"Ada apa ini?" Arham menyerobot dengan sebuah pertanyaan."Berlian!" Arham mendekat."Pergi kamu, Mas Alby! Aku tidak mau lagi melihat wajahmu!" teriak Berlian lagi."Biarkan aku tanggung jawab atas anak itu, Berlian. Dia anakku. Jangan halangi aku untuk sekadar menyentuh lapisan yang melindunginya." Alby bersikukuh."Kalian berdua sejak kapan di sini?" Arham mulai bersuara."Mas, tolong usir dia dari sini," pinta Berlian pada Arham dengan mengiba. Gadis muda itu mendorong tangan Arham agar segera melaksanakan keinginannya."Tunggu, Berlian. Aku ingin tau sedikit, sejak kapan kalian di sini?" "Aku sudah sejak tadi di sini," sahut Alby."Bagaimanapun juga, ada kemungkinan dia memang ayah biologis dari anak ini, Berlian." Seketika bola mata Berlian mendelik mendengar ucapan Arham tadi. Dadanya naik turun dan ingin rasanya segera pergi dari sana.***"Apa, Mas, kamu bilang? Coba ulangi sekali lagi!" Berlian mundur dua langkah. Sampai kakinya membentur kursi di belakang.Seakan tak perc
"Maaf, Anda siapanya?" Karena bingung, dokter pun menatap dua lelaki itu secara bergantian. "Saya suaminya, Dok." Arham menunjuk dirinya sendiri. "Kondisinya cukup drob, Pak. Saya harap, jangan buat dia tertekan. Luka di tangannya juga cukup dalam. Saya rasa, pasien mengalami stres berat. Sehingga mencoba bunuh diri."Mereka semua terkejut. Arham jadi tak tega untuk pulang. Bukan hanya perasaan saja yang hancur, tetapi rasa cemburu dengan Alby hanya bisa ditahan."Sekarang, boleh saya masuk, Dok?" Alby langsung menyerobot."Boleh, silakan." Dokter segera pergi dari sana setelah menjawab. Alby lebih dulu masuk, sementara Arham masih lama berpikir dan menimbang. Perasaannya pada Berlian mulai luntur dan ia tak tahu lagi harus bagaimana. Antara pulang atau melihat sejenak bagaimana kondisi istrinya. Bagaimanapun juga, Berlian masih tanggung jawabnya.*"Uhuuk. Uhuuk." Terbatuk-batuk, hingga dada terasa sakit. Ketika guncangan itu menyentak tubuhnya, Berlian kembali teringat ucapan san
"Iya, Ma. Aku harap, Mas, Arham enggak menemui gadis itu lagi. Aku juga tidak akan membiarkan gadis itu bertemu dengan Mas Arham. Aku akan cari tau, anak siapa sebenarnya yang dikandung gadis itu. Kalau perlu, aku akan melenyapkannya sekalian. Aku akan mengajak kerja sama si Alby itu lagi untuk rencana selanjutnya. Setelah rencana kita dengannya untuk memfitnah Berlian akhirnya berhasil." "Kamu benar sekali, Nay. Pokoknya jangan kasih kendor. Kita tidak akan pernah tenang sebelum gadis itu pergi dari kota ini." Wanita tua itu bersorak dalam hati. Langkah kaki yang tak terdengar membuat mereka berdua tak melihat siapa yang sudah datang. Karena ada barang yang tertinggal, Arham kembali lagi. Mendengar dua wanita yang membicarakannya itu, gemuruh dalam dada sudah seperti petir menyambar-nyambar. Tangannya mengepal kuat dan siap dilayangkan ke siapa saja. Wajahnya sudah tampak merah dan tubuhnya bergetar menahan luapan emosi. "Aku tidak pernah menyangka kalian setega itu!" teriak Arham
Setelah dirasa yakin, mereka bergegas lagi ke sana. Pintu mobil yang hampir tertutup tiba-tiba ia cegah. Tangan Arham terjepit dan sempat memekik.Berlian kaget. Begitu juga dengan Alby yang sudah duduk di bagian kemudi. Lalu, keluar lagi dengan wajah muram."Ada apa lagi? Jangan ganggu dia! Kau sudah menyakiti hatinya berulangkali." Alby mendorong tubuh Arham dengan kencang.Tak peduli dengan ucapan Alby, ayah dari gadis kecil yang menyaksikan pertikaian itu terus mengetuk jendela kaca dan menjelaskan."Berlian, buka dulu pintunya! Aku mau jelaskan sesuatu." Di dalam sana, sang gadis sibuk mengusap air mata yang tak mau diajak kompromi. Ia tak kuat melihat wajah pria yang ia cintai terus memintanya keluar. Berlian membuang tatapannya ke samping. "Berlian, tolong dengarkan penjelasan aku. Jangan pergi, kau masih istriku. Aku mau memberitahu sebuah kenyataan bahwa pria itu ...."Tubuh Arham ditarik paksa oleh Alby. "Sudah, jangan ganggu dia lagi. Dia sudah tidak mau lagi bertemu deng
"Berlian!" Arham langsung mendekat dan meminta tolong. Ia langsung menggendong istrinya dan menaikkan ke atas ranjang rumah sakit. *"Apa? Dia sudah menceraikan kamu?" Alby terkejut ketika mereka sudah pergi dari sana dan kini mereka istirahat sejenak di sebuah kafe. Nayla mengangguk. Ia mengusap wajahnya yang sejak tadi basah karena air mata."Benar-benar keterlaluan dia. Bukannya Berlian yang dia ceraikan tapi malah kamu?" Alby menggeleng kepalanya. Tangannya mengepal di atas meja. Mereka tak tahu jika ada gadis kecil yang sudah mulai paham pembahasan orang dewasa. Sherina kecil hanya bisa tertunduk sedih. Ia seperti tidak diperhatikan dan memilih diam-diam pergi dari sana. Sejak tadi, Mamanya hanya sibuk dengan kesedihannya saja. Jalanan begitu ramai, sementara perutnya sudah mulai lapar. Gadis mungil itu memegangi perutnya dan terus berjalan. Ia ingin mencari Papanya lagi. "Lalu, rencana apa lagi yang akan kita lakukan? Kita sudah ketahuan, Nay." Alby meremas kepalanya. Ponse
"Maaf, kami akan segera memeriksanya." Suster mencegah pria itu larut dalam suasana. "Saya Papanya, Sus. Dia kemarin dengan Mamanya, tetapi kenapa sekarang jadi begini?" Kebingungan membuat Arham semakin mengganggu jalannya pertolongan dokter. Keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya dan kaki bergetar seperti tak bertulang. Hampir terjatuh tak bisa membayangkan apa saja yang sudah terjadi dengan gadis kecil itu. "Bapak, tunggu di luar ruangan saja. Biar kami periksa," kata suster lagi.Akhirnya, Arham pasrah. Ia hanya bisa menunggu saja. Bayangan tawa pada bibir Sherina terulang dalam ingatan. Ia merasakan begitu sempurna hidupnya dahulu. Akan tetapi, sekarang ujian pernikahan membuatnya tahu, bahwa semua akan berdampak pada anaknya. Arham segera menelpon Nayla. Akan tetapi, sampai beberapakali diulang tak juga diangkat. Pria itu bergumam dengan kesal. Ia meninggalkan pesan beruntun dan makian atas keteledoran Nayla sehingga membuat putri mereka yang harus menanggung semuanya. S
"Mas, anggap ini semua adalah sebuah pelajaran hidup. Sekarang kita harus benar-benar bertaubat. Kita sudah banyak berdosa. Jangan biarkan Sherina melihat dosa-dosa kita. Agar kelak, dia tidak mengulang kesalahan kita.""Kamu benar, Berlian. Kamu benar." Tangis Arham pecah saat itu juga. Mulai saat itu juga, kehidupan mereka berubah. Arham membawa mereka tinggal di rumah baru. Kehidupan berjalan beberapa Minggu dan Sherina kembali sekolah. Akan tetapi, gadis kecil itu tetap takut jika suatu saat tidak ada anak lain yang mau berteman dengannya. "Sherina, kamu sudah siap berangkat? Papa, sudah nungguin di meja depan." Berlian yang baru saja masuk ke dalam kamar gadis itu terkejut melihat Sherina melamun."Tante, aku malu kalau ditanya nanti di sekolah. Kenapa Papa sama Mama pisah." Berlian menghela napas panjang. "Sayang, tidak akan ada yang tahu. Bilang saja seperti biasanya kamu sekolah. Papa dan Mama kamu tetap sama. Tidak ada yang berubah.""Tapi, aku kangen sama Mama. Mama sama
"Papa enggak akan marah, Tante. Pokoknya aku mau ketemu Mama." Terus begitu, Sherina menangis terisak-isak. Ia meronta sampai memukuli Berlian. "Sherina, kita tunggu Papa pulang kerja aja, ya? Tante beneran enggak tau rumah Mama kamu. Tante minta maaf, ya?" Berlian juga terus membujuk. Ia mengajak Sherina yang masih labil itu ke kamar lagi. Memeluknya dengan hangat dan menganggap sebagai anak sendiri. Mencoba menceritakan kisah-kisah dirinya yang berjuang sendiri, dengan sepenuh hati Berlian menenangkan hati gadis kecil itu. Mereka merebahkan diri di atas tempat tidur yang dihiasi berbagai macam pernak-pernik anak gadis dengan nuansa pinky.Jejak tangis Sherina masih jelas, tetapi dongeng dan sebagian kisah yang Berlian ceritakan belum selesai. Berlian terus menceritakan kebaikan Nayla dan Arham, hingga gadis kecil itu akhirnya tertidur pulas. *"Tante, katanya kita mau ke rumah Mama? Tante tadi sudah janji." Makan malam baru saja dimulai. Berlian kembali membatalkan suapan nasi