Terusan berlia"Bagaimana aku tidak memikirkannya? Aku menikah dengan lelaki beristri. Yang sekarang telah berpisah tapi masih sama-sama masih saling mencintai. Aku tidak bisa begini terus, Mas. Kalian kembalilah. Aku akan pergi jauh-jauh dari kehidupan kalian.""Sudah kubilang, pernikahan bukan untuk mainan. Tidak semudah itu berpisah. Apalagi, aku sudah pernah merasakannya. Kalau memang aku dan Nayla ditakdirkan untuk kembali, maka dia harus menerimamu juga."Berlian pasrah saja. Sebenarnya, dia juga ragu. Namun, apa kata Arham, dia akan menurut saja.Setelah beberapa saat, Nayla membuka mata lagi. Yang pertama ia lihat, jelas adalah Arham. Lelaki yang senantiasa menemani. "Mas ...." Nayla langsung menggenggam tangan Arham."Kamu sudah mendingan? Makan dulu, ya? Aku suapin." Arham hendak meraih mangkuk yang ada di atas nakas. "Mas, kenapa dia ada di sini?" Nayla menatap Berlian yang terus menunduk. "Dia, kan, istriku, Nay." Nayla kembali menangis. Ia teringat sesuatu dan masih b
Naluri 1"Dasar wanita penggoda! Enyah kau dari muka bumi ini!" Kedua tangan mencengkeram rambut panjang Lela. Suara hati bercampur dengan amarah yang membumbung dada, membuat Novi ingin mengakhiri nyawa wanita yang kini ada di hadapannya.Suasana depan kontrakan mulai gaduh dengan kebisingan mereka berdua. Saling adu mulut dan serangan penuh kebencian."Kau yang tak pandai jaga suami! Kau sibuk dengan dirimu sendiri. Sehingga suamimu kesepian dan mencari pemuas batinnya!" Meskipun penampilan sudah sangat menyedihkan, rambut acak-acakan dan sebagian lengan bajunya robek karena tarikan tangan lawannya, serta wajah penuh cakaran dari wanita kaya bernama Novi, Lela tetap menjawab setiap tuduhan. Para tetangga hanya menyaksikan dengan setengah malas. Bukan sekali dua kali Lela dihadapkan dengan perihal seperti itu. Mereka semua sudah lelah menasihati. Tak sedikit yang mencibir dengan hinaan di hadapannya langsung."Dasar, tak tahu diri kau, ya!" Kembali Lela mendapatkan pukulan pada w
Naluri 2"Bu, mau ke mana? Ini sudah jam sepuluh malam." Berlian yang belum bisa tidur karena menunggu Ibunya, kini harus bangkit dari kasur lusuh tempat mereka melepas lelah.Gadis dengan rambut panjang setengah punggung itu mendekati Lela. Menatap pantulan diri mereka. Sementara Lela terus saja mematut diri dan menebar wewangian di sekujur tubuhnya. Tak lupa pewarna bibir yang tampak cerah merona semakin memperjelas ke mana ia akan pergi."Udah, lu, tidur aja! Jangan lupa kunci pintunya! Ibu mau cari uang buat kamu sekolah. Buat makan, buat bayar kontrakan juga." Lela menarik ujung gaunnya yang minim itu agar tampak lebih rapi. Ia sama sekali tak melirik gadis yang rindu pelukan di belakangnya."Tapi, Bu. Ibu selalu kerja malam. Sebenarnya, Ibu kerja apa? Kenapa tetangga kita selalu menghina kita?" Wajah polos ditambah dengan tubuh kurus yang termakan ucapan tetangga, tiada malam tanpa tangis yang ia tinggalkan."Halah, mereka aja yang julid. Mereka itu iri sama Ibu yang sebentar la
NALURI SANG PENDOSA 3BY GORESAN PENA93 "Enggak apa-apa, Bung. Eh, kamu enggak ke kantin?" Begitu besar luka yang ia pendam sendiri, Berlian tak ingin siapapun tahu masalah Ibunya. Ia mencoba mengalihkan perhatian temannya itu."Yuk, aku nunggu kamu." Mereka beriringan menuju kantin sekolah. Uang yang dikasih oleh Ibunya tadi, separuh sudah ia bayarkan. Lunas sudah tunggakan dua bulan. Namun, saat Berlian sudah berada di sana dan duduk saling bertatap muka dengan Bunga, ia ragu untuk membeli meski hanya sekadar membasahi tenggorokan."Kamu mau beli apa?" tanya Bunga, di meja sudah ada semangkuk bakso dan jus jeruk yang Bunga pesan. Sejenak, Berlian diam. Ia menimbang uang hasil kerja Ibunya semalam. "Aku masih kenyang, Bung. Kamu aja yang makan. Lagipula, aku lagi puasa," bohong Berlian. "Loh, puasa apa? Ini hari Selasa, kan?" Berlian mulai bingung mencari alasan lain. Ia lupa jika hari ini Selasa. "Aku puasa bayar hutang yang ramadhan. Masih sisa satu hari." Sengaja memaksa bib
Naluri Sang Pendosa 4Memaksa hati berdamai dengan keadaan adalah hal yang tidak mudah. Bertahan tetap dalam kesadaran di tengah keterpurukan dicela sana sini dan mendapat hinaan setiap hari, gadis itu tertunduk lelah setelah menggantung seragam sekolahnya yang tadi yang sudah sempat dicuci lagi. Ia menatap pada Lela yang masih meringkuk memeluk dingginnya malam.Sudah jam sepuluh malam, Berlian masih terjaga. Ia merawat sepenuh hati wanita yang sejak kecil membesarnya. Berlian mengompres kening Ibunya yang terasa panas setelah kejadian siang tadi. Sembari mengulang pelajaran tadi pagi, karena besok ia akan ada tugas praktek ilmiah.Terkantuk-kantuk hingga beberapakali kepala hampir terjatuh, ia memaksa mata membuka lagi. Kalah dengan malam yang semakin larut, kantuk tak dapat ia tahan lagi, Berlian meringkuk pula di dekat Ibunya. Tanpa alas yang menghangatkan tubuh, lantai berlapis perlak tak mampu menghalau dinginnya malam. Gadis malang itu memeluk Lela.Sayup-sayup kedua kelopak m
Naluri Sang Pendosa 5Semburat kekuningan menerpa wajah cantik Lela. Ia merasa sangat nyaman dan menikmati tidurnya. Luas, dan terasa sejuk tidak dingin apalagi panas. Lela membuka matanya perlahan. Pertama, yang ia lihat adalah jendela kaca yang terbuka. Menampilkan taman rerumputan dengan pot-pot bunga berjejeran.Ia masih belum sadar juga di mana saat ini dirinya berbaring. Selimut putih beraroma wangi itu kembali ia tarik dan bersembunyi di dalamnya. Lela mengingat sesuatu. Ia langsung membuka seluruh tubuhnya dan melihat sekeliling. Ini bukan kontrakan yang biasa ia tempati. Ruangan luas bercat serba putih itu seperti istana bagi Lela. Ia menurunkan kakinya perlahan dari atas tempat tidur. Melangkah pelan dan menyentuh pintu kaca yang terhubung langsung dengan taman. Lela membukanya dan menghidu udara segar pagi itu."Kamu sudah bangun?" Suara itu membuat Lela terperanjat. Tubuhnya membalik dengan cepat. Seorang pria dengan kemeja putih menyandar kusen pintu. Di tangannya memba
"LELA!" Panggilan dari luar begitu keras. Seorang pria dengan jaket jeans berwarna pudar tengah berkacak pinggang. Lelaki hitam kekar dengan rambut ikal terus memanggil Lela dengan kencang di depan kontrakan. Membuat tetangga yang sedang tidur siang itu merasa terganggu.Lela membuka pintu. Ia melihat pria itu dan menatapnya dengan malas. "Ada apa? Hutang gue udah lunas, ya, sama elu. Sekarang apa lagi?" Lela menyedekapkan kedua tangannya di depan dada."Elu, kan, malam itu janji sama klien gue. Kenapa tadi malem, elu, pulang? Gua kagak mau tau, ntar malem elu mesti dateng dan penuhi permintaan dia," ucap pria itu dengan kasar.Lela menghela napas panjang. Ia menatap ke lain arah dan mencoba memikirkan jalan lain. "Gue ganti, deh, kerugian elu. Berape emang?" "Cuih!" Pria bernama Baron itu meludah ke depan Lela. "Duit dari mane, lu? Orang hutang elu sama si Bagio aja masih banyak.""Heh, gue udah bayar, ya, tadi pagi! Tinggal dikit lagi kelar. Tinggal bilang aja gue ganti berapa?" Se
"Semalam kamu ke mana? Aku cari-cari kata Bagio, sudah pulang. Padahal aku baru datang."Lela tersenyum manis. Ia menyandarkan kepalanya di dada pria itu. "Aku sudah terlalu banyak minum. Aku takut tak bisa pulang. Nanti, malah merepotkanmu.""Kamu memang wanita sempurna. Sudah cantik, masih perhatian denganku juga." Pria itu mencubit dagu Lela sambil tersenyum. Bagi Berlian, adegan tersebut sungguh menjijikkan. Gadis itu terus memperhatikan mereka. Namun, Ibunya malah ikut masuk ke dalam mobil. Entah ke mana mereka akan pergi. Sunyi dan hanya dinginnya malam sudah biasa menjadi temannya, kini Berlian kembali pulang.Baru setengah jalan, seseorang memanggilnya. "Hei!" Berlian menoleh. Temaram lampu di gang tersebut membuat kedua mata sang gadis menyipit. Ia tak kenal dengan sosok yang memanggilnya karena dilihat dari penampilan, pria itu memang bukan penduduk sana."Dek, saya mau tanya," katanya. "Rumahnya Lela di mana, ya?" Seketika bola mata Berlian mendelik. Sudah ia duga, pria