"Bun, Ai tadi bangunin kakak pake nampar tau." Diwana mengadu sambil memegangi pipi kanannya yang sebenarnya tidak sakit juga, hanya berpura-pura agar adik jahilnya itu setidaknya dimarah sang bunda. Ia bahkan tidak tahu kalau sebenarnya bukan pipi kanan melainkan pipi kirinya yang ditampar Aiden.
"Aiden.. udah gede kok masih jahil?" ucap bunda yang tangannya sibuk mengaduk-aduk krim sup buatannya.
"Dengerin tuh" Diwana menjulurkan lidah penuh kemenangan.
"Loh loh loh kok gue yang salah sih. Lo aja yang ngigau lagi. Bunda tau kan kalo kakak udah teriak-teriak sambil tidur tuh serem banget." Si bungsu membela diri.
"Bilang apa barusan? Gua gue gua gue? Udah dibilangin kan jangan pake lo-gue ke kakak ih. Kayak si Junio itu loh, Dek. Udah cakep, baik, sopaaan banget sama kakak, pinter, rajin, ganteng lagi. Duh paket komplit banget, adek idaman semua abang pokoknya."
Junio adalah tetangga keluarga Diwana yang sekaligus teman Aiden sejak mereka pindah ke rumah yang sekarang ditinggali sekitar enam tahun silam.
"Jeje terus.. Dimana-mana tuh biasanya ibu-ibu yang banding-bandingin anaknya sama anak tetangga. Bunda aja diem aja masa situ yang ribet. Eh, toh aku juga lebih suka Bang Tama tuh."
Tenang, Aiden tidak pernah tersinggung sedikitpun dengan ucapan kakaknya tentang Junio. Karena kalau kata Aiden, love language ala Diwana memang dengan mengomel. Mungkin ia akan lebih sedih kalau kakaknya itu tiba-tiba berhenti meledeknya.
Bunda pun hanya tersenyum melihat tingkah keduanya, pemandangan yang sangat kelewat lumrah. Justru sepi kalau tidak ada cekcok diantara kakak beradik itu, pikir Bunda.
"Ngeles mulu punya adek satu," ucap Diwa sambil memasukkan satu potong besar toast berselai kacang kemulutnya.
Ketiganya kini duduk di meja makan menghadap piring masing-masing yang sebentar lagi terisi penuh dengan makanan. Pagi itu sama seperti agenda rutin hari minggu mereka, sarapan pagi bersama yang selalu disempatkan ditengah kesibukkan masing-masing.
Bunda dengan tugasnya sebagai perawat senior di klinik rawat inap setempat, Diwana dengan kesibukannya sebagai manager divisi keuangan di kantor sahabatnya sendiri-Theo-atau biasa dipanggil Tama, dan Aiden yang... sibuk meyelesaikan skripsi ditahun kelimanya sebagai mahasiswa. Atau lebih tepatnya disemester yang genap kesepuluh, sampai-sampai Diwa menambahkan predikat khusus untuk nama tengahnya, Aiden Mahasiswa Abadi Ryu Lazuardi atau biasa disingkat Aiden Mabadi Ryu Lazuardi.
"Pacaran sambil organisasian aja mampu, masa kuliah nggak selesai-selesai sih, Dek? Kalo tahun ini nggak bisa lulus juga, kakak beliin kamu kambing pokoknya." Begitu kira-kira kalau Diwa mengejek sekaligus mengancam si bungsu.
"Dek-" Kalimat Diwa terhenti saat Aiden tiba-tiba memotongnya.
"Belum selesai, Kak. Mau nanyain skripsi aku kan? Belum selesai, mungkin satu atau dua kali lagi revisiannya baru bisa cari tanggal sidang."
"Pelan-pelan ih ngomongnya, takut kesedak ntar kamu, Dek. Orang kakak nggak mau nanyain itu kok." Diwana menyodorkan segelas susu dan langsung disambar Aiden yang memang hampir saja tersedak sepotong kentang goreng.
"Yaa kirain, soalnya Lo itu-Aww SAKIT KAK.." teriak Aiden lepas saat kakinya ditendang sang kakak tepat ditulang keringnya. Ia menatap Diwa kesal, tapi kakaknya pun balik menatap tak kalah kesal.
"Hmm, soalnya KAKAK keseringan nanyain skripsi, sampai hapal lah diabsen minimal satu kali sehari kaya gini," lanjut Aiden menekankan kata 'Kakak' yang langsung disambut senyum puas Diwana.
"Oiya jadi mau nanya apa?" ulang Aiden.
"Tadi kamu bilang kakak ngigau lagi kan? ngigaunya gimana?" Aiden tak langsung menjawab, matanya melihat ke langit-langit mencoba memutar ingatan.
"Mmm, ya manggil-manggil nama Biru kaya biasanya aja sih. Teriak-teriak pelan gitu, kenapa emang?"
"Kakak mimpi lagi?" Kali ini bunda yang penasaran.
Pasalnya, sudah enam tahun penuh Diwana selalu dihantui dengan mimpi berpola sama berulang-ulang. Meskipun tidak setiap hari mimpi itu muncul, tapi tetap saja tidurnya tak pernah nyenyak sejak saat pertama kali mimpi itu mengganggu tidurnya.
Polanya hampir selalu sama. Ada tiga objek disana, perempuan bergaun biru, lautan yang kadang berwarna kuning atau jingga lengkap dengan matahari sayu di ufuk, dan.. Diwana. Semua orang terdekatnya pun tahu tentang mimpi misteriusnya itu, tapi baik dirinya sendiri maupun orang lain hanya menganggap mimpi itu sebagai halusinasinya saja.
"Iya, Bun. Kaya biasanya aja sih, tapi dia makin cantik, hehe." Diwana meringis lucu, dan spontan Aiden tersedak krim sup usai mendengarnya.
"Astaga.. cari pacar sana, Kak. Makin hari kok makin nggak jelas, daripada lama-lama gila. Hantu dibilang cantik, eh sama cewek beneran malah alergi," ledek Aiden.
"Eh eh, dia bukan hantu yaa. Bentar bentar, jadi cewek-cewek itu kerjaan kamu? Valentine dua hari yang lalu banyak cokelat sama bunga dikirim ke kantor kakak sampai diledekin satu kantor. Kamu kan yang ngasih tau alamat kantor kakak ke mereka?" Diwana siap meledak, matanya melotot memandang tak percya kearah Aiden yang melipat bibirnya sambil mengalihkan pandangan menghindari tatapan Diwa.
"Bunda... tolong Aiden. Kakak mau ngamuk."
"Udah udaah.. Jangan lupa bantu bunda cuci piring ya nanti. Awas kalau ada piring kotor di wastafel."
"Bela Diwa sih, Bun?"
"Bili Diwi sih, Bin," ledek Aiden lagi menjulurkan lidahnya pada sang kakak, kemudian menuju wastafel disamping bunda.
"Tapi serius, beneran nggak ada hal aneh di hari itu kan?" Kali ini baik bunda maupun Aiden menoleh kebelakang menatap Diwa. Keduanya menghela nafas nyaris bersamaan, meskipun kemudian sibuk melanjutkan mencuci piring kotor lagi.
"Berapa kali bunda harus bilang, operasi kamu berjalan lancar, sayang. Jangan bahas ini lagi ya? Kamu kecapekan aja kaya biasanya. Makannya istirahatnya tuh dijaga, Diwana. Kamu suka lupa diri kalo udah ngurusin kerja saking semangatnya, jangan sampai forsir diri kamu sampai sakit." Jawab bunda lembut dengan diselingi nasehat-nasehat yang tampaknya hanya numpang lewat saja di telinga Diwa.
"Tapi Bun-"
"Aiden lanjutin ya cuci piringnya, bunda mau telfon Tante Anggi sebentar, lupa kalo siang ini ada janji," potong bunda seketika membuat alis Diwa mengerut, tanda sedikit kecewa namun tetap memahami situasi.
Bundanya memang tidak begitu suka saat Diwa membawa-bawa topik tentang hari dimana ia hampir mati enam tahun silam. Tapi ia tentu faham, bukan hanya ia yang berjuang hari itu, tapi keluarganya juga. Semua pasti berat bagi Bunda, pikir Diwana.
"Siap, Bun. Enak banget jadi bunda tuh, anaknya rajin begini. Aku jamin deh si Jeje nggak bakal pernah cuci-cuci piring bergini dirumah, anak mama kayak gitu" pamer Aiden sambil melanjutkan cuci piring.
"Kalo gitu nitip ya, anak bunda yang rajin..." kata Diwa menyodorkan piring dan gelas kotornya ke wastafel.
"KAK DIWANA LO-" Terlambat, yang dipanggil sudah melesat pergi, menuju kamarnya lagi.
"Ada kisah apa dibalik hari itu?" batin Diwana sambil memegangi dada kirinya.
----
Diwana masih duduk terdiam di kasur kamar rumah sakit memandangi infus yang terpasang di tangan. Otaknya tak berhenti berkelana sambil memikirkan satu demi satu kemungkinan yang bisa terjadi. Jantungnya berdegup cukup kencang, membuat nafasnya ikut sedikit memburu, khawatir. "Bun, Dokter Tano kenapa lama banget ya? Katanya beliau tuh teman Bunda?" tanyanya lembut pada bunda yang duduk di sofa. Tapi keburu disahut duluan oleh sang adik. "Santai dong, Kak. Grogi ya? Baca-baca majalah gini nih biar santai kaya aku, ah elah grogian amat hahaha," ledek Aiden sambil tertawa kecil. Tapi semua juga tahu kalau suaranya sedikit bergetar. Diwana tahu Aiden sebenarnya tak kalah cemas darinya. Diwa hanya tersenyum melihat Aiden sedang menutupi wajah khawatirnya dengan pura-pura membaca majalah yang bahkan tidak ia balik halamannya sejak lima belas menit yang lalu. Berjudul Kumpulan Resep MPASI Praktis Balita. "Bentar lagi, Kak. Baru juga beberapa jam yang
"Halo, Rindu sayang. Lagi ngapain?" ujar suara di seberang telepon, terdengar seperti ledekan yang disengaja. Disambut raut masam si penerima. "Sibuk aku, Ta. Kalo nggak penting jangan telfon dulu ya," jawab Diwana yang untuk keseribu kalinya merasa kesal kenapa bunda memberinya nama belakang 'Derurindu' yang selalu jadi bahan ejekan teman-temannya. Ia meletakkan ponsel di meja dengan mode speaker, tak berniat melepaskan pandangan dari layar komputer. Diwana kini tengah memutar otak mengutak-atik anggaran dana untuk proyek pusat perbelanjaan baru yang sedang dikerjakannya. Diwana punya banyak sekali bawahan, tentu saja, ia adalah seorang manager perusahaan retail terbesar nomor dua. Tapi sifat perfeksionis yang mendarah daging itu tak membiarkannya menyerahkan semua pekerjaan pada yang lain. Ia lebih memilih ikut pusing dan andil dalam semua tahap bebelit itu ketimbang mendapat hasil akhir yang tidak sempurna. "Diw, kamu pulang a
Deburan ombak di laut menguning itu memabukkan sekali ditelinga Diwana. Lagi, ia berdiri sepuluh meter dari sosok perempuan yang ia beri nama Biru karena gaunnya itu. “Biruuu.. aku rindu lagi. Kali ini rindunya lebih dari yang kemarin-kemarin.” Demi Tuhan, Diwana sangat ingin mendekat. Tapi ia tahu, tepat ketika tangannya membelai Biru, saat itu juga ia akan terbangun dari mimpi. Begitu peraturannya. Demi Tuhan pula, Diwana ingin sekali memanggil gadis pujaan hatinya itu. Tapi ia juga tahu, tepat ketika mulutnya berucap maka gadis itu akan lenyap nak asap mengepul di tungku perapian, kemudian terjagalah ia. Begitu peraturan kedua dimimpinya. Entah bagaimana segala peraturan-peraturan mimpinya itu bermula, Diwana tak tahu. Tidak ada yang tahu. Halusinasi di mimpinya memang sangat parah sampai-sampai wajah perempuan asing itu bisa tergambar dengan sangat jelas di memori, membuatnya tak mungkin bisa lupa dengan si gadis. Entah sejak kapa
Pagi itu suasana kantor divisi keuangan agak berbeda dari biasanya. Sembilan orang yang ternyata bawahan Diwana nampak berkerumun disatu meja di aula rapat. Meeting harusnya sudah dimulai di ruangan besar itu, yang kini justru tampak tak kondusif. Salah satu pegawai-Jeanne-tak henti-henti menelepon nomor seseorang dengan khawatir. Ya, Diwana. "Udah yang kelima belas nih, kalau Kak Diwa nggak angkat juga, kita gimana?" kata Jeanne panik, lantas mengerang frustasi saat suara operator di seberang telepon kembali terdengar, tanda si empunya tak mengangkatnya untuk yang kelima belas kali. Jeanne adalah pegawai terlama di divisi keuangan, ia direkrut bahkan sebelum perusahaan berdiri. Jadi ia paham betul bagaimana Tama CS merintis perusahaan itu. Sejak saat itu pula ia mengenal Diwana dan memberikan perhatian lebih padanya. Hanya dia yang memanggil Diwa dengan sebutan 'Kak' karena mereka memang cukup dekat sebagai rekan kerja, setidaknya menu
"Lantai sembilan apa sepuluh sih, Ta? Lupa gue." Dengan langkah tergesa, Jovyan dan Tama berjalan menuju lift. Keduanya agak lega tapi sekaligus khawatir disaat yang sama usai melihat mobil Diwana yang nampak masih terparkir di basement apartemen. Diwana hanya menaiki mobil hyundai putihnya itu saja kemana-mana, ia tidak punya sepeda kayuh ataupun sepeda motor karena ia bahkan tidak bisa mengendarai keduanya. Pun tidak pernah naik kendaraan umum seperti taksi atau bus karena tidak terbiasa. Atas dasar itulah Jovyan dan Tama menyimpulkan, Diwana ada di apartemen meski entah dalam keadaan apa. Hati keduanya sungguh tengah berdegup kencang. Tama bahkan sudah memiliki skenario di otaknya dimana Diwana mungkin sedang tergeletak kesakitan di kamar mandi, atau terbaring lemas tak sadarkan diri di atas tempat tidur. "Lantai sembilan, Jo. Kamu udah ratusan kali kesini." Tama berdecak sambil masuk ke dalam lift. Jo hanya menggaruk rambut belakangnya cengengesan
Selesai mandi, badan diwa justru semakin panas, nafasnya bahkan sedikit tak beraturan. Pusing itu menyerang lagi padahal ia harus segera berangkat kerja. Tepat ketika ia hendak mengambil obat darurat di nakas, bel pintu berbunyi. Siapa? Pikirnya. Karena memang tak banyak yang tahu apartemen Diwana, atau lebih tepatnya karena temannya pun tak banyak juga. Hanya Aiden, bunda, dan duo Jovyan Tama saja yang pernah mampir. “Maaf, siapa?” tanya Diwa dari interkom pintu rumahnya. “Mmm.. maaf mengganggu, saya penghuni baru yang pindah hari ini ke rumah 092. Apakah kakak punya nomor telepon SE yang bisa dihubungi? Interkom pintu rumah saya sepertinya bermasalah, jadi saya belum bisa masuk,” ucap suara dari seberang pintu yang ternyata adalah seorang perempuan. Dengan masih menahan sisa pening di kepalanya, Diwana mengambil kartu nama sales executive gedung yang ia simpan di dompet. Begitu ia membuka pintu, pandangannya langsung t
Kicau burung kolibri yang tadi pagi membangunkan Diwana kembali terdengar, tapi kali ini bukan dari balik jendela kamar Diwa. Diwana dan Nilakandi kini duduk di bangku taman apartemen. Perempuan itu duduk di ujung bangku, memberi jarak sejauh yang ia bisa dari lelaki asing disampingnya. Matanya berkeliling sebentar, lega dirasa saat matanya menangkap pos satpam disamping gerbang utama, lengkap dengan seorang satpam yang tengah bertugas. Bagaimanapun juga, ia sedang bersama orang asing saat ini. Awalnya hening, tak ada yang memulai. "Saya.. Diwana" ucap Diwa tanpa melirik kearah gadis disampingnya, mengulangi kalimatnya di lift tadi. Jika boleh jujur, hatinya masih berdegup kencang memandang Biru, maksudnya Nilakandi. "Saya penghuni rumah 903, calon tetangga kamu. Maaf atas apa yang saya lakukan tadi. Saya hanya salah orang." Ia masih terus memandang tanah berselimut rumput dikakinya, sambil memainkan sapu tangan penuh bercak darah ditangan. Mi
Diwana berdiam diri di balik pintu rumahnya, menimbang-nimbang jam berapakah ia akan keluar dan berangkat kerja. Berangkat ke kantor tidak pernah serumit itu sebelumnya, sebelum Nilakandi hadir mengusiknya. “Kalau berangkat sekarang bisa ketemu nggak ya?” “Atau agak siangan?” “Sebentar, kalau dia dirumah seharian dan nggak keluar-keluar gimana dong?” Hati Diwana benar-benar sedang berdebat dengan otaknya sendiri. Dua hari sudah sejak insiden hilangnya Diwana. Jovyan sudah ratusan kali mengejeknya bucin, Tama juga. Bahkan mereka bersikeras ingin bertemu Nilakandi lagi. Karena dilihat dari sisi manapun, perempuan itu sangat mirip dengan Biru. Ah tidak, mereka bahkan sama, benar-benar sama. Hanya saja wajah Nilakandi yang sekarang terasa lebih... dewasa. Sudah sejak saat itu pula Diwana belum bertemu lagi dengan Nilakandi. Entah kenapa, dia rindu. Aneh memang, rindunya terasa sama seperti saat ia merindukan soso
Semesta hanya bermain-main, ia suka bercanda.Jangat takut pulang.Rindumu seperti lautan lepas yang tak berujung.Indah, tapi juga bisa membunuhmu.Diwana… apa yang kau cari?Diwana… pulanglah.Alunan puisi menggema di mimpi misterius itu, sedang Diwana masih berdiri terpaku di bibir pantai. Ia memindai ke sekeliling, mencari siapapun sosok bernyawa yang bisa ia temukan.Pandangan matanya pun menangkap sosok tak asing dikejauhan, sekitar dua puluh kaki dari tempat ia berdiri, lebih jauh dari biasanya. Lelaki yang duduk memeluk lutut di pasir pantai yang basah.“Itu… aku?” batin Diwana yang masih enggan bersuara karena takut akan terbangun tiba-tiba.Aoakah peraturan mimpinya masih sama? Entahlah. Dan kenapa mimpi itu datang lagi setelah sekian lama? Entahlah.Saat pikirannya berkecamuk, Diwana muda di depan sana tau-tau bangkit
“Kak Diwana curang, hmm… tapi kalau demi Kak Kai nggakpapa deh,” protes Aiden saat Diwana meminjam motornya untuk berjalan-jalan malam itu.Pasalnya, duo Aiden dan Andini juga hendak berkeliling kota usai makan malam.“Pakai mobil nggakpapa kok, Ai,” timpal Andini, meluluhkan hati Aiden seketika.“Tuh dengar Andini, pakai mobil juga nggak kalah romantis kok. Nanti Kakak kasih uang jajan deh, ajak Andini cari dessert di café yang bagus,” tawar Diwana dengan niat menyogok adiknya.Aiden pun tersenyum penuh kemenangan, akhirnya ia bisa memanfaatkan kakaknya lagi.“Terimakasih, Kakak ganteng,” puji Aiden dengan wajah berseri, membuat Diwana heran tak habis piker. Sedangkan Andini, Nilakandi dan Bunda hanya tertawa kecil melihat tingkah lelaki humoris itu.“Tapi maksimal jam sebelas sudah harus sampai rumah, kamu bawa anak orang,” ucap Diwana menekankan kata jam sebelas.
“Diwana? Aku tidak tahu kamu tengah berkunjung,” sapa Dokter Tano begitu Diwana membukakan pintu.“Iya, Dok. Dokter apa kabar? Lama tak bertemu.”“Benar juga, aku baik, bagaimana jantungmu?” tanya dokter itu.“Tak pernah sebaik ini,” jawab Diwana.“Oh iya, ayo masuk, Dok. Bunda sedang ke minimarket dengan Aiden.”Keduanya kemudian masuk dan duduk di ruang tamu, Diwana lantas meracikkan teh hangat untuk keduanya.“Bagaimana hidupmu, Diw? Aku mendengar semua cerita tentang tragedi itu dari bundamu, sepertinya harimu berat,” tanya Dokter Tano memecah sunyi.“Baik, Dok. Semuanya perlahan membaik, syukurlah,” jawabnya.“Oh iya, tumben sekali Dokter ke sini? Ada agenda sama Bunda?” tanya Diwana seraya meletakkan dua gelas teh itu di meja.“Ah itu, aku hanya ingin membahas beberapa kasus pasienku saja dengan bundamu. Mungkin bu
“You did well, kamu sudah bekerja keras hari ini, Sayang. Aku bangga,” puji Diwana usai Nilakandi merebahkan diri di sandaran kursi mobilnya sambil terpejam.Kalimat-kalimat itu terdengar memabukkan di telinga Nilakandi, membuatnya mengulas senyum malu-malu. Perlakuan manis tapi sederhana seperti ini selalu membuat kupu-kupu di perutnya menari-nari.“Mau bertemu Bunda dan Aiden? Mereka khawatir sama kamu, udah telepon terus dari kemarin,” ujar Diwana sambil terus fokus mengemudi.“Aku kangen, tapi… kondisi aku kaya gini,” jawab Nilakandi seraya membuka matanya.“Kaya gini gimana? Pasti lagi insecure lagi, kan?”Nilakandi mengangguk mengiyakan menatap Diwana, membuat lelaki di depannya spontan menatap dalam.“Aku masih selemah ini, Kak. Mau bisa jalan dulu sebelum bertemu Bunda. Memangnya Kak Diwana nggak malu?” protes Nilakandi kemudian.Mendengar hal itu, Diwana diam
Diwana masih setia duduk di samping Nilakandi yang bersandar di bahunya, tangan mereka masih bertaut sejak lebih dari tiga puluh menit yang lalu. Mereka sudah berada di dalam ruang interogasi yang setiap sudut ruangannya memiliki kamera pengintai dan perekam suara.“Ngantuk?” tanya Diwana pada Nilakandi yang sudah membisu beberapa saat.“Nggak kok, pegel ya?” Nilakandi sontak bangun, lalu melirik ke arah bahu Diwana yang langsung menggeleng kencang.“Mau bersandar seratus tahun di bahuku juga nggak akan pernah pegel. Sini.” Lelaki itu membawa kepala Nilakandi kembali bersandar di bahunya, sedang si perempuan hanya tersenyum malu-malu.“Kak, suara kita direkam, tau,” bisik Nilakandi.“Apa aku terlihat peduli? Nggak, sayang,” kelakar Diwana. Lelaki itu berhasil membuat Nilakandi tertawa lagi dengan candaan bucinnya.Tepat saat itu, seorang polisi kemudian masuk ke dalam ruangan,
Diwana mendorong kursi roda Nilakandi dengan telaten. Setelah melalui diskusi panjang dengan para dokter, ia akhirnya bisa mendapatkn ijin untuk membawanya pulang.Sampailah mereka di depan pintu apartemen. Bukan, bukan apartemen Diwana, melainkan apartemen Nilakandi sendiri seperti yang dimintanya.“Udah siap? Kangen rumah, ya?” tanya Diwana, Nilakandi pun mengangguk dengan antusias.Diwana menuntun Nilkandi ke dalam kamarnya, lalu berhenti tepat di samping ranjang. Lelaki itu berlutut di depan kursi roda dan menengadah menatap mata sang kekasih.“I love you, like, so… much,” ucapnya sambil memegang kedua tangan Nilakandi.“Ih, bucin banget,” komentar Nilakandi.Diwana hanya terkekeh melihat reaksi sang kekasih, ia bangkit dan merapikan bantal untuk NIlakandi sebelum akhirnya membaringkannya di sana dengan hati-hati.“Kak,”“Hm? Ada apa?”“Mau dius
Diwana berada di koridor ruang tunggu dengan kaki gemetar, sudah hampir satu jam dokter dan perawat-perawat itu menangani Nilakandi di dalam ruangan sana. Ia bahagia, sekaligus khawatir kalau-kalau ada sesuatu yang terjadi pada kekasihnya.Jovyan sudah menenangkannya berkali-kali, tapi tak juga dihiraukannya.“Udah hubungi Tama?” tanya Diwana gusar.Jovyan mengangguk, “Udah, Nana juga.”Tepat ketika Jovyan menyelesaikan kalimatnya, pintu tangga darurat terbanting kencang, menampakkan sosok Nana yang tergopoh berlari ke arah Diwana. Diwana pun spontan berdiri. Namun tak hanya Nana, di belakangnya ada sosok Tama yang sama-sama keluar dari tangga darurat.“Kenapa lewat tangga darurat? Jangan lari…” sambut Diwana yang entah kenapa merasa khawatir.“Lift penuh, lama,” jawab Nana singkat dengan terengah, “Kai gimana, Kak?” lanjutnya.“Masih ditangani dokter dan perawat
Aku berlari kencang meskipun dengan kaki patah, beruntung bus tak begitu ramai sehingga aku tak perlu mencari alasan jika ada yang bertanya tentang keadaanku yang kacau. Aku tak berhenti menangis hingga bus sampai di halte dekat rumahku.Aku kembali berlari tergesa ke dalam rumah yang pintunya bahkan masih rusak karena ulah Kak Ten. Aku mencari-cari baju pesta yang tempo hari sudah aku cuci di tumpukan pakaian kering, lalu mengenakannya saat itu juga meskipun membuat luka-luka di kaki dan tanganku terekspos jelas.Kado dari ibu terlihat melambai-lambai dari atas nakas, seakan memintaku untuk menghampirinya. Aku pun membukanya, membaca lagi surat terakhir dari ibu yang mungkin bisa menenangkan emosiku. Tapi aku salah, semakin aku baca, semakin kuat tekadku.Aku bahkan memakai parfum berbotol cantik kado terakhir dari ibu, yang langsung membuatku merasa tak sendirian lagi. Seakan ibu sedang berada di sampingku menemani. Aroma woods pomelo itu tak membuat emosiku r
Hari kelima, seharian kemarin aku tidak bisa menemui ayah karena perawat dan dokter sialan itu. Harapanku hari ini hanya satu, menemui ayah dan Nana untuk menanyakan kondisi ayahku yang sebenarnya. Aku berniat untuk berangkat lebih pagi agar memiliki banyak waktu untuk berbincang dengan Nana.Namun baru saja aku bersiap untuk pergi, pintu rumahku terdengar dibuka paksa, lagi. Aku masih ketakutan, tentu saja. Aku pun segera berlari ke arah kamarku, dan bersembunyi di dalam kamar mandi yang aku kunci dari dalam.Aku membungkam mulut dengan kedua tanganku agar tak bersuara sedikitpun, ketakutan setengah mati. Mataku terpejam memohon agar semua cepat berlalu. Namun sedetik kemudian, yang aku dengar justru derap langkah kaki yang mendekat.“Nggak perlu sembunyi, gue cuma mau nagih hutang… kematian lo,” suara Kak Ten menggema.Aku semakin bergetar saat kalimat itu ia lontarkan, bersamaan dengan ketukan pintu kamar mandi yang entah kenapa terd