Selesai mandi, badan diwa justru semakin panas, nafasnya bahkan sedikit tak beraturan. Pusing itu menyerang lagi padahal ia harus segera berangkat kerja. Tepat ketika ia hendak mengambil obat darurat di nakas, bel pintu berbunyi.
Siapa? Pikirnya. Karena memang tak banyak yang tahu apartemen Diwana, atau lebih tepatnya karena temannya pun tak banyak juga. Hanya Aiden, bunda, dan duo Jovyan Tama saja yang pernah mampir.
“Maaf, siapa?” tanya Diwa dari interkom pintu rumahnya.
“Mmm.. maaf mengganggu, saya penghuni baru yang pindah hari ini ke rumah 092. Apakah kakak punya nomor telepon SE yang bisa dihubungi? Interkom pintu rumah saya sepertinya bermasalah, jadi saya belum bisa masuk,” ucap suara dari seberang pintu yang ternyata adalah seorang perempuan.
Dengan masih menahan sisa pening di kepalanya, Diwana mengambil kartu nama sales executive gedung yang ia simpan di dompet.
Begitu ia membuka pintu, pandangannya langsung terkunci pada kedua netra perempuan yang juga tengah menatapnya itu. Dunia Diwana berhenti. Waktu yang berjalan seakan seketika berhenti berotasi, detak jam dipergelangan tangannya yang beradu seakan enggan memutar.
Sedetik kemudian, samar-samar mulai terdengar bunyi gemericik lonceng-lonceng kecil dan deburan ombak di kedua telinganya. Jantungnya berdegup dengan sangat cepat. Agak sesak ia dibuatnya, mirip seperti saat ia masih sakit dahulu.
Itu dia. Benar, perempuan itu. Biru, gadisnya.
Bagaimana ia tidak terkejut? Perempuan yang selama enam tahun belakangan ini menghantuinya lewat mimpi-mimpi, kini berdiri didepannya secara nyata, hidup, bernafas, bahkan sempat tersenyum kecil padanya.
Bukan gaun biru, perempuan itu mengenakan gaun lengan panjang berwarna putih selutut dengan rambut terurai persis seperti di mimpi Diwa.
Diwana terpaku selama beberapa saat, seakan mau meledak jantungnya. Otaknya tidak bisa diajak berfikir sama sekali, tidak ada satupun skenario yang bisa ia ciptakan untuk menjelaskan situasi didepannya.
“B-biru...” ucap Diwa lirih seraya menghambur memeluk perempuan yang ia beri nama Biru itu. Ia kira itu halusinasi, tapi bahkan peluknya terasa nyata. Semuanya nyata.
“Biru...” lirihnya lagi dibalik punggung sang gadis.
Badan Diwana yang panas karena tengah demam bisa merasakan dinginnya kulit wanita itu, semakin meyakinkannya bahwa semua itu bukan delusi semata.
Gadis itu tidak pergi, tidak juga berubah menjadi kepulan asap yang melenyapkan. Meskipun Diwana memeluknya erat, menyentuhnya, membelai surainya, gadis itu tetap tidak pergi, tak seperti peraturan di mimpinya. Bahkan perempuan itu barusan berbicara, padanya, pada Diwana. Begitu kira-kira isi pikiran kacau Diwana, yang kemudian dihentikan oleh rintihan seseorang yang masih erat direngkuhannya.
“K-kak, ma-af kakak s-siapa?” Perempuan itu berusaha menjauhkan si laki-laki yang dimatanya terlihat sangat asing. Tangan mungilnya bermaksud melepaskan peluk yang semakin dirasa semakin mengerat, namun ia tak berdaya, hingga akhirnya berucap lagi.
“S-saya nggak b-bisa n-nafas k-kak...” ucapnya terbata-bata. Sontak Diwa tersadar dari pikiran yang beberapa saat lalu seakan telah menyihirnya. Spontan Diwa melepaskan pelukan itu, disambut pandangan ‘meminta penjelasan’ si perempuan.
Tapi tanpa sadar, air mata justru menggenang di pelupuk matanya, membuat perempuan itu membulatkan mata. Seorang petugas jasa pindahan yang baru saja datang membawa barang pun dibuat keheranan dengan adegan tak biasa barusan. Perempuan itu sepertinya sudah merasa canggung dan ingin sekali pergi dari sana, tak suka menjadi pusat perhatian.
“K-kak?” panggilnya.
“Kakak menangis? Maaf, tapi kakak kenal saya? Sepertinya kakak salah orang” Kali ini tatapan mereka beradu lagi. Air mata Diwana akhirnya jatuh juga, berkali-kali. Merekapun menjadi pusat atensi petugas kurir yang masih menatap curiga.
“K-kak?”
“KAK?? DARAH...” teriak si gadis panik saat melihat darah mengucur dari hidung Diwa, mimisan. Ia kemudian menyodorkan sapu tangan putih bersih dari tas kecilnya, yang langsung disambar Diwa tanpa pikir panjang. Si kurir yang sedari tadi mengamati pun ikut menguping ria sambil pura-pura menyibukkan diri.
“K-kamu.. siapa?” suara Diwa akhirnya. Ia masih tidak percaya si Biru benar-benar hidup didepannya. Otaknya dibuat lebih pusing dari sebelumnya, seakan melihat sketsa gambarnya hidup dan berbicara.
“Saya? Penghuni baru kamar 092, Kak. Baru pindahan hari ini. Nggak papa kak, saya anggap tadi nggak terjadi apa-apa. Lupakan saja.” Si gadis asing iba melihat lawan bicaranya sepucat itu.
“Nama kamu, nama kamu siapa?” Diwana sedikit terbata, pening dikepalanya menyeruak lagi. Tangannya menggenggam erat sapu tangan yang penuh darah. Matanya tak lepas dari si gadis.
“Ka-kandi, Nilakandi” jawabnya ragu-ragu.
Mata Diwana hanya bolak balik melihat kedua netra gadis bernama nilakandi itu bergantian. Sesekali perempuan itu melirik risih kearah si petugas yang masih setia menguping didekat mereka.
Kemudian, dengan tanpa permisi Diwana meraih pergelangan tangan perempuan didepannya, menjauh dari sana. Tanpa menunggu persetujuan, ia membawa perempuan itu masuk kedalam lift, menekan tombol lantai satu. Diam-diam perempuan bernama Nilakandi itu bergumam dalam hati.
“Kenapa aku diam saja? Laki-laki ini siapa?”
“Nilakandi bodoh, dia itu orang asing”
Hati Diwana masih tak tenang, meskipun anehnya pening di kepalanya justru mendadak hilang. Diwana mematung menghadap kearah pintu, tak berniat melepaskan genggamnya. Ini adalah pertama kali Diwana memegang tangan seorang perempuan-kecuali bunda-di usia yang sudah berkepala dua.
Sedangkan perempuan bernama Nilakandi itu diam-diam mengamati sosok lelaki asing yang sudah memeluknya tanpa aba-aba, kemudian menangis didepannya, lantas menggenggam pergelangan tangannya tanpa permisi, dan kini diam membisu mendiamkannya.
“Kamu siapa?” Lagi-lagi Nilakandi hanya bisa bersuara dalam hati. Entah bodoh atau memang hanya polos saja, tapi Kandi justru entah kenapa merasa ‘suka’ dengan genggaman tangan lelaki itu di pergelangannya yang sejujurnya terasa agak nyeri. Tapi ia bahkan sempat tersenyum untuk sepersekian detik sebelum akhirnya kembali tersadar dari lamunan.
“Bodoh, dasar bodoh” gumamnya lirih sambil masih menatap tangannya yang digenggam. Diwana yang mendengar pun langsung menoleh. Melihat Nilakandi menatap lekat kearah tangan mereka yang berpaut, ia segera melepas genggaman tangan itu yang sebetulnya tidak ia sadari sejak tadi.
“Maaf, bukan maksud saya” Nilakandi diam saja memandang gelagat lucu Diwana, ia menanggapi dengan senyuman kikuk.
Begitu pintu lift terbuka, Diwana melangkah keluar. Namun sadar perempuan dibelakangnya tak mengikuti, ia pun berbalik.
Tepat saat pintu lift hampir tertutup kembali, Diwana segera menyodorkan tangan kanannya.
“Saya, Diwana,” ucapnya agak tertahan.
“Saya boleh minta waktu kamu sebentar? Mungkin tiga puluh menit?” imbuh Diwana, menatap lekat netra Nilakandi.
Mata itu, entah kenapa terasa begitu menenangkan. Suara itu juga, entah kenapa terdengar nyaman di telinga. Seperti tersihir, tanpa disadari tangan kanan Nilakandi sudah berjabat dengan tangan Diwana. Perempuan itu lantas mengangguk tanda persetujuannya.
“Iya, Kak Diwana.”
----
Kicau burung kolibri yang tadi pagi membangunkan Diwana kembali terdengar, tapi kali ini bukan dari balik jendela kamar Diwa. Diwana dan Nilakandi kini duduk di bangku taman apartemen. Perempuan itu duduk di ujung bangku, memberi jarak sejauh yang ia bisa dari lelaki asing disampingnya. Matanya berkeliling sebentar, lega dirasa saat matanya menangkap pos satpam disamping gerbang utama, lengkap dengan seorang satpam yang tengah bertugas. Bagaimanapun juga, ia sedang bersama orang asing saat ini. Awalnya hening, tak ada yang memulai. "Saya.. Diwana" ucap Diwa tanpa melirik kearah gadis disampingnya, mengulangi kalimatnya di lift tadi. Jika boleh jujur, hatinya masih berdegup kencang memandang Biru, maksudnya Nilakandi. "Saya penghuni rumah 903, calon tetangga kamu. Maaf atas apa yang saya lakukan tadi. Saya hanya salah orang." Ia masih terus memandang tanah berselimut rumput dikakinya, sambil memainkan sapu tangan penuh bercak darah ditangan. Mi
Diwana berdiam diri di balik pintu rumahnya, menimbang-nimbang jam berapakah ia akan keluar dan berangkat kerja. Berangkat ke kantor tidak pernah serumit itu sebelumnya, sebelum Nilakandi hadir mengusiknya. “Kalau berangkat sekarang bisa ketemu nggak ya?” “Atau agak siangan?” “Sebentar, kalau dia dirumah seharian dan nggak keluar-keluar gimana dong?” Hati Diwana benar-benar sedang berdebat dengan otaknya sendiri. Dua hari sudah sejak insiden hilangnya Diwana. Jovyan sudah ratusan kali mengejeknya bucin, Tama juga. Bahkan mereka bersikeras ingin bertemu Nilakandi lagi. Karena dilihat dari sisi manapun, perempuan itu sangat mirip dengan Biru. Ah tidak, mereka bahkan sama, benar-benar sama. Hanya saja wajah Nilakandi yang sekarang terasa lebih... dewasa. Sudah sejak saat itu pula Diwana belum bertemu lagi dengan Nilakandi. Entah kenapa, dia rindu. Aneh memang, rindunya terasa sama seperti saat ia merindukan soso
"Udah sampai, sini Kak," ujar Kandi mengulurkan tangannya, bermaksud meraih kantong belanjaan yang dipegang Diwana. Lelaki itu membisu sejak dari minimarket tadi. Nilakandi juga tak tahu harus memulai pembicaraan seperti apa, sedangkan Diwana hanya sibuk dengan pikiran-pikirannya sendiri. "Eh, iya ini. Sampai ketemu lagi," ucap Diwana saat perempuan itu sudah hampir menghilang dibalik pintu. Nilakandi tersenyum mendengar ucapan Diwana yang entah kenapa terdengar sangat polos ditelinganya. Hati Diwana berkecamuk, apa gerangan yang sudah terjadi pada perempuan itu? Luka-luka itu jelas bukan luka terjatuh atau sejenisnya. Luka-luka itu seperti hasil pukulan benda tumpul yang sepertinya disengaja. Apa gerangan latar belakang wanita misterius ini? Ada kisah apa dibaliknya? Diwana pusing dibuatnya. --- "Aw, kenapa kamu nggak kering-kering sih," gumam Kandi sambil mengoleskan obat merah ke luka terbuka di lengan kanannya. Usai memakaikan ples
Seperti debur ombak yang terus menghantam pesisir, Deru rindumu pun tak akan pernah berhenti mengulir, Meskipun mungkin ia telah sedikit mencair. Jangan mencari, jangan menunggu, biar semesta yang menguaknya satu-satu. Menangislah, kalau itu membuatmu lega. Sebentar atau lama, ada hati yang harus kau jaga. Puisi menggema kembali terdengar. Ya, laut menguning. Matahari masih berada di tengah-tengah ufuk, tak peduli berapa lama lelaki itu berdiri disana. "Kenapa matahari itu tak pernah meninggi?" batin Diwana yang kembali terseret ke bunga tidurnya. Mata Diwana kini mengabsen satu-satu objek di mimpi yang sudah beberapa hari tak mengusiknya itu. Matahari, ada. Laut menguning, ada. Deburan kecil ombak yang menyapu pantai pun ada. Hanya satu yang hilang dari pandangannya, Biru. Gadis bergaun biru itu tak lagi berdiri di tepi pantai menatap laut lepas. Kini tanah
"Argh... masih pagi," erang Aiden yang terbangun usai mendengar bunyi alarm yang sudah berdering puluhan kali. Korden kamar apartemen Diwana sudah terbuka, menampakkan matahari yang sorotnya menerobos masuk lewat jendela kaca. Jam memang sudah menunjukkan pukul sepuluh siang, hanya Aiden yang menganggapnya masih pagi. Diwana pun sudah melejit ke kantor sejak pukul tujuh tepat. Aiden bangun dengan wajah kesal, menyumpahi kakaknya yang sengaja membuka tirai lebar-lebar sebelum berangkat ke kantor. Namun cemberut di wajahnya perlahan memudar, digantikan oleh senyum lebar hingga deretan gigi-giginya nampak. Matanya mengarah ke atas nakas, menatap satu gelas susu putih hangat dan dua potong besar sandwich lengkap dengan scrambled egg kesukaannya. Tapi yang membuatnya tersenyum bak orang gila bukanlah sarapan paginya, melainkan sebuah benda tipis warna biru tua berlogo bank bertuliskan “Kartu Kredit” yang sudah Diwana tinggalkan untuknya. Terselip d
Diwana dan Tama tengah bercengkrama di cafe depan kantor. Sekadar duduk-duduk santai sambil menyesap kopi dan jeruk panas. Jovyan ada juga disana, tapi ia duduk berdua bersama Maheswari, si pacar baru. "Sayang banget nggak, sih, Si Maheswari dapat cowok modelan Jovyan?" kelakar Tama pada Diwana. "Cinta kan buta, Ta," komentar Diwa,a "Bir-maksudnya Nilakandi apa kabar?" tanya Tama mengalihkan pembicaraan. Tak dipungkiri, lelaki itu masih dibuat penasaran dengan sosok Nilakandi. Ingin sekali ia melihatnya lagi satu kali saja. "Sebenarnya, ada yang buat aku kebingungan, Ta. Akhir-akhir ini aku bahkan nggak bisa fokus kerja karena itu. Dia aneh, Ta, ada yang nggak beres sama Nilakandi," jawab Diwana. "Hah? Konteksnya apa? Aneh gimana?" "Tubuhnya penuh luka. Lututnya lebam, kakinya merah-merah, ada luka sayatan di tangannya, bahkan wajahnya biru semua, Ta." "Hah? Bercanda ya kamu? Kok bisa?" tanya Tama tak percaya. Bahkan hanya deng
Siapa yang kamu cari? Renjana rindumu nampaknya sudah mencair. Oh, pecandu, pencinta. Alang berjawab, tepuk berbatas. Ada yang harus kau tunggu. Dari semesta, khusus untukmu. Sebuah siulan panjang mengakhiri bait puisi singkat itu. Diwana bergidik ngeri saat matanya menangkap bayangan tak asing sepuluh kaki darinya berdiri. Ya, lagi-lagi mimpi memuakkan itu muncul kembali. Sama seperti mimpinya terakhir kali, sosok misterius baru kini hadir menggantikan Gadis Bergaun Biru dalam mimpinya, yaitu dirinya sendiri, Diwana yang lebih muda. Diwa menatap dirinya sendiri lekat-lekat dari kejauhan, kemudian melangkah mendekat seperti yang dulu ia lakukan pada Biru. Lima langkah sudah ia berjalan, lalu berhenti dan menatap lelaki berwajah sama dengannya itu dengan buntu. Diwana kecil masih dalam posisi yang sama, duduk di pasir basah dengan memeluk kedua lututny
"Lo kenapa sih, Diw?" tanya Jovyan yang keheranan melihat gelagat tak wajar Diwana. Lelaki itu mondar mandir kesana kemari persis seperti setrika, sambil melipat kedua tangannya di dada. "Jo, aku mau tanya," ucap Diwana, yang kemudian ikut duduk di sebelah Jovyan. Mereka sedang berada di kantor Tama untuk membahas salah satu agenda kantor, namun ternyata Tama ada kepentingan mendesak yang mengharuskannya absen. "Go ahead, ngapain pakai permisi?" Jovyan mempersilakan. "Kalau misalnya nih, Adindaku Mahes-" "WOY..! Maheswari aja, Diw. Jangan ikut-ikutan pakai Adindaku, dong!" protes Jovyan memotong ucapan Diwana. "Hmm, oke semisal nih, MAHESWARI itu punya teman laki-laki, kamu gimana?" tanya Diwana lagi dengan menekankan kata Maheswari, meskipun ia agak ragu-ragu untuk bertanya. "Manusia bukan? Kalau manusia sih ya udah. Kalau setan tuh baru gue panik." "JOVYAN..!" bentak Diwana yang kesal dengan candaan temannya itu. Tapi sebenar