NALURI SANG PENDOSA 3
BY GORESAN PENA93 "Enggak apa-apa, Bung. Eh, kamu enggak ke kantin?" Begitu besar luka yang ia pendam sendiri, Berlian tak ingin siapapun tahu masalah Ibunya. Ia mencoba mengalihkan perhatian temannya itu."Yuk, aku nunggu kamu." Mereka beriringan menuju kantin sekolah. Uang yang dikasih oleh Ibunya tadi, separuh sudah ia bayarkan. Lunas sudah tunggakan dua bulan. Namun, saat Berlian sudah berada di sana dan duduk saling bertatap muka dengan Bunga, ia ragu untuk membeli meski hanya sekadar membasahi tenggorokan."Kamu mau beli apa?" tanya Bunga, di meja sudah ada semangkuk bakso dan jus jeruk yang Bunga pesan. Sejenak, Berlian diam. Ia menimbang uang hasil kerja Ibunya semalam. "Aku masih kenyang, Bung. Kamu aja yang makan. Lagipula, aku lagi puasa," bohong Berlian. "Loh, puasa apa? Ini hari Selasa, kan?" Berlian mulai bingung mencari alasan lain. Ia lupa jika hari ini Selasa. "Aku puasa bayar hutang yang ramadhan. Masih sisa satu hari." Sengaja memaksa bibirnya tersenyum, gadis itu pada akhirnya hanya bisa menatap temannya makan."Maaf, ya? Aku jadi enggak enak sama kamu.""Enggak apa-apa, makan aja. Lagian, sebentar lagi kita pulang, kan? Enggak ada lagi jadwal tambahan."*Mereka berpisah di depan gerbang sekolah. Setelah melambai pada temannya yang dijemput oleh mobil orangtuanya, Berlian menatap lurus pada jalanan yang ramai pengendara. Langkahnya terus menyusuri trotoar dan terik mulai menyengat kulit.Rasa haus yang tak tertahankan, membuatnya terus menelan ludah. Belum lagi sepatu yang mulai rusak dan bolong bagian bawahnya, Berlian buru-buru agar cepat sampai rumah.Tak butuh waktu lama, angin berembus membawa awan-awan hitam dan gemuruh petir menyambar-nyambar. Rintik kecil pun langsung merata di sebagian kawasan itu. Untungnya, Berlian sampai di dekat halte. Ia berteduh sejenak di sana karena angin bertiup cukup kencang.Gadis 19 tahun itu menggosok lengannya karena kedinginan. Mobil-mobil yang lewat seakan tak peduli, ia hanya sendirian di sana. Hujan lebat disertai angin kencang berhasil membuat sebagian pandangannya berkabur.Kanan kiri ia toleh, berharap ada orang baik yang memberikan tumpangan. Namun, sejauh mata memandang tak satupun orang yang terlihat.Bukan dirinya yang ia pikirkan, melainkan Ibunya. Berlian hanya menunggu hingga hujan reda. Setidaknya, ia bisa menyelamatkan buku-buku dalam tas."Hai, cantik? Sendirian aja, nih?" Dagu Berlian ditoel. Senyum mengerikan terlukis pada bibir pria kekar berjaket jeans yang sudah pudar warnanya. Pria berkulit hitam dengan ikat di kepala itu semakin mendekat ketika Berlian ketakutan dan mencoba berteriak. Sekali bekap mulut Berlian tak bisa berkata apa-apa. Jangankan untuk berteriak, bernapas saja rasanya susah. Gadis itu meronta lalu dipaksa menerjang hujan. Ia dipaksa memasuki pagar tanaman yang berada di pinggir jalan. Meski meronta sekuat tenaga dan mulut berteriak sekencang apapun, hujan lebat telah menelan suara gadis itu. Saat ia berhasil melepas tangan pria itu, Berlian menggigitnya. Dengan tangis yang sudah bercampur dengan air hujan, dengan do'a yang dilangitkan saat itu juga, ia meminta Sang Penguasa Langit mendatangkan seorang penolong.Berlian terjatuh di tengah jalan dan kakinya berhasil ditarik oleh pria tadi. "Hai, lepaskan!" Teriakan yang tak begitu jelas itu membuat preman tadi menoleh. Ia terkejut melihat lelaki yang baru saja keluar dari mobil berlari mendatanginya."Jangan ikut campur!" bentak pria kejam tadi."Tolong!" Berlian berusaha berdiri meski lututnya terasa perih. Ia bersembunyi di balik tubuh pria dewasa yang baru saja datang. "Tolong saya!" "Kamu tenang saja! Pergi ke mobil!" Pria itu menunjuk kendaraannya dengan tatapan mata.Perkelahian pun terjadi. Mereka saling serang dan akhirnya preman tadi tumbang. Sang penolong pun segera mendatangi Berlian yang berjongkok di balik mobil. Hujan sepertinya memang sudah habis, awan kembali terang. Putih bersih dan sinar mentari sedikit muncul."Kamu enggak apa-apa?" Berlian menggeleng saja. Ia masih terisak dan benar-benar ketakutan. Bahkan untuk menatap pria itu saja, ia tak berani. "Tenang, dia sudah tak ada lagi. Sudah pergi kukirim dia ke lautan," ucapnya lagi sambil menahan tawa.Gadis itu berdiri. Ia menoleh pada lokasi kejadian. "Terima kasih.""Sama-sama. Oh, ya, kamu yang tadi pagi, kan? Kenalin, aku Fawwaz.""Berlian." Satu kata saja yang keluar dari mulut gadis itu disertai tubuh menggigil."Nama kamu Berlian? Nama yang bagus. Rumah kamu di mana? Biar kuantar. Bahaya kalau nanti ketemu laki-laki tadi lagi."*Di dalam mobil, mereka tak banyak bicara. Pria itu sesekali menoleh. Namun, ia paham dengan kondisi yang pasti membuat sang gadis trauma. "Yang mana rumah kamu?" Fawwaz menoleh kanan kiri. Laju mobil pun semakin lambat. "Gang depan itu, Pak." Berlian menunjuk gapura bertuliskan Gang F."Jangan panggil saya 'Pak'! Saya bukan Bapak kamu." Pria itu tersenyum. Lalu, mobil pun berhenti.Bukannya lega, Berlian terperanjat ketika melihat Ibunya yang berada di tengah jalan. Gadis itu segera turun dan berlari. Tangis kembali meledak kala melihat Lela dan beberapa barang yang sudah terlempar keluar. Gadis itu memeluk Lela. Dekapan Berlian begitu erat hingga sang Ibu pun merasakan betapa gadis itu mencintainya. "Ada apa ini? Jangan ganggu Ibu saya!" teriak Berlian.Sementara Fawwaz yang tak tahu apa-apa segera ikut turun. Ia mendekati Berlian dan Ibunya. Mencoba melerai lagi kasus yang berbeda. Menenangkan beberapa warga yang sepertinya ingin mengusir dua wanita itu."Tinggalkan kampung ini! Jangan pernah lagi munculkan wajah kalian di sini! Kami tidak ingin tempat kami terkena bala' karena perbuatan maksiat kalian." teriak seorang warga. Mereka mengerubungi Lela dan Berlian di tengah-tengah."Tunggu, Bapak-bapak ibu-ibu! Ini ada apa sebenarnya?" Fawwaz penasaran."Udah usir aja! Kelamaan," ujar warga lain."Usir!""Usri!""Usir!""Iya, usir aja!" Fawwaz mencoba melindungi dua wanita yang hampir saja terkena tendangan. Lalu, datang Pak RT yang kembali menengahi. Berlian menarik lengan Ibunya dan segera mengajak masuk ke dalam kontrakan. Begitu juga dengan pria dewasa yang kini membantunya memunguti barang-barang mereka dan membawanya masuk.Pria itu menyaksikan pemandangan mengharukan. Sejauh ini, ia mengerti pasti telah terjadi sesuatu di keluarga mereka."Kalian baik-baik saja?" Fawwaz mulai bersuara. "Terima kasih, Pak. Eh, Mas. Ibu enggak apa-apa," jawab Berlian sambil membantu Ibunya berbaring. Sejak tadi, Lela hanya diam. Pasrah dengan perlakuan putrinya yang mulai mengusap wajah dan sebagian tubuhnya dengan kain kering. "Sebenarnya ada apa?" bisik pria itu.Berlian menggeleng kepalanya. "Mas, pulang saja! Saya mohon." Cincin bening mulai melingkari bola mata Berlian lagi. Ia butuh ketenangan, dan hanya ingin berdua saja dengan Ibunya."Baiklah, kau dan Ibumu hati-hati. Aku pulang." Meski baru saja mengenal Berlian, pria itu merasa tak tega jika meninggalkan mereka. Apalagi tanpa memberi apapun yang setidaknya bisa menghangatkan malam. Beberapa barang pun telah basah. Bagaimana malam mereka nanti.Fawwaz mengeluarkan dompetnya. Ia menarik beberapa lembaran merah dan meletakkan di dekat Berlian. Tanpa sepengetahuan gadis itu, ia keluar lalu menutup pintu lagi.Naluri Sang Pendosa 4Memaksa hati berdamai dengan keadaan adalah hal yang tidak mudah. Bertahan tetap dalam kesadaran di tengah keterpurukan dicela sana sini dan mendapat hinaan setiap hari, gadis itu tertunduk lelah setelah menggantung seragam sekolahnya yang tadi yang sudah sempat dicuci lagi. Ia menatap pada Lela yang masih meringkuk memeluk dingginnya malam.Sudah jam sepuluh malam, Berlian masih terjaga. Ia merawat sepenuh hati wanita yang sejak kecil membesarnya. Berlian mengompres kening Ibunya yang terasa panas setelah kejadian siang tadi. Sembari mengulang pelajaran tadi pagi, karena besok ia akan ada tugas praktek ilmiah.Terkantuk-kantuk hingga beberapakali kepala hampir terjatuh, ia memaksa mata membuka lagi. Kalah dengan malam yang semakin larut, kantuk tak dapat ia tahan lagi, Berlian meringkuk pula di dekat Ibunya. Tanpa alas yang menghangatkan tubuh, lantai berlapis perlak tak mampu menghalau dinginnya malam. Gadis malang itu memeluk Lela.Sayup-sayup kedua kelopak m
Naluri Sang Pendosa 5Semburat kekuningan menerpa wajah cantik Lela. Ia merasa sangat nyaman dan menikmati tidurnya. Luas, dan terasa sejuk tidak dingin apalagi panas. Lela membuka matanya perlahan. Pertama, yang ia lihat adalah jendela kaca yang terbuka. Menampilkan taman rerumputan dengan pot-pot bunga berjejeran.Ia masih belum sadar juga di mana saat ini dirinya berbaring. Selimut putih beraroma wangi itu kembali ia tarik dan bersembunyi di dalamnya. Lela mengingat sesuatu. Ia langsung membuka seluruh tubuhnya dan melihat sekeliling. Ini bukan kontrakan yang biasa ia tempati. Ruangan luas bercat serba putih itu seperti istana bagi Lela. Ia menurunkan kakinya perlahan dari atas tempat tidur. Melangkah pelan dan menyentuh pintu kaca yang terhubung langsung dengan taman. Lela membukanya dan menghidu udara segar pagi itu."Kamu sudah bangun?" Suara itu membuat Lela terperanjat. Tubuhnya membalik dengan cepat. Seorang pria dengan kemeja putih menyandar kusen pintu. Di tangannya memba
"LELA!" Panggilan dari luar begitu keras. Seorang pria dengan jaket jeans berwarna pudar tengah berkacak pinggang. Lelaki hitam kekar dengan rambut ikal terus memanggil Lela dengan kencang di depan kontrakan. Membuat tetangga yang sedang tidur siang itu merasa terganggu.Lela membuka pintu. Ia melihat pria itu dan menatapnya dengan malas. "Ada apa? Hutang gue udah lunas, ya, sama elu. Sekarang apa lagi?" Lela menyedekapkan kedua tangannya di depan dada."Elu, kan, malam itu janji sama klien gue. Kenapa tadi malem, elu, pulang? Gua kagak mau tau, ntar malem elu mesti dateng dan penuhi permintaan dia," ucap pria itu dengan kasar.Lela menghela napas panjang. Ia menatap ke lain arah dan mencoba memikirkan jalan lain. "Gue ganti, deh, kerugian elu. Berape emang?" "Cuih!" Pria bernama Baron itu meludah ke depan Lela. "Duit dari mane, lu? Orang hutang elu sama si Bagio aja masih banyak.""Heh, gue udah bayar, ya, tadi pagi! Tinggal dikit lagi kelar. Tinggal bilang aja gue ganti berapa?" Se
"Semalam kamu ke mana? Aku cari-cari kata Bagio, sudah pulang. Padahal aku baru datang."Lela tersenyum manis. Ia menyandarkan kepalanya di dada pria itu. "Aku sudah terlalu banyak minum. Aku takut tak bisa pulang. Nanti, malah merepotkanmu.""Kamu memang wanita sempurna. Sudah cantik, masih perhatian denganku juga." Pria itu mencubit dagu Lela sambil tersenyum. Bagi Berlian, adegan tersebut sungguh menjijikkan. Gadis itu terus memperhatikan mereka. Namun, Ibunya malah ikut masuk ke dalam mobil. Entah ke mana mereka akan pergi. Sunyi dan hanya dinginnya malam sudah biasa menjadi temannya, kini Berlian kembali pulang.Baru setengah jalan, seseorang memanggilnya. "Hei!" Berlian menoleh. Temaram lampu di gang tersebut membuat kedua mata sang gadis menyipit. Ia tak kenal dengan sosok yang memanggilnya karena dilihat dari penampilan, pria itu memang bukan penduduk sana."Dek, saya mau tanya," katanya. "Rumahnya Lela di mana, ya?" Seketika bola mata Berlian mendelik. Sudah ia duga, pria
Pria matang itu kembali menemui Berlian yang sejak tadi panas dingin menunggu kabar. Yoga masuk ke dalam mobil dengan wajah mudah dibaca oleh sang gadis. "Gimana, Om?" Berlian membuka suara. Yoga menggeleng lemas. "Ibumu tak ada di dalam sana. Mungkin, dia pergi ke tempat lain. Bukan ke sini." Wajahnya tertunduk. Lalu, menyalakan mesin mobil dan memutar kemudi."Astaghfirullah." Berlian menutup wajahnya. "Aku harus ke mana lagi mencari Ibu, Om? Dia selalu pergi malam dan pulang pagi. Itupun kalau ada yang mengantarnya. Jika pulang malam, selalu dalam keadaan mabuk. Aku harus bagaimana?""Sabar! Pasti ada jalan, kau hanya perlu terus berdo'a. Kita tidak tau kapan seseorang mendapat hidayah. Sekarang, aku antar kau pulang."Perjalanan malam itu terasa hambar. Hati tak tenang dan kepala mendadak berdenyut nyeri. Berlian menyandarkan kepalanya dan mengikuti jalan takdir mirisnya.Ia membayangkan Ibunya tengah bersenang-senang dengan pria hidung belang. Ada rasa panas terbakar membayangk
Lela mencoba menghubungi Johan lagi untuk meminta bantuan. Akan tetapi, Johan beralasan tidak bisa. Mencoba meminta pertolongan pada Bagio pun sama saja. Tidak ada yang mau menolongnya kala kesusahan.Lela teringat seorang pria baik hati. Untung sempat menerima nomor telponnya. Wanita itu segera menelpon dan meminta bantuan. Selang satu jam, Berlian sudah berada di rumah sakit. Mereka membawanya ke sana dan menurut hasil visum, berlian mengalami penganiayaan. Berlian terpejam di atas ranjang rumah sakit dengan pakaian biru yang telah diganti. Selang infus tertancap pada tangan kirinya. Cup oksigen menutup hidungnya."Terima kasih, kamu sudah mau bantu saya." Lela tertunduk malu."Sama-sama. Lain kali, jangan tinggalkan dia sendirian di rumah. Aku sudah bilang akan memberikanmu pekerjaan, tetapi kamu memilih pergi." Yoga menasihati. Ia mengintip keadaan Berlian dari jendela kaca yang gordennya terbuka sedikit."Maaf, aku memang bukan Ibu yang baik buat dia. Aku hanya mementingkan diri
"Bukan maksudku begitu, aku cuman peduli saja sama kamu." Lela melengos ketika Yoga hendak membuka jalan pikirannya. "Aku yakin, satu sisi dirimu banyak menyimpan kebaikan. Maka dari itu, aku ingin kau meninggalkan dunia gelap itu. Dan tinggal di sini memulai semua dari awal."Lela memasang seringai miring. "Memangnya kau siapa? Apakah setelah kau membantuku banyak hal, kau bebas menyuruhku begini begitu? Mengatur hidupku? Jangan mimpi, Yoga!" Santai pria matang itu menanggapi. Mereka bukan lagi anak-anak yang semua serba singkat. Memang seharusnya tak mudah terbujuk emosi. Kedua kaki menopang, Yoga menatap lurus dengan bayangan putri Lela. "Aku kasihan sama kalian. Di luar sana, masih banyak yang butuh pekerjaan halal. Sehingga susah payah dengan sekuat tenaga menghindari sesuatu yang haram. Mereka menjaga diri dan keluarganya hanya untuk sesuap makanan halal. Dan kamu bisa dapatkan di sini dengan mudah.""Cukup, Yoga! Kau sudah terlalu jauh bicara. Kau bukan siapa-siapa dalam kehi
Sementara Lela, ia tak sabar lagi menunggu jawaban. Sebagai tanda hatinya bergumam, ia menyentuh tangan Johan."Untuk apa menikah? Sejauh ini kita enjoy saja menikmatinya. Kamu senang, aku pun juga. Kita sama-sama senang dan saling mencintai," balas pria itu santai. "Seburuk-buruknya wanita malam, tetap saja merindukan kehidupan layaknya mereka, pasangan suami istri." Lela mulai paham ke mana arah pembicaraan Johan. "Sayang, kau tidak perlu memikirkan itu terlalu dalam. Percayalah, hanya kau yang selalu ada di hatiku." Johan berdiri. Ia menggandeng tangan wanita itu untuk masuk ke dalam rumah. Di sana, Lela terus mengurai senyuman. Ia sangat mencintai Johan. Pria yang selama ini menariknya ke dalam lembah hitam. Aku tau ini salah, tapi aku tak bisa menolak dan berpaling darinya. Hidupku sudah menjadi miliknya. Aku tak butuh lagi masa depan seperti mereka yang sok suci. Aku sudah terlanjur terjun dan tak mungkin kembali lagi. Untuk apa? Bahkan aku sudah tak kenal lagi dengan rasa m