Berlian mengurungkan niatnya. Ia memegangi dada dan menyembunyikan suara rintihan dari tangis yang tak bisa ia bendung lagi. "Nay, kamu enggak apa-apa?" Arham menelisik wajah istrinya yang kini berada dalam dekapan."Aku hampir kehilangan nyawaku, Mas.""Apa?" Arham terkejut mendengarnya. Semakin menjadi lah prasangka yang ada di dalam kepalanya mengenai apa yang sudah terjadi pada dua istrinya.***Arham keluar dari kamar itu setelah memastikan Nayla tertidur kembali. Dengan sangat pelan, ia menutup pintu lalu melangkah mencari seseorang yang sejak sore itu tak terlihat lagi.Ia tidak siap kehilangan untuk yang kesekian kalinya. Setelah dicek ke ruang tengah, Arham juga tak melihat Berlian dan juga putrinya. Perasannya mulai tak enak.Arham kembali ke belakang dan melihat satu kamar yang biasanya memang ia gunakan untuk tidur siang tetapi kasurnya hanya muat satu orang. Begitu dibuka pintunya, ia melihat Berlian tidur di lantai hanya dengan beralaskan karpet saja. Wanita muda itu ti
Arham mencoba menghindar lagi dan menangkis setiap serangan dari Nayla. "Kamu mau tau, kenapa? Sebab aku sudah mulai mencintainya! Aku tidak bisa menganggap pernikahan itu hanya untuk menutupi aibnya saja. Aku melakukan itu semua karena banyak faktor. Termasuk, saat kamu begitu boros dan lebih sibuk dengan teman-teman kamu!" Seperti petir menyambar malam itu, gemuruh dada Nayla tak bisa diatur. Ia terisak di atas sofa dengan wajah sembabnya karena tak terima.Dari ruangan lain, Berlian mendengar suara gaduh. Ia bangun dan mengusap kedua matanya. Suara tadi mendadak sudah tak terdengar lagi. Baru saja hendak berdiri, ia dikagetkan dengan kehadiran Arham. Pria itu memeluknya begitu erat. "Maafkan aku, Berlian. Aku telah salah menilaimu. Aku minta maaf karena sudah berprasangka buruk padamu." Berlian masih tak paham apa yang dikatakan suaminya itu. Gadis polos masih belum membalas dengan satu katapun.Arham merenggangkan pelukan dan menatap Berlian. "Apakah kamu benar hamil?" Kedua m
Yoga mengikuti saran putranya. Mereka kembali memasuki mobil dan pulang membawa rasa kehilangan. "Papa belum bisa kabulkan permintaan Lela." Yoga bersuara. Sesekali menarik cairan dari dalam hidungnya."Apa, Pa?" Alby menoleh."Lela meminta Papa untuk membawa Berlian padanya. Tapi, semua sudah terlambat."Alby merasa bersalah juga. "Pa, ada satu hal yang ingin Alby katakan sama Papa. Alby tau, ini salah dan Alby janji akan bertaubat setelah bisa mendapatkan Berlian lagi.""Maksud kamu apa?" Yoga terkejut. "Maafkan Alby, Pa. Alby sudah menodai Berlian malam itu. Sehingga dia pergi dan tak mau kembali lagi." Dua mata Yoga mendelik. Ia tak percaya apa yang dikatakan Alby barusan. "Jangan main-main kamu, By! Jangan bicara sembarang dan jangan sekali lagi bicara seperti itu!" ***"Pokoknya, Papa, enggak mau tau! Kamu harus cari dia dan tanggung jawab. Jika dia tidak mau, Papa tidak segan-segan mengeluarkanmu dari daftar keluarga. Kamu sudah mencoreng arang di wajah Papa, By!" Begitu m
"Saya hanya ingin bertanggung jawab atas apa yang sudah saya lakukan. Saya tau, dia sedang hamil. Tolong tunjukkan di mana dia tinggal.""Sayangnya, sampai kapanpun saya tidak akan membiarkan Anda bertemu dengan dia. Lantas, setelah bertemu dengannya, Anda mau apa? Meminta maaf atau apa?" Arham belum menunjukkan kemarahannya. "Saya hanya ingin bertemu dengan dia. Biarkan saya bicara baik-baik dengan Berlian.""Sudah, ya! Saya masih banyak pekerjaan. Tidak ada waktu untuk membicarakan tentang ini. Dia istri saya, hanya saya yang berhak atas dirinya. Mau bertemu dengan siapa atau pergi ke manapun, harus dengan seizin saya. Jadi, silakan kubur dalam-dalam keinginan Anda." Arham membalik badan dan segera pergi dari sana.Alby meremas tangannya sendiri. Ia tidak akan tinggal diam sebelum mendapatkan Berlian. Pria itu bergegas keluar dari gedung menjulang tinggi di tengah kota itu. Di tengah mengemudi mobilnya, Alby menerima panggilan dari orang suruhan semalam. Ia tersenyum licik setelah
"Kalau begitu, aku tau apa yang harus aku lakukan." Seringai tajam melukis di bibir Alby. Mata hati telah buta karena cinta. .Siang itu, Arham menjemput Sherina di sekolah dan ternyata kata satpam sudah dijemput oleh seseorang. Kata pria berseragam putih itu, namanya Berlian. Sontak Arham tersenyum dan tenang. Ia segera memacu kendaraan besinya lagi membelah jalanan.Yang ia tuju sekarang adalah sebuah rumah sederhana yang ia hadiahkan untuk istri keduanya. Tak lupa membawa buah tangan untuk mereka. Seakan lupa dengan Nayla, pria itu terus memangkas jarak antara tempat ia berdiri dan sebuah pintu yang masih tertutup rapat."Assalamualaikum? Berlian, Sherina? Bukain, dong!" teriaknya dari luar. Namun, rumah itu tampak sepi. ***Suasana begitu sepi. Deru angin menyibak rambut pria itu. Seakan menekan keadaan yang semakin jelas. Tak ada siapapun di sana. Ingin bertanya tetangga, tetapi tak satupun yang pintunya terlihat terbuka. Arham jadi sungkan. Sejenak, pria berpeluh itu tertundu
"Berlian, aku harus pulang. Nanti aku akan lapor polisi kalau perlu." Arham mendekati gadis yang masih tersedu itu. Ia menyentuh tangan dingin yang bertumpu satu sama lain. Lalu, meninggalkan sebuah kecupan manis di kening istri mudanya.Pria itu pergi begitu saja dan segera menancap pedal gas. Derau angin membawa dedaunan dan debu di antara putaran roda mobil. Membising suara di tengah ramainya pengendara. Masih terbesit rasa tak percaya, ketika putrinya hilang tanpa jejak. Arham tak bisa berpikir jernih hingga sampai di rumah, pria itu langsung terkena marah oleh mertuanya."Assalamualaikum?" Arham membuka pintu. Ia melihat sosok putri kecilnya sudah bermain di sana. Di ruang tamu bersama dengan sang Oma-nya yang tengah menyisir rambut Nayla."Kamu dari mana aja, sih, Ham?" Mertua yang memasang wajah muram itu berdiri segera. "Dari nyari Sherina. Aku tadi jemput ke sekolah dia, Ma. Tapi, di sana sudah enggak ada. Alhamdulillah, kalau dia sudah pulang." Arham pun langsung memeluk pu
"Ada apa ini?" Arham menyerobot dengan sebuah pertanyaan."Berlian!" Arham mendekat."Pergi kamu, Mas Alby! Aku tidak mau lagi melihat wajahmu!" teriak Berlian lagi."Biarkan aku tanggung jawab atas anak itu, Berlian. Dia anakku. Jangan halangi aku untuk sekadar menyentuh lapisan yang melindunginya." Alby bersikukuh."Kalian berdua sejak kapan di sini?" Arham mulai bersuara."Mas, tolong usir dia dari sini," pinta Berlian pada Arham dengan mengiba. Gadis muda itu mendorong tangan Arham agar segera melaksanakan keinginannya."Tunggu, Berlian. Aku ingin tau sedikit, sejak kapan kalian di sini?" "Aku sudah sejak tadi di sini," sahut Alby."Bagaimanapun juga, ada kemungkinan dia memang ayah biologis dari anak ini, Berlian." Seketika bola mata Berlian mendelik mendengar ucapan Arham tadi. Dadanya naik turun dan ingin rasanya segera pergi dari sana.***"Apa, Mas, kamu bilang? Coba ulangi sekali lagi!" Berlian mundur dua langkah. Sampai kakinya membentur kursi di belakang.Seakan tak perc
"Maaf, Anda siapanya?" Karena bingung, dokter pun menatap dua lelaki itu secara bergantian. "Saya suaminya, Dok." Arham menunjuk dirinya sendiri. "Kondisinya cukup drob, Pak. Saya harap, jangan buat dia tertekan. Luka di tangannya juga cukup dalam. Saya rasa, pasien mengalami stres berat. Sehingga mencoba bunuh diri."Mereka semua terkejut. Arham jadi tak tega untuk pulang. Bukan hanya perasaan saja yang hancur, tetapi rasa cemburu dengan Alby hanya bisa ditahan."Sekarang, boleh saya masuk, Dok?" Alby langsung menyerobot."Boleh, silakan." Dokter segera pergi dari sana setelah menjawab. Alby lebih dulu masuk, sementara Arham masih lama berpikir dan menimbang. Perasaannya pada Berlian mulai luntur dan ia tak tahu lagi harus bagaimana. Antara pulang atau melihat sejenak bagaimana kondisi istrinya. Bagaimanapun juga, Berlian masih tanggung jawabnya.*"Uhuuk. Uhuuk." Terbatuk-batuk, hingga dada terasa sakit. Ketika guncangan itu menyentak tubuhnya, Berlian kembali teringat ucapan san