Mereka masuk setelah dipersilakan. "Bagaimana keadaanmu, Berl?" tanya Yoga saat melihat Berlian telah membuka mata. Gadis itu masih terlihat begitu lemah. Ada balutan putih di kepalanya. "Berlian baik-baik saja, Om." Setelah menoleh, gadis itu tak menemukan seseorang yang ia cari. Kedua matanya terus bergerak menelisik semua sudut ruangan. Nihil, Ibunya tak ada.Yoga paham dengan gelagat Berlian, ia segera menghiburnya. "Berlian, Ibumu ada urusan sebentar. Jangan khawatir, di pasti ke sini lagi. Tadi, dia yang mengantarmu ke sini.""Benarkah, Om? Aku kangen sama Ibu." Alby yang tak kuasa mendengar ucapan gadis itu, membalik badan untuk menghalau panasnya kedua mata. Ia juga rindu Ibunya. Pria muda itu mengusap sudut mata, lalu kembali mendekati Berlian."Kamu sabar, ya! Jangan pikirkan apapun. Besok, kamu bisa pulang." Pemuda itu menoleh pada Yoga. Mereka mengulas senyum dan menunggu hari esok.Gadis itu terdiam membayangkan tanggungan. Ia harus kembali kerja dan tak boleh absen se
Alby, pria tampan berperawakan profesional itu terus mengikuti ke mana sang gadis berjalan. Setiap langkah Berlian mendapat tatapan lain dari Alby. "Mas, saya minta Mas Alby pulang duluan. Jangan ikutin saya terus!" Berlian mulai lelah. Mereka berhenti setelah 200 meter berjalan."Tapi, aku enggak bisa biarkan kamu sendirian. Aku harus tau, kamu mau ke mana. Makanya bilang, nanti kuantar." Alby bersikeras. "Aku harus pergi sebentar untuk urusan pribadi. Tolong, Mas Alby mengerti." Pria itu menghela napas panjang. Ada hati yang terasa tersayat untuk mengikuti apa kata sang gadis. "Aku cuman mau memastikan kamu aman, Berl. Lihat wajahmu! Sudah tambah letih begitu.""Aku tidak peduli, Mas. Aku memang apa adanya begini. Tolong, tinggalkan aku!" Berlian bergegas melambai pada sebuah angkot. Ia segera masuk dan meninggalkan pria itu sendirian di sana. Sampai di sini, Alby merasa Berlian memang bukan gadis biasa. Ia harus tahu ke mana gadis itu pergi. Alby berlari menuju mobilnya terpark
Keringat mengalir membasahi tubuhnya. Udara sejuk pun merasuk pada sela-sela jilbabnya. Berlian sangat menikmati dan sejenak melepas lelah di pinggir jalan. Ia juga meneguk air dari dalam botol sambil menunggu pesanan nasi goreng siap untuknya. "Berlian!" Gadis itu menoleh dan menghentikan gerakan tangan mengibas panas pada tubuhnya. "Iya, Mas.""Kamu ngapain?" Fawwaz yang memang sengaja setelah pulang kantor lewat jalan yang sama pun mematikan mesin mobilnya. Ia segera turun menghampiri Berlian."Makan." Gadis itu meringis kuda. "Boleh, aku gabung? Kebetulan juga aku belum makan." Pria itu tersenyum."Boleh. Masa, enggak." Berlian tersenyum.Mereka memulai obrolan ringan. Mengenai tempat tinggalnya sekarang, Berlian tak mau memberitahu. Apalagi memang sudah punya rencana untuk mencari kost-an sendiri. Selesai makan, Berlian tak diizinkan untuk membayar. Semua telah dibayarkan oleh pemuda itu. "Jangan, Mas. Biar saya saja yang bayar. Saya ada uang, kok." Berlian menolak, tetapi pr
"Ibu saya tidak bisa datang, Bu. Beliau sedang sakit di rumah." Berlian susah payah melukis senyuman. "Apakah kamu baik-baik saja?" Gurunya bertanya lagi. Wanita itu menatap lekat wajah pucat sang gadis. "Ya, Bu. Saya baik-baik saja." Tiba-tiba rasa panas yang ditimbulkan dari dalam mata tak mampu ia tahan. Napasnya mulai sesak menahan beban menekan dada. Pada akhirnya, butiran bening sebening mutiara itu merambat membasahi pipi. Berlian segera mengusapnya. Duduk di bangku dengan Bu guru, Berlian mendapat pelukan layaknya orangtuanya sendiri. Ia kembali meluapkan perasaan yang begitu perih. "Kamu yang sabar, ya, Berl. Ibu kamu pasti sebentar lagi akan sehat lagi. Tidak apa-apa, tak bisa datang ke sini. Ibu akan mewakilkan sebagai orangtua kamu." "Makasih, Bu." Lepas menerima hasil belajarnya selama ini di tempat itu, Berlian keluar dengan sebuah berkas di tangan. Jalan yang tak tentu tujuan itu membawanya terus menyusuri trotoar. Sampai di depan kontrakan baru, Berlian melihat p
Lelaki dengan kaus santai berwarna merah itu berjalan mendekat. Setelah sampai, kedua tangan Alby langsung menarik tubuh Berlian ke dalam pelukannya. Hal itu membuat Berlian tak bisa berkutik. Gadis itu sudah berusaha melepaskan, tetapi Alby teramat kencang memeluknya."Mas Alby, lepaskan saya!" "Kamu dari mana saja? Aku mencarimu ke mana-mana. Jangan pergi lagi, Berlian!" Alby mulai merenggangkan kedua tangannya."Saya ke sini untuk berpamitan, Mas. Saya sudah lulus dan sudah diterima kerja. Saya juga sudah menyewa kontrakan. Terima kasih atas semua kebaikan Mas Alby dan Om Yoga."Alby menggeleng sementara Yoga hanya bisa menyaksikan putranya melepas kepergian gadis itu. Berlian melewati mereka setelah semua barang-barang dikemas dalam tas ukuran sedang. Alby mencegah Berlian lagi. Tas tenteng di tangan kanan sang gadis ia cekal. "Berlian, biarkan aku mengantarmu. Setidaknya, aku bisa melihat keadaanmu nanti karena tau di mana kamu tinggal sekarang.""Maaf, Mas. Biarkan aku pergi
"Kenapa? Galau?" Pria yang masih lengkap dengan jas kerja itu menatap Alby yang tengah melamun. "Biar kutebak, pasti lagi patah hati.""Tau aja," balas Alby setengah malas."Sama siapa? Perasaan, lu, enggak pernah dekat sama cewek." Dua pria itu sengaja duduk di sebuah kedai. Menikmati kopi yang terlihat mengepulkan asap, setelah lelah dengan aktivitas kantor."Ya, dia memang gadis yang berbeda. Aku baru kali ini bertemu dengan gadis polos seperti dia." Masih dengan tatapan menerawang jauh, Alby mengungkap isi hatinya. "Terus, apa yang bikin kamu sekarang begini? Kenapa, enggak langsung dilamar aja kalau udah suka?" Pria di depan Alby bertanya lagi. Ia mulai menyesap perlahan minumannya."Masalahnya, aku enggak tau perasaan dia ke aku. Dia menghindar dengan alasan yang cukup membuatku mengerti." "Kalau gitu, sabar aja dulu." Sepupu Alby itu menarik gelasnya lalu meneguk setengah isinya."Nah, lu, gimana? Lamaran waktu itu, jadi?" Alby ganti bertanya."Jadi, tapi semua itu keingina
"Kenapa dia ada di sini?" gumam gadis itu. Ia segera melangkah diam-diam dan menyerobot ke dalam untuk memulai kerja. Setelah meletakkan tasnya di dalam dan mulai aktivitas seperti biasa, kedua mata Berlian terus memastikan, jangan sampai Alby melihatnya. "Berlian!" Gadis itu terlonjak akibat tepukan di pundak. Ia menoleh sambil memegangi dada yang hampir saja copot jantungnya."Eh, Pak Fawwaz." Gadis itu menunduk. "Ada apa, Pak?" "Kamu jangan ke mana-mana nanti siang! Aku ada perlu sama kamu. Mau kenalin kamu sama sepupu aku sekalian makan siang." Pria bersahaja itu mengulas senyuman. Respon kedua mata Berlian tak membuat Fawwaz mengurungkan niatnya. Meski ia tahu, pasti Berlian malu-malu dan bisa saja tak mau. Pria itu segera pergi dari sana tanpa menunggu jawaban setuju. Saat Berlian sedang fokus di bagian rak kebutuhan dapur dan tak memperhatikan sisi ujung lorong itu, seorang pria juga tengah iseng berkeliling melihat berbagai macam produk yang dijual di sana. Satu tangan Ber
Berlian kembali bekerja setelah Fawwaz pergi. Setelah jam makan siang tiba, kini gilirannya untuk istirahat sejenak. Namun, istirahatnya bukan untuk waktu yang lama. Hanya 15 menit dan ia harus kembali bekerja.Berlian mengetuk pintu ruangan Fawwaz di lantai dua. Setelah terdengar suara perintah untuk masuk, ia segera membuka pintunya."Ada apa, ya, Pak?" Fawwaz tersenyum. "Enggak usah kaku begitu. Oh, ya, aku mau ajak kamu makan siang." Fawwaz mulai berdiri. Ia siap untuk menuju ke tempat yang sudah ia pikirkan sejak tadi."Tapi, Pak ... saya harus kembali kerja sepuluh menit lagi. Saya juga sudah bawa bekal," bohong gadis itu. Ia tak nyaman berduaan dengan seorang pria."Aku atasan kamu, Berl. Manajer kamu enggak bakal marah kalau aku yang ajak. Ya, kalau kamu diajak sama yang lain, baru aku yang marah." Pria itu tertawa. Terpaksa gadis itu mengikuti ke mana langkah Fawwaz mengajaknya. Baru setengah jalan dan hendak memasuki mobil, Fawwaz menerima panggilan. "Hallo, Pa?" Pria ber