Share

Chapter 7. Apartemen

"Lantai sembilan apa sepuluh sih, Ta? Lupa gue."

Dengan langkah tergesa, Jovyan dan Tama berjalan menuju lift. Keduanya agak lega tapi sekaligus khawatir disaat yang sama usai melihat mobil Diwana yang nampak masih terparkir di basement apartemen.

Diwana hanya menaiki mobil hyundai putihnya itu saja kemana-mana, ia tidak punya sepeda kayuh ataupun sepeda motor karena ia bahkan tidak bisa mengendarai keduanya. Pun tidak pernah naik kendaraan umum seperti taksi atau bus karena tidak terbiasa. Atas dasar itulah Jovyan dan Tama menyimpulkan, Diwana ada di apartemen meski entah dalam keadaan apa.

Hati keduanya sungguh tengah berdegup kencang. Tama bahkan sudah memiliki skenario di otaknya dimana Diwana mungkin sedang tergeletak kesakitan di kamar mandi, atau terbaring lemas tak sadarkan diri di atas tempat tidur.

"Lantai sembilan, Jo. Kamu udah ratusan kali kesini." Tama berdecak sambil masuk ke dalam lift. Jo hanya menggaruk rambut belakangnya cengengesan, sambil meredakan paniknya.

"Maaf, boleh tolong pencetkan untuk saya?" pinta seseorang yang nampaknya petugas jasa pindah rumah kepada Jo.

"Lantai berapa, Pak?"

"Sembilan, terimakasih."

Kedua tangan kurir itu membawa kardus-kardus besar yang sepertinya terlihat enteng namun menjulang hingga menutupi pandangannya. Di bagian punggung kemeja seragam yang ia kenakan bertuliskan 'Go Deliveree'. Diam-diam Jovyan mengamati kurir pindahan itu dari belakang kemudian berbisik pada Tama disampingnya.

"Calon tetangga baru Diwa nih, Ta" bisiknya, Tama hanya mengangguk menanggapi.

---

"Eh, jangan main masuk aja Lo, ckckck mana sopan santun anda wahai Bapak CEO?" Cegah Jovyan pada Tama yang sudah terlanjur memasukkan dua digit sandi pintu rumah Diwa.

"Hah? Kan ini urgent, Jo. Lagi panik kaya gini loh."

"Ya tapi siapa tau kan dia lagi sama cewek gitu di dalem, atau lagi anu dan ehem, ya pokoknya privasi lah. Etika tuh ketok atau pencet bel dulu." Jovyan sok menggurui sambil menahan tawa karena ucapannya sendiri, lantas memencet bel berkali-kali.

"Diwana? Sama cewek? Hahahaha... ini Diwana Rajinbaikhati Derurindu ya, bukan Jovyan Buayalokal Easton.. Kalo sampe iya nih, Hyundai kantor yang tadi kita pake kesini buat kamu deh. Ngaco banget kamu tuh." Tama merotasikan bola mata, malas menanggapi lebih jauh lagi.

Tapi bahkan setelah pencetan bel Jovyan yang ke dua puluh pun tidak juga ada jawaban dari dalam sana. Petugas jasa pindahan yang ada di depan rumah sebelah juga mulai memandangi keduanya dengan sedikit curiga. Buru-buru Tama menggeser Jovyan sambil memasukkan sandi pintu rumah Diwana, Jovyan hanya melengos kesal. Lebih kesal lagi karena julukan yang diucapkan Tama untuknya adalah fakta.

Begitu mereka masuk, tak ada yang aneh sekecilpun dan tak ada tanda-tanda kehidupan sedikitpun, kecuali...

"SHIT FUCK BANGSAT SETAN.. ADA SETAN..!" Sekonyong-konyong Jovyan mengumpat ngos-ngosan sambil memegangi dadanya, tersungkur di lantai karena lututnya melemas. Disambut heran Tama yang jantungnya juga hampir copot dengan mata melotot.

"KAGET GUE, JOVYAN!" pekiknya kearah Jo.

"Waduh, kalau Tama udah pake lo-gue berarti marah beneran dia," batin Jovyan.

"Ya maaf, itu loh Diwa ngelukis si setan, holy shit. Kemarin-kemarin kayanya nggak ada deh tuh lukisan. Serem beneran ih, Ta." Jovyan menunjuk lukisan perempuan bergaun biru berlatar laut menguning berukuran 90x90 cm yang tergantung di atas nakas.

Lukisan itu benar-benar nampak... hidup? Perempuan di lukisan itu nampak tersenyum anggun, namun seberkas kilas cahaya di pelupuk matanya mengisyaratkan kelabu.

"Hus, Diwana nggak suka kalau kamu manggil wanita itu setan. Aku udah sering lihat sketsa-sketsa yang Diwa buat sih, tapi baru kali ini lihat lukisan Diwa sejelas ini. Cantik juga ya?" Senyum Tama melebar tanpa ia sadari. Dibalik punggungnya, Jo tersenyum ngeri melihat teman yang baru saja menyebut lukisan mengerikan itu dengan sebutan 'cantik'.

"Gila Lo, Diwa juga. Yang waras emang cuma gue."

Mereka pun kembali memanggil-manggil Diwana di rumah yang tidak besar itu sambil berkeliling ke dapur, kamar, balkon, kamar mandi, namun nihil. Semuanya rapi, bersih, lengkap dengan wangi unik perpaduan antara pengharum ruangan lavender bercampur dengan aroma khas toko roti dari scented candle yang rajin Diwa nyalakan tiap pagi, seperti biasa.

Berani taruhan, siapapun yang berkunjung pasti tidak akan menyangka jika penghuni rumah itu adalah seorang laki-laki saking rapi dan wanginya.

"Tuh, ponselnya dia tinggal." Jovyan menuju nakas mengambil ponsel Diwa yang menunjukkan sembilan belas notifikasi panggilan tak terjawab.

"Terus manusia ini kemana, Ta? Yang jelas dia masih hidup kan?" panik Jovyan, terdengar agak bercanda padahal dia sangat serius. Keduanya semakin ditambah bingung dengan situasi di depan mereka, meskipun tak dipungkiri batin Tama agak lebih lega saat skenario di otaknya barusan tak terbukti.

"Heh, jangan bercanda. Ayo kita ke satpam, Diwa sama Pak Satpam kan BFF jadi kali aja mereka tau," sela Tama.

"Hmm, kenapa temen-temen gue aneh banget, Tuhan. Berteman sama satpam? Kurang random apa coba?" kelakar Jovyan geleng-geleng kepala.

Tama meraih ponsel Diwana dari tangan Jovyan, mengambil tas kantor yang nampaknya memang sudah Diwa siapkan di atas nakas. Mereka bergegas menuju pos satpam dengan harapan bisa mencium keberadaan misterius temannya itu.

---

"Permisi, bapak masih ingat kami?" tanya Tama begitu mengetahui bahwa satpam yang bertugas adalah yang pernah ia temui sebelumnya bersama Diwana saat mengurus paket yang hilang di apartemennya beberapa minggu lalu. Dan menurutnya, satpam inilah yang paling dekat dengan Diwana.

"Mmm, teman-temannya Pak Diwa bukan ya? Ada apa, Pak?" jawab satpam yang selanjutnya Tama ketahui bernama Dermawan dilihat dari bedge di seragamnya.

"Betul, Pak. Sejak tadi pagi, Diwana belum bisa kami hubungi, bahkan belum berangkat kerja. Di kamarnya juga tidak ada, ponselnya pun ditinggal di nakas. Apa kebetulan Bapak melihatnya tadi pagi?" cerita Tama runtut.

Namun tanpa diduga, bukannya panik, Pak Dermawan justru tersenyum lebar disambut heran Jovyan dan Tama.

"Tadi pagi sih saya nggak lihat Pak Diwa, Tapi kalo sekarang mah saya lihat." Setengah terkekeh, senyum Pak Dermawan melebar lagi. Ia menunjuk ke arah belakang dua laki-laki yang tengah kebingungan itu.

Matanya mengarah pada sosok yang ada di taman apartemen sekitar seratus meter jauhnya dari tempat mereka berdiri. Jovyan dan Tama spontan berbalik mengikuti arah telunjuk Pak dermawan. Usai memicingkan mata, kerutan di dahi mereka pun perlahan memudar.

"Jo, kamu lihat apa yang aku lihat, kan?" Keduanya belum mengalihkan pandangan. Jo mengangguk meskipun tahu Tama tak melihat ke arahnya.

"Ta, makasih ya."

"Hah? Buat apa?" Ucapan Jo sontak membuat Tama menoleh ke arah Jovyan yang sedetik kemudian berteriak kegirangan.

"ASIK... GUE DAPET MOBIL BARU...!!"

----

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status