NALURI SANG PENDOSA 3BY GORESAN PENA93 "Enggak apa-apa, Bung. Eh, kamu enggak ke kantin?" Begitu besar luka yang ia pendam sendiri, Berlian tak ingin siapapun tahu masalah Ibunya. Ia mencoba mengalihkan perhatian temannya itu."Yuk, aku nunggu kamu." Mereka beriringan menuju kantin sekolah. Uang yang dikasih oleh Ibunya tadi, separuh sudah ia bayarkan. Lunas sudah tunggakan dua bulan. Namun, saat Berlian sudah berada di sana dan duduk saling bertatap muka dengan Bunga, ia ragu untuk membeli meski hanya sekadar membasahi tenggorokan."Kamu mau beli apa?" tanya Bunga, di meja sudah ada semangkuk bakso dan jus jeruk yang Bunga pesan. Sejenak, Berlian diam. Ia menimbang uang hasil kerja Ibunya semalam. "Aku masih kenyang, Bung. Kamu aja yang makan. Lagipula, aku lagi puasa," bohong Berlian. "Loh, puasa apa? Ini hari Selasa, kan?" Berlian mulai bingung mencari alasan lain. Ia lupa jika hari ini Selasa. "Aku puasa bayar hutang yang ramadhan. Masih sisa satu hari." Sengaja memaksa bib
Naluri Sang Pendosa 4Memaksa hati berdamai dengan keadaan adalah hal yang tidak mudah. Bertahan tetap dalam kesadaran di tengah keterpurukan dicela sana sini dan mendapat hinaan setiap hari, gadis itu tertunduk lelah setelah menggantung seragam sekolahnya yang tadi yang sudah sempat dicuci lagi. Ia menatap pada Lela yang masih meringkuk memeluk dingginnya malam.Sudah jam sepuluh malam, Berlian masih terjaga. Ia merawat sepenuh hati wanita yang sejak kecil membesarnya. Berlian mengompres kening Ibunya yang terasa panas setelah kejadian siang tadi. Sembari mengulang pelajaran tadi pagi, karena besok ia akan ada tugas praktek ilmiah.Terkantuk-kantuk hingga beberapakali kepala hampir terjatuh, ia memaksa mata membuka lagi. Kalah dengan malam yang semakin larut, kantuk tak dapat ia tahan lagi, Berlian meringkuk pula di dekat Ibunya. Tanpa alas yang menghangatkan tubuh, lantai berlapis perlak tak mampu menghalau dinginnya malam. Gadis malang itu memeluk Lela.Sayup-sayup kedua kelopak m
Naluri Sang Pendosa 5Semburat kekuningan menerpa wajah cantik Lela. Ia merasa sangat nyaman dan menikmati tidurnya. Luas, dan terasa sejuk tidak dingin apalagi panas. Lela membuka matanya perlahan. Pertama, yang ia lihat adalah jendela kaca yang terbuka. Menampilkan taman rerumputan dengan pot-pot bunga berjejeran.Ia masih belum sadar juga di mana saat ini dirinya berbaring. Selimut putih beraroma wangi itu kembali ia tarik dan bersembunyi di dalamnya. Lela mengingat sesuatu. Ia langsung membuka seluruh tubuhnya dan melihat sekeliling. Ini bukan kontrakan yang biasa ia tempati. Ruangan luas bercat serba putih itu seperti istana bagi Lela. Ia menurunkan kakinya perlahan dari atas tempat tidur. Melangkah pelan dan menyentuh pintu kaca yang terhubung langsung dengan taman. Lela membukanya dan menghidu udara segar pagi itu."Kamu sudah bangun?" Suara itu membuat Lela terperanjat. Tubuhnya membalik dengan cepat. Seorang pria dengan kemeja putih menyandar kusen pintu. Di tangannya memba
"LELA!" Panggilan dari luar begitu keras. Seorang pria dengan jaket jeans berwarna pudar tengah berkacak pinggang. Lelaki hitam kekar dengan rambut ikal terus memanggil Lela dengan kencang di depan kontrakan. Membuat tetangga yang sedang tidur siang itu merasa terganggu.Lela membuka pintu. Ia melihat pria itu dan menatapnya dengan malas. "Ada apa? Hutang gue udah lunas, ya, sama elu. Sekarang apa lagi?" Lela menyedekapkan kedua tangannya di depan dada."Elu, kan, malam itu janji sama klien gue. Kenapa tadi malem, elu, pulang? Gua kagak mau tau, ntar malem elu mesti dateng dan penuhi permintaan dia," ucap pria itu dengan kasar.Lela menghela napas panjang. Ia menatap ke lain arah dan mencoba memikirkan jalan lain. "Gue ganti, deh, kerugian elu. Berape emang?" "Cuih!" Pria bernama Baron itu meludah ke depan Lela. "Duit dari mane, lu? Orang hutang elu sama si Bagio aja masih banyak.""Heh, gue udah bayar, ya, tadi pagi! Tinggal dikit lagi kelar. Tinggal bilang aja gue ganti berapa?" Se
"Semalam kamu ke mana? Aku cari-cari kata Bagio, sudah pulang. Padahal aku baru datang."Lela tersenyum manis. Ia menyandarkan kepalanya di dada pria itu. "Aku sudah terlalu banyak minum. Aku takut tak bisa pulang. Nanti, malah merepotkanmu.""Kamu memang wanita sempurna. Sudah cantik, masih perhatian denganku juga." Pria itu mencubit dagu Lela sambil tersenyum. Bagi Berlian, adegan tersebut sungguh menjijikkan. Gadis itu terus memperhatikan mereka. Namun, Ibunya malah ikut masuk ke dalam mobil. Entah ke mana mereka akan pergi. Sunyi dan hanya dinginnya malam sudah biasa menjadi temannya, kini Berlian kembali pulang.Baru setengah jalan, seseorang memanggilnya. "Hei!" Berlian menoleh. Temaram lampu di gang tersebut membuat kedua mata sang gadis menyipit. Ia tak kenal dengan sosok yang memanggilnya karena dilihat dari penampilan, pria itu memang bukan penduduk sana."Dek, saya mau tanya," katanya. "Rumahnya Lela di mana, ya?" Seketika bola mata Berlian mendelik. Sudah ia duga, pria
Pria matang itu kembali menemui Berlian yang sejak tadi panas dingin menunggu kabar. Yoga masuk ke dalam mobil dengan wajah mudah dibaca oleh sang gadis. "Gimana, Om?" Berlian membuka suara. Yoga menggeleng lemas. "Ibumu tak ada di dalam sana. Mungkin, dia pergi ke tempat lain. Bukan ke sini." Wajahnya tertunduk. Lalu, menyalakan mesin mobil dan memutar kemudi."Astaghfirullah." Berlian menutup wajahnya. "Aku harus ke mana lagi mencari Ibu, Om? Dia selalu pergi malam dan pulang pagi. Itupun kalau ada yang mengantarnya. Jika pulang malam, selalu dalam keadaan mabuk. Aku harus bagaimana?""Sabar! Pasti ada jalan, kau hanya perlu terus berdo'a. Kita tidak tau kapan seseorang mendapat hidayah. Sekarang, aku antar kau pulang."Perjalanan malam itu terasa hambar. Hati tak tenang dan kepala mendadak berdenyut nyeri. Berlian menyandarkan kepalanya dan mengikuti jalan takdir mirisnya.Ia membayangkan Ibunya tengah bersenang-senang dengan pria hidung belang. Ada rasa panas terbakar membayangk
Lela mencoba menghubungi Johan lagi untuk meminta bantuan. Akan tetapi, Johan beralasan tidak bisa. Mencoba meminta pertolongan pada Bagio pun sama saja. Tidak ada yang mau menolongnya kala kesusahan.Lela teringat seorang pria baik hati. Untung sempat menerima nomor telponnya. Wanita itu segera menelpon dan meminta bantuan. Selang satu jam, Berlian sudah berada di rumah sakit. Mereka membawanya ke sana dan menurut hasil visum, berlian mengalami penganiayaan. Berlian terpejam di atas ranjang rumah sakit dengan pakaian biru yang telah diganti. Selang infus tertancap pada tangan kirinya. Cup oksigen menutup hidungnya."Terima kasih, kamu sudah mau bantu saya." Lela tertunduk malu."Sama-sama. Lain kali, jangan tinggalkan dia sendirian di rumah. Aku sudah bilang akan memberikanmu pekerjaan, tetapi kamu memilih pergi." Yoga menasihati. Ia mengintip keadaan Berlian dari jendela kaca yang gordennya terbuka sedikit."Maaf, aku memang bukan Ibu yang baik buat dia. Aku hanya mementingkan diri
"Bukan maksudku begitu, aku cuman peduli saja sama kamu." Lela melengos ketika Yoga hendak membuka jalan pikirannya. "Aku yakin, satu sisi dirimu banyak menyimpan kebaikan. Maka dari itu, aku ingin kau meninggalkan dunia gelap itu. Dan tinggal di sini memulai semua dari awal."Lela memasang seringai miring. "Memangnya kau siapa? Apakah setelah kau membantuku banyak hal, kau bebas menyuruhku begini begitu? Mengatur hidupku? Jangan mimpi, Yoga!" Santai pria matang itu menanggapi. Mereka bukan lagi anak-anak yang semua serba singkat. Memang seharusnya tak mudah terbujuk emosi. Kedua kaki menopang, Yoga menatap lurus dengan bayangan putri Lela. "Aku kasihan sama kalian. Di luar sana, masih banyak yang butuh pekerjaan halal. Sehingga susah payah dengan sekuat tenaga menghindari sesuatu yang haram. Mereka menjaga diri dan keluarganya hanya untuk sesuap makanan halal. Dan kamu bisa dapatkan di sini dengan mudah.""Cukup, Yoga! Kau sudah terlalu jauh bicara. Kau bukan siapa-siapa dalam kehi