Rintik hujan membasahi bumi, gadis manis dengan lesung di pipi termangu menatap di sebalik kaca jendela. Menuangkan rasa sakit melebihi patah hati. Wajah sembab berbalut dengan air mata terus menelan rona manis, Berlian menoleh pada suara rintihan."Bu. Ibu, sudah sadar?" Berlian mendekati Lela. Selang infus tertancap kuat dan cup oksigen membuat Lela tak bisa berbicara jelas.Gadis itu sendirian menunggu Lela karena Yoga mendadak ada urusan. Berlian menunggu sebuah kalimat yang nampaknya ingin Lela sampaikan. "Ibu, istirahat saja. Berlian akan jagain. Tadi, Om Yoga yang bantuin bawa Ibu ke sini. Tapi, sekarang sudah pergi lagi karena urusan pribadi."Semalam suntuk, gadis itu tidur di pinggir ranjang dengan kepala bertumpu tangan. Ia menggenggam tangan Ibunya penuh kasih. Ketika mendengar azan Subuh, Berlian bergegas bangun. Ia menulis di sebuah kertas dan meninggalkan di dekat Lela. Sebuah pesan berpamitan untuk mencari nafkah.Lepas menunaikan kewajiban Subuh, ia pulang di antar
"Tidak apa-apa, Pak. Saya mengerti. Saya juga paham, tadinya saya ragu. Tapi, terlanjur tidak punya jalan lagi." "Ya, sudah, kamu kembali kerja saja." Pria itu lantas pergi dari hadapan Berlian. Hingga hari mulai gelap karena mendung dan petir menyambar-nyambar, Berlian baru saja keluar dari supermarket itu. Ia memayungi dirinya sendiri dengan tas yang biasa ia pakai ke mana-mana.Menunggu angkot tak kunjung datang, akhirnya harus berjalan sekian meter sambil menoleh belakang. Mana tahu, ada yang lewat memberikan tumpangan.Sampai juga akhirnya di rumah sakit, saat menyusuri lorong, Berlian melihat Yoga sudah duduk di depan ruangan Ibunya. Gadis itu mendadak berhenti dan menimbang. "Berlian, sini!" Yoga yang tak sengaja menoleh, akhirnya melihat sang gadis. Pria itu begitu iba dan kasihan dengan keadaan gadis itu."Om. Sejak kapan, Om, ada di sini?" tanya gadis itu ketika sudah sampai di dekat Yoga."Udah dari tadi. Kenapa kamu tidak bilang kalau Ibumu harus melakukan beberapa peme
Hujan lebat disertai guntur menggema di sebagian wilayah dengan merata. Kilatan putih yang terdengar memekik telinga seperti cambuk yang kini mengenai hati gadis itu. Ia menangis tanpa ada seorangpun yang tahu kecuali pelaku dan dirinya sendiri. Berlian merintih kesakitan dan tak berdaya lagi. Hanya suara hati yang terdengar oleh Tuhan. Ia ingin mati saja kalau boleh. Ia ingin segera hidup tenang di alam sana. Air mata seolah habis, yang tersisa hanya luka menganga.Pria itu membenahi kembali pakaiannya. Ia sempat menutupi berlian dengan jilbab yang sempat terhempas pada bagian bawah. Pakaian gadis itu sudah compang-camping. Satu hal saja yang ia inginkan, yaitu kematian. Kedua matanya mulai terpejam dan tak ingin membuka lagi. Suara yang kembali terdengar tak pernah lagi ia hiraukan. Ia benar-benar tenggelam dalam kehancuran."Tolong!" "Tolong!" Teriakan kencang di keheningan malam membuat petugas jaga malam pun tak mendengar. Hujan masih membekukan anak manusia yang enggan kelua
"Silakan saudara jelaskan kronologis kejadian!" Pri itu menoleh kanan kiri, lalu menunduk lagi. Membuat mereka yang menunggu jawaban, semakin curiga. "Saya turun dari mobil karena mobil oleng, Pak. Saya juga bukan warga sini karena kebetulan baru pulang dari luar kota. Setelah mobil berhenti, otomatis saya turun untuk melihat ban yang ternyata pecah.Tadi, kan, memang hujan lebat. Pandangan saya enggak begitu jelas. Saya putuskan untuk mencari tempat berteduh. Nah, saat masuk pos jaga yang sudah kumuh itu, saya melihat sosok yang tergeletak. Saya pikir orang tidur, tapi setelah mendekat ternyata seorang gadis." Pria itu menjelaskan dengan gamblang Pria itu menarik napas dalam-dalam. "Halah, bohong! Mana ada maling ngaku, Pak RT!" Warga kembali emosi. Setelah kembali tenang, dalam kesepakatan itu terjadi berbagai pendapat. Ada yang ingin menjebloskan pria yang tak tahu apa-apa itu ke penjara. Ada pula yang ingin mengadili langsung di sana. "Sudah, tenang, semuanya! Saya minta kal
"Le, kamu sudah sadar?" Pria dengan jas hitam yang sejak beberapa hari pulang pergi ke rumah sakit itu menegakkan punggungnya. Ia melihat cahaya bening yang keluar dari kedua bola mata Lela. Wanita itu menggerakkan kepalanya mencari seseorang."Mana Berlian?" Lemah suara Lela, ia hanya ingin bertemu gadisnya. Gadis yang rasanya sudah lama tak lagi ia lihat."Dia ... dia lagi enggak ada, Le. Mungkin kerja, soalnya aku belum ketemu dia lagi. Nanti pasti ke sini untuk menjengukmu. Jangan khawatir!" "Aku ingin ketemu dia. Tolong, bawa dia ke sini." Air mata Lela tumpah. Ia menahan rindu yang disertai rasa sakit di sekujur tubuh. Tubuhnya tak bisa digerakkan sedikit saja. Rasa itu tak bisa ia ungkapkan, hanya memejamkan mata untuk menahannya.Yoga menghela napas panjang. Hanya dirinya seorang yang kini menjaga Lela sepenuh hati. Ke mana lagi ia harus mencari anak gadis Lela, sementara dirinya sendiri tak tahu Berlian kerja di mana.Malam itu, Yoga pulang. Ia memasuki mobilnya setelah sang
"Apa kamu benar-benar menyukainya?" Fawwaz masih bertanya lagi. Ia tak mengindahkan ketika sepupunya itu tampak gelisah. "Udah, enggak usah banyak tanya lagi! Sekarang, bawa aku ke sana! Cepat, aku ingin ketemu sama dia!" Fawwaz menghela napas panjang. "Dia udah enggak kerja lagi kayaknya. Sudah tiga hari enggak masuk. Aku cari di kontrakan baru dia juga enggak ada."Alby lemas lagi. "Kamu sama sekali enggak tau di mana dia?"Fawwaz menggeleng kepalanya. "Memangnya kamu mau ngapain cari dia?""Aku mau bilang maaf. Aku sudah membuatnya ...." Alby tak melanjutkan lagi ucapnya. Ia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan serta meremas kepala yang mendadak berdenyut. Alby menyandarkan punggungnya pada kursi dan mengeluarkan angin sesak dari dalam dadanya."Kalau sudah ketemu saja bilangnya. Aku juga mau nyari dia. Kasihan, dia enggak punya siapa-siapa selain Ibunya. Miris banget hidup dia."Setelah pertemuan mereka berdua, Alby tak lagi menanyakan perihal Berlian pada Fawwaz. Mungki
"Sekarang kamu bisa tinggal di sini. Tapi, aku enggak bisa di sini terus. Aku harus pulang." Pria dengan kemeja putih yang dibalut jaket hitam itu mendorong Berlian di atas kursi roda memasuki sebuah rumah minimalis modern. Semua bernuansa putih mulai dari tembok hingga lemari hias dan segala perabotannya. Berlian tertunduk. Ia bingung kenapa jalan hidupnya harus begini. Ia tak mengatakan apapun."Kamu tidak usah pikirkan ucapan mereka semalam. Ini terjadi karena semua sudah kehendak Yang Maha Kuasa." Pria itu terus mendorong kursi roda hingga ke dalam kamar. Melihat Berlian masih diam begitu, Arham jadi sungkan. "Oh, ya, ini ada nafkah buat kamu. Aku harap, kamu mau pergunakan nanti. Kalau kurang, nanti aku kasih lagi. Ini juga ada ponsel, hanya ada nomorku di sana. Kapan saja kamu butuh uang, ketik pesan saja. Tapi, jangan menelpon." Arham meletakkan lembaran merah di atas nakas.Pria itu keluar dari kamar. Ia mengecek bahan makanan di dapur. Ia tak tahu jika Berlian kini tengah t
mulai bangkit. Sedikit rasa sakit yang tersisa di bagian sana, membuat gadis itu mBerlianeringis menahan tekanan ketika berdiri."Kamu kuat berjalan? Kalau enggak, duduk aja di kursi roda."Gadis itu menurut saja. Ia duduk di atas kursi roda yang menuju ke tempat makan. Mereka mulai menikmati sarapan sederhana."Oh, ya, aku sudah putuskan, malam ini masih bisa menginap di sini. Setelah kamu benar-benar sehat, aku akan pulang. Nanti malam aku akan tidur di ruang tamu."Berlian terus saja diam dengan tatapan kosong. Entah dengar atau tidak, gadis itu teringat Ibunya. Apakah nasibnya kelak akan seperti Lela, atau ... semakin menyedihkan.Berlian menghentikan mulutnya mengunyah. Air mata kembali luruh dan ia segera menyekanya. "Maaf, saya sudah membuat, Mas, kerepotan. Saya akan pergi setelah ini.""Jangan! Rumah ini adalah rumahmu. Ini hakmu. Tinggallah di sini sampai kapanpun kamu mau." Arham meneguk air putih dalam gelas. Ia agak kecewa dengan keputusan Berlian barusan. "Kita tidak