Share

Bab 2

Naluri 2

"Bu, mau ke mana? Ini sudah jam sepuluh malam." Berlian yang belum bisa tidur karena menunggu Ibunya, kini harus bangkit dari kasur lusuh tempat mereka melepas lelah.

Gadis dengan rambut panjang setengah punggung itu mendekati Lela. Menatap pantulan diri mereka. Sementara Lela terus saja mematut diri dan menebar wewangian di sekujur tubuhnya. Tak lupa pewarna bibir yang tampak cerah merona semakin memperjelas ke mana ia akan pergi.

"Udah, lu, tidur aja! Jangan lupa kunci pintunya! Ibu mau cari uang buat kamu sekolah. Buat makan, buat bayar kontrakan juga." Lela menarik ujung gaunnya yang minim itu agar tampak lebih rapi. Ia sama sekali tak melirik gadis yang rindu pelukan di belakangnya.

"Tapi, Bu. Ibu selalu kerja malam. Sebenarnya, Ibu kerja apa? Kenapa tetangga kita selalu menghina kita?" Wajah polos ditambah dengan tubuh kurus yang termakan ucapan tetangga, tiada malam tanpa tangis yang ia tinggalkan.

"Halah, mereka aja yang julid. Mereka itu iri sama Ibu yang sebentar lagi akan jadi orang kaya." Risih dengan ucapan putrinya yang seperti mengarah pada ranah pribadi, Lela meraih tas yang tersangkut pada sebuah paku dalam ruangan itu.

Membalik badannya yang sudah sedemikian rupa, Lela berpesan, "Jangan lupa kunci pintu! Jangan buka sebelum Ibu pulang. Ingat, Ibu cuman nyanyi aja di sana!" Lela lantas pergi.

Kedua tangan memegang kusen pintu dengan wajah menempel punggung tangan, air mata kembali tumpah melepas kepergian Ibunya yang berjuang mencari jalan nafkah. Hanya saja, semakin besar dan tumbuh, Berlian bukan lagi balita yang mudah dibohongi. Ia tahu apa yang dikerjakan Ibunya setiap malam.

Memandang punggung terbuka berbalut gaun merah, berlian melihat Ibunya bertemu dengan seorang pria berjas hitam. Setiap pertemuan ada kecupan dan sentuhan yang membuat bulu kuduk berdiri. Berlian segera menjalankan apa yang Ibunya perintahkan. Ia mengunci pintu dan merebahkan diri di kasur lantai. 

Dinginnya malam memeluk gadis itu dan membuatnya menggigil. Dalam hati berjanji setelah lulus sekolah nanti, ia akan menjadi kebanggaan Ibunya. Ibunya tak akan lagi kesusahan mencari nafkah. 

"Aku Janji, Bu," gumam gadis itu sambil menjadikan tangannya sebagai bantalan. Menarik sesuatu yang mengalir dalam hidungnya.

Malam semakin gelap dan hujan pun semakin deras. Pukul dua dini hari, wanita yang bernama lengkap NurLela itu masih asik menikmati iring-iringan musik memekik telinga. Bercampur baur dengan laki-laki dan wanita malam lainnya, ia meneguk beberapa kali minuman dalam gelas kecil beraroma keras.

Duduk menyadar lengan kekar milik seorang pria berstatus direktur utama sebuah perusahaan. Pujian-pujian manis pria-pria hidung belang menatap Lela penuh ambisi, tetapi malam ini ia tidak menerima orderan karena sedang berhalangan. 

"Halah, alasan saja kamu!" bantah seorang pria yang memang merindukan kehangatan.

"Suer, Bos! Buat apa gue bohong? Lagian juga gue butuh duit, mana mungkin nolak kalau enggak begini."

Mereka kembali menikmati hiburan haram yang berada di sudut kawasan. Beberapa lembaran merah pun disodorkan di depannya. Seperti bermandikan uang, hanya dengan menemani seorang pria kaya, ia bisa meraup berjuta-juta malam ini.

"Lu, mau enggak jadi bini gua? Hidup lu, gua jamin. Kagak bakal jadi kupu-kupu malam lagi." Tawa menggema dari pria itu. 

"Malas, Bos. Nanti, istri Anda bakalan ngelabrak lagi. Kepala gue udah mau copot, Bos, kemarin gara-gara dia. Dia ngamuk. Untung aja ada Pak RT yang membela." Lela mengupas kacang asin lalu mengunyahnya.

"Apa, bini gua ke rumah elu? Bisa-bisanya dia tau kalau kita ada apa-apa?" 

Lela mengendikkan bahunya. Mendengar penuturan wanita itu, sang pria tak begitu ambil pusing. Yang penting malam ini ia senang dan hilang segala beban. 

*

Lela mengendap-endap ketika ia baru saja turun di depan gang. Biasanya menjelang subuh, ia bertemu dengan para hansip yang selalu berjaga. Ia tak ingin lagi ada masalah dan hinaan. Apalagi tertangkap dan bisa-bisa diusir. 

Setelah selamat dari hansip, ia segera mengetuk pintu kontrakan. Karena tak kunjung dibuka, Lela pun mengetuk semakin kencang. Ia sudah tak sabar dan ingin pergi ke kamar mandi.

"Di mana, sih, si Berlian? Lama banget bukanya." 

"Lian! Berlian!" 

Pintu terdengar suara besi digeser, belum sempurna dibuka, Lela langsung menyerobot masuk. Ia pergi ke kamar mandi sempit dalam ruangan itu. Jam kecil di atas lemari dipastikan menunjuk pukul empat pagi, tak lama setelah itu azan Subuh berkumandang. 

Melihat Ibunya datang, Berlian langsung menyeduh air putih hangat yang memang adanya hanya itu. 

"Hah, lega." Lela yang baru saja buang air kecil langsung menggeleparkan diri di atas kasur berhias jamur akibat kebocoran saat hujan. 

"Bu, ini minumnya." 

Gelas bening yang terdapat kepulan asap itu ia letakkan di dekat Ibunya. Berlian menatap Lela dengan perasaan sedih yang tak tahu kapan akan berakhir.

"Heh, Berlian! Lihat, nih!" Lela bangun dan membuka tas. Ia mengeluarkan banyak uang dan memberikan pada putrinya sejumlah satu juta. "Cukup, kan? Cukup, kagak buat bayar SPP?"

Berlian masih menatap benda tips berwarna merah itu. Ia menghitungnya kemudian. "Bu, ini semua dari mana?" 

"Udahlah, enggak usah protes! Elu tinggal bayar ke sekolah dan kita bisa makan besok."

Iqamah menggema, Lela malah berangkat tidur. Sesekali aroma alkohol keluar dari sendawa wanita itu. Ketika putrinya sudah siap berangkat, ia masih tertidur juga. Berlian mencium telapak tangan lalu menggulir punggung tangan Ibunya. Ia meninggalkan butiran bening di sana.

"Berlian berangkat, Bu."

Berjalan dengan pikiran tertinggal di kontrakan, gadis itu sampai tersandung dan hampir saja jatuh. Suara klakson pun membuat telinganya sakit. Gadis itu hampir tertabrak mobil.

Seseorang keluar dari kendaraan besi itu. Ia menatap pada gadis yang tengah sibuk membersihkan sepatunya yang setengah basah karena terkena cipratan air. Berlian mengusap dengan sapu tangan.

"Kamu enggak apa-apa?" tanya pria itu. 

"Enggak, Mas. Eh, Pak." Sungkan dengan penampilan pria itu yang rapi dan khas kantoran, Berlian menunduk.

"Sekolah kamu masih jauh? Biar saya antar," tawar pria itu. 

"Tidak. Tidak usah, sudah dekat, kok. Saya bisa jalan sendiri. Terima kasih," balas gadis itu lalu buru-buru ia pergi. Teringat pria semalam yang menjemput Ibunya, Berlian sangat takut.

Sampai di sekolah, gadis bertudung putih itu memasuki kelas. Ia melepas ranselnya dan tepat bel berbunyi. Semua siswa dan siswi mulai memasuki ruangan. Menerima mata pelajaran hari ini dengan tenang. 

"Eh, anak pelakor!" Sebuah kertas yang sudah diremas terlempar mengenai kepala Berlian.

Berlian tak mau menoleh. Itu sudah biasa baginya dan tak kaget lagi karena seperti makan setiap hari.

"Budeg, ya?" teriak salah seorang siswi lagi. Anak salah satu tetangga yang kemarin menyaksikan Ibunya dilabrak.

Berlian masih terus mengerjakan tugasnya. Ia tak menggapi apalagi saat guru mereka tak ada di kelas.

"Woy!" Kalo ini dorongan kuat pada pundak Berlian berhasil membuatnya tersungkur ke meja. "Kalau gue manggil, noleh, dong!" 

"Sudah-sudah, anak-anak! Kembali semua ke bangku masing-masing!" Untung saja, guru mereka datang dan membuat suasan kelas kembali tenang. 

"Kenapa? Ingat kelakuan Rini tadi?" tanya Bunga, teman sebangku yang masih mempunyai jiwa sosial tinggi. Mereka duduk di depan kelas dan menatap dedaunan yang bergoyang diterpa angin.

"Enggak, Bung. Aku cuman ingat Ibu," balas Berlian. 

"Memangnya kenapa dengan Ibumu?"

Ada embusan napas berat. Apalagi untuk menjelaskan perkara yang tak begitu ia pahami.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status