Home / Romansa / Nilakandi / Chapter 8. Nilakandi

Share

Chapter 8. Nilakandi

Author: Kalasenja
last update Last Updated: 2021-07-17 22:05:27

Selesai mandi, badan diwa justru semakin panas, nafasnya bahkan sedikit tak beraturan. Pusing itu menyerang lagi padahal ia harus segera berangkat kerja. Tepat ketika ia hendak mengambil obat darurat di nakas, bel pintu berbunyi.

Siapa? Pikirnya. Karena memang tak banyak yang tahu apartemen Diwana, atau lebih tepatnya karena temannya pun tak banyak juga. Hanya Aiden, bunda, dan duo Jovyan Tama saja yang pernah mampir.

“Maaf, siapa?” tanya Diwa dari interkom pintu rumahnya.

“Mmm.. maaf mengganggu, saya penghuni baru yang pindah hari ini ke rumah 092. Apakah kakak punya nomor telepon SE yang bisa dihubungi? Interkom pintu rumah saya sepertinya bermasalah, jadi saya belum bisa masuk,” ucap suara dari seberang pintu yang ternyata adalah seorang perempuan.

Dengan masih menahan sisa pening di kepalanya, Diwana mengambil kartu nama sales executive gedung yang ia simpan di dompet.

Begitu ia membuka pintu, pandangannya langsung terkunci pada kedua netra perempuan yang juga tengah menatapnya itu. Dunia Diwana berhenti. Waktu yang berjalan seakan seketika berhenti berotasi, detak jam dipergelangan tangannya yang beradu seakan enggan memutar.

Sedetik kemudian, samar-samar mulai terdengar bunyi gemericik lonceng-lonceng kecil dan deburan ombak di kedua telinganya. Jantungnya berdegup dengan sangat cepat. Agak sesak ia dibuatnya, mirip seperti saat ia masih sakit dahulu.

Itu dia. Benar, perempuan itu. Biru, gadisnya.

Bagaimana ia tidak terkejut? Perempuan yang selama enam tahun belakangan ini menghantuinya lewat mimpi-mimpi, kini berdiri didepannya secara nyata, hidup, bernafas, bahkan sempat tersenyum kecil padanya.

Bukan gaun biru, perempuan itu mengenakan gaun lengan panjang berwarna putih selutut dengan rambut terurai persis seperti di mimpi Diwa.

Diwana terpaku selama beberapa saat, seakan mau meledak jantungnya. Otaknya tidak bisa diajak berfikir sama sekali, tidak ada satupun skenario yang bisa ia ciptakan untuk menjelaskan situasi didepannya.

“B-biru...” ucap Diwa lirih seraya menghambur memeluk perempuan yang ia beri nama Biru itu. Ia kira itu halusinasi, tapi bahkan peluknya terasa nyata. Semuanya nyata.

“Biru...” lirihnya lagi dibalik punggung sang gadis.

Badan Diwana yang panas karena tengah demam bisa merasakan dinginnya kulit wanita itu, semakin meyakinkannya bahwa semua itu bukan delusi semata.

Gadis itu tidak pergi, tidak juga berubah menjadi kepulan asap yang melenyapkan. Meskipun Diwana memeluknya erat, menyentuhnya, membelai surainya, gadis itu tetap tidak pergi, tak seperti peraturan di mimpinya. Bahkan perempuan itu barusan berbicara, padanya, pada Diwana. Begitu kira-kira isi pikiran kacau Diwana, yang kemudian dihentikan oleh rintihan seseorang yang masih erat direngkuhannya.

“K-kak, ma-af kakak s-siapa?” Perempuan itu berusaha menjauhkan si laki-laki yang dimatanya terlihat sangat asing. Tangan mungilnya bermaksud melepaskan peluk yang semakin dirasa semakin mengerat, namun ia tak berdaya, hingga akhirnya berucap lagi.

“S-saya nggak b-bisa n-nafas k-kak...” ucapnya terbata-bata. Sontak Diwa tersadar dari pikiran yang beberapa saat lalu seakan telah menyihirnya. Spontan Diwa melepaskan pelukan itu, disambut pandangan ‘meminta penjelasan’ si perempuan.

Tapi tanpa sadar, air mata justru menggenang di pelupuk matanya, membuat perempuan itu membulatkan mata. Seorang petugas jasa pindahan yang baru saja datang membawa barang pun dibuat keheranan dengan adegan tak biasa barusan. Perempuan itu sepertinya sudah merasa canggung dan ingin sekali pergi dari sana, tak suka menjadi pusat perhatian.

“K-kak?” panggilnya.

“Kakak menangis? Maaf, tapi kakak kenal saya? Sepertinya kakak salah orang” Kali ini tatapan mereka beradu lagi. Air mata Diwana akhirnya jatuh juga, berkali-kali. Merekapun menjadi pusat atensi petugas kurir yang masih menatap curiga.

“K-kak?”

“KAK?? DARAH...” teriak si gadis panik saat melihat darah mengucur dari hidung Diwa, mimisan. Ia kemudian menyodorkan sapu tangan putih bersih dari tas kecilnya, yang langsung disambar Diwa tanpa pikir panjang. Si kurir yang sedari tadi mengamati pun ikut menguping ria sambil pura-pura menyibukkan diri.

“K-kamu.. siapa?” suara Diwa akhirnya. Ia masih tidak percaya si Biru benar-benar hidup didepannya. Otaknya dibuat lebih pusing dari sebelumnya, seakan melihat sketsa gambarnya hidup dan berbicara.

“Saya? Penghuni baru kamar 092, Kak. Baru pindahan hari ini. Nggak papa kak, saya anggap tadi nggak terjadi apa-apa. Lupakan saja.” Si gadis asing iba melihat lawan bicaranya sepucat itu.

“Nama kamu, nama kamu siapa?” Diwana sedikit terbata, pening dikepalanya menyeruak lagi. Tangannya menggenggam erat sapu tangan yang penuh darah. Matanya tak lepas dari si gadis.

“Ka-kandi, Nilakandi” jawabnya ragu-ragu.

Mata Diwana hanya bolak balik melihat kedua netra gadis bernama nilakandi itu bergantian. Sesekali perempuan itu melirik risih kearah si petugas yang masih setia menguping didekat mereka.

Kemudian, dengan tanpa permisi Diwana meraih pergelangan tangan perempuan didepannya, menjauh dari sana. Tanpa menunggu persetujuan, ia membawa perempuan itu masuk kedalam lift, menekan tombol lantai satu. Diam-diam perempuan bernama Nilakandi itu bergumam dalam hati.

“Kenapa aku diam saja? Laki-laki ini siapa?”

“Nilakandi bodoh, dia itu orang asing”

Hati Diwana masih tak tenang, meskipun anehnya pening di kepalanya justru mendadak hilang. Diwana mematung menghadap kearah pintu, tak berniat melepaskan genggamnya. Ini adalah pertama kali Diwana memegang tangan seorang perempuan-kecuali bunda-di usia yang sudah berkepala dua.

Sedangkan perempuan bernama Nilakandi itu diam-diam mengamati sosok lelaki asing yang sudah memeluknya tanpa aba-aba, kemudian menangis didepannya, lantas menggenggam pergelangan tangannya tanpa permisi, dan kini diam membisu mendiamkannya.

“Kamu siapa?” Lagi-lagi Nilakandi hanya bisa bersuara dalam hati. Entah bodoh atau memang hanya polos saja, tapi Kandi justru entah kenapa merasa ‘suka’ dengan genggaman tangan lelaki itu di pergelangannya yang sejujurnya terasa agak nyeri. Tapi ia bahkan sempat tersenyum untuk sepersekian detik sebelum akhirnya kembali tersadar dari lamunan.

“Bodoh, dasar bodoh” gumamnya lirih sambil masih menatap tangannya yang digenggam. Diwana yang mendengar pun langsung menoleh. Melihat Nilakandi menatap lekat kearah tangan mereka yang berpaut, ia segera melepas genggaman tangan itu yang sebetulnya tidak ia sadari sejak tadi.

“Maaf, bukan maksud saya” Nilakandi diam saja memandang gelagat lucu Diwana, ia menanggapi dengan senyuman kikuk.

Begitu pintu lift terbuka, Diwana melangkah keluar. Namun sadar perempuan dibelakangnya tak mengikuti, ia pun berbalik.

Tepat saat pintu lift hampir tertutup kembali, Diwana segera menyodorkan tangan kanannya.

“Saya, Diwana,” ucapnya agak tertahan.

“Saya boleh minta waktu kamu sebentar? Mungkin tiga puluh menit?” imbuh Diwana, menatap lekat netra Nilakandi.

Mata itu, entah kenapa terasa begitu menenangkan. Suara itu juga, entah kenapa terdengar nyaman di telinga. Seperti tersihir, tanpa disadari tangan kanan Nilakandi sudah berjabat dengan tangan Diwana. Perempuan itu lantas mengangguk tanda persetujuannya.

“Iya, Kak Diwana.”

----

Related chapters

  • Nilakandi   Chapter 9. Cinta Pertama?

    Kicau burung kolibri yang tadi pagi membangunkan Diwana kembali terdengar, tapi kali ini bukan dari balik jendela kamar Diwa. Diwana dan Nilakandi kini duduk di bangku taman apartemen. Perempuan itu duduk di ujung bangku, memberi jarak sejauh yang ia bisa dari lelaki asing disampingnya. Matanya berkeliling sebentar, lega dirasa saat matanya menangkap pos satpam disamping gerbang utama, lengkap dengan seorang satpam yang tengah bertugas. Bagaimanapun juga, ia sedang bersama orang asing saat ini. Awalnya hening, tak ada yang memulai. "Saya.. Diwana" ucap Diwa tanpa melirik kearah gadis disampingnya, mengulangi kalimatnya di lift tadi. Jika boleh jujur, hatinya masih berdegup kencang memandang Biru, maksudnya Nilakandi. "Saya penghuni rumah 903, calon tetangga kamu. Maaf atas apa yang saya lakukan tadi. Saya hanya salah orang." Ia masih terus memandang tanah berselimut rumput dikakinya, sambil memainkan sapu tangan penuh bercak darah ditangan. Mi

    Last Updated : 2021-07-23
  • Nilakandi   Chapter 10. Kandi, kenapa?

    Diwana berdiam diri di balik pintu rumahnya, menimbang-nimbang jam berapakah ia akan keluar dan berangkat kerja. Berangkat ke kantor tidak pernah serumit itu sebelumnya, sebelum Nilakandi hadir mengusiknya. “Kalau berangkat sekarang bisa ketemu nggak ya?” “Atau agak siangan?” “Sebentar, kalau dia dirumah seharian dan nggak keluar-keluar gimana dong?” Hati Diwana benar-benar sedang berdebat dengan otaknya sendiri. Dua hari sudah sejak insiden hilangnya Diwana. Jovyan sudah ratusan kali mengejeknya bucin, Tama juga. Bahkan mereka bersikeras ingin bertemu Nilakandi lagi. Karena dilihat dari sisi manapun, perempuan itu sangat mirip dengan Biru. Ah tidak, mereka bahkan sama, benar-benar sama. Hanya saja wajah Nilakandi yang sekarang terasa lebih... dewasa. Sudah sejak saat itu pula Diwana belum bertemu lagi dengan Nilakandi. Entah kenapa, dia rindu. Aneh memang, rindunya terasa sama seperti saat ia merindukan soso

    Last Updated : 2021-07-23
  • Nilakandi   Chapter 11. Masa Lalu Nilakandi

    "Udah sampai, sini Kak," ujar Kandi mengulurkan tangannya, bermaksud meraih kantong belanjaan yang dipegang Diwana. Lelaki itu membisu sejak dari minimarket tadi. Nilakandi juga tak tahu harus memulai pembicaraan seperti apa, sedangkan Diwana hanya sibuk dengan pikiran-pikirannya sendiri. "Eh, iya ini. Sampai ketemu lagi," ucap Diwana saat perempuan itu sudah hampir menghilang dibalik pintu. Nilakandi tersenyum mendengar ucapan Diwana yang entah kenapa terdengar sangat polos ditelinganya. Hati Diwana berkecamuk, apa gerangan yang sudah terjadi pada perempuan itu? Luka-luka itu jelas bukan luka terjatuh atau sejenisnya. Luka-luka itu seperti hasil pukulan benda tumpul yang sepertinya disengaja. Apa gerangan latar belakang wanita misterius ini? Ada kisah apa dibaliknya? Diwana pusing dibuatnya. --- "Aw, kenapa kamu nggak kering-kering sih," gumam Kandi sambil mengoleskan obat merah ke luka terbuka di lengan kanannya. Usai memakaikan ples

    Last Updated : 2021-07-29
  • Nilakandi   Chapter 12. Weekend

    Seperti debur ombak yang terus menghantam pesisir, Deru rindumu pun tak akan pernah berhenti mengulir, Meskipun mungkin ia telah sedikit mencair. Jangan mencari, jangan menunggu, biar semesta yang menguaknya satu-satu. Menangislah, kalau itu membuatmu lega. Sebentar atau lama, ada hati yang harus kau jaga. Puisi menggema kembali terdengar. Ya, laut menguning. Matahari masih berada di tengah-tengah ufuk, tak peduli berapa lama lelaki itu berdiri disana. "Kenapa matahari itu tak pernah meninggi?" batin Diwana yang kembali terseret ke bunga tidurnya. Mata Diwana kini mengabsen satu-satu objek di mimpi yang sudah beberapa hari tak mengusiknya itu. Matahari, ada. Laut menguning, ada. Deburan kecil ombak yang menyapu pantai pun ada. Hanya satu yang hilang dari pandangannya, Biru. Gadis bergaun biru itu tak lagi berdiri di tepi pantai menatap laut lepas. Kini tanah

    Last Updated : 2021-07-29
  • Nilakandi   Chapter 13. Aku Bukan Hantu

    "Argh... masih pagi," erang Aiden yang terbangun usai mendengar bunyi alarm yang sudah berdering puluhan kali. Korden kamar apartemen Diwana sudah terbuka, menampakkan matahari yang sorotnya menerobos masuk lewat jendela kaca. Jam memang sudah menunjukkan pukul sepuluh siang, hanya Aiden yang menganggapnya masih pagi. Diwana pun sudah melejit ke kantor sejak pukul tujuh tepat. Aiden bangun dengan wajah kesal, menyumpahi kakaknya yang sengaja membuka tirai lebar-lebar sebelum berangkat ke kantor. Namun cemberut di wajahnya perlahan memudar, digantikan oleh senyum lebar hingga deretan gigi-giginya nampak. Matanya mengarah ke atas nakas, menatap satu gelas susu putih hangat dan dua potong besar sandwich lengkap dengan scrambled egg kesukaannya. Tapi yang membuatnya tersenyum bak orang gila bukanlah sarapan paginya, melainkan sebuah benda tipis warna biru tua berlogo bank bertuliskan “Kartu Kredit” yang sudah Diwana tinggalkan untuknya. Terselip d

    Last Updated : 2021-08-22
  • Nilakandi   Chapter 14. Jeanne

    Diwana dan Tama tengah bercengkrama di cafe depan kantor. Sekadar duduk-duduk santai sambil menyesap kopi dan jeruk panas. Jovyan ada juga disana, tapi ia duduk berdua bersama Maheswari, si pacar baru. "Sayang banget nggak, sih, Si Maheswari dapat cowok modelan Jovyan?" kelakar Tama pada Diwana. "Cinta kan buta, Ta," komentar Diwa,a "Bir-maksudnya Nilakandi apa kabar?" tanya Tama mengalihkan pembicaraan. Tak dipungkiri, lelaki itu masih dibuat penasaran dengan sosok Nilakandi. Ingin sekali ia melihatnya lagi satu kali saja. "Sebenarnya, ada yang buat aku kebingungan, Ta. Akhir-akhir ini aku bahkan nggak bisa fokus kerja karena itu. Dia aneh, Ta, ada yang nggak beres sama Nilakandi," jawab Diwana. "Hah? Konteksnya apa? Aneh gimana?" "Tubuhnya penuh luka. Lututnya lebam, kakinya merah-merah, ada luka sayatan di tangannya, bahkan wajahnya biru semua, Ta." "Hah? Bercanda ya kamu? Kok bisa?" tanya Tama tak percaya. Bahkan hanya deng

    Last Updated : 2021-08-22
  • Nilakandi   Chapter 15. Semesta

    Siapa yang kamu cari? Renjana rindumu nampaknya sudah mencair. Oh, pecandu, pencinta. Alang berjawab, tepuk berbatas. Ada yang harus kau tunggu. Dari semesta, khusus untukmu. Sebuah siulan panjang mengakhiri bait puisi singkat itu. Diwana bergidik ngeri saat matanya menangkap bayangan tak asing sepuluh kaki darinya berdiri. Ya, lagi-lagi mimpi memuakkan itu muncul kembali. Sama seperti mimpinya terakhir kali, sosok misterius baru kini hadir menggantikan Gadis Bergaun Biru dalam mimpinya, yaitu dirinya sendiri, Diwana yang lebih muda. Diwa menatap dirinya sendiri lekat-lekat dari kejauhan, kemudian melangkah mendekat seperti yang dulu ia lakukan pada Biru. Lima langkah sudah ia berjalan, lalu berhenti dan menatap lelaki berwajah sama dengannya itu dengan buntu. Diwana kecil masih dalam posisi yang sama, duduk di pasir basah dengan memeluk kedua lututny

    Last Updated : 2021-08-22
  • Nilakandi   Chapter 16. Nana

    "Lo kenapa sih, Diw?" tanya Jovyan yang keheranan melihat gelagat tak wajar Diwana. Lelaki itu mondar mandir kesana kemari persis seperti setrika, sambil melipat kedua tangannya di dada. "Jo, aku mau tanya," ucap Diwana, yang kemudian ikut duduk di sebelah Jovyan. Mereka sedang berada di kantor Tama untuk membahas salah satu agenda kantor, namun ternyata Tama ada kepentingan mendesak yang mengharuskannya absen. "Go ahead, ngapain pakai permisi?" Jovyan mempersilakan. "Kalau misalnya nih, Adindaku Mahes-" "WOY..! Maheswari aja, Diw. Jangan ikut-ikutan pakai Adindaku, dong!" protes Jovyan memotong ucapan Diwana. "Hmm, oke semisal nih, MAHESWARI itu punya teman laki-laki, kamu gimana?" tanya Diwana lagi dengan menekankan kata Maheswari, meskipun ia agak ragu-ragu untuk bertanya. "Manusia bukan? Kalau manusia sih ya udah. Kalau setan tuh baru gue panik." "JOVYAN..!" bentak Diwana yang kesal dengan candaan temannya itu. Tapi sebenar

    Last Updated : 2021-08-31

Latest chapter

  • Nilakandi   Chapter 63. Diwana Dalam Mimpi

    Semesta hanya bermain-main, ia suka bercanda.Jangat takut pulang.Rindumu seperti lautan lepas yang tak berujung.Indah, tapi juga bisa membunuhmu.Diwana… apa yang kau cari?Diwana… pulanglah.Alunan puisi menggema di mimpi misterius itu, sedang Diwana masih berdiri terpaku di bibir pantai. Ia memindai ke sekeliling, mencari siapapun sosok bernyawa yang bisa ia temukan.Pandangan matanya pun menangkap sosok tak asing dikejauhan, sekitar dua puluh kaki dari tempat ia berdiri, lebih jauh dari biasanya. Lelaki yang duduk memeluk lutut di pasir pantai yang basah.“Itu… aku?” batin Diwana yang masih enggan bersuara karena takut akan terbangun tiba-tiba.Aoakah peraturan mimpinya masih sama? Entahlah. Dan kenapa mimpi itu datang lagi setelah sekian lama? Entahlah.Saat pikirannya berkecamuk, Diwana muda di depan sana tau-tau bangkit

  • Nilakandi   Chapter 62. Night Drive

    “Kak Diwana curang, hmm… tapi kalau demi Kak Kai nggakpapa deh,” protes Aiden saat Diwana meminjam motornya untuk berjalan-jalan malam itu.Pasalnya, duo Aiden dan Andini juga hendak berkeliling kota usai makan malam.“Pakai mobil nggakpapa kok, Ai,” timpal Andini, meluluhkan hati Aiden seketika.“Tuh dengar Andini, pakai mobil juga nggak kalah romantis kok. Nanti Kakak kasih uang jajan deh, ajak Andini cari dessert di café yang bagus,” tawar Diwana dengan niat menyogok adiknya.Aiden pun tersenyum penuh kemenangan, akhirnya ia bisa memanfaatkan kakaknya lagi.“Terimakasih, Kakak ganteng,” puji Aiden dengan wajah berseri, membuat Diwana heran tak habis piker. Sedangkan Andini, Nilakandi dan Bunda hanya tertawa kecil melihat tingkah lelaki humoris itu.“Tapi maksimal jam sebelas sudah harus sampai rumah, kamu bawa anak orang,” ucap Diwana menekankan kata jam sebelas.

  • Nilakandi   Chapter 61. Rumah

    “Diwana? Aku tidak tahu kamu tengah berkunjung,” sapa Dokter Tano begitu Diwana membukakan pintu.“Iya, Dok. Dokter apa kabar? Lama tak bertemu.”“Benar juga, aku baik, bagaimana jantungmu?” tanya dokter itu.“Tak pernah sebaik ini,” jawab Diwana.“Oh iya, ayo masuk, Dok. Bunda sedang ke minimarket dengan Aiden.”Keduanya kemudian masuk dan duduk di ruang tamu, Diwana lantas meracikkan teh hangat untuk keduanya.“Bagaimana hidupmu, Diw? Aku mendengar semua cerita tentang tragedi itu dari bundamu, sepertinya harimu berat,” tanya Dokter Tano memecah sunyi.“Baik, Dok. Semuanya perlahan membaik, syukurlah,” jawabnya.“Oh iya, tumben sekali Dokter ke sini? Ada agenda sama Bunda?” tanya Diwana seraya meletakkan dua gelas teh itu di meja.“Ah itu, aku hanya ingin membahas beberapa kasus pasienku saja dengan bundamu. Mungkin bu

  • Nilakandi   Chapter 60. Melepas Rindu

    “You did well, kamu sudah bekerja keras hari ini, Sayang. Aku bangga,” puji Diwana usai Nilakandi merebahkan diri di sandaran kursi mobilnya sambil terpejam.Kalimat-kalimat itu terdengar memabukkan di telinga Nilakandi, membuatnya mengulas senyum malu-malu. Perlakuan manis tapi sederhana seperti ini selalu membuat kupu-kupu di perutnya menari-nari.“Mau bertemu Bunda dan Aiden? Mereka khawatir sama kamu, udah telepon terus dari kemarin,” ujar Diwana sambil terus fokus mengemudi.“Aku kangen, tapi… kondisi aku kaya gini,” jawab Nilakandi seraya membuka matanya.“Kaya gini gimana? Pasti lagi insecure lagi, kan?”Nilakandi mengangguk mengiyakan menatap Diwana, membuat lelaki di depannya spontan menatap dalam.“Aku masih selemah ini, Kak. Mau bisa jalan dulu sebelum bertemu Bunda. Memangnya Kak Diwana nggak malu?” protes Nilakandi kemudian.Mendengar hal itu, Diwana diam

  • Nilakandi   Chapter 59. Kesaksian Berat

    Diwana masih setia duduk di samping Nilakandi yang bersandar di bahunya, tangan mereka masih bertaut sejak lebih dari tiga puluh menit yang lalu. Mereka sudah berada di dalam ruang interogasi yang setiap sudut ruangannya memiliki kamera pengintai dan perekam suara.“Ngantuk?” tanya Diwana pada Nilakandi yang sudah membisu beberapa saat.“Nggak kok, pegel ya?” Nilakandi sontak bangun, lalu melirik ke arah bahu Diwana yang langsung menggeleng kencang.“Mau bersandar seratus tahun di bahuku juga nggak akan pernah pegel. Sini.” Lelaki itu membawa kepala Nilakandi kembali bersandar di bahunya, sedang si perempuan hanya tersenyum malu-malu.“Kak, suara kita direkam, tau,” bisik Nilakandi.“Apa aku terlihat peduli? Nggak, sayang,” kelakar Diwana. Lelaki itu berhasil membuat Nilakandi tertawa lagi dengan candaan bucinnya.Tepat saat itu, seorang polisi kemudian masuk ke dalam ruangan,

  • Nilakandi   Chapter 58. Saksi

    Diwana mendorong kursi roda Nilakandi dengan telaten. Setelah melalui diskusi panjang dengan para dokter, ia akhirnya bisa mendapatkn ijin untuk membawanya pulang.Sampailah mereka di depan pintu apartemen. Bukan, bukan apartemen Diwana, melainkan apartemen Nilakandi sendiri seperti yang dimintanya.“Udah siap? Kangen rumah, ya?” tanya Diwana, Nilakandi pun mengangguk dengan antusias.Diwana menuntun Nilkandi ke dalam kamarnya, lalu berhenti tepat di samping ranjang. Lelaki itu berlutut di depan kursi roda dan menengadah menatap mata sang kekasih.“I love you, like, so… much,” ucapnya sambil memegang kedua tangan Nilakandi.“Ih, bucin banget,” komentar Nilakandi.Diwana hanya terkekeh melihat reaksi sang kekasih, ia bangkit dan merapikan bantal untuk NIlakandi sebelum akhirnya membaringkannya di sana dengan hati-hati.“Kak,”“Hm? Ada apa?”“Mau dius

  • Nilakandi   Chapter 57. Mimpi Buruk

    Diwana berada di koridor ruang tunggu dengan kaki gemetar, sudah hampir satu jam dokter dan perawat-perawat itu menangani Nilakandi di dalam ruangan sana. Ia bahagia, sekaligus khawatir kalau-kalau ada sesuatu yang terjadi pada kekasihnya.Jovyan sudah menenangkannya berkali-kali, tapi tak juga dihiraukannya.“Udah hubungi Tama?” tanya Diwana gusar.Jovyan mengangguk, “Udah, Nana juga.”Tepat ketika Jovyan menyelesaikan kalimatnya, pintu tangga darurat terbanting kencang, menampakkan sosok Nana yang tergopoh berlari ke arah Diwana. Diwana pun spontan berdiri. Namun tak hanya Nana, di belakangnya ada sosok Tama yang sama-sama keluar dari tangga darurat.“Kenapa lewat tangga darurat? Jangan lari…” sambut Diwana yang entah kenapa merasa khawatir.“Lift penuh, lama,” jawab Nana singkat dengan terengah, “Kai gimana, Kak?” lanjutnya.“Masih ditangani dokter dan perawat

  • Nilakandi   Chapter 56. Nilakandi's POV (September 2015)

    Aku berlari kencang meskipun dengan kaki patah, beruntung bus tak begitu ramai sehingga aku tak perlu mencari alasan jika ada yang bertanya tentang keadaanku yang kacau. Aku tak berhenti menangis hingga bus sampai di halte dekat rumahku.Aku kembali berlari tergesa ke dalam rumah yang pintunya bahkan masih rusak karena ulah Kak Ten. Aku mencari-cari baju pesta yang tempo hari sudah aku cuci di tumpukan pakaian kering, lalu mengenakannya saat itu juga meskipun membuat luka-luka di kaki dan tanganku terekspos jelas.Kado dari ibu terlihat melambai-lambai dari atas nakas, seakan memintaku untuk menghampirinya. Aku pun membukanya, membaca lagi surat terakhir dari ibu yang mungkin bisa menenangkan emosiku. Tapi aku salah, semakin aku baca, semakin kuat tekadku.Aku bahkan memakai parfum berbotol cantik kado terakhir dari ibu, yang langsung membuatku merasa tak sendirian lagi. Seakan ibu sedang berada di sampingku menemani. Aroma woods pomelo itu tak membuat emosiku r

  • Nilakandi   Chapter 55. Nilakandi's POV (September 2015)

    Hari kelima, seharian kemarin aku tidak bisa menemui ayah karena perawat dan dokter sialan itu. Harapanku hari ini hanya satu, menemui ayah dan Nana untuk menanyakan kondisi ayahku yang sebenarnya. Aku berniat untuk berangkat lebih pagi agar memiliki banyak waktu untuk berbincang dengan Nana.Namun baru saja aku bersiap untuk pergi, pintu rumahku terdengar dibuka paksa, lagi. Aku masih ketakutan, tentu saja. Aku pun segera berlari ke arah kamarku, dan bersembunyi di dalam kamar mandi yang aku kunci dari dalam.Aku membungkam mulut dengan kedua tanganku agar tak bersuara sedikitpun, ketakutan setengah mati. Mataku terpejam memohon agar semua cepat berlalu. Namun sedetik kemudian, yang aku dengar justru derap langkah kaki yang mendekat.“Nggak perlu sembunyi, gue cuma mau nagih hutang… kematian lo,” suara Kak Ten menggema.Aku semakin bergetar saat kalimat itu ia lontarkan, bersamaan dengan ketukan pintu kamar mandi yang entah kenapa terd

DMCA.com Protection Status