Nayla menggeleng kepalanya. Ia tak bisa terima alasan Arham yang menurutnya tidak logis. "Kamu kira aku enggak semakin marah dengan kejadian ini? Aku tau semuanya dengan sendiri. Itu lebih menyakitkan, Mas! Aku benci kamu!" Nayla histeris. Mengundang banyak perhatian orang di sana. Ia langsung berdiri dan meninggalkan tempat itu."Nayla tunggu!" Arham melepas genggaman tangannya pada Berlian dan mengejar istri pertamanya. "Nay ...."Nayla berhenti ketika Arham mendapatkan tangannya. Ia masih menangis. "Sudahlah, Mas. Lepaskan aku. Aku tunggu talak darimu." Arham lemas. "Nay, sampai kapanpun kamu tidak akan pernah kuceraikan. Kamu tetap akan jadi istriku.""Kalau begitu, segera ceraikan dia." Arham terkejut. Ia tidak bisa melakukannya apalagi sudah berjanji tidak akan menceraikan Berlian juga. "Maaf, Nay, aku juga enggak bisa. Kalian adalah istriku. Terimalah dengan lapang dada takdir ini, Nay. Kita bisa damai dengan cara baik-baik.""Kata siapa kita bisa damai dengan baik-baik? Kamu
Keesokan harinya, Arham dengan senyum bekas semalam sudah tampak segar keluar dari kamar mandi. Ia mendekati Berlian yang tengah bersih-bersih tempat tidur. Lalu, Arham memeluk Berlian dari belakang."Astaghfirullah, Mas." Berlian menoleh cepat. "Kamu bikin kaget aja."Pria tampan itu tersenyum manis. "Makasih, ya?" bisiknya di dekat telinga.Meski tersenyum, tetapi hati Berlian tetap tak enak hati. Ia tak bisa tenang hidup dalam kegamangan seperti ini.Lepas suaminya pergi, ia terduduk di atas tempat tidur. Ia melihat ponselnya lagi setelah kemarin sempat menerima pesan dari nomor tak dikenal. Ia melihat lagi profilnya. Ternyata seorang gadis kecil dengan seragam SD.Gadis itu mengusap wajahnya yang basah. Ia mencoba mengirim pesan permintaan maaf. Ia siap untuk dicaci dan dihina. Asal dimaafkan oleh Nayla. Ia hanya ingin damai dan tak punya musuh. Setelah beberapa waktu menunggu, akhirnya mendapat balasan juga dari nomor yang diduga milik Nayla. Di sana, Berlian diajak ketemuan tet
"Buka aja!" Nayla memerintah dengan ketus. Ia memasang wajah dingin. Sedingin hatinya yang kini dirasa sudah mati.Berlian membukanya. Ia melihat lembaran merah begitu tebal dalam satu ikatan. Tertulis di sana 100 juta. Berlian langsung memasukkan lagi uang itu dan mengembalikan pada Nayla."Untuk apa ini, Mbak?" "Untuk kamu." Nayla menghela napas panjang. "Pergi dari kota ini dan tinggalkan Mas Arham. Jangan hubungi dia lagi atau kamu minta cerai sama dia.""Astaghfirullah." Berlian terkejut. Jantung hatinya berdegup begitu kencang. Ia merasa sangat direndahkan. "Saya sudah bilang sama Mas Arham jauh-jauh hari. Bahkan sebelum pernikahan, tetapi Mas Arham yang sudah kekeh.""Bagaimana bisa aku percaya sama kamu? Tidak ada yang bisa dipercayai dari mulut kamu. Seorang pelakor tetaplah pelakor. Sampai dunia hancur pun, aku tidak akan percaya suamiku tergoda tanpa sebab."Mbak, aku tidak seperti itu. Apakah kita tidak bisa berdamai?" Berlian sangat berharap, paling tidak menjadi teman N
Matahari mulai tampak meninggi, sosok yang sejak Subuh sudah terbangun dan meneguk air putih tersandar pada dinding. Dalam kontrakan sempit itu, tak ada barang selain tikar dan pakaian saja, serta keperluan mandi. Untuk menyeduh air hangat saja, tak ada, Berlian ingin mencari minuman hangat barangkali sudah ada warung yang buka. Gadis muda yang kini kembali sebatang kara itu membuka pintu. Ia keluar dan mengedarkan pandangan ke sekeliling tempat itu. Ada warung nasi uduk yang sudah buka, Berlian bergegas ke sana dan membeli teh hangat.Setelah menikmatinya di warung itu, tiba-tiba ia merasakan mual lagi. Dengan cepat, Berlian kembali ke kontrakan untuk mengeluarkan semua yang telah masuk ke dalam perutnya. Perih dirasa perut yang sejak malam kosong, kini mau diisi malah semua keluar.Jam delapan pagi, ia berniat menemui Fawwaz. Hanya dia yang dikira bisa membantu untuk kembali kerja di sana. Berlian mulai menunggu angkutan umum berwarna merah yang menuju ke arah sana.Terlalu lama me
"Kau sudah menghancurkan masa depanku, Mas. Kau memaksaku malam itu hingga aku benar-benar ternoda. Aku tak ada bedanya dengan ....""Sudah, jangan teruskan ucapanmu! Jangan kau buat aku semakin tersiksa. Aku akan tanggung jawab. Kupikir, dengan begitu aku bisa memilikimu seutuhnya. Aku tidak bisa melihatmu jauh-jauh, Berl." "Justru aku yang tersiksa, Mas. Aku yang sudah kau hancurkan. Meskipun jika kau memilikiku, tetapi kau hanya akan mendapatkan raga ini saja. Hatiku sudah menjadi milik orang lain. Aku mencintai Mas Arham. Aku adalah istrinya.""Tapi, kau mengandung anakku. Aku yang pertama menanam benih itu. Aku tidak akan melepasmu meski kau mencintai dia."Pasrah dengan apa yang sudah terlanjur terjadi, Berlian menatap kosong ke atas langit-langit ruangan itu. Ketika suster datang, mereka bersikap biasa lagi. Suster memeriksa cairan infus yang sudah tinggal sedikit. "Sebentar lagi boleh pulang, ya, Mbak. Tunggu infusnya habis dulu." Senyum wanita itu mengembang."Makasih, Sus
"Sherina, kamu ke kamar aja, ya! Papa mau keluar sebentar untuk urusan. Kamu hibur Mama nanti, ya!" Arham memberitahu putrinya dengan lembut. Ia mengelus kepala bocah itu dan menatapnya hingga lenyap ke dalam kamar. Memutuskan untuk mencari Berlian di siang yang begitu menyengat kulit, pria itu segera memasuki mobilnya dan melaju ke tengah jalanan.Arham terus memastikan jalanan dengan melaju pelan setelah ia datang dan melihat keadaan rumah yang sudah kosong itu. Ia hampir saja putus asa dan ingin pulang menyesali semuanya. Namun, ketika ia berhenti di depan masjid dan turun untuk menunaikan ibadah Dzuhur, Arham melihat sandal yang sangat mirip dengan milik istrinya. Pria itu mengerutkan keningnya. Ia mencoba melongok sedikit ke arah tempat shaff wanita. Tak ada wajah yang terlihat, di sana semua wanita tampak menghadap ke kiblat. Karena sudah Iqamah, Arah buru-buru berwudhu dan bergabung di jamaah salat. Setelah salam, satu hal saja yang ia pinta dalam do'a. Hanya ingin bertemu Be
"Mas, aku enggak apa-apa. Kalau mau sekadar menjengukku, aku ada di sini. Pulanglah dan temani Mbak Nayla!" Arham menggeleng kepalanya. Mereka duduk di lantai itu juga dan sejenak menetralkan perasaan lega karena sudah bertemu."Mas, bagaimana kau bisa menemukanku? Maaf, di sini tidak ada apapun. Aku tidak bisa menyuguhimu apa-apa."Arham semakin menekan rasa sakit dalam dadanya. Ia tak menyangka bisa bertemu bidadari yang menjelma menjadi istrinya itu. "Maafkan aku sekali lagi. Aku suami yang dzalim. Aku membiarkanmu tidur di tempat dingin seperti ini." Sedetik saja, Arham tak melepaskan pelukan. Mereka menyandar dinding bercat kuning yang telah memudar."Aku lebih suka tinggal di sini. Di tempat yang aku usahakan sendiri, Mas. Aku tidak mau merepotkan siapapun.""Jangan bilang begitu! Kau masih istriku. Kau tanggung jawabku dan kau harus patuh padaku. Insyaallah, atas masalah yang kita alami, pasti ada jalannya. Sekarang, kita makan, yah?"Berlian pasrah. Ia mengangguk mendengar pe
Arham hanya ingin mencoba mengenalkan putrinya pada sosok Berlian yang begitu lembut. Mereka berkumpul sambil menikmati es krim siang itu di sebuah pusat perbelanjaan. "Pa, Tante ini rumahnya di mana? Kenapa sama Papa?" celetuk Sherina dengan polosnya. Ia masih asik menikmati makanan dingin di mulut yang terasa lumer.Sekilas, Arham menoleh Berlian yang sama halnya mungkin juga terkejut. "Em, Tante ini rumahnya enggak jauh, kok. Kalau, Sherina, mau nanti kita ke sana.""Iya, Sherina. Kamu bisa bermain nanti di sana. Di sana ada ayunan juga." Berlian tersenyum. Ia senang gadis kecil itu bisa menerimanya meski sesungguhnya belum paham apa arti kedekatan Berlian dengan Papanya."Tapi, kenapa Mama enggak ikut ke sini, Pa? Kan, Mama kasihan nungguin kita. Nanti, Mama marah bagaimana?" Kembali Sherina merasa khawatir. Ia teringat sosok yang selalu menyayanginya."Nanti kita bilang sama Mama kalau cuman pergi ke mall. Sudah, makan lagi es krimnya. Sebentar lagi kita pulang." Arham mengalihk