"Sekarang kamu bisa tinggal di sini. Tapi, aku enggak bisa di sini terus. Aku harus pulang." Pria dengan kemeja putih yang dibalut jaket hitam itu mendorong Berlian di atas kursi roda memasuki sebuah rumah minimalis modern. Semua bernuansa putih mulai dari tembok hingga lemari hias dan segala perabotannya. Berlian tertunduk. Ia bingung kenapa jalan hidupnya harus begini. Ia tak mengatakan apapun."Kamu tidak usah pikirkan ucapan mereka semalam. Ini terjadi karena semua sudah kehendak Yang Maha Kuasa." Pria itu terus mendorong kursi roda hingga ke dalam kamar. Melihat Berlian masih diam begitu, Arham jadi sungkan. "Oh, ya, ini ada nafkah buat kamu. Aku harap, kamu mau pergunakan nanti. Kalau kurang, nanti aku kasih lagi. Ini juga ada ponsel, hanya ada nomorku di sana. Kapan saja kamu butuh uang, ketik pesan saja. Tapi, jangan menelpon." Arham meletakkan lembaran merah di atas nakas.Pria itu keluar dari kamar. Ia mengecek bahan makanan di dapur. Ia tak tahu jika Berlian kini tengah t
mulai bangkit. Sedikit rasa sakit yang tersisa di bagian sana, membuat gadis itu mBerlianeringis menahan tekanan ketika berdiri."Kamu kuat berjalan? Kalau enggak, duduk aja di kursi roda."Gadis itu menurut saja. Ia duduk di atas kursi roda yang menuju ke tempat makan. Mereka mulai menikmati sarapan sederhana."Oh, ya, aku sudah putuskan, malam ini masih bisa menginap di sini. Setelah kamu benar-benar sehat, aku akan pulang. Nanti malam aku akan tidur di ruang tamu."Berlian terus saja diam dengan tatapan kosong. Entah dengar atau tidak, gadis itu teringat Ibunya. Apakah nasibnya kelak akan seperti Lela, atau ... semakin menyedihkan.Berlian menghentikan mulutnya mengunyah. Air mata kembali luruh dan ia segera menyekanya. "Maaf, saya sudah membuat, Mas, kerepotan. Saya akan pergi setelah ini.""Jangan! Rumah ini adalah rumahmu. Ini hakmu. Tinggallah di sini sampai kapanpun kamu mau." Arham meneguk air putih dalam gelas. Ia agak kecewa dengan keputusan Berlian barusan. "Kita tidak
"Hallo, Sayang? Em, aku masih di jalan. Ah, aku masih menginap di hotel. Sebentar lagi aku sampai rumah." Arham terlihat gelagapan. Ia langsung merasa bersalah dengan gadis di sampingnya.Nampaknya, setelah pria itu menyebut seseorang di balik panggilan dengan istimewa, Berlian mengetahui sebuah kenyataan. Ia langsung membalik badan dan segera turun dari tempat tidur, merambat berpegangan pada dinding untuk ke kamar mandi.Arham tak bisa menjelaskan apapun. Ia bingung dan memutuskan untuk segera membersihkan diri lalu salat Subuh. Lepas itu, Berlian duduk di belakang Arham karena ia baru saja selesai salat juga. "Berlian, aku mau bicara padamu mengenai keluargaku." Arham membalik badan dan memegang tangan gadis itu. Berlian langsung melepas tangan Arham dan memberi jarak. "Aku sudah tau, Mas. Kamu punya keluarga, kan? Mereka yang telah menantimu di rumah. Pulanglah dan temui mereka. Mereka pasti rindu. Aku tidak apa-apa di sini sendirian. Setelah agak kuat, aku akan pergi dari sini.
"Apa?" Alby masih tak percaya. Ia tak terima. "Enggak mungkin! Kapan kalian menikah? Jangan bohong, hanya untuk menghindari dariku, Berl. Aku mencintaimu, Berlian.""Maaf, dia adalah istriku. Kami sudah menikah dua hari lalu." Arham menjawab kebingungan Alby. "Kami menikah memang dalam waktu singkat. Jangan temui dia lagi, tolong!" Arham segera menggandeng tangan Berlian dan mengajaknya pulang. Di belakang sana, Alby tercengang hingga tertunduk lesu. Ia kembali ke dalam mobilnya. Lenyap sudah cinta yang susah payah ia jaga. Berlian lebih memilih pria lain. "Kamu enggak apa-apa?" Arham mengajak gadis itu duduk di kamar. Pria itu meletakkan tas kerjanya di sofa. "Enggak, Mas. Aku enggak apa-apa. Cuman kaget saja pas dia datang." "Tapi, kamu gemetaran begini. Sebentar, akan aku ambilkan minum." Pria itu segera ke dapur dan menuang air putih dalam gelas. Lalu, kembali ke kamar dan memberikan pada Berlian. Setelah diminum, Berlian tampak menghela napas panjang. Ia terlihat mengatur na
Hujan begitu deras mengguyur hingga pukul tengah malam. Gadis itu bergetar tubuhnya menahan ketakutan. Ia mendekam dalam dekapan pria itu dan mereka larut dalam temaram lampu kamar. "Mas, pulanglah! Istrimu pasti mencari." Arham menggeleng kepalanya. "Kau lebih membutuhkanku, Berlian. Dia di rumah dengan Sherina dan pembantu yang siap mendengarkan perintah. Kalau aku pulang, meninggalkan kamu yang ketakutan begini sendirian itu sama saja aku tidak adil, karena kau juga istriku.""Tapi, Mas, apa dia tau kalau Mas sudah menikah lagi? Aku tidak mau ada apa-apa nanti kalau dia tiba-tiba tau.""Dia akan segera tau, Berl. Insyaallah, aku akan pelan-pelan kasih tau ke dia. Sudah, ya! Sekarang tidur." Rupanya, selama kedua mata Arham terjaga, hujan juga tak kunjung reda. Udara dingin membuat mereka menyatu dalam selimut. Pria itu masih membuka mata, mencari cara bagaimana ia mengatakan kebenaran itu pada Nayla.Sekilas, pria itu memindai wajah cantik Berlian lagi. Gadis yang masih sangat m
Arham paham apa maksud ucapan gadis itu. "Kamu bukan orang ketiga, Berlian. Kita menikah memang sudah jalannya begini. Kau dan Nayla, tetap akan menjadi istriku. Jika kau hamil, entah itu anakku atau bukan, aku akan bertanggung jawab."Berlian malah semakin terisak. Kepalanya menggeleng terus dengan wajah tertutup telapak tangan."Kamu mandi duluan, setelah itu gantian aku. Kita akan salat jamaah dan memohon ampun pada Allah atas segala khilaf."Berlian menuruti apa kata Arham. Ia segera berdiri dengan selimut membungkus. Ketika gadis itu tengah mengguyur tubuhnya dengan air di dalam sana, Arham membuka lemari. Ia tak melihat pakaian Berlian kecuali hanya dua setelan saja. Satu gamis yang sudah kekecilan, tampaknya, ia tarik dan letakkan di atas tempat tidur. Selesai dari kamar mandi, gadis itu menutupi kepalanya dengan handuk. Ia melihat Arham menyiapkan pakaian untuknya."Berlian, bajumu cuman itu saja?" Pria dengan handuk melilit di pinggang itu bertanya. Lalu, berlian mengangguk.
"Iya, nanti sekalian jemput Sherina. Kamu sama sopir tunggu aku di depan kantor, oke?" Nayla mengangguk dengan senyum manisnya. Wanita dengan jilbab abu tua itu memeluk suaminya begitu erat. Kebahagiaan yang semakin ia rasakan, membuatnya mengembang seperti balon.Benar saja, Arham mengajak anak dan istrinya jalan-jalan siang itu dan belanja bulanan juga. Tanpa sepengetahuan istrinya, ia menyuruh SPG memilihkan baju dengan ukuran M. Sesuai dengan postur tubuh Berlian yang ramping dan mungil.Arham membiarkan istri dan anaknya memilih di bagian lain, sementara dirinya menyelinap meminta SPG tadi mengirim ke sebuah alamat semua barang yang sudah ia bayarkan. Setelah itu, Arham segera menyusul Nayla lagi dan membantunya memilih pakaian.***"Mas, aku capek. Aku tidur sama Sherina dulu, ya?" Wanita yang tadi menenteng banyak bag paper itu kini berjalan lemas ke arah pintu kamar putrinya. Ia hanya lewat dan berpesan singkat pada suaminya yang kini tengah duduk di sofa ruang tengah dengan
"Mas Arham katanya pegel, Ma. Dia mau di rumah aja sambil mengerjakan kerjaan kantor." Nayla meneguk minuman di depannya. Sementara Sherina mulai bermain dengan anak-anak kecil lainnya."Halah, kata Papa dia pulang awal dari kantor tadi." "Iya, tapi kami diajak jalan-jalan dulu ke mall."Mendengar penuturan putrinya, wanita tua dengan rambut sanggul tinggi itu mengangguk paham. Mereka langsung memulai acaranya. Setengah acara telah usai, kini mereka makan-makan dan Nayla memilih menyendiri di dekat kolam renang. Ia masih terngiang kejadian siang tadi. Nama siapa yang disebut Arham tanpa sengaja tadi?"Nay, kamu kenapa di sini? Ayo, gabung sama, makan dulu!" Salah seorang sahabat Nayla datang menghampiri. "Aku udah kenyang, Vin." Nayla menjawab dengan singkat. "Kamu kenapa, Nay? Tumben kayak enggak mood gitu? Biasanya paling rame." Vina mengambil posisi duduk di dekat Nayla. "Aku bingung, Vin. Tadi Mas Arham menyebut nama wanita saat dia tidur. Tapi, saat kutanya enggak tau apa-ap