Share

Bab 5

Naluri Sang Pendosa 5

Semburat kekuningan menerpa wajah cantik Lela. Ia merasa sangat nyaman dan menikmati tidurnya. Luas, dan terasa sejuk tidak dingin apalagi panas. Lela membuka matanya perlahan. Pertama, yang ia lihat adalah jendela kaca yang terbuka. Menampilkan taman rerumputan dengan pot-pot bunga berjejeran.

Ia masih belum sadar juga di mana saat ini dirinya berbaring. Selimut putih beraroma wangi itu kembali ia tarik dan bersembunyi di dalamnya. Lela mengingat sesuatu. Ia langsung membuka seluruh tubuhnya dan melihat sekeliling. 

Ini bukan kontrakan yang biasa ia tempati. Ruangan luas bercat serba putih itu seperti istana bagi Lela. Ia menurunkan kakinya perlahan dari atas tempat tidur. Melangkah pelan dan menyentuh pintu kaca yang terhubung langsung dengan taman. Lela membukanya dan menghidu udara segar pagi itu.

"Kamu sudah bangun?" 

Suara itu membuat Lela terperanjat. Tubuhnya membalik dengan cepat. Seorang pria dengan kemeja putih menyandar kusen pintu. Di tangannya membawa nampan berisi sepiring roti bakar dengan selai coklat dan  segelas air putih.

"Kamu siapa?" Lela bertanya. Masih di tempat ia berdiri, matanya mengikuti langkah pria itu yang terus mendekat.

"Bersihkan dirimu dulu, lalu makan ini. Nanti baru kita bicara," balas pria itu.

Lepas meletakkan sarapan di atas meja rias, pria itu kembali melangkah menjauhi Lela. Namun, wanita itu mencegah dengan sebuah pertanyaan lagi. 

"Nama kamu siapa?" 

Berhenti dengan kedua tangan masuk ke dalam saku, senyum tipis terlukis tanpa membalik badan. Dia menjawab, "Panggil saja aku Yoga."

Lela lantas mengikuti titah pria tadi. Baru sadar jika pakaian yang ia kenakan bukanlah pakaian semalam yang ia gunakan untuk pergi ke club'. Lela mengerutkan dahinya ketika mematut diri di depan cermin kamar mandi. 

Tak ambil pusing, ia langsung mandi dan mengenakan pakaian yang baru. Bersih dan wangi, rambut tergerai panjang, wanita itu keluar dengan handuk di kepala. Ia begitu menikmati roti panggang tadi sambil menatap hijaunya pokok-pokok bunga yang bergoyang karena angin.

"Hei, kau masih punya hutang padaku! Jangan sampai lupa atau sengaja menghindar." 

Di tengah mengunyah, Lela teringat ucapan salah seorang pria di malam itu. Kemarin mendapat uang bukannya untuk bayar hutang, tetapi untuk bayar sekolah Berlian.

"Berlian. Astaga, dia di rumah sendirian. Aku harus pulang." 

Lela yang sudah rapi dengan tunik berwarna nude dan celana panjang segera menyisir rambutnya. Ia membuka pintu dan terlihat di sana pria tadi berdiri mematung.

"Mau ke mana?" tanyanya.

"Terima kasih atas semua bantuannya. Aku harus pulang. Anakku sendirian sejak tadi malam." Lela hendak melewati pria itu tetapi terhalang.

"Kamu punya anak? Kalau begitu, biar kuantar." 

Terharu dengan bantuan pria itu, Lela hanya menahan dalam hati. Baru kali ini ia bertemu dengan sosok misterius tanpa pamrih.

Di dalam mobil, ia sempat ditanya lagi. "Kamu dari mana tadi malam dalam keadaan begitu?" 

"Kerja," balas singkat Lela.

"Oh, kerja di mana?"

"Di club'." Sebenarnya, ada perasaan yang tak enak menyebut tempat itu. Namun, sisi kasarnya masih bisa dikendalikan jika yang mengajak bicara bisa menghargainya. 

"Aku ada kerjaan buat kamu kalau kamu mau. Gajinya kujamin lebih besar dari keseharian kamu di sana. Gimana?" tawar Yoga dengan santai. Masih terfokus pada kemudinya.

"Kerja apa? Apakah aku mendapatkan gaji setiap hari? Seperti yang kujalani sekarang?" Lela menimbang lagi. 

"Boleh harian boleh bulanan. Berapa gaji kamu di sana setiap malam? Kalau kamu kerja di aku, aku jamin kehalalannya."

Lela diam sejenak lalu menjawab setelah nominal yang terlintas di benaknya muncul. "Aku dapat sejuta setiap malam. Gimana, apa kamu sanggup?"

Yoga mengulas senyum tipis. Uang segitu baginya hanya perlu sekali napas. "Aku bisa kasih lebih."

Deal, mereka menyepakati bersama. Semakin jauh roda berputar, semakin akrab Lela dengan pria itu. Percakapan yang tak monoton dan terkesan santai itu membuat Lela nyaman. Ia bilang, sudah bertahun-tahun kerja di sana dan tak mudah move on. Maka dari itu, sesekali ia butuh refreshing ke sana lagi jika nanti sudah berkerja di rumah pria itu.

Sampai di depan gang, Lela turun seraya melambai pada pria itu. Ia berjalan dengan sangat percaya diri. Penampilannya bukan lagi seperti biduan malam. Melainkan, nyonya besar dengan wajah cantik natural.

"Berlian!" Lela mengetuk pintu.

"Berlian!" Sekali lagi ia memanggil. Sesaat, ia teringat jam segini Berlian sekolah. Lela segera mencari kunci kontrakan dan masuk.

Sejenak ia mengedarkan pandangan ke seluruh sudut ruangan sempit itu. Sebentar lagi, tempat itu akan ia tinggalkan dan pindah ke rumah mewah milik Yoga. Senyum bahagia menemaninya menata baju-baju. Persiapan untuk dijemput lagi nanti malam oleh pria itu.

Lela menarik dompet dan membukanya. Puluhan lembaran merah sudah dalam genggaman berkat Yoga. Ia bisa melunasi sebagian hutangnya pada Bagio. Manager club' tempatnya meminta kasbon.

"Wih, banyak duit lu?"

 Duduk di atas kursi putar dalam club', Lela meneguk minumannya. Ia menatap Bagio menghitung uang yang baru saja ia serahkan. Pria bertubuh gendut itu tersenyum lebar. 

"Ngomong-ngomong, siapa lagi klien lu? Bisa bayar segini gedenya? Hutang lu tinggal setengah lagi. Jangan lama-lama lagi bayarnya!" ucap pria itu lagi. 

"Gue habis ini istirahat dari sini. Tapi, lu enggak usah risau. Dalam semalam, gue kelarin, tuh, sisa hutang." Asap mengepul di sela-sela perbincangan. Lela tak sabar menunggu nanti malam.

"Beres! Tapi, kasih tau gua dulu, siapa klien elu sekarang? Terus, gimana kalau suaminya si Novi nyariin elu lagi? Dia udah cinta mati sama elu. Belum lagi si Johan."

"Tau, ah, nanti. Itu pikir belakangan. Yang penting, buat sekolah si Berlian sama bayar utang." 

"Ngapa enggak lu suruh aja si Berlian kerja? Boleh juga gadis itu. Pasti laris manis kalau lu suruh dia ke sini nanti malam." Tawa menggema memenuhi sisi ruangan yang masih sepi itu.

"Gile, lu! Meski gua begini, dia enggak boleh kayak gue." 

"Kenapa? Dia bisa jadi ATM berjalan elu. Secara dia cantik, seksi dan masih fresh."

"Jangan macem-macem lu!"

Pria botak itu tertawa lagi. 

Sempat tergoda dengan iming-iming dari Bagio, Lela membayangkan wajah anak gadisnya. Kembali menyusuri jalanan dengan sendirian, sebenarnya ia lelah. Namun, ia tak bisa terlepas. 

Lela kembali ke kontrakan. Ia melihat pintu sudah terbuka. Pasti Berlian sudah pulang, bantinnya. Lela pun mendapati Berlian melepas sepatu bolong di ujung milik gadis itu. 

"Bu! Ibu, dari mana aja? Semalam enggak pulang." 

Saat Lela baru saja menginjakkan kaki di depan pintu, Berlian lantas menghambur dengan pelukan. Mendadak hati Lela sakit. Ia sering membentak gadis itu, memukul hingga mendorongnya hingga tersungkur saat tak bisa mengontrol emosinya. 

Namun, kasih sayang gadis itu malah membuatnya hancur. Lela melepas pelukan dan segera memberitahu kalau mereka akan pindah.

"Pindah ke mana, Bu? Ibu, punya uang buat pindah kontrakan?" Berlian mengerutkan dahinya. Masih lengkap dengan seragam putih abu-abu berbau keringat.

"Udah, enggak usah banyak nanya! Elu siap-siap aja!" 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status