Seperti debur ombak yang terus menghantam pesisir,
Deru rindumu pun tak akan pernah berhenti mengulir,
Meskipun mungkin ia telah sedikit mencair.
Jangan mencari, jangan menunggu, biar semesta yang menguaknya satu-satu.
Menangislah, kalau itu membuatmu lega.
Sebentar atau lama, ada hati yang harus kau jaga.
Puisi menggema kembali terdengar. Ya, laut menguning. Matahari masih berada di tengah-tengah ufuk, tak peduli berapa lama lelaki itu berdiri disana.
"Kenapa matahari itu tak pernah meninggi?" batin Diwana yang kembali terseret ke bunga tidurnya.
Mata Diwana kini mengabsen satu-satu objek di mimpi yang sudah beberapa hari tak mengusiknya itu. Matahari, ada. Laut menguning, ada. Deburan kecil ombak yang menyapu pantai pun ada.
Hanya satu yang hilang dari pandangannya, Biru. Gadis bergaun biru itu tak lagi berdiri di tepi pantai menatap laut lepas. Kini tanah
"Argh... masih pagi," erang Aiden yang terbangun usai mendengar bunyi alarm yang sudah berdering puluhan kali. Korden kamar apartemen Diwana sudah terbuka, menampakkan matahari yang sorotnya menerobos masuk lewat jendela kaca. Jam memang sudah menunjukkan pukul sepuluh siang, hanya Aiden yang menganggapnya masih pagi. Diwana pun sudah melejit ke kantor sejak pukul tujuh tepat. Aiden bangun dengan wajah kesal, menyumpahi kakaknya yang sengaja membuka tirai lebar-lebar sebelum berangkat ke kantor. Namun cemberut di wajahnya perlahan memudar, digantikan oleh senyum lebar hingga deretan gigi-giginya nampak. Matanya mengarah ke atas nakas, menatap satu gelas susu putih hangat dan dua potong besar sandwich lengkap dengan scrambled egg kesukaannya. Tapi yang membuatnya tersenyum bak orang gila bukanlah sarapan paginya, melainkan sebuah benda tipis warna biru tua berlogo bank bertuliskan “Kartu Kredit” yang sudah Diwana tinggalkan untuknya. Terselip d
Diwana dan Tama tengah bercengkrama di cafe depan kantor. Sekadar duduk-duduk santai sambil menyesap kopi dan jeruk panas. Jovyan ada juga disana, tapi ia duduk berdua bersama Maheswari, si pacar baru. "Sayang banget nggak, sih, Si Maheswari dapat cowok modelan Jovyan?" kelakar Tama pada Diwana. "Cinta kan buta, Ta," komentar Diwa,a "Bir-maksudnya Nilakandi apa kabar?" tanya Tama mengalihkan pembicaraan. Tak dipungkiri, lelaki itu masih dibuat penasaran dengan sosok Nilakandi. Ingin sekali ia melihatnya lagi satu kali saja. "Sebenarnya, ada yang buat aku kebingungan, Ta. Akhir-akhir ini aku bahkan nggak bisa fokus kerja karena itu. Dia aneh, Ta, ada yang nggak beres sama Nilakandi," jawab Diwana. "Hah? Konteksnya apa? Aneh gimana?" "Tubuhnya penuh luka. Lututnya lebam, kakinya merah-merah, ada luka sayatan di tangannya, bahkan wajahnya biru semua, Ta." "Hah? Bercanda ya kamu? Kok bisa?" tanya Tama tak percaya. Bahkan hanya deng
Siapa yang kamu cari? Renjana rindumu nampaknya sudah mencair. Oh, pecandu, pencinta. Alang berjawab, tepuk berbatas. Ada yang harus kau tunggu. Dari semesta, khusus untukmu. Sebuah siulan panjang mengakhiri bait puisi singkat itu. Diwana bergidik ngeri saat matanya menangkap bayangan tak asing sepuluh kaki darinya berdiri. Ya, lagi-lagi mimpi memuakkan itu muncul kembali. Sama seperti mimpinya terakhir kali, sosok misterius baru kini hadir menggantikan Gadis Bergaun Biru dalam mimpinya, yaitu dirinya sendiri, Diwana yang lebih muda. Diwa menatap dirinya sendiri lekat-lekat dari kejauhan, kemudian melangkah mendekat seperti yang dulu ia lakukan pada Biru. Lima langkah sudah ia berjalan, lalu berhenti dan menatap lelaki berwajah sama dengannya itu dengan buntu. Diwana kecil masih dalam posisi yang sama, duduk di pasir basah dengan memeluk kedua lututny
"Lo kenapa sih, Diw?" tanya Jovyan yang keheranan melihat gelagat tak wajar Diwana. Lelaki itu mondar mandir kesana kemari persis seperti setrika, sambil melipat kedua tangannya di dada. "Jo, aku mau tanya," ucap Diwana, yang kemudian ikut duduk di sebelah Jovyan. Mereka sedang berada di kantor Tama untuk membahas salah satu agenda kantor, namun ternyata Tama ada kepentingan mendesak yang mengharuskannya absen. "Go ahead, ngapain pakai permisi?" Jovyan mempersilakan. "Kalau misalnya nih, Adindaku Mahes-" "WOY..! Maheswari aja, Diw. Jangan ikut-ikutan pakai Adindaku, dong!" protes Jovyan memotong ucapan Diwana. "Hmm, oke semisal nih, MAHESWARI itu punya teman laki-laki, kamu gimana?" tanya Diwana lagi dengan menekankan kata Maheswari, meskipun ia agak ragu-ragu untuk bertanya. "Manusia bukan? Kalau manusia sih ya udah. Kalau setan tuh baru gue panik." "JOVYAN..!" bentak Diwana yang kesal dengan candaan temannya itu. Tapi sebenar
Diwana berdiam diri di depan interkom pintu rumah Nilakandi selama lebih dari sepuluh menit. Ia ingin mengajak Nilakandi entah kemana, berusaha mempraktekkan saran dari sang master cinta-Jovyan. Namun tanpa sepengetahuan Diwana, pemilik rumah sebetulnya sudah menatapnya dengan keheranan dari kamera interkom. Ya, Nilakandi yang hendak mengambil paket ke resepsionis pun urung saat dilihatnya lelaki itu mondar mandir bertopang dagu di depan pintu rumahnya. "Lucunya..." lontar Nilakandi tanpa ia sadari. TING TONG Nilakandi sedikit terperanjat usai dikejutkan bel pintu rumahnya sendiri. Ia pun menghitung mundur sepuluh detik menggunakan jarinya sebelum akhirnya membuka pintu. "Iya, Kak Diwa? Ada apa?" tanya Nilakandi begitu mata mereka bertemu. Ia berani bersumpah, Diwana terlihat begitu manis saat itu. "Mmm, aku.. mmm, boleh minta nomor telepon kamu? Sebagai seorang tetangga kayanya kita perlu bertukar nomor telepon masing-masing.
"Aduh, pakai yang mana ini?" gundah Nilakandi sambil mengeluarkan satu persatu baju yang ia punya dari lemari. Ia sebetulnya penyuka gaun-gaun vintage cantik, tapi hampir semuanya memiliki vibes seram seperti pakaian hantu kolosal. Ia sudah trauma diteriaki setan oleh tiga orang. Kacau sudah rencananya untuk memakai gaun cantik selutut berwarna biru yang sebelumnya sudah ia persiapkan. Itu karena sebuah lebam membiru sangat terlihat di lutut kanannya. Ia tentu tak ingin Diwana melihatnya lebam-lebam, lagi. Ya, siang tadi, Ten dan anak buahnya datang menghampirinya. Ten murka karena mengetahui Kandi dan Nana mengunjungi makam Luna tempo hari. Ten memang tak pernah memaafkan hal itu. Baginya, Nilakandi adalah pembawa sial pantas mati yang tak boleh untuk sekadar berkunjung ke makam almarhum kekasihnya-Luna. Tak banyak yang terjadi, hanya satu tamparan di pipi kiri dan pukulan di lutut kanannya dengan kursi. Kalau tak ada anak buah Ten yang menah
Diwana tengah panik lantaran Nilakandi tak bisa juga ia hubungi sejak tiga puluh menit yang lalu. Puluhan kali ia bunyikan bel tapi tak bersaut juga. Diwana kini menelepon satpam apartemen untuk membantu. Ia tiba-tiba teringat pada sosok laki-laki misterius yang siang tadi berpapasan dengannya di tangga darurat. "Kak Diwana?" sapa sosok laki-laki jangkung saat melihat Diwana tengah berdiri di depan pintu apartemen Nilakandi. "I-iya? Maaf, siapa?" tanya Diwana. Wajah lelaki itu memang nampak tak asing, tapi otaknya sedang tak bisa diajak berfikir jernih. "Saya Nana, teman Ka-maksudnya Nilakandi," jawabnya kemudian. Lampu kuning pun menyala di atas kepala Diwana "Oh, iya," sahut Diwana sambil melirik ke arah tangan Nana yang memegang satu buket bunga dan satu paper bag berwarna merah muda. "Maaf, tapi ada apa ya? Kenapa Kakak memencet bel rumah Kandi berkali-kali?" tanya Nana memasang wajah curiga. Tak dipungkiri, hatinya masih sedikit p
“Kamu mau stay di sini malam ini?” tanya Tama menatap kearah Diwana yang masih berdiri bersandar di samping kamar Nilakandi. “Diw? Duduk dulu gih, udah hampir satu jam nih kamu berdiri di situ,” tawar Tama lagi saat yang diajak bicara mengabaikannya. Kalimat itu pun berhasil mengusik lamunan Diwana yang kemudian menyahut, “Iya, kan? Udah satu jam kan? Kenapa sih lama banget dia di dalam, Ta?” “Dia itu Nana yang diceritain Jovyan tempo hari? Yang bikin kamu... ekhm, cemburu?” tanya Tama lagi, yang kali ini mendapat balasan tatapan tajam dari Diwana. “Iyain aja deh. Makannya, kamu tahu kan perasaanku sekarang harus biarin mereka berdua di-“ “Sudah selesai,” ucap Nana yang tiba-tiba membuka pintu kamar hingga membuat ucapan Diwana terpotong. Tanpa basa-basi, Diwana pun segera masuk, disusul Tama dan Nana dibelakangnya. Dilihatnya baju Nilakandi yang sudah berubah dari gaun biru tua menjadi kemeja santai lengan pendek berwarna putih, membu
Semesta hanya bermain-main, ia suka bercanda.Jangat takut pulang.Rindumu seperti lautan lepas yang tak berujung.Indah, tapi juga bisa membunuhmu.Diwana… apa yang kau cari?Diwana… pulanglah.Alunan puisi menggema di mimpi misterius itu, sedang Diwana masih berdiri terpaku di bibir pantai. Ia memindai ke sekeliling, mencari siapapun sosok bernyawa yang bisa ia temukan.Pandangan matanya pun menangkap sosok tak asing dikejauhan, sekitar dua puluh kaki dari tempat ia berdiri, lebih jauh dari biasanya. Lelaki yang duduk memeluk lutut di pasir pantai yang basah.“Itu… aku?” batin Diwana yang masih enggan bersuara karena takut akan terbangun tiba-tiba.Aoakah peraturan mimpinya masih sama? Entahlah. Dan kenapa mimpi itu datang lagi setelah sekian lama? Entahlah.Saat pikirannya berkecamuk, Diwana muda di depan sana tau-tau bangkit
“Kak Diwana curang, hmm… tapi kalau demi Kak Kai nggakpapa deh,” protes Aiden saat Diwana meminjam motornya untuk berjalan-jalan malam itu.Pasalnya, duo Aiden dan Andini juga hendak berkeliling kota usai makan malam.“Pakai mobil nggakpapa kok, Ai,” timpal Andini, meluluhkan hati Aiden seketika.“Tuh dengar Andini, pakai mobil juga nggak kalah romantis kok. Nanti Kakak kasih uang jajan deh, ajak Andini cari dessert di café yang bagus,” tawar Diwana dengan niat menyogok adiknya.Aiden pun tersenyum penuh kemenangan, akhirnya ia bisa memanfaatkan kakaknya lagi.“Terimakasih, Kakak ganteng,” puji Aiden dengan wajah berseri, membuat Diwana heran tak habis piker. Sedangkan Andini, Nilakandi dan Bunda hanya tertawa kecil melihat tingkah lelaki humoris itu.“Tapi maksimal jam sebelas sudah harus sampai rumah, kamu bawa anak orang,” ucap Diwana menekankan kata jam sebelas.
“Diwana? Aku tidak tahu kamu tengah berkunjung,” sapa Dokter Tano begitu Diwana membukakan pintu.“Iya, Dok. Dokter apa kabar? Lama tak bertemu.”“Benar juga, aku baik, bagaimana jantungmu?” tanya dokter itu.“Tak pernah sebaik ini,” jawab Diwana.“Oh iya, ayo masuk, Dok. Bunda sedang ke minimarket dengan Aiden.”Keduanya kemudian masuk dan duduk di ruang tamu, Diwana lantas meracikkan teh hangat untuk keduanya.“Bagaimana hidupmu, Diw? Aku mendengar semua cerita tentang tragedi itu dari bundamu, sepertinya harimu berat,” tanya Dokter Tano memecah sunyi.“Baik, Dok. Semuanya perlahan membaik, syukurlah,” jawabnya.“Oh iya, tumben sekali Dokter ke sini? Ada agenda sama Bunda?” tanya Diwana seraya meletakkan dua gelas teh itu di meja.“Ah itu, aku hanya ingin membahas beberapa kasus pasienku saja dengan bundamu. Mungkin bu
“You did well, kamu sudah bekerja keras hari ini, Sayang. Aku bangga,” puji Diwana usai Nilakandi merebahkan diri di sandaran kursi mobilnya sambil terpejam.Kalimat-kalimat itu terdengar memabukkan di telinga Nilakandi, membuatnya mengulas senyum malu-malu. Perlakuan manis tapi sederhana seperti ini selalu membuat kupu-kupu di perutnya menari-nari.“Mau bertemu Bunda dan Aiden? Mereka khawatir sama kamu, udah telepon terus dari kemarin,” ujar Diwana sambil terus fokus mengemudi.“Aku kangen, tapi… kondisi aku kaya gini,” jawab Nilakandi seraya membuka matanya.“Kaya gini gimana? Pasti lagi insecure lagi, kan?”Nilakandi mengangguk mengiyakan menatap Diwana, membuat lelaki di depannya spontan menatap dalam.“Aku masih selemah ini, Kak. Mau bisa jalan dulu sebelum bertemu Bunda. Memangnya Kak Diwana nggak malu?” protes Nilakandi kemudian.Mendengar hal itu, Diwana diam
Diwana masih setia duduk di samping Nilakandi yang bersandar di bahunya, tangan mereka masih bertaut sejak lebih dari tiga puluh menit yang lalu. Mereka sudah berada di dalam ruang interogasi yang setiap sudut ruangannya memiliki kamera pengintai dan perekam suara.“Ngantuk?” tanya Diwana pada Nilakandi yang sudah membisu beberapa saat.“Nggak kok, pegel ya?” Nilakandi sontak bangun, lalu melirik ke arah bahu Diwana yang langsung menggeleng kencang.“Mau bersandar seratus tahun di bahuku juga nggak akan pernah pegel. Sini.” Lelaki itu membawa kepala Nilakandi kembali bersandar di bahunya, sedang si perempuan hanya tersenyum malu-malu.“Kak, suara kita direkam, tau,” bisik Nilakandi.“Apa aku terlihat peduli? Nggak, sayang,” kelakar Diwana. Lelaki itu berhasil membuat Nilakandi tertawa lagi dengan candaan bucinnya.Tepat saat itu, seorang polisi kemudian masuk ke dalam ruangan,
Diwana mendorong kursi roda Nilakandi dengan telaten. Setelah melalui diskusi panjang dengan para dokter, ia akhirnya bisa mendapatkn ijin untuk membawanya pulang.Sampailah mereka di depan pintu apartemen. Bukan, bukan apartemen Diwana, melainkan apartemen Nilakandi sendiri seperti yang dimintanya.“Udah siap? Kangen rumah, ya?” tanya Diwana, Nilakandi pun mengangguk dengan antusias.Diwana menuntun Nilkandi ke dalam kamarnya, lalu berhenti tepat di samping ranjang. Lelaki itu berlutut di depan kursi roda dan menengadah menatap mata sang kekasih.“I love you, like, so… much,” ucapnya sambil memegang kedua tangan Nilakandi.“Ih, bucin banget,” komentar Nilakandi.Diwana hanya terkekeh melihat reaksi sang kekasih, ia bangkit dan merapikan bantal untuk NIlakandi sebelum akhirnya membaringkannya di sana dengan hati-hati.“Kak,”“Hm? Ada apa?”“Mau dius
Diwana berada di koridor ruang tunggu dengan kaki gemetar, sudah hampir satu jam dokter dan perawat-perawat itu menangani Nilakandi di dalam ruangan sana. Ia bahagia, sekaligus khawatir kalau-kalau ada sesuatu yang terjadi pada kekasihnya.Jovyan sudah menenangkannya berkali-kali, tapi tak juga dihiraukannya.“Udah hubungi Tama?” tanya Diwana gusar.Jovyan mengangguk, “Udah, Nana juga.”Tepat ketika Jovyan menyelesaikan kalimatnya, pintu tangga darurat terbanting kencang, menampakkan sosok Nana yang tergopoh berlari ke arah Diwana. Diwana pun spontan berdiri. Namun tak hanya Nana, di belakangnya ada sosok Tama yang sama-sama keluar dari tangga darurat.“Kenapa lewat tangga darurat? Jangan lari…” sambut Diwana yang entah kenapa merasa khawatir.“Lift penuh, lama,” jawab Nana singkat dengan terengah, “Kai gimana, Kak?” lanjutnya.“Masih ditangani dokter dan perawat
Aku berlari kencang meskipun dengan kaki patah, beruntung bus tak begitu ramai sehingga aku tak perlu mencari alasan jika ada yang bertanya tentang keadaanku yang kacau. Aku tak berhenti menangis hingga bus sampai di halte dekat rumahku.Aku kembali berlari tergesa ke dalam rumah yang pintunya bahkan masih rusak karena ulah Kak Ten. Aku mencari-cari baju pesta yang tempo hari sudah aku cuci di tumpukan pakaian kering, lalu mengenakannya saat itu juga meskipun membuat luka-luka di kaki dan tanganku terekspos jelas.Kado dari ibu terlihat melambai-lambai dari atas nakas, seakan memintaku untuk menghampirinya. Aku pun membukanya, membaca lagi surat terakhir dari ibu yang mungkin bisa menenangkan emosiku. Tapi aku salah, semakin aku baca, semakin kuat tekadku.Aku bahkan memakai parfum berbotol cantik kado terakhir dari ibu, yang langsung membuatku merasa tak sendirian lagi. Seakan ibu sedang berada di sampingku menemani. Aroma woods pomelo itu tak membuat emosiku r
Hari kelima, seharian kemarin aku tidak bisa menemui ayah karena perawat dan dokter sialan itu. Harapanku hari ini hanya satu, menemui ayah dan Nana untuk menanyakan kondisi ayahku yang sebenarnya. Aku berniat untuk berangkat lebih pagi agar memiliki banyak waktu untuk berbincang dengan Nana.Namun baru saja aku bersiap untuk pergi, pintu rumahku terdengar dibuka paksa, lagi. Aku masih ketakutan, tentu saja. Aku pun segera berlari ke arah kamarku, dan bersembunyi di dalam kamar mandi yang aku kunci dari dalam.Aku membungkam mulut dengan kedua tanganku agar tak bersuara sedikitpun, ketakutan setengah mati. Mataku terpejam memohon agar semua cepat berlalu. Namun sedetik kemudian, yang aku dengar justru derap langkah kaki yang mendekat.“Nggak perlu sembunyi, gue cuma mau nagih hutang… kematian lo,” suara Kak Ten menggema.Aku semakin bergetar saat kalimat itu ia lontarkan, bersamaan dengan ketukan pintu kamar mandi yang entah kenapa terd