan rumah sebelah juga mulai memandangi keduanya dengan sedikit curiga. Buru-buru Tama menggeser Jovyan sambil memasukkan sandi pintu rumah Diwana, Jovyan hanya melengos kesal. Lebih kesal lagi karena julukan yang diucapkan Tama untuknya adalah fakta.
Begitu mereka masuk, tak ada yang aneh sekecilpun dan tak ada tanda-tanda kehidupan sedikitpun, kecuali...
"SHIT FUCK BANGSAT SETAN.. ADA SETAN..!" Sekonyong-konyong Jovyan mengumpat ngos-ngosan sambil memegangi dadanya, tersungkur di lantai karena lututnya melemas. Disambut heran Tama yang jantungnya juga hampir copot dengan mata melotot.
"KAGET GUE, JOVYAN!" pekiknya kearah Jo.
"Waduh, kalau Tama udah pake lo-gue berarti marah beneran dia," batin Jovyan.
"Ya maaf, itu loh Diwa ngelukis si setan, holy shit. Kemarin-kemarin kayanya nggak ada deh tuh lukisan. Serem beneran ih, Ta." Jovyan menunjuk lukisan perempuan bergaun biru berlatar laut menguning berukuran 90x90 cm yang tergantung di atas nakas.
Lukisan itu benar-benar nampak... hidup? Perempuan di lukisan itu nampak tersenyum anggun, namun seberkas kilas cahaya di pelupuk matanya mengisyaratkan kelabu.
"Hus, Diwana nggak suka kalau kamu manggil wanita itu setan. Aku udah sering lihat sketsa-sketsa yang Diwa buat sih, tapi baru kali ini lihat lukisan Diwa sejelas ini. Cantik juga ya?" Senyum Tama melebar tanpa ia sadari. Dibalik punggungnya, Jo tersenyum ngeri melihat teman yang baru saja menyebut lukisan mengerikan itu dengan sebutan 'cantik'.
"Gila Lo, Diwa juga. Yang waras emang cuma gue."
Mereka pun kembali memanggil-manggil Diwana di rumah yang tidak besar itu sambil berkeliling ke dapur, kamar, balkon, kamar mandi, namun nihil. Semuanya rapi, bersih, lengkap dengan wangi unik perpaduan antara pengharum ruangan lavender bercampur dengan aroma khas toko roti dari scented candle yang rajin Diwa nyalakan tiap pagi, seperti biasa.
Berani taruhan, siapapun yang berkunjung pasti tidak akan menyangka jika penghuni rumah itu adalah seorang laki-laki saking rapi dan wanginya.
"Tuh, ponselnya dia tinggal." Jovyan menuju nakas mengambil ponsel Diwa yang menunjukkan sembilan belas notifikasi panggilan tak terjawab.
"Terus manusia ini kemana, Ta? Yang jelas dia masih hidup kan?" panik Jovyan, terdengar agak bercanda padahal dia sangat serius. Keduanya semakin ditambah bingung dengan situasi di depan mereka, meskipun tak dipungkiri batin Tama agak lebih lega saat skenario di otaknya barusan tak terbukti.
"Heh, jangan bercanda. Ayo kita ke satpam, Diwa sama Pak Satpam kan BFF jadi kali aja mereka tau," sela Tama.
"Hmm, kenapa temen-temen gue aneh banget, Tuhan. Berteman sama satpam? Kurang random apa coba?" kelakar Jovyan geleng-geleng kepala.
Tama meraih ponsel Diwana dari tangan Jovyan, mengambil tas kantor yang nampaknya memang sudah Diwa siapkan di atas nakas. Mereka bergegas menuju pos satpam dengan harapan bisa mencium keberadaan misterius temannya itu.
---
"Permisi, bapak masih ingat kami?" tanya Tama begitu mengetahui bahwa satpam yang bertugas adalah yang pernah ia temui sebelumnya bersama Diwana saat mengurus paket yang hilang di apartemennya beberapa minggu lalu. Dan menurutnya, satpam inilah yang paling dekat dengan Diwana.
"Mmm, teman-temannya Pak Diwa bukan ya? Ada apa, Pak?" jawab satpam yang selanjutnya Tama ketahui bernama Dermawan dilihat dari bedge di seragamnya.
"Betul, Pak. Sejak tadi pagi, Diwana belum bisa kami hubungi, bahkan belum berangkat kerja. Di kamarnya juga tidak ada, ponselnya pun ditinggal di nakas. Apa kebetulan Bapak melihatnya tadi pagi?" cerita Tama runtut.
Namun tanpa diduga, bukannya panik, Pak Dermawan justru tersenyum lebar disambut heran Jovyan dan Tama.
"Tadi pagi sih saya nggak lihat Pak Diwa, Tapi kalo sekarang mah saya lihat." Setengah terkekeh, senyum Pak Dermawan melebar lagi. Ia menunjuk ke arah belakang dua laki-laki yang tengah kebingungan itu.
Matanya mengarah pada sosok yang ada di taman apartemen sekitar seratus meter jauhnya dari tempat mereka berdiri. Jovyan dan Tama spontan berbalik mengikuti arah telunjuk Pak dermawan. Usai memicingkan mata, kerutan di dahi mereka pun perlahan memudar.
"Jo, kamu lihat apa yang aku lihat, kan?" Keduanya belum mengalihkan pandangan. Jo mengangguk meskipun tahu Tama tak melihat ke arahnya.
"Ta, makasih ya."
"Hah? Buat apa?" Ucapan Jo sontak membuat Tama menoleh ke arah Jovyan yang sedetik kemudian berteriak kegirangan.
"ASIK... GUE DAPET MOBIL BARU...!!"
----
Selesai mandi, badan diwa justru semakin panas, nafasnya bahkan sedikit tak beraturan. Pusing itu menyerang lagi padahal ia harus segera berangkat kerja. Tepat ketika ia hendak mengambil obat darurat di nakas, bel pintu berbunyi. Siapa? Pikirnya. Karena memang tak banyak yang tahu apartemen Diwana, atau lebih tepatnya karena temannya pun tak banyak juga. Hanya Aiden, bunda, dan duo Jovyan Tama saja yang pernah mampir. “Maaf, siapa?” tanya Diwa dari interkom pintu rumahnya. “Mmm.. maaf mengganggu, saya penghuni baru yang pindah hari ini ke rumah 092. Apakah kakak punya nomor telepon SE yang bisa dihubungi? Interkom pintu rumah saya sepertinya bermasalah, jadi saya belum bisa masuk,” ucap suara dari seberang pintu yang ternyata adalah seorang perempuan. Dengan masih menahan sisa pening di kepalanya, Diwana mengambil kartu nama sales executive gedung yang ia simpan di dompet. Begitu ia membuka pintu, pandangannya langsung t
Kicau burung kolibri yang tadi pagi membangunkan Diwana kembali terdengar, tapi kali ini bukan dari balik jendela kamar Diwa. Diwana dan Nilakandi kini duduk di bangku taman apartemen. Perempuan itu duduk di ujung bangku, memberi jarak sejauh yang ia bisa dari lelaki asing disampingnya. Matanya berkeliling sebentar, lega dirasa saat matanya menangkap pos satpam disamping gerbang utama, lengkap dengan seorang satpam yang tengah bertugas. Bagaimanapun juga, ia sedang bersama orang asing saat ini. Awalnya hening, tak ada yang memulai. "Saya.. Diwana" ucap Diwa tanpa melirik kearah gadis disampingnya, mengulangi kalimatnya di lift tadi. Jika boleh jujur, hatinya masih berdegup kencang memandang Biru, maksudnya Nilakandi. "Saya penghuni rumah 903, calon tetangga kamu. Maaf atas apa yang saya lakukan tadi. Saya hanya salah orang." Ia masih terus memandang tanah berselimut rumput dikakinya, sambil memainkan sapu tangan penuh bercak darah ditangan. Mi
Diwana berdiam diri di balik pintu rumahnya, menimbang-nimbang jam berapakah ia akan keluar dan berangkat kerja. Berangkat ke kantor tidak pernah serumit itu sebelumnya, sebelum Nilakandi hadir mengusiknya. “Kalau berangkat sekarang bisa ketemu nggak ya?” “Atau agak siangan?” “Sebentar, kalau dia dirumah seharian dan nggak keluar-keluar gimana dong?” Hati Diwana benar-benar sedang berdebat dengan otaknya sendiri. Dua hari sudah sejak insiden hilangnya Diwana. Jovyan sudah ratusan kali mengejeknya bucin, Tama juga. Bahkan mereka bersikeras ingin bertemu Nilakandi lagi. Karena dilihat dari sisi manapun, perempuan itu sangat mirip dengan Biru. Ah tidak, mereka bahkan sama, benar-benar sama. Hanya saja wajah Nilakandi yang sekarang terasa lebih... dewasa. Sudah sejak saat itu pula Diwana belum bertemu lagi dengan Nilakandi. Entah kenapa, dia rindu. Aneh memang, rindunya terasa sama seperti saat ia merindukan soso
"Udah sampai, sini Kak," ujar Kandi mengulurkan tangannya, bermaksud meraih kantong belanjaan yang dipegang Diwana. Lelaki itu membisu sejak dari minimarket tadi. Nilakandi juga tak tahu harus memulai pembicaraan seperti apa, sedangkan Diwana hanya sibuk dengan pikiran-pikirannya sendiri. "Eh, iya ini. Sampai ketemu lagi," ucap Diwana saat perempuan itu sudah hampir menghilang dibalik pintu. Nilakandi tersenyum mendengar ucapan Diwana yang entah kenapa terdengar sangat polos ditelinganya. Hati Diwana berkecamuk, apa gerangan yang sudah terjadi pada perempuan itu? Luka-luka itu jelas bukan luka terjatuh atau sejenisnya. Luka-luka itu seperti hasil pukulan benda tumpul yang sepertinya disengaja. Apa gerangan latar belakang wanita misterius ini? Ada kisah apa dibaliknya? Diwana pusing dibuatnya. --- "Aw, kenapa kamu nggak kering-kering sih," gumam Kandi sambil mengoleskan obat merah ke luka terbuka di lengan kanannya. Usai memakaikan ples
Seperti debur ombak yang terus menghantam pesisir, Deru rindumu pun tak akan pernah berhenti mengulir, Meskipun mungkin ia telah sedikit mencair. Jangan mencari, jangan menunggu, biar semesta yang menguaknya satu-satu. Menangislah, kalau itu membuatmu lega. Sebentar atau lama, ada hati yang harus kau jaga. Puisi menggema kembali terdengar. Ya, laut menguning. Matahari masih berada di tengah-tengah ufuk, tak peduli berapa lama lelaki itu berdiri disana. "Kenapa matahari itu tak pernah meninggi?" batin Diwana yang kembali terseret ke bunga tidurnya. Mata Diwana kini mengabsen satu-satu objek di mimpi yang sudah beberapa hari tak mengusiknya itu. Matahari, ada. Laut menguning, ada. Deburan kecil ombak yang menyapu pantai pun ada. Hanya satu yang hilang dari pandangannya, Biru. Gadis bergaun biru itu tak lagi berdiri di tepi pantai menatap laut lepas. Kini tanah
"Argh... masih pagi," erang Aiden yang terbangun usai mendengar bunyi alarm yang sudah berdering puluhan kali. Korden kamar apartemen Diwana sudah terbuka, menampakkan matahari yang sorotnya menerobos masuk lewat jendela kaca. Jam memang sudah menunjukkan pukul sepuluh siang, hanya Aiden yang menganggapnya masih pagi. Diwana pun sudah melejit ke kantor sejak pukul tujuh tepat. Aiden bangun dengan wajah kesal, menyumpahi kakaknya yang sengaja membuka tirai lebar-lebar sebelum berangkat ke kantor. Namun cemberut di wajahnya perlahan memudar, digantikan oleh senyum lebar hingga deretan gigi-giginya nampak. Matanya mengarah ke atas nakas, menatap satu gelas susu putih hangat dan dua potong besar sandwich lengkap dengan scrambled egg kesukaannya. Tapi yang membuatnya tersenyum bak orang gila bukanlah sarapan paginya, melainkan sebuah benda tipis warna biru tua berlogo bank bertuliskan “Kartu Kredit” yang sudah Diwana tinggalkan untuknya. Terselip d
Diwana dan Tama tengah bercengkrama di cafe depan kantor. Sekadar duduk-duduk santai sambil menyesap kopi dan jeruk panas. Jovyan ada juga disana, tapi ia duduk berdua bersama Maheswari, si pacar baru. "Sayang banget nggak, sih, Si Maheswari dapat cowok modelan Jovyan?" kelakar Tama pada Diwana. "Cinta kan buta, Ta," komentar Diwa,a "Bir-maksudnya Nilakandi apa kabar?" tanya Tama mengalihkan pembicaraan. Tak dipungkiri, lelaki itu masih dibuat penasaran dengan sosok Nilakandi. Ingin sekali ia melihatnya lagi satu kali saja. "Sebenarnya, ada yang buat aku kebingungan, Ta. Akhir-akhir ini aku bahkan nggak bisa fokus kerja karena itu. Dia aneh, Ta, ada yang nggak beres sama Nilakandi," jawab Diwana. "Hah? Konteksnya apa? Aneh gimana?" "Tubuhnya penuh luka. Lututnya lebam, kakinya merah-merah, ada luka sayatan di tangannya, bahkan wajahnya biru semua, Ta." "Hah? Bercanda ya kamu? Kok bisa?" tanya Tama tak percaya. Bahkan hanya deng
Siapa yang kamu cari? Renjana rindumu nampaknya sudah mencair. Oh, pecandu, pencinta. Alang berjawab, tepuk berbatas. Ada yang harus kau tunggu. Dari semesta, khusus untukmu. Sebuah siulan panjang mengakhiri bait puisi singkat itu. Diwana bergidik ngeri saat matanya menangkap bayangan tak asing sepuluh kaki darinya berdiri. Ya, lagi-lagi mimpi memuakkan itu muncul kembali. Sama seperti mimpinya terakhir kali, sosok misterius baru kini hadir menggantikan Gadis Bergaun Biru dalam mimpinya, yaitu dirinya sendiri, Diwana yang lebih muda. Diwa menatap dirinya sendiri lekat-lekat dari kejauhan, kemudian melangkah mendekat seperti yang dulu ia lakukan pada Biru. Lima langkah sudah ia berjalan, lalu berhenti dan menatap lelaki berwajah sama dengannya itu dengan buntu. Diwana kecil masih dalam posisi yang sama, duduk di pasir basah dengan memeluk kedua lututny
Semesta hanya bermain-main, ia suka bercanda.Jangat takut pulang.Rindumu seperti lautan lepas yang tak berujung.Indah, tapi juga bisa membunuhmu.Diwana… apa yang kau cari?Diwana… pulanglah.Alunan puisi menggema di mimpi misterius itu, sedang Diwana masih berdiri terpaku di bibir pantai. Ia memindai ke sekeliling, mencari siapapun sosok bernyawa yang bisa ia temukan.Pandangan matanya pun menangkap sosok tak asing dikejauhan, sekitar dua puluh kaki dari tempat ia berdiri, lebih jauh dari biasanya. Lelaki yang duduk memeluk lutut di pasir pantai yang basah.“Itu… aku?” batin Diwana yang masih enggan bersuara karena takut akan terbangun tiba-tiba.Aoakah peraturan mimpinya masih sama? Entahlah. Dan kenapa mimpi itu datang lagi setelah sekian lama? Entahlah.Saat pikirannya berkecamuk, Diwana muda di depan sana tau-tau bangkit
“Kak Diwana curang, hmm… tapi kalau demi Kak Kai nggakpapa deh,” protes Aiden saat Diwana meminjam motornya untuk berjalan-jalan malam itu.Pasalnya, duo Aiden dan Andini juga hendak berkeliling kota usai makan malam.“Pakai mobil nggakpapa kok, Ai,” timpal Andini, meluluhkan hati Aiden seketika.“Tuh dengar Andini, pakai mobil juga nggak kalah romantis kok. Nanti Kakak kasih uang jajan deh, ajak Andini cari dessert di café yang bagus,” tawar Diwana dengan niat menyogok adiknya.Aiden pun tersenyum penuh kemenangan, akhirnya ia bisa memanfaatkan kakaknya lagi.“Terimakasih, Kakak ganteng,” puji Aiden dengan wajah berseri, membuat Diwana heran tak habis piker. Sedangkan Andini, Nilakandi dan Bunda hanya tertawa kecil melihat tingkah lelaki humoris itu.“Tapi maksimal jam sebelas sudah harus sampai rumah, kamu bawa anak orang,” ucap Diwana menekankan kata jam sebelas.
“Diwana? Aku tidak tahu kamu tengah berkunjung,” sapa Dokter Tano begitu Diwana membukakan pintu.“Iya, Dok. Dokter apa kabar? Lama tak bertemu.”“Benar juga, aku baik, bagaimana jantungmu?” tanya dokter itu.“Tak pernah sebaik ini,” jawab Diwana.“Oh iya, ayo masuk, Dok. Bunda sedang ke minimarket dengan Aiden.”Keduanya kemudian masuk dan duduk di ruang tamu, Diwana lantas meracikkan teh hangat untuk keduanya.“Bagaimana hidupmu, Diw? Aku mendengar semua cerita tentang tragedi itu dari bundamu, sepertinya harimu berat,” tanya Dokter Tano memecah sunyi.“Baik, Dok. Semuanya perlahan membaik, syukurlah,” jawabnya.“Oh iya, tumben sekali Dokter ke sini? Ada agenda sama Bunda?” tanya Diwana seraya meletakkan dua gelas teh itu di meja.“Ah itu, aku hanya ingin membahas beberapa kasus pasienku saja dengan bundamu. Mungkin bu
“You did well, kamu sudah bekerja keras hari ini, Sayang. Aku bangga,” puji Diwana usai Nilakandi merebahkan diri di sandaran kursi mobilnya sambil terpejam.Kalimat-kalimat itu terdengar memabukkan di telinga Nilakandi, membuatnya mengulas senyum malu-malu. Perlakuan manis tapi sederhana seperti ini selalu membuat kupu-kupu di perutnya menari-nari.“Mau bertemu Bunda dan Aiden? Mereka khawatir sama kamu, udah telepon terus dari kemarin,” ujar Diwana sambil terus fokus mengemudi.“Aku kangen, tapi… kondisi aku kaya gini,” jawab Nilakandi seraya membuka matanya.“Kaya gini gimana? Pasti lagi insecure lagi, kan?”Nilakandi mengangguk mengiyakan menatap Diwana, membuat lelaki di depannya spontan menatap dalam.“Aku masih selemah ini, Kak. Mau bisa jalan dulu sebelum bertemu Bunda. Memangnya Kak Diwana nggak malu?” protes Nilakandi kemudian.Mendengar hal itu, Diwana diam
Diwana masih setia duduk di samping Nilakandi yang bersandar di bahunya, tangan mereka masih bertaut sejak lebih dari tiga puluh menit yang lalu. Mereka sudah berada di dalam ruang interogasi yang setiap sudut ruangannya memiliki kamera pengintai dan perekam suara.“Ngantuk?” tanya Diwana pada Nilakandi yang sudah membisu beberapa saat.“Nggak kok, pegel ya?” Nilakandi sontak bangun, lalu melirik ke arah bahu Diwana yang langsung menggeleng kencang.“Mau bersandar seratus tahun di bahuku juga nggak akan pernah pegel. Sini.” Lelaki itu membawa kepala Nilakandi kembali bersandar di bahunya, sedang si perempuan hanya tersenyum malu-malu.“Kak, suara kita direkam, tau,” bisik Nilakandi.“Apa aku terlihat peduli? Nggak, sayang,” kelakar Diwana. Lelaki itu berhasil membuat Nilakandi tertawa lagi dengan candaan bucinnya.Tepat saat itu, seorang polisi kemudian masuk ke dalam ruangan,
Diwana mendorong kursi roda Nilakandi dengan telaten. Setelah melalui diskusi panjang dengan para dokter, ia akhirnya bisa mendapatkn ijin untuk membawanya pulang.Sampailah mereka di depan pintu apartemen. Bukan, bukan apartemen Diwana, melainkan apartemen Nilakandi sendiri seperti yang dimintanya.“Udah siap? Kangen rumah, ya?” tanya Diwana, Nilakandi pun mengangguk dengan antusias.Diwana menuntun Nilkandi ke dalam kamarnya, lalu berhenti tepat di samping ranjang. Lelaki itu berlutut di depan kursi roda dan menengadah menatap mata sang kekasih.“I love you, like, so… much,” ucapnya sambil memegang kedua tangan Nilakandi.“Ih, bucin banget,” komentar Nilakandi.Diwana hanya terkekeh melihat reaksi sang kekasih, ia bangkit dan merapikan bantal untuk NIlakandi sebelum akhirnya membaringkannya di sana dengan hati-hati.“Kak,”“Hm? Ada apa?”“Mau dius
Diwana berada di koridor ruang tunggu dengan kaki gemetar, sudah hampir satu jam dokter dan perawat-perawat itu menangani Nilakandi di dalam ruangan sana. Ia bahagia, sekaligus khawatir kalau-kalau ada sesuatu yang terjadi pada kekasihnya.Jovyan sudah menenangkannya berkali-kali, tapi tak juga dihiraukannya.“Udah hubungi Tama?” tanya Diwana gusar.Jovyan mengangguk, “Udah, Nana juga.”Tepat ketika Jovyan menyelesaikan kalimatnya, pintu tangga darurat terbanting kencang, menampakkan sosok Nana yang tergopoh berlari ke arah Diwana. Diwana pun spontan berdiri. Namun tak hanya Nana, di belakangnya ada sosok Tama yang sama-sama keluar dari tangga darurat.“Kenapa lewat tangga darurat? Jangan lari…” sambut Diwana yang entah kenapa merasa khawatir.“Lift penuh, lama,” jawab Nana singkat dengan terengah, “Kai gimana, Kak?” lanjutnya.“Masih ditangani dokter dan perawat
Aku berlari kencang meskipun dengan kaki patah, beruntung bus tak begitu ramai sehingga aku tak perlu mencari alasan jika ada yang bertanya tentang keadaanku yang kacau. Aku tak berhenti menangis hingga bus sampai di halte dekat rumahku.Aku kembali berlari tergesa ke dalam rumah yang pintunya bahkan masih rusak karena ulah Kak Ten. Aku mencari-cari baju pesta yang tempo hari sudah aku cuci di tumpukan pakaian kering, lalu mengenakannya saat itu juga meskipun membuat luka-luka di kaki dan tanganku terekspos jelas.Kado dari ibu terlihat melambai-lambai dari atas nakas, seakan memintaku untuk menghampirinya. Aku pun membukanya, membaca lagi surat terakhir dari ibu yang mungkin bisa menenangkan emosiku. Tapi aku salah, semakin aku baca, semakin kuat tekadku.Aku bahkan memakai parfum berbotol cantik kado terakhir dari ibu, yang langsung membuatku merasa tak sendirian lagi. Seakan ibu sedang berada di sampingku menemani. Aroma woods pomelo itu tak membuat emosiku r
Hari kelima, seharian kemarin aku tidak bisa menemui ayah karena perawat dan dokter sialan itu. Harapanku hari ini hanya satu, menemui ayah dan Nana untuk menanyakan kondisi ayahku yang sebenarnya. Aku berniat untuk berangkat lebih pagi agar memiliki banyak waktu untuk berbincang dengan Nana.Namun baru saja aku bersiap untuk pergi, pintu rumahku terdengar dibuka paksa, lagi. Aku masih ketakutan, tentu saja. Aku pun segera berlari ke arah kamarku, dan bersembunyi di dalam kamar mandi yang aku kunci dari dalam.Aku membungkam mulut dengan kedua tanganku agar tak bersuara sedikitpun, ketakutan setengah mati. Mataku terpejam memohon agar semua cepat berlalu. Namun sedetik kemudian, yang aku dengar justru derap langkah kaki yang mendekat.“Nggak perlu sembunyi, gue cuma mau nagih hutang… kematian lo,” suara Kak Ten menggema.Aku semakin bergetar saat kalimat itu ia lontarkan, bersamaan dengan ketukan pintu kamar mandi yang entah kenapa terd