Perempuan bergaun biru itu memandang kearah lautan lepas berwarna jingga di depannya dengan sendu. Tangan yang mungil terkulai begitu saja di kedua sisi tubuhnya. Bibirnya mengatup rapat, helai demi helai rambut itu terurai menari-nari mengikuti alunan lagu sang anila.
Tatapannya nampak kosong, namun disaat yang bersamaan juga nampak penuh dengan kebimbangan. Beralaskan pasir pantai yang basah, kakinya tetap memaku tatkala diterpa ombak yang menyapa. Sepertinya ia tidak keberatan sama sekali saat dingin air laut berusaha mengusik jemari kakinya. Tak ada kicau burung bernyanyi, tak ada musik mengalun mengiringi.
Perlahan matanya terpejam menikmati detik demi detik waktu yang berlalu, menyisakan tanda tanya besar pada sosok yang mengamatinya sejak tadi.
"Cantik," batin laki-laki yang entah sejak kapan mengamati gadis misterius itu dalam diam. Senyum mengembang di bibirnya, seakan sudah tertahan sejak lama. Bait-bait puisi kerinduan tertulis jelas di wajahnya yang masih tersipu meski hanya dengan menyaksikan gadis itu dari kejauhan.
"Aku benar-benar ingin menyapamu, gadis bergaun biru," batinnya lagi. Sebait puisi tentang kerinduan tiba-tiba sayup-sayup terdengar ditelinganya, entah suara siapa itu.
Lihatlah, matahari bersinar malu-malu di ufuk sana.
Apakah rindumu sudah mencair olehnya?
Ataukah justru kian menggebu?
Karena sepertinya candumu tak ada obatnya.
Maaf, datang lagilah lain kali.
Dosa atau doa, ada hutang yang harus kau lunasi.
Suara ombak mengalun merdu mengiringi siapapun yang tengah merindu. Ada aturan-aturan tertentu yang menghalanginya, sebesar apapun celengan rindunya untuk sang gadis yang tertahan.
Namun ia hanyalah manusia biasa yang pada akhirnya, pertahanannya runtuh juga. Dari jarak sekitar sepuluh kaki, bau harum unik mulai menyeruak membuat lelaki itu memejamkan matanya, menghirup kuat-kuat aroma yang memabukkan itu. Aroma yang bisa membuat siapa saja gila bahkan hanya dengan membayangkannya sekalipun.
Kelopak-kelopak bunga warna-warni bertebaran disekeliling si gadis bergaun biru, menampakkan cahaya kebiruan yang berpendar dengan teratur. Sehelai kelopak bunga mawar berwarna biru itu jatuh tepat di tangan sang lelaki yang sudah menengadah. Kemudian, aroma memabukkan itu menguat lagi seiring hembusan angin yang beradu.
"Lagi. Harum ini lagi. Aku ingin serakah. Kumohon, ijinkan aku mendekat menyetuhmu," pinta si lelaki memelas walau jelas tak terdengar.
Sepertinya angin memang sengaja bermain-main dengan keduanya, mungkin berharap mereka segera bertegur sapa. Bahkan angin dan ombak pun tak sabar menunggu dua insan itu bertemu lebih dari sekedar hanya beradu pandang. Kemudian sekali lagi, harum khas yang memabukkan itu menyeruak ke indera sang perindu.
Kata Kahlil Gibran, apa yang kita sentuh adalah bagian dari nafsu kita. Mungkin benar, lelaki itu buktinya. Tampaknya ia benar-benar memilih serakah meskipun ia tentu sangat tahu apa konsekuensi atas tindakannya.
Dirematnya kelopak bunga ditangan, pendiriannya pun seketika runtuh. Bulat sudah tekadnya untuk meredakan kerinduan, mengikuti nafsunya. Perlahan ia melangkahkan kaki mendekat, bermaksud mengikis jarak diantara mereka, atau bahkan menyapanya.
Satu langkah.
Gemerincing lonceng-lonceng kecil terdengar ditelinganya, sedikit berisik tapi entah kenapa tetap merdu. Tepat ketika derak-derak lonceng terakhir berbunyi, keheningan pun menyambut memaksa ia kembali melangkah.
Dua Langkah.
Tubuhnya sedikit terhuyung tapi hati memimpinnya lagi, ia hanya patuh mengikuti. Belum terlambat untuk berputar arah dan kembali, tapi ia tak punya niat itu barang sedikitpun.
Tiga langkah.
Aroma yang memabukkan perlahan menghilang, tergantikan aroma air laut yang bersua dengan matahari. Entah kenapa terasa sangat menyejukkan disaat langkahnya mulai terasa berat seakan sesuatu menahannya dari belakang. Tapi sekali lagi, tak bisa diungkapkan dengan kata-kata seberapa besar inginnya melepas rindu. Sekalipun dengan mempertaruhkan segala yang dimilikinya saat itu.
Empat langkah.
Kini wajah gadis itu semakin terlihat jelas sejelas kerinduan yang seringkali menghantui perasaannya. Kerinduan yang seakan tengah memekik ditelinga meminta untuk segera dilepaskan. Kerinduan yang bahkan matahari pun tak bisa mencairkan. Tak tertahan lagi, keserakahan menguasai ego lelaki itu yang kemudian menyapa dengan berdehem pelan.
"Ekhm, halo." Suara bariton itu memecah keheningan, membuat Gadis Bergaun Biru menoleh pelan kearah sang empunya suara. Laki-laki itu bahagia, bak akhirnya berjumpa dengan musim semi setelah melewati musim dingin yang panjang.
Untuk sepersekian detik berikutnya yang terjadi hanyalah kebisuan berbumbu debur ombak yang berperang menuju daratan. Tatapan kosong sang gadis pun bertemu dengan netra sang lelaki, seperti biasanya. Seberkas cahaya jingga membelai satu sisi wajahnya, cantik sekali.
Tak henti-hentinya lelaki itu memuji ciptaan indah tuhannya dalam hati. Gadis itu kemudian tersenyum manis, tapi entah kenapa matanya tidak demikian. Terbersit kepiluan dari sorot netra cokelat yang sedikit berkaca-kaca itu.
Lalu hal yang paling Diwana takutkan pun dimulai, sepuluh detik berikutnya gadis itu perlahan memudar dari pandangan. Sesuatu yang seperti kabut asap mengelilinginya tiba-tiba, dan sejurus kemudian… melenyapkannya. Semua terjadi hanya dalam hitungan detik, seperti tipuan sihir magis yang mengelabui mata.
"Tidak… Tunggu. Kumohon jangan pergi lagi… Biru..." teriak lelaki itu yang entah kenapa hanya bisa terpaku ditempat dimana ia berdiri.
Tangannya mencoba melambai namun tiada guna, bermaksud mencegah Gadis Bergaun Biru pergi. Ia hanya bisa menatap nanar gumpalan asap mengepul yang masih sedikit tersisa di udara.
Sekitar lima detik kemudian ia tiba-tiba bisa bergerak lagi dari tempatnya, tak lagi terpaku. Tapi buat apa jika yang dirindu bahkan sudah tak terlihat lagi, lenyap tepat di depan matanya.
"Biru…" Begitulah ia selalu memanggil gadis itu, karena gaunnya tentu saja.
"Biru…."
"Biru….." isaknya dalam sendu.
"KAK..? KAK DIWA...?
"DIWANA…?!"
PLAKK
"Bangun, Kak. Kakak serem ih, ngigau si hantu lagi, kan? Udah ditungguin Bunda dibawah dari tadi, udah jam delapan nih. Cepet turun buat sarapan bareng sebelum bunda ngomel."
"DEK?! BARUSAN KAMU NAMPAR KAKAK YA?"
Diwana yang baru saja terbangun dari mimpinya pun melotot memandang tak percaya kearah si adik jahil yang berdiri didepannya tanpa dosa. Yang ditatap pun seketika terkejut saat siasatnya terbongkar, dengan sigap ia segera melarikan diri dan setengah berlari keluar kamar kakak laki-lakinya.
"AIDEN!!" teriak Diwana tepat saat Aiden membanting pintu.
Namun sayang, yang dipanggil sudah terlanjur lenyap di balik pintu kamarnya. Saat Diwana mulai sadar sepenuhnya, mimpi yang baru saja menghantui perlahan muncul dari memorinya. Lengkap adegan demi adegan, kata demi kata, emosi demi emosi.
Bahkan bau harum dari mimpinya seakan ikut menyeruak ke dunia nyata, karena Diwana berani bersumpah bahwa ia masih bisa merasakan sedikit aroma memabukkan itu sekarang di kamarnya. Harum memabukkan itu terasa menguar mengikutinya keluar dari alam mimpi, tak bisa diterima akal sehat siapapun yang mendengar kenyataan itu.
"Biru, aku sudah rindu lagi."
----"Bun, Ai tadi bangunin kakak pake nampar tau." Diwana mengadu sambil memegangi pipi kanannya yang sebenarnya tidak sakit juga, hanya berpura-pura agar adik jahilnya itu setidaknya dimarah sang bunda. Ia bahkan tidak tahu kalau sebenarnya bukan pipi kanan melainkan pipi kirinya yang ditampar Aiden. "Aiden.. udah gede kok masih jahil?" ucap bunda yang tangannya sibuk mengaduk-aduk krim sup buatannya. "Dengerin tuh" Diwana menjulurkan lidah penuh kemenangan. "Loh loh loh kok gue yang salah sih. Lo aja yang ngigau lagi. Bunda tau kan kalo kakak udah teriak-teriak sambil tidur tuh serem banget." Si bungsu membela diri. "Bilang apa barusan? Gua gue gua gue? Udah dibilangin kan jangan pake lo-gue ke kakak ih. Kayak si Junio itu loh, Dek. Udah cakep, baik, sopaaan banget sama kakak, pinter, rajin, ganteng lagi. Duh paket komplit banget, adek idaman semua abang pokoknya." Junio adalah tetangga keluarga Diwana yang sekaligus teman Aiden sejak mereka pin
Diwana masih duduk terdiam di kasur kamar rumah sakit memandangi infus yang terpasang di tangan. Otaknya tak berhenti berkelana sambil memikirkan satu demi satu kemungkinan yang bisa terjadi. Jantungnya berdegup cukup kencang, membuat nafasnya ikut sedikit memburu, khawatir. "Bun, Dokter Tano kenapa lama banget ya? Katanya beliau tuh teman Bunda?" tanyanya lembut pada bunda yang duduk di sofa. Tapi keburu disahut duluan oleh sang adik. "Santai dong, Kak. Grogi ya? Baca-baca majalah gini nih biar santai kaya aku, ah elah grogian amat hahaha," ledek Aiden sambil tertawa kecil. Tapi semua juga tahu kalau suaranya sedikit bergetar. Diwana tahu Aiden sebenarnya tak kalah cemas darinya. Diwa hanya tersenyum melihat Aiden sedang menutupi wajah khawatirnya dengan pura-pura membaca majalah yang bahkan tidak ia balik halamannya sejak lima belas menit yang lalu. Berjudul Kumpulan Resep MPASI Praktis Balita. "Bentar lagi, Kak. Baru juga beberapa jam yang
"Halo, Rindu sayang. Lagi ngapain?" ujar suara di seberang telepon, terdengar seperti ledekan yang disengaja. Disambut raut masam si penerima. "Sibuk aku, Ta. Kalo nggak penting jangan telfon dulu ya," jawab Diwana yang untuk keseribu kalinya merasa kesal kenapa bunda memberinya nama belakang 'Derurindu' yang selalu jadi bahan ejekan teman-temannya. Ia meletakkan ponsel di meja dengan mode speaker, tak berniat melepaskan pandangan dari layar komputer. Diwana kini tengah memutar otak mengutak-atik anggaran dana untuk proyek pusat perbelanjaan baru yang sedang dikerjakannya. Diwana punya banyak sekali bawahan, tentu saja, ia adalah seorang manager perusahaan retail terbesar nomor dua. Tapi sifat perfeksionis yang mendarah daging itu tak membiarkannya menyerahkan semua pekerjaan pada yang lain. Ia lebih memilih ikut pusing dan andil dalam semua tahap bebelit itu ketimbang mendapat hasil akhir yang tidak sempurna. "Diw, kamu pulang a
Deburan ombak di laut menguning itu memabukkan sekali ditelinga Diwana. Lagi, ia berdiri sepuluh meter dari sosok perempuan yang ia beri nama Biru karena gaunnya itu. “Biruuu.. aku rindu lagi. Kali ini rindunya lebih dari yang kemarin-kemarin.” Demi Tuhan, Diwana sangat ingin mendekat. Tapi ia tahu, tepat ketika tangannya membelai Biru, saat itu juga ia akan terbangun dari mimpi. Begitu peraturannya. Demi Tuhan pula, Diwana ingin sekali memanggil gadis pujaan hatinya itu. Tapi ia juga tahu, tepat ketika mulutnya berucap maka gadis itu akan lenyap nak asap mengepul di tungku perapian, kemudian terjagalah ia. Begitu peraturan kedua dimimpinya. Entah bagaimana segala peraturan-peraturan mimpinya itu bermula, Diwana tak tahu. Tidak ada yang tahu. Halusinasi di mimpinya memang sangat parah sampai-sampai wajah perempuan asing itu bisa tergambar dengan sangat jelas di memori, membuatnya tak mungkin bisa lupa dengan si gadis. Entah sejak kapa
Pagi itu suasana kantor divisi keuangan agak berbeda dari biasanya. Sembilan orang yang ternyata bawahan Diwana nampak berkerumun disatu meja di aula rapat. Meeting harusnya sudah dimulai di ruangan besar itu, yang kini justru tampak tak kondusif. Salah satu pegawai-Jeanne-tak henti-henti menelepon nomor seseorang dengan khawatir. Ya, Diwana. "Udah yang kelima belas nih, kalau Kak Diwa nggak angkat juga, kita gimana?" kata Jeanne panik, lantas mengerang frustasi saat suara operator di seberang telepon kembali terdengar, tanda si empunya tak mengangkatnya untuk yang kelima belas kali. Jeanne adalah pegawai terlama di divisi keuangan, ia direkrut bahkan sebelum perusahaan berdiri. Jadi ia paham betul bagaimana Tama CS merintis perusahaan itu. Sejak saat itu pula ia mengenal Diwana dan memberikan perhatian lebih padanya. Hanya dia yang memanggil Diwa dengan sebutan 'Kak' karena mereka memang cukup dekat sebagai rekan kerja, setidaknya menu
"Lantai sembilan apa sepuluh sih, Ta? Lupa gue." Dengan langkah tergesa, Jovyan dan Tama berjalan menuju lift. Keduanya agak lega tapi sekaligus khawatir disaat yang sama usai melihat mobil Diwana yang nampak masih terparkir di basement apartemen. Diwana hanya menaiki mobil hyundai putihnya itu saja kemana-mana, ia tidak punya sepeda kayuh ataupun sepeda motor karena ia bahkan tidak bisa mengendarai keduanya. Pun tidak pernah naik kendaraan umum seperti taksi atau bus karena tidak terbiasa. Atas dasar itulah Jovyan dan Tama menyimpulkan, Diwana ada di apartemen meski entah dalam keadaan apa. Hati keduanya sungguh tengah berdegup kencang. Tama bahkan sudah memiliki skenario di otaknya dimana Diwana mungkin sedang tergeletak kesakitan di kamar mandi, atau terbaring lemas tak sadarkan diri di atas tempat tidur. "Lantai sembilan, Jo. Kamu udah ratusan kali kesini." Tama berdecak sambil masuk ke dalam lift. Jo hanya menggaruk rambut belakangnya cengengesan
Selesai mandi, badan diwa justru semakin panas, nafasnya bahkan sedikit tak beraturan. Pusing itu menyerang lagi padahal ia harus segera berangkat kerja. Tepat ketika ia hendak mengambil obat darurat di nakas, bel pintu berbunyi. Siapa? Pikirnya. Karena memang tak banyak yang tahu apartemen Diwana, atau lebih tepatnya karena temannya pun tak banyak juga. Hanya Aiden, bunda, dan duo Jovyan Tama saja yang pernah mampir. “Maaf, siapa?” tanya Diwa dari interkom pintu rumahnya. “Mmm.. maaf mengganggu, saya penghuni baru yang pindah hari ini ke rumah 092. Apakah kakak punya nomor telepon SE yang bisa dihubungi? Interkom pintu rumah saya sepertinya bermasalah, jadi saya belum bisa masuk,” ucap suara dari seberang pintu yang ternyata adalah seorang perempuan. Dengan masih menahan sisa pening di kepalanya, Diwana mengambil kartu nama sales executive gedung yang ia simpan di dompet. Begitu ia membuka pintu, pandangannya langsung t
Kicau burung kolibri yang tadi pagi membangunkan Diwana kembali terdengar, tapi kali ini bukan dari balik jendela kamar Diwa. Diwana dan Nilakandi kini duduk di bangku taman apartemen. Perempuan itu duduk di ujung bangku, memberi jarak sejauh yang ia bisa dari lelaki asing disampingnya. Matanya berkeliling sebentar, lega dirasa saat matanya menangkap pos satpam disamping gerbang utama, lengkap dengan seorang satpam yang tengah bertugas. Bagaimanapun juga, ia sedang bersama orang asing saat ini. Awalnya hening, tak ada yang memulai. "Saya.. Diwana" ucap Diwa tanpa melirik kearah gadis disampingnya, mengulangi kalimatnya di lift tadi. Jika boleh jujur, hatinya masih berdegup kencang memandang Biru, maksudnya Nilakandi. "Saya penghuni rumah 903, calon tetangga kamu. Maaf atas apa yang saya lakukan tadi. Saya hanya salah orang." Ia masih terus memandang tanah berselimut rumput dikakinya, sambil memainkan sapu tangan penuh bercak darah ditangan. Mi
Semesta hanya bermain-main, ia suka bercanda.Jangat takut pulang.Rindumu seperti lautan lepas yang tak berujung.Indah, tapi juga bisa membunuhmu.Diwana… apa yang kau cari?Diwana… pulanglah.Alunan puisi menggema di mimpi misterius itu, sedang Diwana masih berdiri terpaku di bibir pantai. Ia memindai ke sekeliling, mencari siapapun sosok bernyawa yang bisa ia temukan.Pandangan matanya pun menangkap sosok tak asing dikejauhan, sekitar dua puluh kaki dari tempat ia berdiri, lebih jauh dari biasanya. Lelaki yang duduk memeluk lutut di pasir pantai yang basah.“Itu… aku?” batin Diwana yang masih enggan bersuara karena takut akan terbangun tiba-tiba.Aoakah peraturan mimpinya masih sama? Entahlah. Dan kenapa mimpi itu datang lagi setelah sekian lama? Entahlah.Saat pikirannya berkecamuk, Diwana muda di depan sana tau-tau bangkit
“Kak Diwana curang, hmm… tapi kalau demi Kak Kai nggakpapa deh,” protes Aiden saat Diwana meminjam motornya untuk berjalan-jalan malam itu.Pasalnya, duo Aiden dan Andini juga hendak berkeliling kota usai makan malam.“Pakai mobil nggakpapa kok, Ai,” timpal Andini, meluluhkan hati Aiden seketika.“Tuh dengar Andini, pakai mobil juga nggak kalah romantis kok. Nanti Kakak kasih uang jajan deh, ajak Andini cari dessert di café yang bagus,” tawar Diwana dengan niat menyogok adiknya.Aiden pun tersenyum penuh kemenangan, akhirnya ia bisa memanfaatkan kakaknya lagi.“Terimakasih, Kakak ganteng,” puji Aiden dengan wajah berseri, membuat Diwana heran tak habis piker. Sedangkan Andini, Nilakandi dan Bunda hanya tertawa kecil melihat tingkah lelaki humoris itu.“Tapi maksimal jam sebelas sudah harus sampai rumah, kamu bawa anak orang,” ucap Diwana menekankan kata jam sebelas.
“Diwana? Aku tidak tahu kamu tengah berkunjung,” sapa Dokter Tano begitu Diwana membukakan pintu.“Iya, Dok. Dokter apa kabar? Lama tak bertemu.”“Benar juga, aku baik, bagaimana jantungmu?” tanya dokter itu.“Tak pernah sebaik ini,” jawab Diwana.“Oh iya, ayo masuk, Dok. Bunda sedang ke minimarket dengan Aiden.”Keduanya kemudian masuk dan duduk di ruang tamu, Diwana lantas meracikkan teh hangat untuk keduanya.“Bagaimana hidupmu, Diw? Aku mendengar semua cerita tentang tragedi itu dari bundamu, sepertinya harimu berat,” tanya Dokter Tano memecah sunyi.“Baik, Dok. Semuanya perlahan membaik, syukurlah,” jawabnya.“Oh iya, tumben sekali Dokter ke sini? Ada agenda sama Bunda?” tanya Diwana seraya meletakkan dua gelas teh itu di meja.“Ah itu, aku hanya ingin membahas beberapa kasus pasienku saja dengan bundamu. Mungkin bu
“You did well, kamu sudah bekerja keras hari ini, Sayang. Aku bangga,” puji Diwana usai Nilakandi merebahkan diri di sandaran kursi mobilnya sambil terpejam.Kalimat-kalimat itu terdengar memabukkan di telinga Nilakandi, membuatnya mengulas senyum malu-malu. Perlakuan manis tapi sederhana seperti ini selalu membuat kupu-kupu di perutnya menari-nari.“Mau bertemu Bunda dan Aiden? Mereka khawatir sama kamu, udah telepon terus dari kemarin,” ujar Diwana sambil terus fokus mengemudi.“Aku kangen, tapi… kondisi aku kaya gini,” jawab Nilakandi seraya membuka matanya.“Kaya gini gimana? Pasti lagi insecure lagi, kan?”Nilakandi mengangguk mengiyakan menatap Diwana, membuat lelaki di depannya spontan menatap dalam.“Aku masih selemah ini, Kak. Mau bisa jalan dulu sebelum bertemu Bunda. Memangnya Kak Diwana nggak malu?” protes Nilakandi kemudian.Mendengar hal itu, Diwana diam
Diwana masih setia duduk di samping Nilakandi yang bersandar di bahunya, tangan mereka masih bertaut sejak lebih dari tiga puluh menit yang lalu. Mereka sudah berada di dalam ruang interogasi yang setiap sudut ruangannya memiliki kamera pengintai dan perekam suara.“Ngantuk?” tanya Diwana pada Nilakandi yang sudah membisu beberapa saat.“Nggak kok, pegel ya?” Nilakandi sontak bangun, lalu melirik ke arah bahu Diwana yang langsung menggeleng kencang.“Mau bersandar seratus tahun di bahuku juga nggak akan pernah pegel. Sini.” Lelaki itu membawa kepala Nilakandi kembali bersandar di bahunya, sedang si perempuan hanya tersenyum malu-malu.“Kak, suara kita direkam, tau,” bisik Nilakandi.“Apa aku terlihat peduli? Nggak, sayang,” kelakar Diwana. Lelaki itu berhasil membuat Nilakandi tertawa lagi dengan candaan bucinnya.Tepat saat itu, seorang polisi kemudian masuk ke dalam ruangan,
Diwana mendorong kursi roda Nilakandi dengan telaten. Setelah melalui diskusi panjang dengan para dokter, ia akhirnya bisa mendapatkn ijin untuk membawanya pulang.Sampailah mereka di depan pintu apartemen. Bukan, bukan apartemen Diwana, melainkan apartemen Nilakandi sendiri seperti yang dimintanya.“Udah siap? Kangen rumah, ya?” tanya Diwana, Nilakandi pun mengangguk dengan antusias.Diwana menuntun Nilkandi ke dalam kamarnya, lalu berhenti tepat di samping ranjang. Lelaki itu berlutut di depan kursi roda dan menengadah menatap mata sang kekasih.“I love you, like, so… much,” ucapnya sambil memegang kedua tangan Nilakandi.“Ih, bucin banget,” komentar Nilakandi.Diwana hanya terkekeh melihat reaksi sang kekasih, ia bangkit dan merapikan bantal untuk NIlakandi sebelum akhirnya membaringkannya di sana dengan hati-hati.“Kak,”“Hm? Ada apa?”“Mau dius
Diwana berada di koridor ruang tunggu dengan kaki gemetar, sudah hampir satu jam dokter dan perawat-perawat itu menangani Nilakandi di dalam ruangan sana. Ia bahagia, sekaligus khawatir kalau-kalau ada sesuatu yang terjadi pada kekasihnya.Jovyan sudah menenangkannya berkali-kali, tapi tak juga dihiraukannya.“Udah hubungi Tama?” tanya Diwana gusar.Jovyan mengangguk, “Udah, Nana juga.”Tepat ketika Jovyan menyelesaikan kalimatnya, pintu tangga darurat terbanting kencang, menampakkan sosok Nana yang tergopoh berlari ke arah Diwana. Diwana pun spontan berdiri. Namun tak hanya Nana, di belakangnya ada sosok Tama yang sama-sama keluar dari tangga darurat.“Kenapa lewat tangga darurat? Jangan lari…” sambut Diwana yang entah kenapa merasa khawatir.“Lift penuh, lama,” jawab Nana singkat dengan terengah, “Kai gimana, Kak?” lanjutnya.“Masih ditangani dokter dan perawat
Aku berlari kencang meskipun dengan kaki patah, beruntung bus tak begitu ramai sehingga aku tak perlu mencari alasan jika ada yang bertanya tentang keadaanku yang kacau. Aku tak berhenti menangis hingga bus sampai di halte dekat rumahku.Aku kembali berlari tergesa ke dalam rumah yang pintunya bahkan masih rusak karena ulah Kak Ten. Aku mencari-cari baju pesta yang tempo hari sudah aku cuci di tumpukan pakaian kering, lalu mengenakannya saat itu juga meskipun membuat luka-luka di kaki dan tanganku terekspos jelas.Kado dari ibu terlihat melambai-lambai dari atas nakas, seakan memintaku untuk menghampirinya. Aku pun membukanya, membaca lagi surat terakhir dari ibu yang mungkin bisa menenangkan emosiku. Tapi aku salah, semakin aku baca, semakin kuat tekadku.Aku bahkan memakai parfum berbotol cantik kado terakhir dari ibu, yang langsung membuatku merasa tak sendirian lagi. Seakan ibu sedang berada di sampingku menemani. Aroma woods pomelo itu tak membuat emosiku r
Hari kelima, seharian kemarin aku tidak bisa menemui ayah karena perawat dan dokter sialan itu. Harapanku hari ini hanya satu, menemui ayah dan Nana untuk menanyakan kondisi ayahku yang sebenarnya. Aku berniat untuk berangkat lebih pagi agar memiliki banyak waktu untuk berbincang dengan Nana.Namun baru saja aku bersiap untuk pergi, pintu rumahku terdengar dibuka paksa, lagi. Aku masih ketakutan, tentu saja. Aku pun segera berlari ke arah kamarku, dan bersembunyi di dalam kamar mandi yang aku kunci dari dalam.Aku membungkam mulut dengan kedua tanganku agar tak bersuara sedikitpun, ketakutan setengah mati. Mataku terpejam memohon agar semua cepat berlalu. Namun sedetik kemudian, yang aku dengar justru derap langkah kaki yang mendekat.“Nggak perlu sembunyi, gue cuma mau nagih hutang… kematian lo,” suara Kak Ten menggema.Aku semakin bergetar saat kalimat itu ia lontarkan, bersamaan dengan ketukan pintu kamar mandi yang entah kenapa terd