"Halo, Rindu sayang. Lagi ngapain?" ujar suara di seberang telepon, terdengar seperti ledekan yang disengaja. Disambut raut masam si penerima.
"Sibuk aku, Ta. Kalo nggak penting jangan telfon dulu ya," jawab Diwana yang untuk keseribu kalinya merasa kesal kenapa bunda memberinya nama belakang 'Derurindu' yang selalu jadi bahan ejekan teman-temannya.
Ia meletakkan ponsel di meja dengan mode speaker, tak berniat melepaskan pandangan dari layar komputer. Diwana kini tengah memutar otak mengutak-atik anggaran dana untuk proyek pusat perbelanjaan baru yang sedang dikerjakannya.
Diwana punya banyak sekali bawahan, tentu saja, ia adalah seorang manager perusahaan retail terbesar nomor dua. Tapi sifat perfeksionis yang mendarah daging itu tak membiarkannya menyerahkan semua pekerjaan pada yang lain. Ia lebih memilih ikut pusing dan andil dalam semua tahap bebelit itu ketimbang mendapat hasil akhir yang tidak sempurna.
"Diw, kamu pulang aja gimana? Istirahat dulu kek, sumpah nggak enak aku lihat kamu seharian kerja mulu. Cus, sini gih susul aku ke cafe depan, lagi nongkrong bareng Jovyan nih."
"Baru kali ini ada bos nyuruh karyawannya pulang sebelum jam kerja selesai. Nggak enakan kok sama bawahan." Diwa berdecak keheranan mendengakan celoteh bos yang sekaligus sahabatnya itu.
Diwana memang terkenal terlalu rajin dimata pegawai-pegawai lain, bahkan termasuk bosnya sendiri-Theo-yang lebih sering dipanggil Tama entah karena apa.
Diwana belum pernah terlambat masuk kerja satu menitpun, kalau terlalu cepat masuk kerja justru sering. Ia juga belum pernah bolos kerja barang satu hari saja. Beberapa kali ijin absen pun hanya untuk check-up ke dokter rutinan empat bulan sekali. Selebihnya? Bersih.
Begitu agaknya definisi pegawai idaman semua bos di muka bumi. Ah tidak, kecualikan Tama yang justru kesal jika sahabatnya sejak kecil itu bekerja terlalu rajin.
Pernah suatu kali Tama berbohong masuk rumah sakit dengan harapan Diwana akan meng-cancel meeting internal yang dijadwalkan bersamanya. Bukan kabar dibatalkannya meeting yang ia terima, tapi justru satu bucket besar mawar putih dengan sepaket berkas-berkas yang harus ia tinjau, lengkap dengan notes kecil berwarna merah jambu bertuliskan "Kami sudah meeting, tinjau saja hasilnya. Cepat keluar." -Diwana.
"Ah ngeyel baget sih, Lo. Come on, ke Midnight Summer ya, cepetan gue tunggu. Lotta good view waiting." Terdengar teriakan dari seberang telepon yang kali ini datang dari sahabatnya yang lain-si tukang modus-Jovyan.
"Berisik ya kalian, hmm iya deh setengah jam lagi."
"What? Are you kidding me? Keburu lumutan gue disini, Diw."
"Ya tapi kan a-" Kalimat Diwa buru-buru dipotong oleh Tama menggunakan senjata terakhir andalannya.
"Datang sekarang atau aku pecat?" Iya, curang memang. Tapi kalau tidak diancam begitu, Diwana enggan beranjak dari komputer tercintanya.
Bukan, bukan karena Diwa gila jabatan atau takut miskin jika tidak bekerja. Yang benar saja, Diwana itu “pria kaya raya baik hati menantu idaman semua mama” kalau kata Jovyan. Diwana hanya takut kehilangan pekerjaan yang sangat ia cintai itu.
Kalau ibarat kasta cinta, cinta pertama Diwana itu bunda, dan yang kedua adalah pekerjaan. Aiden? Ranking empat setelah cintanya pada diri sendiri.
"Main ngancem ya bisanya. Iya iya aku OTW nih. Pesanin americano dingin, dong," sambung Diwana.
"HEH NGGAK BOLEH MINUM KOPI..!" Teriak kedua sahabatnya bersamaan.
---
"Bukannya proposal proyek Surabaya udah selesai ya, Diw?" Tanya Tama begitu Diwa tiba, seraya mematikan rokok elektrik yang masih menyisakan sedikit asap mengepul disekelilingnya.Merokok saat bersama Diwa adalah dosa besar yang tidak boleh mereka lakukan, begitu perjanjiannya. Meskipun Diwana sendiri sebenarnya merasa biasa saja, tidak keberatan sedikitpun. Ia bahkan menertawakan teman-temannya saat peraturan itu dicamkan.
Diwana menyeruput susu segar bertopping whip cream yang sebelumnya sudah dipesan Jo, bukan americano dingin seperti harapannya. Pikirannya masih sedikit terbayang-bayangi sang pemegang kasta cinta nomor duanya-pekerjaan-yang baru saja ia tinggalkan.
"Udah, tapi belum sempurna, Ta."
"Lanjutin yang proyek Solo aja, Diw. Yang itu udah perfect kalo kataku."
"Hey come on Bros, kita lagi nongkrong tolong jangan ngomongin kerja kenapa sih?" Jo bersuara juga setelah menahan geram dengan kedua teman yang mengacaukan waktu santainya. Bukan marah betulan, ia hanya ngambek sedikit saja ala anak remaja.
"Hahaha, kamu disiksa Tama ya, Jo? Oke oke aku diem."
"Siksa darimana, dia aja sibuk pacaran sama Adindaku Maheswari. Banyak tau job dia yang aku alihkan ke Rudya."
"Heh, ya Lo nggak usah ikut-ikutan pake Adindaku segala dong, Tuan Theo," gerutu Jo, tak mau sebutan sayang untuk pacar barunya itu digunakan orang lain sembarangan.
Bukan kali ini saja ia begitu, sebelum-sebelumnya pun ia akan selalu menciptakan nama panggilan romantis untuk sang pacar. Gadisku Nurmala, Cantikku Devina, Pujaanku Krisnawati, Cintaku Ayu, dan lain-lain.
"Hah? Cewek mana lagi tuh, Ta?"
"Itu loh, anak magang perusahaan properti yang tahun lalu pernah kerjasama sama kita. Siapa sangka itu anak kecantol dan PDKT sejak lama," ember Tama selagi menyesap vanilla latte panas. Ia tiba-tiba tersenyum geli dengan apa yang baru saja terlintas dipikirannya.
"Aneh banget ya takdir aku tuh, bisa-bisanya punya temen kaya kalian berdua. Yang satu playboynya nggak ketulungan, eh yang satu asexual." Tama pun terbahak-bahak, spontan disusul tawa tak kalah nyaring Jovyan.
"HUS NGAWUR. Aku nggak asex woy...!" panik Diwana yang melanjutkan separuh kalimatnya dengan sedikit berbisik, karena pegawai cafe baru saja memandang aneh kearah meja mereka.
"Ah elah, ngaku aja Lo. Terakhir putus sama tali pusar aja ngelak."
"Sialan." Diwa kini memandang Jo dengan memasang raut muka sok garang yang sebenarnya justru menggemaskan. Keduanya pun masih cekikikan.
"Lo tuh robot, ya? Lo itu idaman ibu-ibu satu RT gue tau nggak? Sampai kapan Lo mau cuekkin cewek-cewek kantor yang seksi-seksi itu, wahai Diwana Derurindu? Si Jamila apalagi, aduh sayang beribu sayang."
"Ambil sana, aku ngga minat," skakmat Diwa.
"Hmm.. menurut gue, semua ini gara-gara mbak setan sih. Bener nggak, Ta?"
"Betul, valid. Apa kabar tuh mbak hantu yang kamu suka itu?" Tama ikut-ikutan menyebut biru dengan sebutan hantu. Diwana menghela nafas panjang, sudah biasa.
"Hmm, entahlah. Masih sama aja, kemarin aku juga mimpi lagi. Aku kepikiran mau ke psikiater aja deh kayaknya." Jawaban Diwa sontak membuat kedua temannya melotot.
"Hah? Mau ngapain Lo?"
"Mau coba hypnosis. Kalian tau kan segila apa aku sejak operasi dulu? Sembuh sih iya, fisiknya. Tapi jiwanya malah nggak beres, halusinasiku terlalu gila sampai bertahun-tahun mimpiin dia. Atau jangan-jangan dia hantu beneran?" Diwana terkekeh dengan kalimatnya sendiri.
Tapi kedua pendengar curhatannya hanya diam memandang dengan perasaan sedikit iba. Mereka tidak bisa membayangkan sefrustasi apa Diwana selama ini selalu dihantui satu skenario selama bertahun-tahun. Kalau itu Jovyan, ia pasti sudah mati penasaran, atau minimal jadi gila.
"Ya, pokoknya kita dukung aja kalau memang mau terapi itu. Aku jadi penasaran, kalo suatu saat mimpi itu berhenti nih, kamu bakal seneng apa malah sedih, Diw?"
"Hmm iya juga ya. Nggak tahu, Ta. Nggak pernah mikir kesitu, tapi kayaknya bakal sedih sih. Soalnya dia cantik, hehehe."
"Tuhan... selamatkan hamba dari kegilaan teman hamba, Tuhan..." Tama memejamkan mata sambil merebahkan tubuhnya ke sandaran kursi dengan kasar, tak peraya dengan apa yang baru saja ia dengar.
"Diwa... sekarang aja yuk ke pskiaternya? Setan dibilang cantik eh si Jamila seksi malah dianggurin, kesel gue Diw," omel Jovyan diikuti tawa ketiganya.
----
Deburan ombak di laut menguning itu memabukkan sekali ditelinga Diwana. Lagi, ia berdiri sepuluh meter dari sosok perempuan yang ia beri nama Biru karena gaunnya itu. “Biruuu.. aku rindu lagi. Kali ini rindunya lebih dari yang kemarin-kemarin.” Demi Tuhan, Diwana sangat ingin mendekat. Tapi ia tahu, tepat ketika tangannya membelai Biru, saat itu juga ia akan terbangun dari mimpi. Begitu peraturannya. Demi Tuhan pula, Diwana ingin sekali memanggil gadis pujaan hatinya itu. Tapi ia juga tahu, tepat ketika mulutnya berucap maka gadis itu akan lenyap nak asap mengepul di tungku perapian, kemudian terjagalah ia. Begitu peraturan kedua dimimpinya. Entah bagaimana segala peraturan-peraturan mimpinya itu bermula, Diwana tak tahu. Tidak ada yang tahu. Halusinasi di mimpinya memang sangat parah sampai-sampai wajah perempuan asing itu bisa tergambar dengan sangat jelas di memori, membuatnya tak mungkin bisa lupa dengan si gadis. Entah sejak kapa
Pagi itu suasana kantor divisi keuangan agak berbeda dari biasanya. Sembilan orang yang ternyata bawahan Diwana nampak berkerumun disatu meja di aula rapat. Meeting harusnya sudah dimulai di ruangan besar itu, yang kini justru tampak tak kondusif. Salah satu pegawai-Jeanne-tak henti-henti menelepon nomor seseorang dengan khawatir. Ya, Diwana. "Udah yang kelima belas nih, kalau Kak Diwa nggak angkat juga, kita gimana?" kata Jeanne panik, lantas mengerang frustasi saat suara operator di seberang telepon kembali terdengar, tanda si empunya tak mengangkatnya untuk yang kelima belas kali. Jeanne adalah pegawai terlama di divisi keuangan, ia direkrut bahkan sebelum perusahaan berdiri. Jadi ia paham betul bagaimana Tama CS merintis perusahaan itu. Sejak saat itu pula ia mengenal Diwana dan memberikan perhatian lebih padanya. Hanya dia yang memanggil Diwa dengan sebutan 'Kak' karena mereka memang cukup dekat sebagai rekan kerja, setidaknya menu
"Lantai sembilan apa sepuluh sih, Ta? Lupa gue." Dengan langkah tergesa, Jovyan dan Tama berjalan menuju lift. Keduanya agak lega tapi sekaligus khawatir disaat yang sama usai melihat mobil Diwana yang nampak masih terparkir di basement apartemen. Diwana hanya menaiki mobil hyundai putihnya itu saja kemana-mana, ia tidak punya sepeda kayuh ataupun sepeda motor karena ia bahkan tidak bisa mengendarai keduanya. Pun tidak pernah naik kendaraan umum seperti taksi atau bus karena tidak terbiasa. Atas dasar itulah Jovyan dan Tama menyimpulkan, Diwana ada di apartemen meski entah dalam keadaan apa. Hati keduanya sungguh tengah berdegup kencang. Tama bahkan sudah memiliki skenario di otaknya dimana Diwana mungkin sedang tergeletak kesakitan di kamar mandi, atau terbaring lemas tak sadarkan diri di atas tempat tidur. "Lantai sembilan, Jo. Kamu udah ratusan kali kesini." Tama berdecak sambil masuk ke dalam lift. Jo hanya menggaruk rambut belakangnya cengengesan
Selesai mandi, badan diwa justru semakin panas, nafasnya bahkan sedikit tak beraturan. Pusing itu menyerang lagi padahal ia harus segera berangkat kerja. Tepat ketika ia hendak mengambil obat darurat di nakas, bel pintu berbunyi. Siapa? Pikirnya. Karena memang tak banyak yang tahu apartemen Diwana, atau lebih tepatnya karena temannya pun tak banyak juga. Hanya Aiden, bunda, dan duo Jovyan Tama saja yang pernah mampir. “Maaf, siapa?” tanya Diwa dari interkom pintu rumahnya. “Mmm.. maaf mengganggu, saya penghuni baru yang pindah hari ini ke rumah 092. Apakah kakak punya nomor telepon SE yang bisa dihubungi? Interkom pintu rumah saya sepertinya bermasalah, jadi saya belum bisa masuk,” ucap suara dari seberang pintu yang ternyata adalah seorang perempuan. Dengan masih menahan sisa pening di kepalanya, Diwana mengambil kartu nama sales executive gedung yang ia simpan di dompet. Begitu ia membuka pintu, pandangannya langsung t
Kicau burung kolibri yang tadi pagi membangunkan Diwana kembali terdengar, tapi kali ini bukan dari balik jendela kamar Diwa. Diwana dan Nilakandi kini duduk di bangku taman apartemen. Perempuan itu duduk di ujung bangku, memberi jarak sejauh yang ia bisa dari lelaki asing disampingnya. Matanya berkeliling sebentar, lega dirasa saat matanya menangkap pos satpam disamping gerbang utama, lengkap dengan seorang satpam yang tengah bertugas. Bagaimanapun juga, ia sedang bersama orang asing saat ini. Awalnya hening, tak ada yang memulai. "Saya.. Diwana" ucap Diwa tanpa melirik kearah gadis disampingnya, mengulangi kalimatnya di lift tadi. Jika boleh jujur, hatinya masih berdegup kencang memandang Biru, maksudnya Nilakandi. "Saya penghuni rumah 903, calon tetangga kamu. Maaf atas apa yang saya lakukan tadi. Saya hanya salah orang." Ia masih terus memandang tanah berselimut rumput dikakinya, sambil memainkan sapu tangan penuh bercak darah ditangan. Mi
Diwana berdiam diri di balik pintu rumahnya, menimbang-nimbang jam berapakah ia akan keluar dan berangkat kerja. Berangkat ke kantor tidak pernah serumit itu sebelumnya, sebelum Nilakandi hadir mengusiknya. “Kalau berangkat sekarang bisa ketemu nggak ya?” “Atau agak siangan?” “Sebentar, kalau dia dirumah seharian dan nggak keluar-keluar gimana dong?” Hati Diwana benar-benar sedang berdebat dengan otaknya sendiri. Dua hari sudah sejak insiden hilangnya Diwana. Jovyan sudah ratusan kali mengejeknya bucin, Tama juga. Bahkan mereka bersikeras ingin bertemu Nilakandi lagi. Karena dilihat dari sisi manapun, perempuan itu sangat mirip dengan Biru. Ah tidak, mereka bahkan sama, benar-benar sama. Hanya saja wajah Nilakandi yang sekarang terasa lebih... dewasa. Sudah sejak saat itu pula Diwana belum bertemu lagi dengan Nilakandi. Entah kenapa, dia rindu. Aneh memang, rindunya terasa sama seperti saat ia merindukan soso
"Udah sampai, sini Kak," ujar Kandi mengulurkan tangannya, bermaksud meraih kantong belanjaan yang dipegang Diwana. Lelaki itu membisu sejak dari minimarket tadi. Nilakandi juga tak tahu harus memulai pembicaraan seperti apa, sedangkan Diwana hanya sibuk dengan pikiran-pikirannya sendiri. "Eh, iya ini. Sampai ketemu lagi," ucap Diwana saat perempuan itu sudah hampir menghilang dibalik pintu. Nilakandi tersenyum mendengar ucapan Diwana yang entah kenapa terdengar sangat polos ditelinganya. Hati Diwana berkecamuk, apa gerangan yang sudah terjadi pada perempuan itu? Luka-luka itu jelas bukan luka terjatuh atau sejenisnya. Luka-luka itu seperti hasil pukulan benda tumpul yang sepertinya disengaja. Apa gerangan latar belakang wanita misterius ini? Ada kisah apa dibaliknya? Diwana pusing dibuatnya. --- "Aw, kenapa kamu nggak kering-kering sih," gumam Kandi sambil mengoleskan obat merah ke luka terbuka di lengan kanannya. Usai memakaikan ples
Seperti debur ombak yang terus menghantam pesisir, Deru rindumu pun tak akan pernah berhenti mengulir, Meskipun mungkin ia telah sedikit mencair. Jangan mencari, jangan menunggu, biar semesta yang menguaknya satu-satu. Menangislah, kalau itu membuatmu lega. Sebentar atau lama, ada hati yang harus kau jaga. Puisi menggema kembali terdengar. Ya, laut menguning. Matahari masih berada di tengah-tengah ufuk, tak peduli berapa lama lelaki itu berdiri disana. "Kenapa matahari itu tak pernah meninggi?" batin Diwana yang kembali terseret ke bunga tidurnya. Mata Diwana kini mengabsen satu-satu objek di mimpi yang sudah beberapa hari tak mengusiknya itu. Matahari, ada. Laut menguning, ada. Deburan kecil ombak yang menyapu pantai pun ada. Hanya satu yang hilang dari pandangannya, Biru. Gadis bergaun biru itu tak lagi berdiri di tepi pantai menatap laut lepas. Kini tanah