Panas dingin dalam dada Berlian, gadis dengan wajah manis itu menahan luapan dalam dada. Ia terus berjalan dengan langkah panjangnya. Hampir satu sekolahan tahu, bahwa Ibunya memang wanita malam. Meskipun begitu, Berlian tak sedikitpun membalas ucapan mereka. Ia masuk ke dalam kelas dengan keringat yang sudah membanjiri. Semua itu berasal dari rasa panas dari dalam hati yang tak mampu ia ungkapkan. Beban yang ia tanggung tak sekadar masalah Ibunya saja, melainkan teman-teman sekolah yang setiap hari terus mengoloknya.Gadis itu ingin cepat-cepat lulus dan pergi jauh-jauh dari mereka. Dengan begitu, ia akan bebas dari segala cacian. Ia akan segera membantu Ibunya kerja mencari pekerjaan halal dan tidak menjadi beban.Waktu bergulir begitu cepat. Berlian sengaja pulang terlambat. Agar semua siswa-siswi tak melihatnya pulang ke rumah siapa.Agar mereka tak melihat siapa yang akan menjemputnya atau sebaliknya. Alby tidak akan menemukannya.Setelah gedung sekolahan itu kosong, dan hanya t
"Apa, Bu?" Gadis itu menggeleng kepalanya. "Ibu, pasti bohong. Aku anak Ibu, kan? Jangan berbohong hanya demi sebuah kemaksiatan, Bu! Ibu, akan menyesal!" Gadis itu semakin histeris."Aku tidak berbohong, Berlian. Kau memang bukan anakku. Kau anak yang berada di dalam kardus. Tanya saja sama Bagio kalau tidak percaya. Saat itu, aku baru saja pulang dari club' dan di jalan, aku menemukanmu."Berlian terisak hebat. Ia memegangi kepalanya yang mendadak sakit. "Cukup!" "Lihat saja wajahmu, tidak sedikitpun ada kemiripan denganku. Selama ini aku berlaku kasar karena kau selalu menyusahkan hidupku. Tangismu selalu membuat gendang telingaku hampir pecah saat aku mau tidur. Hanya demi kamu, aku banyak kehilangan job. Dengar baik-baik, Berlian ... kau, bukan darah dagingku! Kau hanya beban dalam hidupku!" Setelah membentak lagi, Lela lantas pergi. Ia masuk mengikuti Johan yang lebih dulu. Namun, saat dia berada di dalam sana, tangisnya mendadak pecah. Teringat bayi merah yang ia dekap saat h
"Sepuluh ribu, Neng." Pria itu terus mengaduk nasi di atas wajah dengan api besar setelah menoleh sekilas."Satu, ya, Bang?" "Oke."Berlian duduk di kursi belakang pria itu. Ia juga haus, tetapi tak punya uang lagi. Uang dari Yoga yang sempat dipaksa untuk diterima, sudah ia bayarkan untuk acara kelulusan. Kedua mata menatap kepulan asap yang berasal dari nasi goreng di atas piring. Siap disantap dengan telur dadar di atasnya. Baru sesuap, tiba-tiba terdengar suara gemuruh di ujung sana. Sontak sang penjual nasi goreng pun bingung kalang kabut.Berlian yang tak tahu apa-apa, kini sudah ditinggal kabur oleh penjual nasi goreng tadi. "Ada apa ini?" Suara bising sepeda motor melaju dengan kecepatan penuh. Suara seretan benda tajam pun memekik telinga. Gadis itu menutup telinganya dengan kedua tangan."Hei!" Salah seorang pria yang baru saja turun dari sepeda motor pun menunjuk sang gadis. Berlian mendelik. Ia bingung harus ke mana. Akhirnya, ia berusaha lari tetapi terus dikejar. Rok
"Om, saya izin keluar sebentar." Waktu telah menunjukkan pukul delapan pagi, sengaja Berlian meminta izin pada Yoga saat Alby berada di kamar atas. Ia tak ingin pria muda itu tahu ke mana ia akan pergi."Kamu mau ke mana, Berl? Apa kamu mau mencari Ibumu lagi? Sudahlah, dia pasti kembali nanti. Siapkan dirimu untuk menghadapi kelulusan." Yoga menutup koran yang tadi membentang di hadapannya. Ia segera berdiri menyamai gadis itu. "Tidak, Om. Berlian akan mencoba ikhlas. Biarlah Allah sendiri yang menuntun ke mana nasib kami terus berjalan. Saya hanya izin sebentar dan insyaallah pulang sebelum tengah hari." Yoga yang menatap iba pada gadis itu, tak bisa menghalangi lagi. "Ya, sudah. Kalau begitu, hati-hati, ya! Apa perlu saya antar? Atau Alby, mungkin?""Tidak, Om. Saya sudah sangat sering merepotkan Mas Alby. Saya berangkat dulu, Om." Gadis itu membungkuk, melewati Yoga yang terus mengikuti langkahnya hingga ke depan pintu. Baru saja pintu tertutup rapat, Alby datang dari lantai a
"Berlian," panggil seorang karyawan lain. Gadis itu menoleh ketika tengah menata keranjang bekas mengusung beberapa bungkus produk. "Iya.""Ini, tolong antar pada Mas-Mas itu!" Karyawan bagian minuman siap saji menunjuk sebuah meja dengan dikelilingi tiga pria tampan berbalut jas kerja."Oke." Gadis itu meraih nampan berisi coffe latte. Ia mulai berjalan mendekati meja yang dimaksud.Dengan santun, ia menyapa pelanggan dan mulai meletakkan cangkir berisi minuman tadi. Namun, saat gadis itu tak memerhatikan salah seorang dari mereka. Ada yang diam-diam menatap dengan lekat."Kamu ...." Salah seorang pria bersuara. Menunjuk Berlian dengan tatapan elangnya. Lalu, dua teman yang lain terkejut saat melihat dua orang yang sepertinya saling kenal.Berlian yang tak kalah kaget pun hanya bisa ternganga. Lidahnya kelu tak bisa mengatakan apapun. Ia teringat saat itu. Ketika Ibunya mengalami penganiayaan dan pria itulah yang menolongnya."Pak ... eh, Mas." Gadis itu bingung hendak memanggil ap
Semua mata melotot, tubuh seketika meremang melihat sang gadis terguling hingga keningnya mengalir darah segar. Sesaat kemudian, Berlian sudah tak sadarkan diri. "Barlian!" teriak Lela. Wanita itu tak sadar telah menjatuhkan tasnya. Berhambur pada sosok yang tergeletak di bawah. Kepala sang gadis langsung ditarik ke atas pangkuan."Berlian!" Yoga ikut mendekat dan melihat keadaan Berlian.Mereka bingung, selang beberapa detik kemudian satpam menghampiri dan menerima sebuah perintah untuk memanggil Pak Darman, sopir pribadi yang kebetulan sudah pulang untuk menyiapkan mobil. Lela terisak dan terus memanggil nama gadis itu. Selama dalam perjalanan ke rumah sakit, Lela terus menangis. Baru kali ini ia melangitkan do'a untuk gadis itu. Seumur hidupnya, baru kali ini ia menyebut nama Tuhannya. Sampai di rumah sakit, Berlian langsung didorong di atas brankar. Mereka berjalan cepat dengan perasaan penuh kekhawatiran. Gadis itu mulai dimasukkan ke dalam ruangan, sementara Lela dan Yoga men
Mereka masuk setelah dipersilakan. "Bagaimana keadaanmu, Berl?" tanya Yoga saat melihat Berlian telah membuka mata. Gadis itu masih terlihat begitu lemah. Ada balutan putih di kepalanya. "Berlian baik-baik saja, Om." Setelah menoleh, gadis itu tak menemukan seseorang yang ia cari. Kedua matanya terus bergerak menelisik semua sudut ruangan. Nihil, Ibunya tak ada.Yoga paham dengan gelagat Berlian, ia segera menghiburnya. "Berlian, Ibumu ada urusan sebentar. Jangan khawatir, di pasti ke sini lagi. Tadi, dia yang mengantarmu ke sini.""Benarkah, Om? Aku kangen sama Ibu." Alby yang tak kuasa mendengar ucapan gadis itu, membalik badan untuk menghalau panasnya kedua mata. Ia juga rindu Ibunya. Pria muda itu mengusap sudut mata, lalu kembali mendekati Berlian."Kamu sabar, ya! Jangan pikirkan apapun. Besok, kamu bisa pulang." Pemuda itu menoleh pada Yoga. Mereka mengulas senyum dan menunggu hari esok.Gadis itu terdiam membayangkan tanggungan. Ia harus kembali kerja dan tak boleh absen se
Alby, pria tampan berperawakan profesional itu terus mengikuti ke mana sang gadis berjalan. Setiap langkah Berlian mendapat tatapan lain dari Alby. "Mas, saya minta Mas Alby pulang duluan. Jangan ikutin saya terus!" Berlian mulai lelah. Mereka berhenti setelah 200 meter berjalan."Tapi, aku enggak bisa biarkan kamu sendirian. Aku harus tau, kamu mau ke mana. Makanya bilang, nanti kuantar." Alby bersikeras. "Aku harus pergi sebentar untuk urusan pribadi. Tolong, Mas Alby mengerti." Pria itu menghela napas panjang. Ada hati yang terasa tersayat untuk mengikuti apa kata sang gadis. "Aku cuman mau memastikan kamu aman, Berl. Lihat wajahmu! Sudah tambah letih begitu.""Aku tidak peduli, Mas. Aku memang apa adanya begini. Tolong, tinggalkan aku!" Berlian bergegas melambai pada sebuah angkot. Ia segera masuk dan meninggalkan pria itu sendirian di sana. Sampai di sini, Alby merasa Berlian memang bukan gadis biasa. Ia harus tahu ke mana gadis itu pergi. Alby berlari menuju mobilnya terpark