Matahari mulai tampak meninggi, sosok yang sejak Subuh sudah terbangun dan meneguk air putih tersandar pada dinding. Dalam kontrakan sempit itu, tak ada barang selain tikar dan pakaian saja, serta keperluan mandi. Untuk menyeduh air hangat saja, tak ada, Berlian ingin mencari minuman hangat barangkali sudah ada warung yang buka. Gadis muda yang kini kembali sebatang kara itu membuka pintu. Ia keluar dan mengedarkan pandangan ke sekeliling tempat itu. Ada warung nasi uduk yang sudah buka, Berlian bergegas ke sana dan membeli teh hangat.Setelah menikmatinya di warung itu, tiba-tiba ia merasakan mual lagi. Dengan cepat, Berlian kembali ke kontrakan untuk mengeluarkan semua yang telah masuk ke dalam perutnya. Perih dirasa perut yang sejak malam kosong, kini mau diisi malah semua keluar.Jam delapan pagi, ia berniat menemui Fawwaz. Hanya dia yang dikira bisa membantu untuk kembali kerja di sana. Berlian mulai menunggu angkutan umum berwarna merah yang menuju ke arah sana.Terlalu lama me
"Kau sudah menghancurkan masa depanku, Mas. Kau memaksaku malam itu hingga aku benar-benar ternoda. Aku tak ada bedanya dengan ....""Sudah, jangan teruskan ucapanmu! Jangan kau buat aku semakin tersiksa. Aku akan tanggung jawab. Kupikir, dengan begitu aku bisa memilikimu seutuhnya. Aku tidak bisa melihatmu jauh-jauh, Berl." "Justru aku yang tersiksa, Mas. Aku yang sudah kau hancurkan. Meskipun jika kau memilikiku, tetapi kau hanya akan mendapatkan raga ini saja. Hatiku sudah menjadi milik orang lain. Aku mencintai Mas Arham. Aku adalah istrinya.""Tapi, kau mengandung anakku. Aku yang pertama menanam benih itu. Aku tidak akan melepasmu meski kau mencintai dia."Pasrah dengan apa yang sudah terlanjur terjadi, Berlian menatap kosong ke atas langit-langit ruangan itu. Ketika suster datang, mereka bersikap biasa lagi. Suster memeriksa cairan infus yang sudah tinggal sedikit. "Sebentar lagi boleh pulang, ya, Mbak. Tunggu infusnya habis dulu." Senyum wanita itu mengembang."Makasih, Sus
"Sherina, kamu ke kamar aja, ya! Papa mau keluar sebentar untuk urusan. Kamu hibur Mama nanti, ya!" Arham memberitahu putrinya dengan lembut. Ia mengelus kepala bocah itu dan menatapnya hingga lenyap ke dalam kamar. Memutuskan untuk mencari Berlian di siang yang begitu menyengat kulit, pria itu segera memasuki mobilnya dan melaju ke tengah jalanan.Arham terus memastikan jalanan dengan melaju pelan setelah ia datang dan melihat keadaan rumah yang sudah kosong itu. Ia hampir saja putus asa dan ingin pulang menyesali semuanya. Namun, ketika ia berhenti di depan masjid dan turun untuk menunaikan ibadah Dzuhur, Arham melihat sandal yang sangat mirip dengan milik istrinya. Pria itu mengerutkan keningnya. Ia mencoba melongok sedikit ke arah tempat shaff wanita. Tak ada wajah yang terlihat, di sana semua wanita tampak menghadap ke kiblat. Karena sudah Iqamah, Arah buru-buru berwudhu dan bergabung di jamaah salat. Setelah salam, satu hal saja yang ia pinta dalam do'a. Hanya ingin bertemu Be
"Mas, aku enggak apa-apa. Kalau mau sekadar menjengukku, aku ada di sini. Pulanglah dan temani Mbak Nayla!" Arham menggeleng kepalanya. Mereka duduk di lantai itu juga dan sejenak menetralkan perasaan lega karena sudah bertemu."Mas, bagaimana kau bisa menemukanku? Maaf, di sini tidak ada apapun. Aku tidak bisa menyuguhimu apa-apa."Arham semakin menekan rasa sakit dalam dadanya. Ia tak menyangka bisa bertemu bidadari yang menjelma menjadi istrinya itu. "Maafkan aku sekali lagi. Aku suami yang dzalim. Aku membiarkanmu tidur di tempat dingin seperti ini." Sedetik saja, Arham tak melepaskan pelukan. Mereka menyandar dinding bercat kuning yang telah memudar."Aku lebih suka tinggal di sini. Di tempat yang aku usahakan sendiri, Mas. Aku tidak mau merepotkan siapapun.""Jangan bilang begitu! Kau masih istriku. Kau tanggung jawabku dan kau harus patuh padaku. Insyaallah, atas masalah yang kita alami, pasti ada jalannya. Sekarang, kita makan, yah?"Berlian pasrah. Ia mengangguk mendengar pe
Arham hanya ingin mencoba mengenalkan putrinya pada sosok Berlian yang begitu lembut. Mereka berkumpul sambil menikmati es krim siang itu di sebuah pusat perbelanjaan. "Pa, Tante ini rumahnya di mana? Kenapa sama Papa?" celetuk Sherina dengan polosnya. Ia masih asik menikmati makanan dingin di mulut yang terasa lumer.Sekilas, Arham menoleh Berlian yang sama halnya mungkin juga terkejut. "Em, Tante ini rumahnya enggak jauh, kok. Kalau, Sherina, mau nanti kita ke sana.""Iya, Sherina. Kamu bisa bermain nanti di sana. Di sana ada ayunan juga." Berlian tersenyum. Ia senang gadis kecil itu bisa menerimanya meski sesungguhnya belum paham apa arti kedekatan Berlian dengan Papanya."Tapi, kenapa Mama enggak ikut ke sini, Pa? Kan, Mama kasihan nungguin kita. Nanti, Mama marah bagaimana?" Kembali Sherina merasa khawatir. Ia teringat sosok yang selalu menyayanginya."Nanti kita bilang sama Mama kalau cuman pergi ke mall. Sudah, makan lagi es krimnya. Sebentar lagi kita pulang." Arham mengalihk
Nayla membawa madunya itu ke ruang tengah. Ia siap untuk melayangkan berbagai macam pertanyaan yang sudah ia rangkai sejak mengetahui suaminya menikah lagi. "Sekarang, katakan! Apa mau kamu biar bisa meninggalkan Mas Arham? Kau tidak pernah merasakan apa yang aku rasakan. Pernikahanku dan Mas Arham sempurna sebelum kamu datang. Dan kini, sebentar lagi akan hancur." Berlian semakin tak tega. Ia tahu semua itu tetapi tak bisa berbuat apa-apa. Jika pergi lagi, Arham pasti akan marah dan seperti apa yang dikatakan tadi. Berlian akan menjadi istri durhaka. Terngiang-ngiang dalam benak, Berlian malah melamun. "Jawab!" Nayla sampai lemas dan ia akhirnya terduduk di sofa. Kepalanya mulai berdenyut dan tubuhnya sudah tak berdaya lagi."Mbak, apakah kita benar-benar tidak bisa berdamai? Aku hanya ingin berteman dengan Mbak Nayla. Aku tidak punya siapa-siapa." Berlian ikut duduk di sebelah wanita itu. "Hanya karena tak punya siapa-siapa, terus kamu merebut suami orang? Kamu fitnah suamiku da
Berlian mengurungkan niatnya. Ia memegangi dada dan menyembunyikan suara rintihan dari tangis yang tak bisa ia bendung lagi. "Nay, kamu enggak apa-apa?" Arham menelisik wajah istrinya yang kini berada dalam dekapan."Aku hampir kehilangan nyawaku, Mas.""Apa?" Arham terkejut mendengarnya. Semakin menjadi lah prasangka yang ada di dalam kepalanya mengenai apa yang sudah terjadi pada dua istrinya.***Arham keluar dari kamar itu setelah memastikan Nayla tertidur kembali. Dengan sangat pelan, ia menutup pintu lalu melangkah mencari seseorang yang sejak sore itu tak terlihat lagi.Ia tidak siap kehilangan untuk yang kesekian kalinya. Setelah dicek ke ruang tengah, Arham juga tak melihat Berlian dan juga putrinya. Perasannya mulai tak enak.Arham kembali ke belakang dan melihat satu kamar yang biasanya memang ia gunakan untuk tidur siang tetapi kasurnya hanya muat satu orang. Begitu dibuka pintunya, ia melihat Berlian tidur di lantai hanya dengan beralaskan karpet saja. Wanita muda itu ti
Arham mencoba menghindar lagi dan menangkis setiap serangan dari Nayla. "Kamu mau tau, kenapa? Sebab aku sudah mulai mencintainya! Aku tidak bisa menganggap pernikahan itu hanya untuk menutupi aibnya saja. Aku melakukan itu semua karena banyak faktor. Termasuk, saat kamu begitu boros dan lebih sibuk dengan teman-teman kamu!" Seperti petir menyambar malam itu, gemuruh dada Nayla tak bisa diatur. Ia terisak di atas sofa dengan wajah sembabnya karena tak terima.Dari ruangan lain, Berlian mendengar suara gaduh. Ia bangun dan mengusap kedua matanya. Suara tadi mendadak sudah tak terdengar lagi. Baru saja hendak berdiri, ia dikagetkan dengan kehadiran Arham. Pria itu memeluknya begitu erat. "Maafkan aku, Berlian. Aku telah salah menilaimu. Aku minta maaf karena sudah berprasangka buruk padamu." Berlian masih tak paham apa yang dikatakan suaminya itu. Gadis polos masih belum membalas dengan satu katapun.Arham merenggangkan pelukan dan menatap Berlian. "Apakah kamu benar hamil?" Kedua m