Share

Chapter 4. Jovyan Tama

"Halo, Rindu sayang. Lagi ngapain?" ujar suara di seberang telepon, terdengar seperti ledekan yang disengaja. Disambut raut masam si penerima.

"Sibuk aku, Ta. Kalo nggak penting jangan telfon dulu ya," jawab Diwana yang untuk keseribu kalinya merasa kesal kenapa bunda memberinya nama belakang 'Derurindu' yang selalu jadi bahan ejekan teman-temannya.

Ia meletakkan ponsel di meja dengan mode speaker, tak berniat melepaskan pandangan dari layar komputer. Diwana kini tengah memutar otak mengutak-atik anggaran dana untuk proyek pusat perbelanjaan baru yang sedang dikerjakannya.

Diwana punya banyak sekali bawahan, tentu saja, ia adalah seorang manager perusahaan retail terbesar nomor dua. Tapi sifat perfeksionis yang mendarah daging itu tak membiarkannya menyerahkan semua pekerjaan pada yang lain. Ia lebih memilih ikut pusing dan andil dalam semua tahap bebelit itu ketimbang mendapat hasil akhir yang tidak sempurna.

"Diw, kamu pulang aja gimana? Istirahat dulu kek, sumpah nggak enak aku lihat kamu seharian kerja mulu. Cus, sini gih susul aku ke cafe depan, lagi nongkrong bareng Jovyan nih."

"Baru kali ini ada bos nyuruh karyawannya pulang sebelum jam kerja selesai. Nggak enakan kok sama bawahan." Diwa berdecak keheranan mendengakan celoteh bos yang sekaligus sahabatnya itu.

Diwana memang terkenal terlalu rajin dimata pegawai-pegawai lain, bahkan termasuk bosnya sendiri-Theo-yang lebih sering dipanggil Tama entah karena apa.

Diwana belum pernah terlambat masuk kerja satu menitpun, kalau terlalu cepat masuk kerja justru sering. Ia juga belum pernah bolos kerja barang satu hari saja. Beberapa kali ijin absen pun hanya untuk check-up ke dokter rutinan empat bulan sekali. Selebihnya? Bersih.

Begitu agaknya definisi pegawai idaman semua bos di muka bumi. Ah tidak, kecualikan Tama yang justru kesal jika sahabatnya sejak kecil itu bekerja terlalu rajin.

Pernah suatu kali Tama berbohong masuk rumah sakit dengan harapan Diwana akan meng-cancel meeting internal yang dijadwalkan bersamanya. Bukan kabar dibatalkannya meeting yang ia terima, tapi justru satu bucket besar mawar putih dengan sepaket berkas-berkas yang harus ia tinjau, lengkap dengan notes kecil berwarna merah jambu bertuliskan "Kami sudah meeting, tinjau saja hasilnya. Cepat keluar." -Diwana.

"Ah ngeyel baget sih, Lo. Come on, ke Midnight Summer ya, cepetan gue tunggu. Lotta good view waiting." Terdengar teriakan dari seberang telepon yang kali ini datang dari sahabatnya yang lain-si tukang modus-Jovyan.

"Berisik ya kalian, hmm iya deh setengah jam lagi."

"What? Are you kidding me? Keburu lumutan gue disini, Diw."

"Ya tapi kan a-" Kalimat Diwa buru-buru dipotong oleh Tama menggunakan senjata terakhir andalannya.

"Datang sekarang atau aku pecat?" Iya, curang memang. Tapi kalau tidak diancam begitu, Diwana enggan beranjak dari komputer tercintanya.

Bukan, bukan karena Diwa gila jabatan atau takut miskin jika tidak bekerja. Yang benar saja, Diwana itu “pria kaya raya baik hati menantu idaman semua mama” kalau kata Jovyan. Diwana hanya takut kehilangan pekerjaan yang sangat ia cintai itu.

Kalau ibarat kasta cinta, cinta pertama Diwana itu bunda, dan yang kedua adalah pekerjaan. Aiden? Ranking empat setelah cintanya pada diri sendiri.

"Main ngancem ya bisanya. Iya iya aku OTW nih. Pesanin americano dingin, dong," sambung Diwana.

"HEH NGGAK BOLEH MINUM KOPI..!" Teriak kedua sahabatnya bersamaan.

---

"Bukannya proposal proyek Surabaya udah selesai ya, Diw?" Tanya Tama begitu Diwa tiba, seraya mematikan rokok elektrik yang masih menyisakan sedikit asap mengepul disekelilingnya.

Merokok saat bersama Diwa adalah dosa besar yang tidak boleh mereka lakukan, begitu perjanjiannya. Meskipun Diwana sendiri sebenarnya merasa biasa saja, tidak keberatan sedikitpun. Ia bahkan menertawakan teman-temannya saat peraturan itu dicamkan.

Diwana menyeruput susu segar bertopping whip cream yang sebelumnya sudah dipesan Jo, bukan americano dingin seperti harapannya. Pikirannya masih sedikit terbayang-bayangi sang pemegang kasta cinta nomor duanya-pekerjaan-yang baru saja ia tinggalkan.

"Udah, tapi belum sempurna, Ta."

"Lanjutin yang proyek Solo aja, Diw. Yang itu udah perfect kalo kataku."

"Hey come on Bros, kita lagi nongkrong tolong jangan ngomongin kerja kenapa sih?" Jo bersuara juga setelah menahan geram dengan kedua teman yang mengacaukan waktu santainya. Bukan marah betulan, ia hanya ngambek sedikit saja ala anak remaja.

"Hahaha, kamu disiksa Tama ya, Jo? Oke oke aku diem."

"Siksa darimana, dia aja sibuk pacaran sama Adindaku Maheswari. Banyak tau job dia yang aku alihkan ke Rudya."

"Heh, ya Lo nggak usah ikut-ikutan pake Adindaku segala dong, Tuan Theo," gerutu Jo, tak mau sebutan sayang untuk pacar barunya itu digunakan orang lain sembarangan.

Bukan kali ini saja ia begitu, sebelum-sebelumnya pun ia akan selalu menciptakan nama panggilan romantis untuk sang pacar. Gadisku Nurmala, Cantikku Devina, Pujaanku Krisnawati, Cintaku Ayu, dan lain-lain.

"Hah? Cewek mana lagi tuh, Ta?"

"Itu loh, anak magang perusahaan properti yang tahun lalu pernah kerjasama sama kita. Siapa sangka itu anak kecantol dan PDKT sejak lama," ember Tama selagi menyesap vanilla latte panas. Ia tiba-tiba tersenyum geli dengan apa yang baru saja terlintas dipikirannya.

"Aneh banget ya takdir aku tuh, bisa-bisanya punya temen kaya kalian berdua. Yang satu playboynya nggak ketulungan, eh yang satu asexual." Tama pun terbahak-bahak, spontan disusul tawa tak kalah nyaring Jovyan.

"HUS NGAWUR. Aku nggak asex woy...!" panik Diwana yang melanjutkan separuh kalimatnya dengan sedikit berbisik, karena pegawai cafe baru saja memandang aneh kearah meja mereka.

"Ah elah, ngaku aja Lo. Terakhir putus sama tali pusar aja ngelak."

"Sialan." Diwa kini memandang Jo dengan memasang raut muka sok garang yang sebenarnya justru menggemaskan. Keduanya pun masih cekikikan.

"Lo tuh robot, ya? Lo itu idaman ibu-ibu satu RT gue tau nggak? Sampai kapan Lo mau cuekkin cewek-cewek kantor yang seksi-seksi itu, wahai Diwana Derurindu? Si Jamila apalagi, aduh sayang beribu sayang."

"Ambil sana, aku ngga minat," skakmat Diwa.

"Hmm.. menurut gue, semua ini gara-gara mbak setan sih. Bener nggak, Ta?"

"Betul, valid. Apa kabar tuh mbak hantu yang kamu suka itu?" Tama ikut-ikutan menyebut biru dengan sebutan hantu. Diwana menghela nafas panjang, sudah biasa.

"Hmm, entahlah. Masih sama aja, kemarin aku juga mimpi lagi. Aku kepikiran mau ke psikiater aja deh kayaknya." Jawaban Diwa sontak membuat kedua temannya melotot.

"Hah? Mau ngapain Lo?"

"Mau coba hypnosis. Kalian tau kan segila apa aku sejak operasi dulu? Sembuh sih iya, fisiknya. Tapi jiwanya malah nggak beres, halusinasiku terlalu gila sampai bertahun-tahun mimpiin dia. Atau jangan-jangan dia hantu beneran?" Diwana terkekeh dengan kalimatnya sendiri.

Tapi kedua pendengar curhatannya hanya diam memandang dengan perasaan sedikit iba. Mereka tidak bisa membayangkan sefrustasi apa Diwana selama ini selalu dihantui satu skenario selama bertahun-tahun. Kalau itu Jovyan, ia pasti sudah mati penasaran, atau minimal jadi gila.

"Ya, pokoknya kita dukung aja kalau memang mau terapi itu. Aku jadi penasaran, kalo suatu saat mimpi itu berhenti nih, kamu bakal seneng apa malah sedih, Diw?"

"Hmm iya juga ya. Nggak tahu, Ta. Nggak pernah mikir kesitu, tapi kayaknya bakal sedih sih. Soalnya dia cantik, hehehe."

"Tuhan... selamatkan hamba dari kegilaan teman hamba, Tuhan..." Tama memejamkan mata sambil merebahkan tubuhnya ke sandaran kursi dengan kasar, tak peraya dengan apa yang baru saja ia dengar.

"Diwa... sekarang aja yuk ke pskiaternya? Setan dibilang cantik eh si Jamila seksi malah dianggurin, kesel gue Diw," omel Jovyan diikuti tawa ketiganya.

----

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status