Lelaki dengan kaus santai berwarna merah itu berjalan mendekat. Setelah sampai, kedua tangan Alby langsung menarik tubuh Berlian ke dalam pelukannya. Hal itu membuat Berlian tak bisa berkutik. Gadis itu sudah berusaha melepaskan, tetapi Alby teramat kencang memeluknya."Mas Alby, lepaskan saya!" "Kamu dari mana saja? Aku mencarimu ke mana-mana. Jangan pergi lagi, Berlian!" Alby mulai merenggangkan kedua tangannya."Saya ke sini untuk berpamitan, Mas. Saya sudah lulus dan sudah diterima kerja. Saya juga sudah menyewa kontrakan. Terima kasih atas semua kebaikan Mas Alby dan Om Yoga."Alby menggeleng sementara Yoga hanya bisa menyaksikan putranya melepas kepergian gadis itu. Berlian melewati mereka setelah semua barang-barang dikemas dalam tas ukuran sedang. Alby mencegah Berlian lagi. Tas tenteng di tangan kanan sang gadis ia cekal. "Berlian, biarkan aku mengantarmu. Setidaknya, aku bisa melihat keadaanmu nanti karena tau di mana kamu tinggal sekarang.""Maaf, Mas. Biarkan aku pergi
"Kenapa? Galau?" Pria yang masih lengkap dengan jas kerja itu menatap Alby yang tengah melamun. "Biar kutebak, pasti lagi patah hati.""Tau aja," balas Alby setengah malas."Sama siapa? Perasaan, lu, enggak pernah dekat sama cewek." Dua pria itu sengaja duduk di sebuah kedai. Menikmati kopi yang terlihat mengepulkan asap, setelah lelah dengan aktivitas kantor."Ya, dia memang gadis yang berbeda. Aku baru kali ini bertemu dengan gadis polos seperti dia." Masih dengan tatapan menerawang jauh, Alby mengungkap isi hatinya. "Terus, apa yang bikin kamu sekarang begini? Kenapa, enggak langsung dilamar aja kalau udah suka?" Pria di depan Alby bertanya lagi. Ia mulai menyesap perlahan minumannya."Masalahnya, aku enggak tau perasaan dia ke aku. Dia menghindar dengan alasan yang cukup membuatku mengerti." "Kalau gitu, sabar aja dulu." Sepupu Alby itu menarik gelasnya lalu meneguk setengah isinya."Nah, lu, gimana? Lamaran waktu itu, jadi?" Alby ganti bertanya."Jadi, tapi semua itu keingina
"Kenapa dia ada di sini?" gumam gadis itu. Ia segera melangkah diam-diam dan menyerobot ke dalam untuk memulai kerja. Setelah meletakkan tasnya di dalam dan mulai aktivitas seperti biasa, kedua mata Berlian terus memastikan, jangan sampai Alby melihatnya. "Berlian!" Gadis itu terlonjak akibat tepukan di pundak. Ia menoleh sambil memegangi dada yang hampir saja copot jantungnya."Eh, Pak Fawwaz." Gadis itu menunduk. "Ada apa, Pak?" "Kamu jangan ke mana-mana nanti siang! Aku ada perlu sama kamu. Mau kenalin kamu sama sepupu aku sekalian makan siang." Pria bersahaja itu mengulas senyuman. Respon kedua mata Berlian tak membuat Fawwaz mengurungkan niatnya. Meski ia tahu, pasti Berlian malu-malu dan bisa saja tak mau. Pria itu segera pergi dari sana tanpa menunggu jawaban setuju. Saat Berlian sedang fokus di bagian rak kebutuhan dapur dan tak memperhatikan sisi ujung lorong itu, seorang pria juga tengah iseng berkeliling melihat berbagai macam produk yang dijual di sana. Satu tangan Ber
Berlian kembali bekerja setelah Fawwaz pergi. Setelah jam makan siang tiba, kini gilirannya untuk istirahat sejenak. Namun, istirahatnya bukan untuk waktu yang lama. Hanya 15 menit dan ia harus kembali bekerja.Berlian mengetuk pintu ruangan Fawwaz di lantai dua. Setelah terdengar suara perintah untuk masuk, ia segera membuka pintunya."Ada apa, ya, Pak?" Fawwaz tersenyum. "Enggak usah kaku begitu. Oh, ya, aku mau ajak kamu makan siang." Fawwaz mulai berdiri. Ia siap untuk menuju ke tempat yang sudah ia pikirkan sejak tadi."Tapi, Pak ... saya harus kembali kerja sepuluh menit lagi. Saya juga sudah bawa bekal," bohong gadis itu. Ia tak nyaman berduaan dengan seorang pria."Aku atasan kamu, Berl. Manajer kamu enggak bakal marah kalau aku yang ajak. Ya, kalau kamu diajak sama yang lain, baru aku yang marah." Pria itu tertawa. Terpaksa gadis itu mengikuti ke mana langkah Fawwaz mengajaknya. Baru setengah jalan dan hendak memasuki mobil, Fawwaz menerima panggilan. "Hallo, Pa?" Pria ber
Rintik hujan membasahi bumi, gadis manis dengan lesung di pipi termangu menatap di sebalik kaca jendela. Menuangkan rasa sakit melebihi patah hati. Wajah sembab berbalut dengan air mata terus menelan rona manis, Berlian menoleh pada suara rintihan."Bu. Ibu, sudah sadar?" Berlian mendekati Lela. Selang infus tertancap kuat dan cup oksigen membuat Lela tak bisa berbicara jelas.Gadis itu sendirian menunggu Lela karena Yoga mendadak ada urusan. Berlian menunggu sebuah kalimat yang nampaknya ingin Lela sampaikan. "Ibu, istirahat saja. Berlian akan jagain. Tadi, Om Yoga yang bantuin bawa Ibu ke sini. Tapi, sekarang sudah pergi lagi karena urusan pribadi."Semalam suntuk, gadis itu tidur di pinggir ranjang dengan kepala bertumpu tangan. Ia menggenggam tangan Ibunya penuh kasih. Ketika mendengar azan Subuh, Berlian bergegas bangun. Ia menulis di sebuah kertas dan meninggalkan di dekat Lela. Sebuah pesan berpamitan untuk mencari nafkah.Lepas menunaikan kewajiban Subuh, ia pulang di antar
"Tidak apa-apa, Pak. Saya mengerti. Saya juga paham, tadinya saya ragu. Tapi, terlanjur tidak punya jalan lagi." "Ya, sudah, kamu kembali kerja saja." Pria itu lantas pergi dari hadapan Berlian. Hingga hari mulai gelap karena mendung dan petir menyambar-nyambar, Berlian baru saja keluar dari supermarket itu. Ia memayungi dirinya sendiri dengan tas yang biasa ia pakai ke mana-mana.Menunggu angkot tak kunjung datang, akhirnya harus berjalan sekian meter sambil menoleh belakang. Mana tahu, ada yang lewat memberikan tumpangan.Sampai juga akhirnya di rumah sakit, saat menyusuri lorong, Berlian melihat Yoga sudah duduk di depan ruangan Ibunya. Gadis itu mendadak berhenti dan menimbang. "Berlian, sini!" Yoga yang tak sengaja menoleh, akhirnya melihat sang gadis. Pria itu begitu iba dan kasihan dengan keadaan gadis itu."Om. Sejak kapan, Om, ada di sini?" tanya gadis itu ketika sudah sampai di dekat Yoga."Udah dari tadi. Kenapa kamu tidak bilang kalau Ibumu harus melakukan beberapa peme
Hujan lebat disertai guntur menggema di sebagian wilayah dengan merata. Kilatan putih yang terdengar memekik telinga seperti cambuk yang kini mengenai hati gadis itu. Ia menangis tanpa ada seorangpun yang tahu kecuali pelaku dan dirinya sendiri. Berlian merintih kesakitan dan tak berdaya lagi. Hanya suara hati yang terdengar oleh Tuhan. Ia ingin mati saja kalau boleh. Ia ingin segera hidup tenang di alam sana. Air mata seolah habis, yang tersisa hanya luka menganga.Pria itu membenahi kembali pakaiannya. Ia sempat menutupi berlian dengan jilbab yang sempat terhempas pada bagian bawah. Pakaian gadis itu sudah compang-camping. Satu hal saja yang ia inginkan, yaitu kematian. Kedua matanya mulai terpejam dan tak ingin membuka lagi. Suara yang kembali terdengar tak pernah lagi ia hiraukan. Ia benar-benar tenggelam dalam kehancuran."Tolong!" "Tolong!" Teriakan kencang di keheningan malam membuat petugas jaga malam pun tak mendengar. Hujan masih membekukan anak manusia yang enggan kelua
"Silakan saudara jelaskan kronologis kejadian!" Pri itu menoleh kanan kiri, lalu menunduk lagi. Membuat mereka yang menunggu jawaban, semakin curiga. "Saya turun dari mobil karena mobil oleng, Pak. Saya juga bukan warga sini karena kebetulan baru pulang dari luar kota. Setelah mobil berhenti, otomatis saya turun untuk melihat ban yang ternyata pecah.Tadi, kan, memang hujan lebat. Pandangan saya enggak begitu jelas. Saya putuskan untuk mencari tempat berteduh. Nah, saat masuk pos jaga yang sudah kumuh itu, saya melihat sosok yang tergeletak. Saya pikir orang tidur, tapi setelah mendekat ternyata seorang gadis." Pria itu menjelaskan dengan gamblang Pria itu menarik napas dalam-dalam. "Halah, bohong! Mana ada maling ngaku, Pak RT!" Warga kembali emosi. Setelah kembali tenang, dalam kesepakatan itu terjadi berbagai pendapat. Ada yang ingin menjebloskan pria yang tak tahu apa-apa itu ke penjara. Ada pula yang ingin mengadili langsung di sana. "Sudah, tenang, semuanya! Saya minta kal