Mereka masuk setelah dipersilakan. "Bagaimana keadaanmu, Berl?" tanya Yoga saat melihat Berlian telah membuka mata. Gadis itu masih terlihat begitu lemah. Ada balutan putih di kepalanya. "Berlian baik-baik saja, Om." Setelah menoleh, gadis itu tak menemukan seseorang yang ia cari. Kedua matanya terus bergerak menelisik semua sudut ruangan. Nihil, Ibunya tak ada.Yoga paham dengan gelagat Berlian, ia segera menghiburnya. "Berlian, Ibumu ada urusan sebentar. Jangan khawatir, di pasti ke sini lagi. Tadi, dia yang mengantarmu ke sini.""Benarkah, Om? Aku kangen sama Ibu." Alby yang tak kuasa mendengar ucapan gadis itu, membalik badan untuk menghalau panasnya kedua mata. Ia juga rindu Ibunya. Pria muda itu mengusap sudut mata, lalu kembali mendekati Berlian."Kamu sabar, ya! Jangan pikirkan apapun. Besok, kamu bisa pulang." Pemuda itu menoleh pada Yoga. Mereka mengulas senyum dan menunggu hari esok.Gadis itu terdiam membayangkan tanggungan. Ia harus kembali kerja dan tak boleh absen se
"Aku tak peduli sekalipun kau sang pendosa. Aku dan kamu sama-sama manusia yang punya masa lalu. Dan kita juga sama-sama punya masa depan. Sebesar apapun dosamu, aku tak peduli. Maukah kau menjalani dari awal bersamaku?" Lela paham betul perkataan Yoga. "Kau bulan, sementara aku hanyalah wanita pendosa. Tak pantas wanita sepertiku berjalan bersamamu. Kau tak perlu memikirkanku. Biarlah aku menyatu dengan debu pada selembar kain." Lela kembali menatap lurus. Air mata telah kering bersama dengan embusan angin. Wanita itu berdiri meninggalkan Yoga sendirian. Ada perasaan kecewa, tetapi Yoga berusaha mengerti. Di balik langkah yang sudah mantap ia mabil, pasti akan ada ujian menyapa. Pria itupun berdiri dan kembali ke kamarnya. Yoga menyandarkan punggungnya pada dipan. Pria matang itu menatap singgahan wajah Lela dalam bayangan. Begitu pula dengan wanita yang sempat menjadi teman sesaat tadi, Lela duduk di sebelah putrinya yang terlelap dengan bekas air mata di pipi.Lela melihat ponse
Panas dingin dalam dada Berlian, gadis dengan wajah manis itu menahan luapan dalam dada. Ia terus berjalan dengan langkah panjangnya. Hampir satu sekolahan tahu, bahwa Ibunya memang wanita malam. Meskipun begitu, Berlian tak sedikitpun membalas ucapan mereka. Ia masuk ke dalam kelas dengan keringat yang sudah membanjiri. Semua itu berasal dari rasa panas dari dalam hati yang tak mampu ia ungkapkan. Beban yang ia tanggung tak sekadar masalah Ibunya saja, melainkan teman-teman sekolah yang setiap hari terus mengoloknya.Gadis itu ingin cepat-cepat lulus dan pergi jauh-jauh dari mereka. Dengan begitu, ia akan bebas dari segala cacian. Ia akan segera membantu Ibunya kerja mencari pekerjaan halal dan tidak menjadi beban.Waktu bergulir begitu cepat. Berlian sengaja pulang terlambat. Agar semua siswa-siswi tak melihatnya pulang ke rumah siapa.Agar mereka tak melihat siapa yang akan menjemputnya atau sebaliknya. Alby tidak akan menemukannya.Setelah gedung sekolahan itu kosong, dan hanya t
"Apa, Bu?" Gadis itu menggeleng kepalanya. "Ibu, pasti bohong. Aku anak Ibu, kan? Jangan berbohong hanya demi sebuah kemaksiatan, Bu! Ibu, akan menyesal!" Gadis itu semakin histeris."Aku tidak berbohong, Berlian. Kau memang bukan anakku. Kau anak yang berada di dalam kardus. Tanya saja sama Bagio kalau tidak percaya. Saat itu, aku baru saja pulang dari club' dan di jalan, aku menemukanmu."Berlian terisak hebat. Ia memegangi kepalanya yang mendadak sakit. "Cukup!" "Lihat saja wajahmu, tidak sedikitpun ada kemiripan denganku. Selama ini aku berlaku kasar karena kau selalu menyusahkan hidupku. Tangismu selalu membuat gendang telingaku hampir pecah saat aku mau tidur. Hanya demi kamu, aku banyak kehilangan job. Dengar baik-baik, Berlian ... kau, bukan darah dagingku! Kau hanya beban dalam hidupku!" Setelah membentak lagi, Lela lantas pergi. Ia masuk mengikuti Johan yang lebih dulu. Namun, saat dia berada di dalam sana, tangisnya mendadak pecah. Teringat bayi merah yang ia dekap saat h
"Sepuluh ribu, Neng." Pria itu terus mengaduk nasi di atas wajah dengan api besar setelah menoleh sekilas."Satu, ya, Bang?" "Oke."Berlian duduk di kursi belakang pria itu. Ia juga haus, tetapi tak punya uang lagi. Uang dari Yoga yang sempat dipaksa untuk diterima, sudah ia bayarkan untuk acara kelulusan. Kedua mata menatap kepulan asap yang berasal dari nasi goreng di atas piring. Siap disantap dengan telur dadar di atasnya. Baru sesuap, tiba-tiba terdengar suara gemuruh di ujung sana. Sontak sang penjual nasi goreng pun bingung kalang kabut.Berlian yang tak tahu apa-apa, kini sudah ditinggal kabur oleh penjual nasi goreng tadi. "Ada apa ini?" Suara bising sepeda motor melaju dengan kecepatan penuh. Suara seretan benda tajam pun memekik telinga. Gadis itu menutup telinganya dengan kedua tangan."Hei!" Salah seorang pria yang baru saja turun dari sepeda motor pun menunjuk sang gadis. Berlian mendelik. Ia bingung harus ke mana. Akhirnya, ia berusaha lari tetapi terus dikejar. Rok
"Om, saya izin keluar sebentar." Waktu telah menunjukkan pukul delapan pagi, sengaja Berlian meminta izin pada Yoga saat Alby berada di kamar atas. Ia tak ingin pria muda itu tahu ke mana ia akan pergi."Kamu mau ke mana, Berl? Apa kamu mau mencari Ibumu lagi? Sudahlah, dia pasti kembali nanti. Siapkan dirimu untuk menghadapi kelulusan." Yoga menutup koran yang tadi membentang di hadapannya. Ia segera berdiri menyamai gadis itu. "Tidak, Om. Berlian akan mencoba ikhlas. Biarlah Allah sendiri yang menuntun ke mana nasib kami terus berjalan. Saya hanya izin sebentar dan insyaallah pulang sebelum tengah hari." Yoga yang menatap iba pada gadis itu, tak bisa menghalangi lagi. "Ya, sudah. Kalau begitu, hati-hati, ya! Apa perlu saya antar? Atau Alby, mungkin?""Tidak, Om. Saya sudah sangat sering merepotkan Mas Alby. Saya berangkat dulu, Om." Gadis itu membungkuk, melewati Yoga yang terus mengikuti langkahnya hingga ke depan pintu. Baru saja pintu tertutup rapat, Alby datang dari lantai a
"Berlian," panggil seorang karyawan lain. Gadis itu menoleh ketika tengah menata keranjang bekas mengusung beberapa bungkus produk. "Iya.""Ini, tolong antar pada Mas-Mas itu!" Karyawan bagian minuman siap saji menunjuk sebuah meja dengan dikelilingi tiga pria tampan berbalut jas kerja."Oke." Gadis itu meraih nampan berisi coffe latte. Ia mulai berjalan mendekati meja yang dimaksud.Dengan santun, ia menyapa pelanggan dan mulai meletakkan cangkir berisi minuman tadi. Namun, saat gadis itu tak memerhatikan salah seorang dari mereka. Ada yang diam-diam menatap dengan lekat."Kamu ...." Salah seorang pria bersuara. Menunjuk Berlian dengan tatapan elangnya. Lalu, dua teman yang lain terkejut saat melihat dua orang yang sepertinya saling kenal.Berlian yang tak kalah kaget pun hanya bisa ternganga. Lidahnya kelu tak bisa mengatakan apapun. Ia teringat saat itu. Ketika Ibunya mengalami penganiayaan dan pria itulah yang menolongnya."Pak ... eh, Mas." Gadis itu bingung hendak memanggil ap
Semua mata melotot, tubuh seketika meremang melihat sang gadis terguling hingga keningnya mengalir darah segar. Sesaat kemudian, Berlian sudah tak sadarkan diri. "Barlian!" teriak Lela. Wanita itu tak sadar telah menjatuhkan tasnya. Berhambur pada sosok yang tergeletak di bawah. Kepala sang gadis langsung ditarik ke atas pangkuan."Berlian!" Yoga ikut mendekat dan melihat keadaan Berlian.Mereka bingung, selang beberapa detik kemudian satpam menghampiri dan menerima sebuah perintah untuk memanggil Pak Darman, sopir pribadi yang kebetulan sudah pulang untuk menyiapkan mobil. Lela terisak dan terus memanggil nama gadis itu. Selama dalam perjalanan ke rumah sakit, Lela terus menangis. Baru kali ini ia melangitkan do'a untuk gadis itu. Seumur hidupnya, baru kali ini ia menyebut nama Tuhannya. Sampai di rumah sakit, Berlian langsung didorong di atas brankar. Mereka berjalan cepat dengan perasaan penuh kekhawatiran. Gadis itu mulai dimasukkan ke dalam ruangan, sementara Lela dan Yoga men
Terusan berlia"Bagaimana aku tidak memikirkannya? Aku menikah dengan lelaki beristri. Yang sekarang telah berpisah tapi masih sama-sama masih saling mencintai. Aku tidak bisa begini terus, Mas. Kalian kembalilah. Aku akan pergi jauh-jauh dari kehidupan kalian.""Sudah kubilang, pernikahan bukan untuk mainan. Tidak semudah itu berpisah. Apalagi, aku sudah pernah merasakannya. Kalau memang aku dan Nayla ditakdirkan untuk kembali, maka dia harus menerimamu juga."Berlian pasrah saja. Sebenarnya, dia juga ragu. Namun, apa kata Arham, dia akan menurut saja.Setelah beberapa saat, Nayla membuka mata lagi. Yang pertama ia lihat, jelas adalah Arham. Lelaki yang senantiasa menemani. "Mas ...." Nayla langsung menggenggam tangan Arham."Kamu sudah mendingan? Makan dulu, ya? Aku suapin." Arham hendak meraih mangkuk yang ada di atas nakas. "Mas, kenapa dia ada di sini?" Nayla menatap Berlian yang terus menunduk. "Dia, kan, istriku, Nay." Nayla kembali menangis. Ia teringat sesuatu dan masih b
Fitnah yang akhirnya membawa Arham pada ruangan direktur. Di sana, dia berdiri dan menjawab setiap pertanyaan dari atasannya. "Saya harap, masalah kamu tidak menjadikan nilai kerjamu menurun. Kamu harus profesional, Ham. Kamu sudah mendapat nama baik di sini. Karirmu cemerlang tiga tahun berturut-turut.""Baik, Pak. Saya mohon undur diri dulu." Arham segera keluar. Ia tak sampai hati siapa yang telah membuat fitnah tentang dirinya. Ketika melewati beberapa karyawan lain pun, terdengar bisik-bisik. Mereka saling melirik dan berkata lirih. Tak peduli dengan itu, lepas istirahat siang, Arham menjemput putrinya. Ternyata Berlian ada di sana. Wanita muda dengan wajah yang tampak semakin cantik itu duduk bersebelahan dengan Sherina. Mereka langsung menyambut kedatangan Arham. "Kamu datang dengan siapa, Berlian?" "Aku ...." Berlian masih menimbang. Ia ragu ingin mengatakannya. "Katanya kamu enggak tau sekolahan Sherina di mana? Karena kita hanya datang sekali saat itu."Pertanyaan Arh
"Maaf, Sus. Saya ingin melihat siapa laki-laki yang bernama istri saya tadi." Ketika Arham menyebut Nayla masih istrinya, ada perasaan lain yang tiba-tiba muncul di hati Berlian. Namun, ia tak begitu mempermasalahkan."Baik, Pak." Suster membuka tutup kain itu. Tampak wajah pucat yang sudah tak bernyawa lagi.Yang paling terkejut melihat itu adalah Berlian. Dia sangat mengenal laki-laki itu. Air matanya lirih seketika. Ia teringat Yoga. Lelaki paling baik yang pernah ia temui. "Mas Alby." Air mata Berlian pecah. Ia menutup mulutnya dengan tangan. Suster pun segera menutup kembali dan membawa Alby ke ruang pengurusan jenazah. Lalu, akan menghubungi pihak keluarga. Dari sana, Berlian meminta pihak rumah sakit agar dia bisa ikut mengantar jenazah. Arham mengizinkan. Setelah selesai, jenazah langsung dimasukkan ke dalam mobil ambulans lagi. Di dalam sana, Berlian ikut masuk bersama dua lelaki di bagian belakang. Sepanjang perjalanan, tangisnya pecah dan hanya bisa berdo'a untuk pria ya
"Tapi, Om, saya juga punya tanggungan. Saya punya suami.""Lantas, kenapa suami kamu tidak ikut ke sini? Apakah dia menunggu seseorang di rumah sakit? Suami kamu masih cinta sama mantan istrinya?" Berlian semakin merasakan sesak dalam dadanya. Sejauh ini, ia memang melihat kalau Arham memang masih mencintai Nayla. Namun, Berlian sadar diri. Ia tidak berhak cemburu."Om, Ibu di mana? Berlian kangen sama Ibu? Apakah dia pergi juga?" Demi memendam rahasia kehidupannya, ia mengalihkan pembicaraan. "Ibumu sudah pergi juga." Berlian ternganga. Kelopak matanya berkedip begitu cepat untuk menghalau Air mata yang mengaburkan pandangan lagi. Butiran sebiji jagung mulai runtuh dan semakin sering."Dia menitipkan kamu padaku. Dia meminta maaf padamu. Dia juga sudah menjadi lebih baik sebelum kembali pada Tuhannya. Dia sudah bertaubat, Berlian. Sayang, dia tidak bisa bertemu denganmu di saat-saat terakhirnya." Yoga menceritakan semua.Berlian semakin terisak. Besok, ia meminta Yoga agar mengant
"Dia hanya masih belum terbiasa denganmu. Aku yakin, dengan kamu melebihkan rasa sabar, insyaallah dia pasti akan luluh juga. Tutuplah keburukan itu dengan kebaikan." Malam itu mereka habiskan dengan saling mendukung. Berlian sepakat akan mencoba kembali mendekati Sherina. Tak ada kata mudah sebelum dicoba. Mencoba tak cukup hanya sekali, mungkin kesakitan yang akan kamu dapat di awal. Namun, masih ada harapan untuk berhasil di kemudian hari.*Mobil hitam dengan kaca terbuka berhenti di sebuah halaman yang tampak bersih terawat. Namun, tampak sepi tak berpenghuni. Mereka bertiga turun dari mobil. Arham yang pertama mengetuk pintu setelah bel ia tekan dan tak ada yang membukakan."Assalamualaikum, Nay?" Pria itu berteriak. Di belakangnya, ada gadis yang sudah tak sabar ingin memeluk dan bertemu Nayla. Sudah berkali-kali diketuk, pintu tak juga dibuka. "Kok, Mama enggak buka pintu, ya? Mungkin lagi keluar, Sayang," katanya pada gadis kecil itu. Seketika wajah Sherina meredup. Ia ta
"Papa enggak akan marah, Tante. Pokoknya aku mau ketemu Mama." Terus begitu, Sherina menangis terisak-isak. Ia meronta sampai memukuli Berlian. "Sherina, kita tunggu Papa pulang kerja aja, ya? Tante beneran enggak tau rumah Mama kamu. Tante minta maaf, ya?" Berlian juga terus membujuk. Ia mengajak Sherina yang masih labil itu ke kamar lagi. Memeluknya dengan hangat dan menganggap sebagai anak sendiri. Mencoba menceritakan kisah-kisah dirinya yang berjuang sendiri, dengan sepenuh hati Berlian menenangkan hati gadis kecil itu. Mereka merebahkan diri di atas tempat tidur yang dihiasi berbagai macam pernak-pernik anak gadis dengan nuansa pinky.Jejak tangis Sherina masih jelas, tetapi dongeng dan sebagian kisah yang Berlian ceritakan belum selesai. Berlian terus menceritakan kebaikan Nayla dan Arham, hingga gadis kecil itu akhirnya tertidur pulas. *"Tante, katanya kita mau ke rumah Mama? Tante tadi sudah janji." Makan malam baru saja dimulai. Berlian kembali membatalkan suapan nasi
"Mas, anggap ini semua adalah sebuah pelajaran hidup. Sekarang kita harus benar-benar bertaubat. Kita sudah banyak berdosa. Jangan biarkan Sherina melihat dosa-dosa kita. Agar kelak, dia tidak mengulang kesalahan kita.""Kamu benar, Berlian. Kamu benar." Tangis Arham pecah saat itu juga. Mulai saat itu juga, kehidupan mereka berubah. Arham membawa mereka tinggal di rumah baru. Kehidupan berjalan beberapa Minggu dan Sherina kembali sekolah. Akan tetapi, gadis kecil itu tetap takut jika suatu saat tidak ada anak lain yang mau berteman dengannya. "Sherina, kamu sudah siap berangkat? Papa, sudah nungguin di meja depan." Berlian yang baru saja masuk ke dalam kamar gadis itu terkejut melihat Sherina melamun."Tante, aku malu kalau ditanya nanti di sekolah. Kenapa Papa sama Mama pisah." Berlian menghela napas panjang. "Sayang, tidak akan ada yang tahu. Bilang saja seperti biasanya kamu sekolah. Papa dan Mama kamu tetap sama. Tidak ada yang berubah.""Tapi, aku kangen sama Mama. Mama sama
"Maaf, kami akan segera memeriksanya." Suster mencegah pria itu larut dalam suasana. "Saya Papanya, Sus. Dia kemarin dengan Mamanya, tetapi kenapa sekarang jadi begini?" Kebingungan membuat Arham semakin mengganggu jalannya pertolongan dokter. Keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya dan kaki bergetar seperti tak bertulang. Hampir terjatuh tak bisa membayangkan apa saja yang sudah terjadi dengan gadis kecil itu. "Bapak, tunggu di luar ruangan saja. Biar kami periksa," kata suster lagi.Akhirnya, Arham pasrah. Ia hanya bisa menunggu saja. Bayangan tawa pada bibir Sherina terulang dalam ingatan. Ia merasakan begitu sempurna hidupnya dahulu. Akan tetapi, sekarang ujian pernikahan membuatnya tahu, bahwa semua akan berdampak pada anaknya. Arham segera menelpon Nayla. Akan tetapi, sampai beberapakali diulang tak juga diangkat. Pria itu bergumam dengan kesal. Ia meninggalkan pesan beruntun dan makian atas keteledoran Nayla sehingga membuat putri mereka yang harus menanggung semuanya. S
"Berlian!" Arham langsung mendekat dan meminta tolong. Ia langsung menggendong istrinya dan menaikkan ke atas ranjang rumah sakit. *"Apa? Dia sudah menceraikan kamu?" Alby terkejut ketika mereka sudah pergi dari sana dan kini mereka istirahat sejenak di sebuah kafe. Nayla mengangguk. Ia mengusap wajahnya yang sejak tadi basah karena air mata."Benar-benar keterlaluan dia. Bukannya Berlian yang dia ceraikan tapi malah kamu?" Alby menggeleng kepalanya. Tangannya mengepal di atas meja. Mereka tak tahu jika ada gadis kecil yang sudah mulai paham pembahasan orang dewasa. Sherina kecil hanya bisa tertunduk sedih. Ia seperti tidak diperhatikan dan memilih diam-diam pergi dari sana. Sejak tadi, Mamanya hanya sibuk dengan kesedihannya saja. Jalanan begitu ramai, sementara perutnya sudah mulai lapar. Gadis mungil itu memegangi perutnya dan terus berjalan. Ia ingin mencari Papanya lagi. "Lalu, rencana apa lagi yang akan kita lakukan? Kita sudah ketahuan, Nay." Alby meremas kepalanya. Ponse