"Ibu saya tidak bisa datang, Bu. Beliau sedang sakit di rumah." Berlian susah payah melukis senyuman. "Apakah kamu baik-baik saja?" Gurunya bertanya lagi. Wanita itu menatap lekat wajah pucat sang gadis. "Ya, Bu. Saya baik-baik saja." Tiba-tiba rasa panas yang ditimbulkan dari dalam mata tak mampu ia tahan. Napasnya mulai sesak menahan beban menekan dada. Pada akhirnya, butiran bening sebening mutiara itu merambat membasahi pipi. Berlian segera mengusapnya. Duduk di bangku dengan Bu guru, Berlian mendapat pelukan layaknya orangtuanya sendiri. Ia kembali meluapkan perasaan yang begitu perih. "Kamu yang sabar, ya, Berl. Ibu kamu pasti sebentar lagi akan sehat lagi. Tidak apa-apa, tak bisa datang ke sini. Ibu akan mewakilkan sebagai orangtua kamu." "Makasih, Bu." Lepas menerima hasil belajarnya selama ini di tempat itu, Berlian keluar dengan sebuah berkas di tangan. Jalan yang tak tentu tujuan itu membawanya terus menyusuri trotoar. Sampai di depan kontrakan baru, Berlian melihat p
Lelaki dengan kaus santai berwarna merah itu berjalan mendekat. Setelah sampai, kedua tangan Alby langsung menarik tubuh Berlian ke dalam pelukannya. Hal itu membuat Berlian tak bisa berkutik. Gadis itu sudah berusaha melepaskan, tetapi Alby teramat kencang memeluknya."Mas Alby, lepaskan saya!" "Kamu dari mana saja? Aku mencarimu ke mana-mana. Jangan pergi lagi, Berlian!" Alby mulai merenggangkan kedua tangannya."Saya ke sini untuk berpamitan, Mas. Saya sudah lulus dan sudah diterima kerja. Saya juga sudah menyewa kontrakan. Terima kasih atas semua kebaikan Mas Alby dan Om Yoga."Alby menggeleng sementara Yoga hanya bisa menyaksikan putranya melepas kepergian gadis itu. Berlian melewati mereka setelah semua barang-barang dikemas dalam tas ukuran sedang. Alby mencegah Berlian lagi. Tas tenteng di tangan kanan sang gadis ia cekal. "Berlian, biarkan aku mengantarmu. Setidaknya, aku bisa melihat keadaanmu nanti karena tau di mana kamu tinggal sekarang.""Maaf, Mas. Biarkan aku pergi
"Kenapa? Galau?" Pria yang masih lengkap dengan jas kerja itu menatap Alby yang tengah melamun. "Biar kutebak, pasti lagi patah hati.""Tau aja," balas Alby setengah malas."Sama siapa? Perasaan, lu, enggak pernah dekat sama cewek." Dua pria itu sengaja duduk di sebuah kedai. Menikmati kopi yang terlihat mengepulkan asap, setelah lelah dengan aktivitas kantor."Ya, dia memang gadis yang berbeda. Aku baru kali ini bertemu dengan gadis polos seperti dia." Masih dengan tatapan menerawang jauh, Alby mengungkap isi hatinya. "Terus, apa yang bikin kamu sekarang begini? Kenapa, enggak langsung dilamar aja kalau udah suka?" Pria di depan Alby bertanya lagi. Ia mulai menyesap perlahan minumannya."Masalahnya, aku enggak tau perasaan dia ke aku. Dia menghindar dengan alasan yang cukup membuatku mengerti." "Kalau gitu, sabar aja dulu." Sepupu Alby itu menarik gelasnya lalu meneguk setengah isinya."Nah, lu, gimana? Lamaran waktu itu, jadi?" Alby ganti bertanya."Jadi, tapi semua itu keingina
"Kenapa dia ada di sini?" gumam gadis itu. Ia segera melangkah diam-diam dan menyerobot ke dalam untuk memulai kerja. Setelah meletakkan tasnya di dalam dan mulai aktivitas seperti biasa, kedua mata Berlian terus memastikan, jangan sampai Alby melihatnya. "Berlian!" Gadis itu terlonjak akibat tepukan di pundak. Ia menoleh sambil memegangi dada yang hampir saja copot jantungnya."Eh, Pak Fawwaz." Gadis itu menunduk. "Ada apa, Pak?" "Kamu jangan ke mana-mana nanti siang! Aku ada perlu sama kamu. Mau kenalin kamu sama sepupu aku sekalian makan siang." Pria bersahaja itu mengulas senyuman. Respon kedua mata Berlian tak membuat Fawwaz mengurungkan niatnya. Meski ia tahu, pasti Berlian malu-malu dan bisa saja tak mau. Pria itu segera pergi dari sana tanpa menunggu jawaban setuju. Saat Berlian sedang fokus di bagian rak kebutuhan dapur dan tak memperhatikan sisi ujung lorong itu, seorang pria juga tengah iseng berkeliling melihat berbagai macam produk yang dijual di sana. Satu tangan Ber
Berlian kembali bekerja setelah Fawwaz pergi. Setelah jam makan siang tiba, kini gilirannya untuk istirahat sejenak. Namun, istirahatnya bukan untuk waktu yang lama. Hanya 15 menit dan ia harus kembali bekerja.Berlian mengetuk pintu ruangan Fawwaz di lantai dua. Setelah terdengar suara perintah untuk masuk, ia segera membuka pintunya."Ada apa, ya, Pak?" Fawwaz tersenyum. "Enggak usah kaku begitu. Oh, ya, aku mau ajak kamu makan siang." Fawwaz mulai berdiri. Ia siap untuk menuju ke tempat yang sudah ia pikirkan sejak tadi."Tapi, Pak ... saya harus kembali kerja sepuluh menit lagi. Saya juga sudah bawa bekal," bohong gadis itu. Ia tak nyaman berduaan dengan seorang pria."Aku atasan kamu, Berl. Manajer kamu enggak bakal marah kalau aku yang ajak. Ya, kalau kamu diajak sama yang lain, baru aku yang marah." Pria itu tertawa. Terpaksa gadis itu mengikuti ke mana langkah Fawwaz mengajaknya. Baru setengah jalan dan hendak memasuki mobil, Fawwaz menerima panggilan. "Hallo, Pa?" Pria ber
Rintik hujan membasahi bumi, gadis manis dengan lesung di pipi termangu menatap di sebalik kaca jendela. Menuangkan rasa sakit melebihi patah hati. Wajah sembab berbalut dengan air mata terus menelan rona manis, Berlian menoleh pada suara rintihan."Bu. Ibu, sudah sadar?" Berlian mendekati Lela. Selang infus tertancap kuat dan cup oksigen membuat Lela tak bisa berbicara jelas.Gadis itu sendirian menunggu Lela karena Yoga mendadak ada urusan. Berlian menunggu sebuah kalimat yang nampaknya ingin Lela sampaikan. "Ibu, istirahat saja. Berlian akan jagain. Tadi, Om Yoga yang bantuin bawa Ibu ke sini. Tapi, sekarang sudah pergi lagi karena urusan pribadi."Semalam suntuk, gadis itu tidur di pinggir ranjang dengan kepala bertumpu tangan. Ia menggenggam tangan Ibunya penuh kasih. Ketika mendengar azan Subuh, Berlian bergegas bangun. Ia menulis di sebuah kertas dan meninggalkan di dekat Lela. Sebuah pesan berpamitan untuk mencari nafkah.Lepas menunaikan kewajiban Subuh, ia pulang di antar
"Tidak apa-apa, Pak. Saya mengerti. Saya juga paham, tadinya saya ragu. Tapi, terlanjur tidak punya jalan lagi." "Ya, sudah, kamu kembali kerja saja." Pria itu lantas pergi dari hadapan Berlian. Hingga hari mulai gelap karena mendung dan petir menyambar-nyambar, Berlian baru saja keluar dari supermarket itu. Ia memayungi dirinya sendiri dengan tas yang biasa ia pakai ke mana-mana.Menunggu angkot tak kunjung datang, akhirnya harus berjalan sekian meter sambil menoleh belakang. Mana tahu, ada yang lewat memberikan tumpangan.Sampai juga akhirnya di rumah sakit, saat menyusuri lorong, Berlian melihat Yoga sudah duduk di depan ruangan Ibunya. Gadis itu mendadak berhenti dan menimbang. "Berlian, sini!" Yoga yang tak sengaja menoleh, akhirnya melihat sang gadis. Pria itu begitu iba dan kasihan dengan keadaan gadis itu."Om. Sejak kapan, Om, ada di sini?" tanya gadis itu ketika sudah sampai di dekat Yoga."Udah dari tadi. Kenapa kamu tidak bilang kalau Ibumu harus melakukan beberapa peme
Hujan lebat disertai guntur menggema di sebagian wilayah dengan merata. Kilatan putih yang terdengar memekik telinga seperti cambuk yang kini mengenai hati gadis itu. Ia menangis tanpa ada seorangpun yang tahu kecuali pelaku dan dirinya sendiri. Berlian merintih kesakitan dan tak berdaya lagi. Hanya suara hati yang terdengar oleh Tuhan. Ia ingin mati saja kalau boleh. Ia ingin segera hidup tenang di alam sana. Air mata seolah habis, yang tersisa hanya luka menganga.Pria itu membenahi kembali pakaiannya. Ia sempat menutupi berlian dengan jilbab yang sempat terhempas pada bagian bawah. Pakaian gadis itu sudah compang-camping. Satu hal saja yang ia inginkan, yaitu kematian. Kedua matanya mulai terpejam dan tak ingin membuka lagi. Suara yang kembali terdengar tak pernah lagi ia hiraukan. Ia benar-benar tenggelam dalam kehancuran."Tolong!" "Tolong!" Teriakan kencang di keheningan malam membuat petugas jaga malam pun tak mendengar. Hujan masih membekukan anak manusia yang enggan kelua
Terusan berlia"Bagaimana aku tidak memikirkannya? Aku menikah dengan lelaki beristri. Yang sekarang telah berpisah tapi masih sama-sama masih saling mencintai. Aku tidak bisa begini terus, Mas. Kalian kembalilah. Aku akan pergi jauh-jauh dari kehidupan kalian.""Sudah kubilang, pernikahan bukan untuk mainan. Tidak semudah itu berpisah. Apalagi, aku sudah pernah merasakannya. Kalau memang aku dan Nayla ditakdirkan untuk kembali, maka dia harus menerimamu juga."Berlian pasrah saja. Sebenarnya, dia juga ragu. Namun, apa kata Arham, dia akan menurut saja.Setelah beberapa saat, Nayla membuka mata lagi. Yang pertama ia lihat, jelas adalah Arham. Lelaki yang senantiasa menemani. "Mas ...." Nayla langsung menggenggam tangan Arham."Kamu sudah mendingan? Makan dulu, ya? Aku suapin." Arham hendak meraih mangkuk yang ada di atas nakas. "Mas, kenapa dia ada di sini?" Nayla menatap Berlian yang terus menunduk. "Dia, kan, istriku, Nay." Nayla kembali menangis. Ia teringat sesuatu dan masih b
Fitnah yang akhirnya membawa Arham pada ruangan direktur. Di sana, dia berdiri dan menjawab setiap pertanyaan dari atasannya. "Saya harap, masalah kamu tidak menjadikan nilai kerjamu menurun. Kamu harus profesional, Ham. Kamu sudah mendapat nama baik di sini. Karirmu cemerlang tiga tahun berturut-turut.""Baik, Pak. Saya mohon undur diri dulu." Arham segera keluar. Ia tak sampai hati siapa yang telah membuat fitnah tentang dirinya. Ketika melewati beberapa karyawan lain pun, terdengar bisik-bisik. Mereka saling melirik dan berkata lirih. Tak peduli dengan itu, lepas istirahat siang, Arham menjemput putrinya. Ternyata Berlian ada di sana. Wanita muda dengan wajah yang tampak semakin cantik itu duduk bersebelahan dengan Sherina. Mereka langsung menyambut kedatangan Arham. "Kamu datang dengan siapa, Berlian?" "Aku ...." Berlian masih menimbang. Ia ragu ingin mengatakannya. "Katanya kamu enggak tau sekolahan Sherina di mana? Karena kita hanya datang sekali saat itu."Pertanyaan Arh
"Maaf, Sus. Saya ingin melihat siapa laki-laki yang bernama istri saya tadi." Ketika Arham menyebut Nayla masih istrinya, ada perasaan lain yang tiba-tiba muncul di hati Berlian. Namun, ia tak begitu mempermasalahkan."Baik, Pak." Suster membuka tutup kain itu. Tampak wajah pucat yang sudah tak bernyawa lagi.Yang paling terkejut melihat itu adalah Berlian. Dia sangat mengenal laki-laki itu. Air matanya lirih seketika. Ia teringat Yoga. Lelaki paling baik yang pernah ia temui. "Mas Alby." Air mata Berlian pecah. Ia menutup mulutnya dengan tangan. Suster pun segera menutup kembali dan membawa Alby ke ruang pengurusan jenazah. Lalu, akan menghubungi pihak keluarga. Dari sana, Berlian meminta pihak rumah sakit agar dia bisa ikut mengantar jenazah. Arham mengizinkan. Setelah selesai, jenazah langsung dimasukkan ke dalam mobil ambulans lagi. Di dalam sana, Berlian ikut masuk bersama dua lelaki di bagian belakang. Sepanjang perjalanan, tangisnya pecah dan hanya bisa berdo'a untuk pria ya
"Tapi, Om, saya juga punya tanggungan. Saya punya suami.""Lantas, kenapa suami kamu tidak ikut ke sini? Apakah dia menunggu seseorang di rumah sakit? Suami kamu masih cinta sama mantan istrinya?" Berlian semakin merasakan sesak dalam dadanya. Sejauh ini, ia memang melihat kalau Arham memang masih mencintai Nayla. Namun, Berlian sadar diri. Ia tidak berhak cemburu."Om, Ibu di mana? Berlian kangen sama Ibu? Apakah dia pergi juga?" Demi memendam rahasia kehidupannya, ia mengalihkan pembicaraan. "Ibumu sudah pergi juga." Berlian ternganga. Kelopak matanya berkedip begitu cepat untuk menghalau Air mata yang mengaburkan pandangan lagi. Butiran sebiji jagung mulai runtuh dan semakin sering."Dia menitipkan kamu padaku. Dia meminta maaf padamu. Dia juga sudah menjadi lebih baik sebelum kembali pada Tuhannya. Dia sudah bertaubat, Berlian. Sayang, dia tidak bisa bertemu denganmu di saat-saat terakhirnya." Yoga menceritakan semua.Berlian semakin terisak. Besok, ia meminta Yoga agar mengant
"Dia hanya masih belum terbiasa denganmu. Aku yakin, dengan kamu melebihkan rasa sabar, insyaallah dia pasti akan luluh juga. Tutuplah keburukan itu dengan kebaikan." Malam itu mereka habiskan dengan saling mendukung. Berlian sepakat akan mencoba kembali mendekati Sherina. Tak ada kata mudah sebelum dicoba. Mencoba tak cukup hanya sekali, mungkin kesakitan yang akan kamu dapat di awal. Namun, masih ada harapan untuk berhasil di kemudian hari.*Mobil hitam dengan kaca terbuka berhenti di sebuah halaman yang tampak bersih terawat. Namun, tampak sepi tak berpenghuni. Mereka bertiga turun dari mobil. Arham yang pertama mengetuk pintu setelah bel ia tekan dan tak ada yang membukakan."Assalamualaikum, Nay?" Pria itu berteriak. Di belakangnya, ada gadis yang sudah tak sabar ingin memeluk dan bertemu Nayla. Sudah berkali-kali diketuk, pintu tak juga dibuka. "Kok, Mama enggak buka pintu, ya? Mungkin lagi keluar, Sayang," katanya pada gadis kecil itu. Seketika wajah Sherina meredup. Ia ta
"Papa enggak akan marah, Tante. Pokoknya aku mau ketemu Mama." Terus begitu, Sherina menangis terisak-isak. Ia meronta sampai memukuli Berlian. "Sherina, kita tunggu Papa pulang kerja aja, ya? Tante beneran enggak tau rumah Mama kamu. Tante minta maaf, ya?" Berlian juga terus membujuk. Ia mengajak Sherina yang masih labil itu ke kamar lagi. Memeluknya dengan hangat dan menganggap sebagai anak sendiri. Mencoba menceritakan kisah-kisah dirinya yang berjuang sendiri, dengan sepenuh hati Berlian menenangkan hati gadis kecil itu. Mereka merebahkan diri di atas tempat tidur yang dihiasi berbagai macam pernak-pernik anak gadis dengan nuansa pinky.Jejak tangis Sherina masih jelas, tetapi dongeng dan sebagian kisah yang Berlian ceritakan belum selesai. Berlian terus menceritakan kebaikan Nayla dan Arham, hingga gadis kecil itu akhirnya tertidur pulas. *"Tante, katanya kita mau ke rumah Mama? Tante tadi sudah janji." Makan malam baru saja dimulai. Berlian kembali membatalkan suapan nasi
"Mas, anggap ini semua adalah sebuah pelajaran hidup. Sekarang kita harus benar-benar bertaubat. Kita sudah banyak berdosa. Jangan biarkan Sherina melihat dosa-dosa kita. Agar kelak, dia tidak mengulang kesalahan kita.""Kamu benar, Berlian. Kamu benar." Tangis Arham pecah saat itu juga. Mulai saat itu juga, kehidupan mereka berubah. Arham membawa mereka tinggal di rumah baru. Kehidupan berjalan beberapa Minggu dan Sherina kembali sekolah. Akan tetapi, gadis kecil itu tetap takut jika suatu saat tidak ada anak lain yang mau berteman dengannya. "Sherina, kamu sudah siap berangkat? Papa, sudah nungguin di meja depan." Berlian yang baru saja masuk ke dalam kamar gadis itu terkejut melihat Sherina melamun."Tante, aku malu kalau ditanya nanti di sekolah. Kenapa Papa sama Mama pisah." Berlian menghela napas panjang. "Sayang, tidak akan ada yang tahu. Bilang saja seperti biasanya kamu sekolah. Papa dan Mama kamu tetap sama. Tidak ada yang berubah.""Tapi, aku kangen sama Mama. Mama sama
"Maaf, kami akan segera memeriksanya." Suster mencegah pria itu larut dalam suasana. "Saya Papanya, Sus. Dia kemarin dengan Mamanya, tetapi kenapa sekarang jadi begini?" Kebingungan membuat Arham semakin mengganggu jalannya pertolongan dokter. Keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya dan kaki bergetar seperti tak bertulang. Hampir terjatuh tak bisa membayangkan apa saja yang sudah terjadi dengan gadis kecil itu. "Bapak, tunggu di luar ruangan saja. Biar kami periksa," kata suster lagi.Akhirnya, Arham pasrah. Ia hanya bisa menunggu saja. Bayangan tawa pada bibir Sherina terulang dalam ingatan. Ia merasakan begitu sempurna hidupnya dahulu. Akan tetapi, sekarang ujian pernikahan membuatnya tahu, bahwa semua akan berdampak pada anaknya. Arham segera menelpon Nayla. Akan tetapi, sampai beberapakali diulang tak juga diangkat. Pria itu bergumam dengan kesal. Ia meninggalkan pesan beruntun dan makian atas keteledoran Nayla sehingga membuat putri mereka yang harus menanggung semuanya. S
"Berlian!" Arham langsung mendekat dan meminta tolong. Ia langsung menggendong istrinya dan menaikkan ke atas ranjang rumah sakit. *"Apa? Dia sudah menceraikan kamu?" Alby terkejut ketika mereka sudah pergi dari sana dan kini mereka istirahat sejenak di sebuah kafe. Nayla mengangguk. Ia mengusap wajahnya yang sejak tadi basah karena air mata."Benar-benar keterlaluan dia. Bukannya Berlian yang dia ceraikan tapi malah kamu?" Alby menggeleng kepalanya. Tangannya mengepal di atas meja. Mereka tak tahu jika ada gadis kecil yang sudah mulai paham pembahasan orang dewasa. Sherina kecil hanya bisa tertunduk sedih. Ia seperti tidak diperhatikan dan memilih diam-diam pergi dari sana. Sejak tadi, Mamanya hanya sibuk dengan kesedihannya saja. Jalanan begitu ramai, sementara perutnya sudah mulai lapar. Gadis mungil itu memegangi perutnya dan terus berjalan. Ia ingin mencari Papanya lagi. "Lalu, rencana apa lagi yang akan kita lakukan? Kita sudah ketahuan, Nay." Alby meremas kepalanya. Ponse