Beranda / Romansa / Nilakandi / Chapter 9. Cinta Pertama?

Share

Chapter 9. Cinta Pertama?

Penulis: Kalasenja
last update Terakhir Diperbarui: 2021-07-23 20:08:59

Kicau burung kolibri yang tadi pagi membangunkan Diwana kembali terdengar, tapi kali ini bukan dari balik jendela kamar Diwa.

Diwana dan Nilakandi kini duduk di bangku taman apartemen. Perempuan itu duduk di ujung bangku, memberi jarak sejauh yang ia bisa dari lelaki asing disampingnya.

Matanya berkeliling sebentar, lega dirasa saat matanya menangkap pos satpam disamping gerbang utama, lengkap dengan seorang satpam yang tengah bertugas. Bagaimanapun juga, ia sedang bersama orang asing saat ini. Awalnya hening, tak ada yang memulai.

"Saya.. Diwana" ucap Diwa tanpa melirik kearah gadis disampingnya, mengulangi kalimatnya di lift tadi. Jika boleh jujur, hatinya masih berdegup kencang memandang Biru, maksudnya Nilakandi.

"Saya penghuni rumah 903, calon tetangga kamu. Maaf atas apa yang saya lakukan tadi. Saya hanya salah orang." Ia masih terus memandang tanah berselimut rumput dikakinya, sambil memainkan sapu tangan penuh bercak darah ditangan.

Mimisannya sudah berhenti dan pening dikepalanya sudah tidak ia rasakan lagi seakan memang tak pernah ada, meskipun badannya masih demam. Perempuan yang diajak bicara hanya terdiam tak tahu harus menanggapi apa.

"Mmm, sapu tangannya akan saya kembalikan nanti kalau sudah saya cuci." Begitu Diwa menoleh kesamping, jantungnya kembali dibuat berpacu ketika tangan kanan Kandi tiba-tiba menyentuh keningnya.

Deg. Bunyi lonceng kembali sama-samar terdengar ditelinga Diwa, bersamaan dengan degup jantungnya yang berpacu.

"Kakak panas, makannya sampai mimisan. Pantesan dari tadi pucet banget."

“Tadi takut dibawa orang asing ini, kenapa sekarang malah sok perhatian kaya gini, wahai Dewangga Nilakandi?” ucap Kandi dalam hati.

Nampaknya otak dan hatinya sedang berdebat ria. Begitu ia sadar lelaki didepannya memandang dengan tatapan terkejut dan mata yang melebar, ia pun menarik tangannya cepat.

"Ah iya, saya agak demam. Saya boleh panggil kamu Kandi?" tanya Diwana mencoba mengalihkan pandangan ke semak belukar.

"Hm? Ya boleh-boleh aja, kan itu nama saya. Sebetulnya saya ada panggilan lain, tapi khusus untuk orang-orang terdekat aja." Jawaban polos Kandi sukses membuat senyum mengembang diwajah Diwa.

Suasana canggung menyelimuti keduanya, lagi. Jam menunjukkan pukul delapan kurang sepuluh menit. Jika ini Diwana yang biasanya, ia pasti sudah panik buru-buru berangkat ke kantor.

Tapi begitu melihat jam ditangannya, ia justru tersenyum dengan santai. Mungkin merasa tidak habis pikir, kenapa ia bisa tiba-tiba berubah sedrastis itu didepan wanita. Diam-diam Diwana menertawai dirinya sendiri

"Kalau saya pakai aku-kamu, boleh?" Kali ini Diwana menatap lekat kedua netra Nilakandi yang ditatap hanya diam memaku, seperti sedang disihir oleh suasana.

Surai hitamnya menari-nari dibelai angin pagi, cantik sekali. Jantung Diwana kembali berdebar, rasanya seperti sedang berbicara pada lukisan Gadis Bergaun Biru diatas nakas. Pun seperti sedang melihat sketsa Biru tiba-tiba hidup dan bahkan kini duduk disampingnya.

"B-boleh" jawab Nilakandi seraya tersenyum.

“Hei, jangan tersenyum... aku bisa mati,” rapal Diwana dalam hati.

"Oiya, ini kartu nama SE gedung ini. Maaf karena aku malah jadi kelupaan." Saat Kandi mengulurkan tangan mengambil kartu nama dari genggaman Diwa, lelaki itu melihat sekilas bekas luka sayatan ditelapak tangan perempuan itu. Tapi dihiraukannya sebisa mungkin, tak ingin ikut campur lebih jauh.

"Kak Diwana, aku boleh tanya sesuatu?"

"Boleh, silahkan."

"Memangnya aku mirip dengan siapanya Kak Diwana?"

Skak mat.

Mau Diwa jawab apa pertanyaan Kandi ini? Kalau ia bilang mirip perempuan di mimpinya selama bertahun-tahun, berani bertaruh Nilakandi akan menertawakannya. Masih bagus hanya ditertawakan, Diwa menduga bahkan mungkin gadis ini akan jadi takut padanya.

"Mmm, mungkin cinta pertamaku?" jawab Diwana dengan nada ragu-ragu.

Perempuan didepannya justru tertawa, tanpa Diwa duga.

"Serius? Maaf Kak, kukira skenario kaya gini cuma ada di film-film aja."

"Ketawa aja nggak papa, tapi dia itu betul-betul mirip kamu. Semuanya. Makannya saya eh aku kaget waktu pertama kali lihat kamu tadi."

"Namanya siapa kalau boleh tau?"

"Mmm, dia nggak punya nama. Tapi aku manggil dia Biru. Aku udah enam tahun penuh selalu mimpiin dia." Kandi justru bingung dengan jawaban-jawaban Diwana

Untuk sepersekian detik Kandi sempat berpikir bahwa lelaki didepannya ini tidak waras.

"Kenapa nggak ditemuin langsung aja? Kan nggak enak kalau sampai kebawa-bawa mimpi kaya gitu."

“Seandainya aku tau siapa dan kenapa, udah kulakukan enam tahun silam.”

"Hmm lupakan, kakak aneh banget kan?" Diwa hanya menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Otak Diwa berkelana lagi, menikmati detik demi detik yang mengalun dari jam tangannya.

Melihat sosok manusia yang sebelumnya hanya ada di mimpi seperti hantu tentu membuatnya merasa campur aduk. Senang, bingung, dan sedikit rasa takut.

Dilihatnya jam tangan dipergelangan, pukul sembilan lewat lima menit. Waktu seakan berjalan ratusan kali lebih cepat saat kita bersama orang yang, mmm entahlah. Diwana hanya merasa nyaman saat ini, tidak peduli dengan sang waktu.

"Ini, kak." Kandi mengulurkan sesuatu yang sepertinya adalah obat, dibungkus plastik bening berjumlah dua macam.

"Hah?"

"Kakak kan panas, pucet gitu, sampai matanya sayu banget." Hati Diwana tak tertolong lagi saat Kandi menatap dalam. Terlihat sekali ketulusan dibalik kalimat-kalimatnya.

"Oh iya, terimakasih. Kamu kok bisa sedia obat di tas gitu? Nanti kakak bisa ke dokter juga sebenernya," jawab Diwa mengambil obat itu juga akhirnya.

"Aku sering demam juga, jadi P3K aku komplit. Aku nggak suka dokter, jadi selalu sedia obat sendiri."

Diwana tak ambil pusing dengan jawaban Kandi, diotaknya justru terbersit pikiran betapa lucunya gadis itu saat berbicara. Cantiknya sama dengan Biru yang ada di mimpi, aneh. Secara fisik semuanya benar-benar sama.

Selagi Diwa dan otaknya berkelana, ada dua pasang mata yang mengintai dibelakangnya sejak tadi. Ya, Jovyan dan Tama.

"Diwana... Lo tuh dica- AAAA SETAN...." Jovyan sontak terkejut, membelalakkan mata pada Nilakandi yang menoleh kearahnya tak kalah terkejut. Ia tergopoh bersembunyi dibalik badan Tama meskipun Jovyan memiliki ukuran badan dua kali lebih besar. Tama juga terkejut, mencoba merangkai adegan didepannya.

"Di-diwa, dia siapa?" tanya Tama masih belum melepaskan pandangan dari Nilakandi. Perempuan itu agak takut tapi sekaligus kebingungan.

Bagaimana tidak, tiga lelaki asing yang baru ia temui bertingkah sangat aneh. Yang satu langsung memeluknya sambil menangis, yang satu lagi langsung memanggilnya setan, dan yang satunya lagi diam terpaku ketakutan.

"Kalian ngapain kesini?" tanya Diwa pada kedua sahabatnya yang masih menatap kelu kearah Nilakandi. Mereka berdua seperti mendadak tuli, karena pertanyaan Diwa sungguh tak terdengar.

"Mmm, Kak maaf. Aku duluan ya, mau ngurusin rumah dulu," pamit Kandi seraya berdiri, hendak meninggalkan ketiga manusia aneh itu.

"K-kandi tunggu" cegah Diwa saat gadis itu sudah menjauh beberapa langkah.

"Iya?"

"Besok, boleh bertemu lagi?"

----

Bab terkait

  • Nilakandi   Chapter 10. Kandi, kenapa?

    Diwana berdiam diri di balik pintu rumahnya, menimbang-nimbang jam berapakah ia akan keluar dan berangkat kerja. Berangkat ke kantor tidak pernah serumit itu sebelumnya, sebelum Nilakandi hadir mengusiknya. “Kalau berangkat sekarang bisa ketemu nggak ya?” “Atau agak siangan?” “Sebentar, kalau dia dirumah seharian dan nggak keluar-keluar gimana dong?” Hati Diwana benar-benar sedang berdebat dengan otaknya sendiri. Dua hari sudah sejak insiden hilangnya Diwana. Jovyan sudah ratusan kali mengejeknya bucin, Tama juga. Bahkan mereka bersikeras ingin bertemu Nilakandi lagi. Karena dilihat dari sisi manapun, perempuan itu sangat mirip dengan Biru. Ah tidak, mereka bahkan sama, benar-benar sama. Hanya saja wajah Nilakandi yang sekarang terasa lebih... dewasa. Sudah sejak saat itu pula Diwana belum bertemu lagi dengan Nilakandi. Entah kenapa, dia rindu. Aneh memang, rindunya terasa sama seperti saat ia merindukan soso

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-23
  • Nilakandi   Chapter 11. Masa Lalu Nilakandi

    "Udah sampai, sini Kak," ujar Kandi mengulurkan tangannya, bermaksud meraih kantong belanjaan yang dipegang Diwana. Lelaki itu membisu sejak dari minimarket tadi. Nilakandi juga tak tahu harus memulai pembicaraan seperti apa, sedangkan Diwana hanya sibuk dengan pikiran-pikirannya sendiri. "Eh, iya ini. Sampai ketemu lagi," ucap Diwana saat perempuan itu sudah hampir menghilang dibalik pintu. Nilakandi tersenyum mendengar ucapan Diwana yang entah kenapa terdengar sangat polos ditelinganya. Hati Diwana berkecamuk, apa gerangan yang sudah terjadi pada perempuan itu? Luka-luka itu jelas bukan luka terjatuh atau sejenisnya. Luka-luka itu seperti hasil pukulan benda tumpul yang sepertinya disengaja. Apa gerangan latar belakang wanita misterius ini? Ada kisah apa dibaliknya? Diwana pusing dibuatnya. --- "Aw, kenapa kamu nggak kering-kering sih," gumam Kandi sambil mengoleskan obat merah ke luka terbuka di lengan kanannya. Usai memakaikan ples

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-29
  • Nilakandi   Chapter 12. Weekend

    Seperti debur ombak yang terus menghantam pesisir, Deru rindumu pun tak akan pernah berhenti mengulir, Meskipun mungkin ia telah sedikit mencair. Jangan mencari, jangan menunggu, biar semesta yang menguaknya satu-satu. Menangislah, kalau itu membuatmu lega. Sebentar atau lama, ada hati yang harus kau jaga. Puisi menggema kembali terdengar. Ya, laut menguning. Matahari masih berada di tengah-tengah ufuk, tak peduli berapa lama lelaki itu berdiri disana. "Kenapa matahari itu tak pernah meninggi?" batin Diwana yang kembali terseret ke bunga tidurnya. Mata Diwana kini mengabsen satu-satu objek di mimpi yang sudah beberapa hari tak mengusiknya itu. Matahari, ada. Laut menguning, ada. Deburan kecil ombak yang menyapu pantai pun ada. Hanya satu yang hilang dari pandangannya, Biru. Gadis bergaun biru itu tak lagi berdiri di tepi pantai menatap laut lepas. Kini tanah

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-29
  • Nilakandi   Chapter 13. Aku Bukan Hantu

    "Argh... masih pagi," erang Aiden yang terbangun usai mendengar bunyi alarm yang sudah berdering puluhan kali. Korden kamar apartemen Diwana sudah terbuka, menampakkan matahari yang sorotnya menerobos masuk lewat jendela kaca. Jam memang sudah menunjukkan pukul sepuluh siang, hanya Aiden yang menganggapnya masih pagi. Diwana pun sudah melejit ke kantor sejak pukul tujuh tepat. Aiden bangun dengan wajah kesal, menyumpahi kakaknya yang sengaja membuka tirai lebar-lebar sebelum berangkat ke kantor. Namun cemberut di wajahnya perlahan memudar, digantikan oleh senyum lebar hingga deretan gigi-giginya nampak. Matanya mengarah ke atas nakas, menatap satu gelas susu putih hangat dan dua potong besar sandwich lengkap dengan scrambled egg kesukaannya. Tapi yang membuatnya tersenyum bak orang gila bukanlah sarapan paginya, melainkan sebuah benda tipis warna biru tua berlogo bank bertuliskan “Kartu Kredit” yang sudah Diwana tinggalkan untuknya. Terselip d

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-22
  • Nilakandi   Chapter 14. Jeanne

    Diwana dan Tama tengah bercengkrama di cafe depan kantor. Sekadar duduk-duduk santai sambil menyesap kopi dan jeruk panas. Jovyan ada juga disana, tapi ia duduk berdua bersama Maheswari, si pacar baru. "Sayang banget nggak, sih, Si Maheswari dapat cowok modelan Jovyan?" kelakar Tama pada Diwana. "Cinta kan buta, Ta," komentar Diwa,a "Bir-maksudnya Nilakandi apa kabar?" tanya Tama mengalihkan pembicaraan. Tak dipungkiri, lelaki itu masih dibuat penasaran dengan sosok Nilakandi. Ingin sekali ia melihatnya lagi satu kali saja. "Sebenarnya, ada yang buat aku kebingungan, Ta. Akhir-akhir ini aku bahkan nggak bisa fokus kerja karena itu. Dia aneh, Ta, ada yang nggak beres sama Nilakandi," jawab Diwana. "Hah? Konteksnya apa? Aneh gimana?" "Tubuhnya penuh luka. Lututnya lebam, kakinya merah-merah, ada luka sayatan di tangannya, bahkan wajahnya biru semua, Ta." "Hah? Bercanda ya kamu? Kok bisa?" tanya Tama tak percaya. Bahkan hanya deng

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-22
  • Nilakandi   Chapter 15. Semesta

    Siapa yang kamu cari? Renjana rindumu nampaknya sudah mencair. Oh, pecandu, pencinta. Alang berjawab, tepuk berbatas. Ada yang harus kau tunggu. Dari semesta, khusus untukmu. Sebuah siulan panjang mengakhiri bait puisi singkat itu. Diwana bergidik ngeri saat matanya menangkap bayangan tak asing sepuluh kaki darinya berdiri. Ya, lagi-lagi mimpi memuakkan itu muncul kembali. Sama seperti mimpinya terakhir kali, sosok misterius baru kini hadir menggantikan Gadis Bergaun Biru dalam mimpinya, yaitu dirinya sendiri, Diwana yang lebih muda. Diwa menatap dirinya sendiri lekat-lekat dari kejauhan, kemudian melangkah mendekat seperti yang dulu ia lakukan pada Biru. Lima langkah sudah ia berjalan, lalu berhenti dan menatap lelaki berwajah sama dengannya itu dengan buntu. Diwana kecil masih dalam posisi yang sama, duduk di pasir basah dengan memeluk kedua lututny

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-22
  • Nilakandi   Chapter 16. Nana

    "Lo kenapa sih, Diw?" tanya Jovyan yang keheranan melihat gelagat tak wajar Diwana. Lelaki itu mondar mandir kesana kemari persis seperti setrika, sambil melipat kedua tangannya di dada. "Jo, aku mau tanya," ucap Diwana, yang kemudian ikut duduk di sebelah Jovyan. Mereka sedang berada di kantor Tama untuk membahas salah satu agenda kantor, namun ternyata Tama ada kepentingan mendesak yang mengharuskannya absen. "Go ahead, ngapain pakai permisi?" Jovyan mempersilakan. "Kalau misalnya nih, Adindaku Mahes-" "WOY..! Maheswari aja, Diw. Jangan ikut-ikutan pakai Adindaku, dong!" protes Jovyan memotong ucapan Diwana. "Hmm, oke semisal nih, MAHESWARI itu punya teman laki-laki, kamu gimana?" tanya Diwana lagi dengan menekankan kata Maheswari, meskipun ia agak ragu-ragu untuk bertanya. "Manusia bukan? Kalau manusia sih ya udah. Kalau setan tuh baru gue panik." "JOVYAN..!" bentak Diwana yang kesal dengan candaan temannya itu. Tapi sebenar

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-31
  • Nilakandi   Chapter 17. First Date?

    Diwana berdiam diri di depan interkom pintu rumah Nilakandi selama lebih dari sepuluh menit. Ia ingin mengajak Nilakandi entah kemana, berusaha mempraktekkan saran dari sang master cinta-Jovyan. Namun tanpa sepengetahuan Diwana, pemilik rumah sebetulnya sudah menatapnya dengan keheranan dari kamera interkom. Ya, Nilakandi yang hendak mengambil paket ke resepsionis pun urung saat dilihatnya lelaki itu mondar mandir bertopang dagu di depan pintu rumahnya. "Lucunya..." lontar Nilakandi tanpa ia sadari. TING TONG Nilakandi sedikit terperanjat usai dikejutkan bel pintu rumahnya sendiri. Ia pun menghitung mundur sepuluh detik menggunakan jarinya sebelum akhirnya membuka pintu. "Iya, Kak Diwa? Ada apa?" tanya Nilakandi begitu mata mereka bertemu. Ia berani bersumpah, Diwana terlihat begitu manis saat itu. "Mmm, aku.. mmm, boleh minta nomor telepon kamu? Sebagai seorang tetangga kayanya kita perlu bertukar nomor telepon masing-masing.

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-31

Bab terbaru

  • Nilakandi   Chapter 63. Diwana Dalam Mimpi

    Semesta hanya bermain-main, ia suka bercanda.Jangat takut pulang.Rindumu seperti lautan lepas yang tak berujung.Indah, tapi juga bisa membunuhmu.Diwana… apa yang kau cari?Diwana… pulanglah.Alunan puisi menggema di mimpi misterius itu, sedang Diwana masih berdiri terpaku di bibir pantai. Ia memindai ke sekeliling, mencari siapapun sosok bernyawa yang bisa ia temukan.Pandangan matanya pun menangkap sosok tak asing dikejauhan, sekitar dua puluh kaki dari tempat ia berdiri, lebih jauh dari biasanya. Lelaki yang duduk memeluk lutut di pasir pantai yang basah.“Itu… aku?” batin Diwana yang masih enggan bersuara karena takut akan terbangun tiba-tiba.Aoakah peraturan mimpinya masih sama? Entahlah. Dan kenapa mimpi itu datang lagi setelah sekian lama? Entahlah.Saat pikirannya berkecamuk, Diwana muda di depan sana tau-tau bangkit

  • Nilakandi   Chapter 62. Night Drive

    “Kak Diwana curang, hmm… tapi kalau demi Kak Kai nggakpapa deh,” protes Aiden saat Diwana meminjam motornya untuk berjalan-jalan malam itu.Pasalnya, duo Aiden dan Andini juga hendak berkeliling kota usai makan malam.“Pakai mobil nggakpapa kok, Ai,” timpal Andini, meluluhkan hati Aiden seketika.“Tuh dengar Andini, pakai mobil juga nggak kalah romantis kok. Nanti Kakak kasih uang jajan deh, ajak Andini cari dessert di café yang bagus,” tawar Diwana dengan niat menyogok adiknya.Aiden pun tersenyum penuh kemenangan, akhirnya ia bisa memanfaatkan kakaknya lagi.“Terimakasih, Kakak ganteng,” puji Aiden dengan wajah berseri, membuat Diwana heran tak habis piker. Sedangkan Andini, Nilakandi dan Bunda hanya tertawa kecil melihat tingkah lelaki humoris itu.“Tapi maksimal jam sebelas sudah harus sampai rumah, kamu bawa anak orang,” ucap Diwana menekankan kata jam sebelas.

  • Nilakandi   Chapter 61. Rumah

    “Diwana? Aku tidak tahu kamu tengah berkunjung,” sapa Dokter Tano begitu Diwana membukakan pintu.“Iya, Dok. Dokter apa kabar? Lama tak bertemu.”“Benar juga, aku baik, bagaimana jantungmu?” tanya dokter itu.“Tak pernah sebaik ini,” jawab Diwana.“Oh iya, ayo masuk, Dok. Bunda sedang ke minimarket dengan Aiden.”Keduanya kemudian masuk dan duduk di ruang tamu, Diwana lantas meracikkan teh hangat untuk keduanya.“Bagaimana hidupmu, Diw? Aku mendengar semua cerita tentang tragedi itu dari bundamu, sepertinya harimu berat,” tanya Dokter Tano memecah sunyi.“Baik, Dok. Semuanya perlahan membaik, syukurlah,” jawabnya.“Oh iya, tumben sekali Dokter ke sini? Ada agenda sama Bunda?” tanya Diwana seraya meletakkan dua gelas teh itu di meja.“Ah itu, aku hanya ingin membahas beberapa kasus pasienku saja dengan bundamu. Mungkin bu

  • Nilakandi   Chapter 60. Melepas Rindu

    “You did well, kamu sudah bekerja keras hari ini, Sayang. Aku bangga,” puji Diwana usai Nilakandi merebahkan diri di sandaran kursi mobilnya sambil terpejam.Kalimat-kalimat itu terdengar memabukkan di telinga Nilakandi, membuatnya mengulas senyum malu-malu. Perlakuan manis tapi sederhana seperti ini selalu membuat kupu-kupu di perutnya menari-nari.“Mau bertemu Bunda dan Aiden? Mereka khawatir sama kamu, udah telepon terus dari kemarin,” ujar Diwana sambil terus fokus mengemudi.“Aku kangen, tapi… kondisi aku kaya gini,” jawab Nilakandi seraya membuka matanya.“Kaya gini gimana? Pasti lagi insecure lagi, kan?”Nilakandi mengangguk mengiyakan menatap Diwana, membuat lelaki di depannya spontan menatap dalam.“Aku masih selemah ini, Kak. Mau bisa jalan dulu sebelum bertemu Bunda. Memangnya Kak Diwana nggak malu?” protes Nilakandi kemudian.Mendengar hal itu, Diwana diam

  • Nilakandi   Chapter 59. Kesaksian Berat

    Diwana masih setia duduk di samping Nilakandi yang bersandar di bahunya, tangan mereka masih bertaut sejak lebih dari tiga puluh menit yang lalu. Mereka sudah berada di dalam ruang interogasi yang setiap sudut ruangannya memiliki kamera pengintai dan perekam suara.“Ngantuk?” tanya Diwana pada Nilakandi yang sudah membisu beberapa saat.“Nggak kok, pegel ya?” Nilakandi sontak bangun, lalu melirik ke arah bahu Diwana yang langsung menggeleng kencang.“Mau bersandar seratus tahun di bahuku juga nggak akan pernah pegel. Sini.” Lelaki itu membawa kepala Nilakandi kembali bersandar di bahunya, sedang si perempuan hanya tersenyum malu-malu.“Kak, suara kita direkam, tau,” bisik Nilakandi.“Apa aku terlihat peduli? Nggak, sayang,” kelakar Diwana. Lelaki itu berhasil membuat Nilakandi tertawa lagi dengan candaan bucinnya.Tepat saat itu, seorang polisi kemudian masuk ke dalam ruangan,

  • Nilakandi   Chapter 58. Saksi

    Diwana mendorong kursi roda Nilakandi dengan telaten. Setelah melalui diskusi panjang dengan para dokter, ia akhirnya bisa mendapatkn ijin untuk membawanya pulang.Sampailah mereka di depan pintu apartemen. Bukan, bukan apartemen Diwana, melainkan apartemen Nilakandi sendiri seperti yang dimintanya.“Udah siap? Kangen rumah, ya?” tanya Diwana, Nilakandi pun mengangguk dengan antusias.Diwana menuntun Nilkandi ke dalam kamarnya, lalu berhenti tepat di samping ranjang. Lelaki itu berlutut di depan kursi roda dan menengadah menatap mata sang kekasih.“I love you, like, so… much,” ucapnya sambil memegang kedua tangan Nilakandi.“Ih, bucin banget,” komentar Nilakandi.Diwana hanya terkekeh melihat reaksi sang kekasih, ia bangkit dan merapikan bantal untuk NIlakandi sebelum akhirnya membaringkannya di sana dengan hati-hati.“Kak,”“Hm? Ada apa?”“Mau dius

  • Nilakandi   Chapter 57. Mimpi Buruk

    Diwana berada di koridor ruang tunggu dengan kaki gemetar, sudah hampir satu jam dokter dan perawat-perawat itu menangani Nilakandi di dalam ruangan sana. Ia bahagia, sekaligus khawatir kalau-kalau ada sesuatu yang terjadi pada kekasihnya.Jovyan sudah menenangkannya berkali-kali, tapi tak juga dihiraukannya.“Udah hubungi Tama?” tanya Diwana gusar.Jovyan mengangguk, “Udah, Nana juga.”Tepat ketika Jovyan menyelesaikan kalimatnya, pintu tangga darurat terbanting kencang, menampakkan sosok Nana yang tergopoh berlari ke arah Diwana. Diwana pun spontan berdiri. Namun tak hanya Nana, di belakangnya ada sosok Tama yang sama-sama keluar dari tangga darurat.“Kenapa lewat tangga darurat? Jangan lari…” sambut Diwana yang entah kenapa merasa khawatir.“Lift penuh, lama,” jawab Nana singkat dengan terengah, “Kai gimana, Kak?” lanjutnya.“Masih ditangani dokter dan perawat

  • Nilakandi   Chapter 56. Nilakandi's POV (September 2015)

    Aku berlari kencang meskipun dengan kaki patah, beruntung bus tak begitu ramai sehingga aku tak perlu mencari alasan jika ada yang bertanya tentang keadaanku yang kacau. Aku tak berhenti menangis hingga bus sampai di halte dekat rumahku.Aku kembali berlari tergesa ke dalam rumah yang pintunya bahkan masih rusak karena ulah Kak Ten. Aku mencari-cari baju pesta yang tempo hari sudah aku cuci di tumpukan pakaian kering, lalu mengenakannya saat itu juga meskipun membuat luka-luka di kaki dan tanganku terekspos jelas.Kado dari ibu terlihat melambai-lambai dari atas nakas, seakan memintaku untuk menghampirinya. Aku pun membukanya, membaca lagi surat terakhir dari ibu yang mungkin bisa menenangkan emosiku. Tapi aku salah, semakin aku baca, semakin kuat tekadku.Aku bahkan memakai parfum berbotol cantik kado terakhir dari ibu, yang langsung membuatku merasa tak sendirian lagi. Seakan ibu sedang berada di sampingku menemani. Aroma woods pomelo itu tak membuat emosiku r

  • Nilakandi   Chapter 55. Nilakandi's POV (September 2015)

    Hari kelima, seharian kemarin aku tidak bisa menemui ayah karena perawat dan dokter sialan itu. Harapanku hari ini hanya satu, menemui ayah dan Nana untuk menanyakan kondisi ayahku yang sebenarnya. Aku berniat untuk berangkat lebih pagi agar memiliki banyak waktu untuk berbincang dengan Nana.Namun baru saja aku bersiap untuk pergi, pintu rumahku terdengar dibuka paksa, lagi. Aku masih ketakutan, tentu saja. Aku pun segera berlari ke arah kamarku, dan bersembunyi di dalam kamar mandi yang aku kunci dari dalam.Aku membungkam mulut dengan kedua tanganku agar tak bersuara sedikitpun, ketakutan setengah mati. Mataku terpejam memohon agar semua cepat berlalu. Namun sedetik kemudian, yang aku dengar justru derap langkah kaki yang mendekat.“Nggak perlu sembunyi, gue cuma mau nagih hutang… kematian lo,” suara Kak Ten menggema.Aku semakin bergetar saat kalimat itu ia lontarkan, bersamaan dengan ketukan pintu kamar mandi yang entah kenapa terd

DMCA.com Protection Status