Share

Chapter 6. Panik

Pagi itu suasana kantor divisi keuangan agak berbeda dari biasanya. Sembilan orang yang ternyata bawahan Diwana nampak berkerumun disatu meja di aula rapat. Meeting harusnya sudah dimulai di ruangan besar itu, yang kini justru tampak tak kondusif. Salah satu pegawai-Jeanne-tak henti-henti menelepon nomor seseorang dengan khawatir. Ya, Diwana.

"Udah yang kelima belas nih, kalau Kak Diwa nggak angkat juga, kita gimana?" kata Jeanne panik, lantas mengerang frustasi saat suara operator di seberang telepon kembali terdengar, tanda si empunya tak mengangkatnya untuk yang kelima belas kali.

Jeanne adalah pegawai terlama di divisi keuangan, ia direkrut bahkan sebelum perusahaan berdiri. Jadi ia paham betul bagaimana Tama CS merintis perusahaan itu. Sejak saat itu pula ia mengenal Diwana dan memberikan perhatian lebih padanya.

Hanya dia yang memanggil Diwa dengan sebutan 'Kak' karena mereka memang cukup dekat sebagai rekan kerja, setidaknya menurut Diwa demikian. Karena tak banyak yang tahu, kalau diam-diam ia menaruh suka yang amat sangat pada bosnya itu. Ya... walaupun hampir semua perempuan di kantor memang menyukai Diwa, tapi agaknya rasa suka Jeanne berbeda lantaran sudah mengenal Diwa sejak masih, hmm... sakit.

Karena itulah, ia yang paling khawatir saat bos kesayangannya itu tak ada kabar. Kalau tidak mnghiraukan pikiran rekan-rekan kerjanya yang lain, perempuan itu pasti sudah meluncur sendiri ke apartemen Diwana untuk memeriksa keadaan lelaki itu. Ya, Jeanne memang sudah beberapa kali membuntuti Diwana sepulang kerja seperti fans fanatik yang mengekor kemanapun idolanya pergi, creepy.

"Perlu kita nanya ke Pak Tama nggak sih?" sahut temannya yang lain, buru-buru ditimpali Jeanne lagi.

"Mana aku berani? Pak Tama kan untouchable. Belum pernah tuh aku hubungin dia secara personal tanpa campur tangan Kak Diwana." Benar, circle Tama CS memang sulit ditembus.

"Tapi meeting ini buat bahas proyek di Solo, kan? Harus clear pagi ini juga, kan nanti siang buat bahan meeting sama divisi lain. Lagian kan Pak Tama sama Pak Diwa sahabatan, nggak usah sungkan nanyain tentang Pak Diwa," tambah Evan, yang sering dipanggil The Second Diwana saking rajinnya.

"Eh apa sekretarisnya aja ya? aku belum pernah kontak secara pribadi juga sih, tapi Pak Jovyan kayanya lebih friendly," timang perempuan bersurai coklat muda itu.

"Pak Jovyan? Friendly? Iya, sih, kalau ke cewek, apalagi cantik, huh... Yaudah, hubungin gih cepet. Kali aja tahu Pak Diwana kemana, atau minimal bisa ngasih solusi," sambung Evan agak sinis, merotasikan bola matanya saat Jeanne berpaling menatap layar handphone. Ada sesuatu yang bergejolak di dalam sana. Hatinya mendadak kesal, tapi Evan yang bodoh tak mengerti karena apa. Jeanne pun segera menghubungi Jovyan meskipun awalnya sangsi.

---

"Siapa, Jo? Kenapa panik?" tanya Tama keheranan melihat sekretaris sekaligus sahabatnya yang tiba-tiba berdiri dari duduknya usai menerima telepon.

"Diwa, Ta. Diwana nggak ada kabar. Anak buahnya telepon gue katanya Diwana sampe sekarang belum dateng, padahal mau meeting internal."

"Hah? Bentar, jangan panik. Meetingnya jam delapan bukan sih? Meeting itu kan buat bekal rapat yang nanti siang sama kita. Bukan Diwana banget, nggak mungkin dia lalai." Tama menganalisis situasi, mencoba untuk tidak panik.

Jam di tangan Jovyan menunjukkan pukul sembilan lewat sepuluh menit. Datang satu jam lebih awal lebih mungkin dibanding telat satu menit kalau konteksnya itu Diwana.

"Iya, ini udah jam sembilan lebih. Mana pernah dia telat coba? Anak-anaknya pada nyariin, dihubungin nggak bisa. Fuck, tuh bocah kemana? Jangan bilang dia kamb-"

"Jo, jangan ngomong yang enggak-enggak dulu deh. Bentar dong, tenang dulu. Diwana kemarin lusa habis check up ke dokter, dia ijin ke aku kok. Dan jantungnya sehat, intinya nggak ada masalah apapun sama dia. Aku telepon bunda aja dulu," potong Tama cepat, tak ingin menambah kepanikan sahabatnya itu.

"Meetingnya?"

"Cancel. Sekalian batalin meeting kita yang nanti siang."

"B-beneran? Semua manager bisa ngamuk nih."

"Kalo ada yang nggak terima tinggal pecat, susah amat sih. Kita fokus ke Diwa dulu." Jovyan meneguk ludah mendengar kalimat bosnya barusan, menanggapi dengan anggukan.

"Keren juga bos gue," lanjut Jo dalam hati memuji sang atasan.

Jovyan menghubungi satu persatu kepala divisi selagi Tama berusaha menelepon Bunda. Wajah Tama memang tenang, tapi tidak memungkiri jika sejujurnya jantungnya juga berdegup kencang ikut panik.

Pasalnya, Diwana tidak pernah sekalipun bolos rapat, apalagi rapat sepenting itu dimana dia adalah pimpinan rapatnya. Menepis fikiran tentang kemungkinan-kemungkinan buruk yang mungkin terjadi pada Diwana, Tama hanya menghela nafas kasar.

"Nggak aktif, lagi dinas kayaknya. Aiden aja kalo gitu, Aiden masih hidup kan?" kata Tama sambil terkekeh, kemudian berusaha menelepon Aiden. Sebenarnya ia hanya bermaksud meredam paniknya sendiri saja.

"Sempet-sempetnya Lo bercanda astaga Tam-"

"Halo, Aiden? Ini Bang Tama. Lagi sama Kak Diwa nggak ya? Nggak papa kok, Abang cuma nanya doang." Tama diam beberapa saat mendengarkan suara diseberang telepon sambil berdehem dan mengangguk-angguk, kemudian ia terlihat mengakhirinya.

"Oke, thanks ya, Aiden. Bye," putusnya.

"Gimana? Kok Lo nggak bilang kalo Tama nggak ada kabar?" panik Jovyan, lagi.

"Tama di apartemen sejak kemarin, jadi Aiden nggak tau. Jangan bilang dulu, aku nggak mau keluarganya panik lah, Jo. Kita aja dulu yang cari dan semoga beneran dia nggak apa-apa, nggak kambuh disuatu tempat gitu. Tujuan utama kita pokoknya apartemen," kata Tama mencoba setenang mungkin.

Tama kemudian menyambar jasnya di sofa diikuti Jovyan yang langsung meraih kunci mobil kantor di gantung di dinding.

"Gue aja yang nyetir, nggak usah pake supir biar bisa ngebut. Diwa telat sejam aja satu kantor panik ya. Kalo yang ilang ini gue, Lo bakal langsung nyariin gini juga nggak, Ta? Tanya Jovyan tiba-tiba.

"Are you being serious? Berani taruhan, kamu bolos tiga hari pun nggak bakal ada yang sadar kecuali aku. Apalagi nyariin?" canda Tama sambil tertawa yang langsung dibalas pandangan sinis dari sahabatnya itu.

Diwana memang se-spesial itu dimata orang lain, termasuk Tama sendiri. Lelaki itu kini merasa sedikit bersalah, takut kalau terjadi hal yang tidak-tidak pada sahabatnya. Yang mungkin saja disebabkan karena banyaknya pekerjaan yang harus Diwana tanggung di perusahaannya. Lamunan Tama dibuyarkan oleh Jovyan lagi.

"Eh, gue nggak tau password rumahnya. Lo tau?"

"nol satu nol sembilan satu lima"

"Hah? Kok kaya tanggal? Tanggal apaan tuh?" tanya Jovyan dengan dahi berkerut.

"Hari dia dioperasi dulu,” jawab Tama enteng.

Jovyan spontan terdiam mendengarnya, ia menelan ludah dengan ekspresi agak tercekat dan mulai mempercepat langkah.

----

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status