"Apa?" Alby masih tak percaya. Ia tak terima. "Enggak mungkin! Kapan kalian menikah? Jangan bohong, hanya untuk menghindari dariku, Berl. Aku mencintaimu, Berlian.""Maaf, dia adalah istriku. Kami sudah menikah dua hari lalu." Arham menjawab kebingungan Alby. "Kami menikah memang dalam waktu singkat. Jangan temui dia lagi, tolong!" Arham segera menggandeng tangan Berlian dan mengajaknya pulang. Di belakang sana, Alby tercengang hingga tertunduk lesu. Ia kembali ke dalam mobilnya. Lenyap sudah cinta yang susah payah ia jaga. Berlian lebih memilih pria lain. "Kamu enggak apa-apa?" Arham mengajak gadis itu duduk di kamar. Pria itu meletakkan tas kerjanya di sofa. "Enggak, Mas. Aku enggak apa-apa. Cuman kaget saja pas dia datang." "Tapi, kamu gemetaran begini. Sebentar, akan aku ambilkan minum." Pria itu segera ke dapur dan menuang air putih dalam gelas. Lalu, kembali ke kamar dan memberikan pada Berlian. Setelah diminum, Berlian tampak menghela napas panjang. Ia terlihat mengatur na
Hujan begitu deras mengguyur hingga pukul tengah malam. Gadis itu bergetar tubuhnya menahan ketakutan. Ia mendekam dalam dekapan pria itu dan mereka larut dalam temaram lampu kamar. "Mas, pulanglah! Istrimu pasti mencari." Arham menggeleng kepalanya. "Kau lebih membutuhkanku, Berlian. Dia di rumah dengan Sherina dan pembantu yang siap mendengarkan perintah. Kalau aku pulang, meninggalkan kamu yang ketakutan begini sendirian itu sama saja aku tidak adil, karena kau juga istriku.""Tapi, Mas, apa dia tau kalau Mas sudah menikah lagi? Aku tidak mau ada apa-apa nanti kalau dia tiba-tiba tau.""Dia akan segera tau, Berl. Insyaallah, aku akan pelan-pelan kasih tau ke dia. Sudah, ya! Sekarang tidur." Rupanya, selama kedua mata Arham terjaga, hujan juga tak kunjung reda. Udara dingin membuat mereka menyatu dalam selimut. Pria itu masih membuka mata, mencari cara bagaimana ia mengatakan kebenaran itu pada Nayla.Sekilas, pria itu memindai wajah cantik Berlian lagi. Gadis yang masih sangat m
Arham paham apa maksud ucapan gadis itu. "Kamu bukan orang ketiga, Berlian. Kita menikah memang sudah jalannya begini. Kau dan Nayla, tetap akan menjadi istriku. Jika kau hamil, entah itu anakku atau bukan, aku akan bertanggung jawab."Berlian malah semakin terisak. Kepalanya menggeleng terus dengan wajah tertutup telapak tangan."Kamu mandi duluan, setelah itu gantian aku. Kita akan salat jamaah dan memohon ampun pada Allah atas segala khilaf."Berlian menuruti apa kata Arham. Ia segera berdiri dengan selimut membungkus. Ketika gadis itu tengah mengguyur tubuhnya dengan air di dalam sana, Arham membuka lemari. Ia tak melihat pakaian Berlian kecuali hanya dua setelan saja. Satu gamis yang sudah kekecilan, tampaknya, ia tarik dan letakkan di atas tempat tidur. Selesai dari kamar mandi, gadis itu menutupi kepalanya dengan handuk. Ia melihat Arham menyiapkan pakaian untuknya."Berlian, bajumu cuman itu saja?" Pria dengan handuk melilit di pinggang itu bertanya. Lalu, berlian mengangguk.
"Iya, nanti sekalian jemput Sherina. Kamu sama sopir tunggu aku di depan kantor, oke?" Nayla mengangguk dengan senyum manisnya. Wanita dengan jilbab abu tua itu memeluk suaminya begitu erat. Kebahagiaan yang semakin ia rasakan, membuatnya mengembang seperti balon.Benar saja, Arham mengajak anak dan istrinya jalan-jalan siang itu dan belanja bulanan juga. Tanpa sepengetahuan istrinya, ia menyuruh SPG memilihkan baju dengan ukuran M. Sesuai dengan postur tubuh Berlian yang ramping dan mungil.Arham membiarkan istri dan anaknya memilih di bagian lain, sementara dirinya menyelinap meminta SPG tadi mengirim ke sebuah alamat semua barang yang sudah ia bayarkan. Setelah itu, Arham segera menyusul Nayla lagi dan membantunya memilih pakaian.***"Mas, aku capek. Aku tidur sama Sherina dulu, ya?" Wanita yang tadi menenteng banyak bag paper itu kini berjalan lemas ke arah pintu kamar putrinya. Ia hanya lewat dan berpesan singkat pada suaminya yang kini tengah duduk di sofa ruang tengah dengan
"Mas Arham katanya pegel, Ma. Dia mau di rumah aja sambil mengerjakan kerjaan kantor." Nayla meneguk minuman di depannya. Sementara Sherina mulai bermain dengan anak-anak kecil lainnya."Halah, kata Papa dia pulang awal dari kantor tadi." "Iya, tapi kami diajak jalan-jalan dulu ke mall."Mendengar penuturan putrinya, wanita tua dengan rambut sanggul tinggi itu mengangguk paham. Mereka langsung memulai acaranya. Setengah acara telah usai, kini mereka makan-makan dan Nayla memilih menyendiri di dekat kolam renang. Ia masih terngiang kejadian siang tadi. Nama siapa yang disebut Arham tanpa sengaja tadi?"Nay, kamu kenapa di sini? Ayo, gabung sama, makan dulu!" Salah seorang sahabat Nayla datang menghampiri. "Aku udah kenyang, Vin." Nayla menjawab dengan singkat. "Kamu kenapa, Nay? Tumben kayak enggak mood gitu? Biasanya paling rame." Vina mengambil posisi duduk di dekat Nayla. "Aku bingung, Vin. Tadi Mas Arham menyebut nama wanita saat dia tidur. Tapi, saat kutanya enggak tau apa-ap
Wanita itu keluar dari kantor membawa perasaan panas dalam dadanya. Ia segera menyalakan mobil suaminya tanpa sopir yang biasa mengantar. Ia ingin dirinya sendiri yang menghadapi sosok misterius itu. Sampai di sebuah kafe yang memang biasanya Nayla ke tempat itu dengan Arham, ia segera masuk dan menunggu di dalam sana. Ia juga tak lupa mengenakan masker agar tak mudah dikenali. Sudah lima belas menit Nayla di sana. Seseorang yang ia tunggu tak kunjung datang juga. Padahal, ia sudah memberitahu seseorang yang melepon tadi dengan sebuah pesan agar menghubungi nomornya langsung.Nayla mulai lelah menunggu. Ia meneguk minuman yang sudah ia pesan tadi sambil terus menoleh kanan kiri karena tak tenang. Selang semenit kemudian, ponselnya bergetar. Ia terkejut dan langsung melihat siapa yang telah memanggil.Ternyata nomor yang sama. Ia buru-buru mencari keberadaan seseorang yang sudah ia tunggu-tunggu. Beralih pada pesan, Nayla mengetik agar sang pemilik nomor misterius itu menunjukkan tem
Mereka berpisah di lobi kantor yang bernuansa kaca seluruhnya. Arham pun mengeluarkan ponselnya lagi dan menelpon Berlian. Perjalanan singkat dari kantor membuat Arham sampai di rumah Berlian hanya membutuhkan waktu 20 menit. Ia membawa buah tangan buket bunga Lili dan buah-buahan. Berlian yang mendengar deru suara mobil suaminya lantas membuka pintu. Gadis itu tersenyum manis dan segera memeluk Arham tanpa rasa malu lagi. Mereka masuk ke dalam rumah setelah itu."Maaf, ya, Berlian. Aku baru bisa ke sini. Kamu baik-baik saja, kan?" Arham membuka jas kerjanya dan sepatu yang membungkus kaki sejak pagi."Alhamdulillah, aku baik-baik saja, Mas. Kalau datang ke sini, Mas Arham enggak usah bawa apa-apa. Bahan makanan dan buah di kulkas masih banyak, kan, Mas yang ngisi dua hari lalu." Berlian meletakkan minuman segar di atas meja. Ia duduk di sebelah pria itu."Aku enggak bawa banyak, Berl. Aku membawa itu semua karena agar kamu enggak keseringan di luar. Kalau butuh apa-apa, kan, kamu t
Nayla menggeleng kepalanya. Ia tak bisa terima alasan Arham yang menurutnya tidak logis. "Kamu kira aku enggak semakin marah dengan kejadian ini? Aku tau semuanya dengan sendiri. Itu lebih menyakitkan, Mas! Aku benci kamu!" Nayla histeris. Mengundang banyak perhatian orang di sana. Ia langsung berdiri dan meninggalkan tempat itu."Nayla tunggu!" Arham melepas genggaman tangannya pada Berlian dan mengejar istri pertamanya. "Nay ...."Nayla berhenti ketika Arham mendapatkan tangannya. Ia masih menangis. "Sudahlah, Mas. Lepaskan aku. Aku tunggu talak darimu." Arham lemas. "Nay, sampai kapanpun kamu tidak akan pernah kuceraikan. Kamu tetap akan jadi istriku.""Kalau begitu, segera ceraikan dia." Arham terkejut. Ia tidak bisa melakukannya apalagi sudah berjanji tidak akan menceraikan Berlian juga. "Maaf, Nay, aku juga enggak bisa. Kalian adalah istriku. Terimalah dengan lapang dada takdir ini, Nay. Kita bisa damai dengan cara baik-baik.""Kata siapa kita bisa damai dengan baik-baik? Kamu
Terusan berlia"Bagaimana aku tidak memikirkannya? Aku menikah dengan lelaki beristri. Yang sekarang telah berpisah tapi masih sama-sama masih saling mencintai. Aku tidak bisa begini terus, Mas. Kalian kembalilah. Aku akan pergi jauh-jauh dari kehidupan kalian.""Sudah kubilang, pernikahan bukan untuk mainan. Tidak semudah itu berpisah. Apalagi, aku sudah pernah merasakannya. Kalau memang aku dan Nayla ditakdirkan untuk kembali, maka dia harus menerimamu juga."Berlian pasrah saja. Sebenarnya, dia juga ragu. Namun, apa kata Arham, dia akan menurut saja.Setelah beberapa saat, Nayla membuka mata lagi. Yang pertama ia lihat, jelas adalah Arham. Lelaki yang senantiasa menemani. "Mas ...." Nayla langsung menggenggam tangan Arham."Kamu sudah mendingan? Makan dulu, ya? Aku suapin." Arham hendak meraih mangkuk yang ada di atas nakas. "Mas, kenapa dia ada di sini?" Nayla menatap Berlian yang terus menunduk. "Dia, kan, istriku, Nay." Nayla kembali menangis. Ia teringat sesuatu dan masih b
Fitnah yang akhirnya membawa Arham pada ruangan direktur. Di sana, dia berdiri dan menjawab setiap pertanyaan dari atasannya. "Saya harap, masalah kamu tidak menjadikan nilai kerjamu menurun. Kamu harus profesional, Ham. Kamu sudah mendapat nama baik di sini. Karirmu cemerlang tiga tahun berturut-turut.""Baik, Pak. Saya mohon undur diri dulu." Arham segera keluar. Ia tak sampai hati siapa yang telah membuat fitnah tentang dirinya. Ketika melewati beberapa karyawan lain pun, terdengar bisik-bisik. Mereka saling melirik dan berkata lirih. Tak peduli dengan itu, lepas istirahat siang, Arham menjemput putrinya. Ternyata Berlian ada di sana. Wanita muda dengan wajah yang tampak semakin cantik itu duduk bersebelahan dengan Sherina. Mereka langsung menyambut kedatangan Arham. "Kamu datang dengan siapa, Berlian?" "Aku ...." Berlian masih menimbang. Ia ragu ingin mengatakannya. "Katanya kamu enggak tau sekolahan Sherina di mana? Karena kita hanya datang sekali saat itu."Pertanyaan Arh
"Maaf, Sus. Saya ingin melihat siapa laki-laki yang bernama istri saya tadi." Ketika Arham menyebut Nayla masih istrinya, ada perasaan lain yang tiba-tiba muncul di hati Berlian. Namun, ia tak begitu mempermasalahkan."Baik, Pak." Suster membuka tutup kain itu. Tampak wajah pucat yang sudah tak bernyawa lagi.Yang paling terkejut melihat itu adalah Berlian. Dia sangat mengenal laki-laki itu. Air matanya lirih seketika. Ia teringat Yoga. Lelaki paling baik yang pernah ia temui. "Mas Alby." Air mata Berlian pecah. Ia menutup mulutnya dengan tangan. Suster pun segera menutup kembali dan membawa Alby ke ruang pengurusan jenazah. Lalu, akan menghubungi pihak keluarga. Dari sana, Berlian meminta pihak rumah sakit agar dia bisa ikut mengantar jenazah. Arham mengizinkan. Setelah selesai, jenazah langsung dimasukkan ke dalam mobil ambulans lagi. Di dalam sana, Berlian ikut masuk bersama dua lelaki di bagian belakang. Sepanjang perjalanan, tangisnya pecah dan hanya bisa berdo'a untuk pria ya
"Tapi, Om, saya juga punya tanggungan. Saya punya suami.""Lantas, kenapa suami kamu tidak ikut ke sini? Apakah dia menunggu seseorang di rumah sakit? Suami kamu masih cinta sama mantan istrinya?" Berlian semakin merasakan sesak dalam dadanya. Sejauh ini, ia memang melihat kalau Arham memang masih mencintai Nayla. Namun, Berlian sadar diri. Ia tidak berhak cemburu."Om, Ibu di mana? Berlian kangen sama Ibu? Apakah dia pergi juga?" Demi memendam rahasia kehidupannya, ia mengalihkan pembicaraan. "Ibumu sudah pergi juga." Berlian ternganga. Kelopak matanya berkedip begitu cepat untuk menghalau Air mata yang mengaburkan pandangan lagi. Butiran sebiji jagung mulai runtuh dan semakin sering."Dia menitipkan kamu padaku. Dia meminta maaf padamu. Dia juga sudah menjadi lebih baik sebelum kembali pada Tuhannya. Dia sudah bertaubat, Berlian. Sayang, dia tidak bisa bertemu denganmu di saat-saat terakhirnya." Yoga menceritakan semua.Berlian semakin terisak. Besok, ia meminta Yoga agar mengant
"Dia hanya masih belum terbiasa denganmu. Aku yakin, dengan kamu melebihkan rasa sabar, insyaallah dia pasti akan luluh juga. Tutuplah keburukan itu dengan kebaikan." Malam itu mereka habiskan dengan saling mendukung. Berlian sepakat akan mencoba kembali mendekati Sherina. Tak ada kata mudah sebelum dicoba. Mencoba tak cukup hanya sekali, mungkin kesakitan yang akan kamu dapat di awal. Namun, masih ada harapan untuk berhasil di kemudian hari.*Mobil hitam dengan kaca terbuka berhenti di sebuah halaman yang tampak bersih terawat. Namun, tampak sepi tak berpenghuni. Mereka bertiga turun dari mobil. Arham yang pertama mengetuk pintu setelah bel ia tekan dan tak ada yang membukakan."Assalamualaikum, Nay?" Pria itu berteriak. Di belakangnya, ada gadis yang sudah tak sabar ingin memeluk dan bertemu Nayla. Sudah berkali-kali diketuk, pintu tak juga dibuka. "Kok, Mama enggak buka pintu, ya? Mungkin lagi keluar, Sayang," katanya pada gadis kecil itu. Seketika wajah Sherina meredup. Ia ta
"Papa enggak akan marah, Tante. Pokoknya aku mau ketemu Mama." Terus begitu, Sherina menangis terisak-isak. Ia meronta sampai memukuli Berlian. "Sherina, kita tunggu Papa pulang kerja aja, ya? Tante beneran enggak tau rumah Mama kamu. Tante minta maaf, ya?" Berlian juga terus membujuk. Ia mengajak Sherina yang masih labil itu ke kamar lagi. Memeluknya dengan hangat dan menganggap sebagai anak sendiri. Mencoba menceritakan kisah-kisah dirinya yang berjuang sendiri, dengan sepenuh hati Berlian menenangkan hati gadis kecil itu. Mereka merebahkan diri di atas tempat tidur yang dihiasi berbagai macam pernak-pernik anak gadis dengan nuansa pinky.Jejak tangis Sherina masih jelas, tetapi dongeng dan sebagian kisah yang Berlian ceritakan belum selesai. Berlian terus menceritakan kebaikan Nayla dan Arham, hingga gadis kecil itu akhirnya tertidur pulas. *"Tante, katanya kita mau ke rumah Mama? Tante tadi sudah janji." Makan malam baru saja dimulai. Berlian kembali membatalkan suapan nasi
"Mas, anggap ini semua adalah sebuah pelajaran hidup. Sekarang kita harus benar-benar bertaubat. Kita sudah banyak berdosa. Jangan biarkan Sherina melihat dosa-dosa kita. Agar kelak, dia tidak mengulang kesalahan kita.""Kamu benar, Berlian. Kamu benar." Tangis Arham pecah saat itu juga. Mulai saat itu juga, kehidupan mereka berubah. Arham membawa mereka tinggal di rumah baru. Kehidupan berjalan beberapa Minggu dan Sherina kembali sekolah. Akan tetapi, gadis kecil itu tetap takut jika suatu saat tidak ada anak lain yang mau berteman dengannya. "Sherina, kamu sudah siap berangkat? Papa, sudah nungguin di meja depan." Berlian yang baru saja masuk ke dalam kamar gadis itu terkejut melihat Sherina melamun."Tante, aku malu kalau ditanya nanti di sekolah. Kenapa Papa sama Mama pisah." Berlian menghela napas panjang. "Sayang, tidak akan ada yang tahu. Bilang saja seperti biasanya kamu sekolah. Papa dan Mama kamu tetap sama. Tidak ada yang berubah.""Tapi, aku kangen sama Mama. Mama sama
"Maaf, kami akan segera memeriksanya." Suster mencegah pria itu larut dalam suasana. "Saya Papanya, Sus. Dia kemarin dengan Mamanya, tetapi kenapa sekarang jadi begini?" Kebingungan membuat Arham semakin mengganggu jalannya pertolongan dokter. Keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya dan kaki bergetar seperti tak bertulang. Hampir terjatuh tak bisa membayangkan apa saja yang sudah terjadi dengan gadis kecil itu. "Bapak, tunggu di luar ruangan saja. Biar kami periksa," kata suster lagi.Akhirnya, Arham pasrah. Ia hanya bisa menunggu saja. Bayangan tawa pada bibir Sherina terulang dalam ingatan. Ia merasakan begitu sempurna hidupnya dahulu. Akan tetapi, sekarang ujian pernikahan membuatnya tahu, bahwa semua akan berdampak pada anaknya. Arham segera menelpon Nayla. Akan tetapi, sampai beberapakali diulang tak juga diangkat. Pria itu bergumam dengan kesal. Ia meninggalkan pesan beruntun dan makian atas keteledoran Nayla sehingga membuat putri mereka yang harus menanggung semuanya. S
"Berlian!" Arham langsung mendekat dan meminta tolong. Ia langsung menggendong istrinya dan menaikkan ke atas ranjang rumah sakit. *"Apa? Dia sudah menceraikan kamu?" Alby terkejut ketika mereka sudah pergi dari sana dan kini mereka istirahat sejenak di sebuah kafe. Nayla mengangguk. Ia mengusap wajahnya yang sejak tadi basah karena air mata."Benar-benar keterlaluan dia. Bukannya Berlian yang dia ceraikan tapi malah kamu?" Alby menggeleng kepalanya. Tangannya mengepal di atas meja. Mereka tak tahu jika ada gadis kecil yang sudah mulai paham pembahasan orang dewasa. Sherina kecil hanya bisa tertunduk sedih. Ia seperti tidak diperhatikan dan memilih diam-diam pergi dari sana. Sejak tadi, Mamanya hanya sibuk dengan kesedihannya saja. Jalanan begitu ramai, sementara perutnya sudah mulai lapar. Gadis mungil itu memegangi perutnya dan terus berjalan. Ia ingin mencari Papanya lagi. "Lalu, rencana apa lagi yang akan kita lakukan? Kita sudah ketahuan, Nay." Alby meremas kepalanya. Ponse