"Berlian," panggil seorang karyawan lain. Gadis itu menoleh ketika tengah menata keranjang bekas mengusung beberapa bungkus produk. "Iya.""Ini, tolong antar pada Mas-Mas itu!" Karyawan bagian minuman siap saji menunjuk sebuah meja dengan dikelilingi tiga pria tampan berbalut jas kerja."Oke." Gadis itu meraih nampan berisi coffe latte. Ia mulai berjalan mendekati meja yang dimaksud.Dengan santun, ia menyapa pelanggan dan mulai meletakkan cangkir berisi minuman tadi. Namun, saat gadis itu tak memerhatikan salah seorang dari mereka. Ada yang diam-diam menatap dengan lekat."Kamu ...." Salah seorang pria bersuara. Menunjuk Berlian dengan tatapan elangnya. Lalu, dua teman yang lain terkejut saat melihat dua orang yang sepertinya saling kenal.Berlian yang tak kalah kaget pun hanya bisa ternganga. Lidahnya kelu tak bisa mengatakan apapun. Ia teringat saat itu. Ketika Ibunya mengalami penganiayaan dan pria itulah yang menolongnya."Pak ... eh, Mas." Gadis itu bingung hendak memanggil ap
Semua mata melotot, tubuh seketika meremang melihat sang gadis terguling hingga keningnya mengalir darah segar. Sesaat kemudian, Berlian sudah tak sadarkan diri. "Barlian!" teriak Lela. Wanita itu tak sadar telah menjatuhkan tasnya. Berhambur pada sosok yang tergeletak di bawah. Kepala sang gadis langsung ditarik ke atas pangkuan."Berlian!" Yoga ikut mendekat dan melihat keadaan Berlian.Mereka bingung, selang beberapa detik kemudian satpam menghampiri dan menerima sebuah perintah untuk memanggil Pak Darman, sopir pribadi yang kebetulan sudah pulang untuk menyiapkan mobil. Lela terisak dan terus memanggil nama gadis itu. Selama dalam perjalanan ke rumah sakit, Lela terus menangis. Baru kali ini ia melangitkan do'a untuk gadis itu. Seumur hidupnya, baru kali ini ia menyebut nama Tuhannya. Sampai di rumah sakit, Berlian langsung didorong di atas brankar. Mereka berjalan cepat dengan perasaan penuh kekhawatiran. Gadis itu mulai dimasukkan ke dalam ruangan, sementara Lela dan Yoga men
Mereka masuk setelah dipersilakan. "Bagaimana keadaanmu, Berl?" tanya Yoga saat melihat Berlian telah membuka mata. Gadis itu masih terlihat begitu lemah. Ada balutan putih di kepalanya. "Berlian baik-baik saja, Om." Setelah menoleh, gadis itu tak menemukan seseorang yang ia cari. Kedua matanya terus bergerak menelisik semua sudut ruangan. Nihil, Ibunya tak ada.Yoga paham dengan gelagat Berlian, ia segera menghiburnya. "Berlian, Ibumu ada urusan sebentar. Jangan khawatir, di pasti ke sini lagi. Tadi, dia yang mengantarmu ke sini.""Benarkah, Om? Aku kangen sama Ibu." Alby yang tak kuasa mendengar ucapan gadis itu, membalik badan untuk menghalau panasnya kedua mata. Ia juga rindu Ibunya. Pria muda itu mengusap sudut mata, lalu kembali mendekati Berlian."Kamu sabar, ya! Jangan pikirkan apapun. Besok, kamu bisa pulang." Pemuda itu menoleh pada Yoga. Mereka mengulas senyum dan menunggu hari esok.Gadis itu terdiam membayangkan tanggungan. Ia harus kembali kerja dan tak boleh absen se
Alby, pria tampan berperawakan profesional itu terus mengikuti ke mana sang gadis berjalan. Setiap langkah Berlian mendapat tatapan lain dari Alby. "Mas, saya minta Mas Alby pulang duluan. Jangan ikutin saya terus!" Berlian mulai lelah. Mereka berhenti setelah 200 meter berjalan."Tapi, aku enggak bisa biarkan kamu sendirian. Aku harus tau, kamu mau ke mana. Makanya bilang, nanti kuantar." Alby bersikeras. "Aku harus pergi sebentar untuk urusan pribadi. Tolong, Mas Alby mengerti." Pria itu menghela napas panjang. Ada hati yang terasa tersayat untuk mengikuti apa kata sang gadis. "Aku cuman mau memastikan kamu aman, Berl. Lihat wajahmu! Sudah tambah letih begitu.""Aku tidak peduli, Mas. Aku memang apa adanya begini. Tolong, tinggalkan aku!" Berlian bergegas melambai pada sebuah angkot. Ia segera masuk dan meninggalkan pria itu sendirian di sana. Sampai di sini, Alby merasa Berlian memang bukan gadis biasa. Ia harus tahu ke mana gadis itu pergi. Alby berlari menuju mobilnya terpark
Keringat mengalir membasahi tubuhnya. Udara sejuk pun merasuk pada sela-sela jilbabnya. Berlian sangat menikmati dan sejenak melepas lelah di pinggir jalan. Ia juga meneguk air dari dalam botol sambil menunggu pesanan nasi goreng siap untuknya. "Berlian!" Gadis itu menoleh dan menghentikan gerakan tangan mengibas panas pada tubuhnya. "Iya, Mas.""Kamu ngapain?" Fawwaz yang memang sengaja setelah pulang kantor lewat jalan yang sama pun mematikan mesin mobilnya. Ia segera turun menghampiri Berlian."Makan." Gadis itu meringis kuda. "Boleh, aku gabung? Kebetulan juga aku belum makan." Pria itu tersenyum."Boleh. Masa, enggak." Berlian tersenyum.Mereka memulai obrolan ringan. Mengenai tempat tinggalnya sekarang, Berlian tak mau memberitahu. Apalagi memang sudah punya rencana untuk mencari kost-an sendiri. Selesai makan, Berlian tak diizinkan untuk membayar. Semua telah dibayarkan oleh pemuda itu. "Jangan, Mas. Biar saya saja yang bayar. Saya ada uang, kok." Berlian menolak, tetapi pr
"Ibu saya tidak bisa datang, Bu. Beliau sedang sakit di rumah." Berlian susah payah melukis senyuman. "Apakah kamu baik-baik saja?" Gurunya bertanya lagi. Wanita itu menatap lekat wajah pucat sang gadis. "Ya, Bu. Saya baik-baik saja." Tiba-tiba rasa panas yang ditimbulkan dari dalam mata tak mampu ia tahan. Napasnya mulai sesak menahan beban menekan dada. Pada akhirnya, butiran bening sebening mutiara itu merambat membasahi pipi. Berlian segera mengusapnya. Duduk di bangku dengan Bu guru, Berlian mendapat pelukan layaknya orangtuanya sendiri. Ia kembali meluapkan perasaan yang begitu perih. "Kamu yang sabar, ya, Berl. Ibu kamu pasti sebentar lagi akan sehat lagi. Tidak apa-apa, tak bisa datang ke sini. Ibu akan mewakilkan sebagai orangtua kamu." "Makasih, Bu." Lepas menerima hasil belajarnya selama ini di tempat itu, Berlian keluar dengan sebuah berkas di tangan. Jalan yang tak tentu tujuan itu membawanya terus menyusuri trotoar. Sampai di depan kontrakan baru, Berlian melihat p
Lelaki dengan kaus santai berwarna merah itu berjalan mendekat. Setelah sampai, kedua tangan Alby langsung menarik tubuh Berlian ke dalam pelukannya. Hal itu membuat Berlian tak bisa berkutik. Gadis itu sudah berusaha melepaskan, tetapi Alby teramat kencang memeluknya."Mas Alby, lepaskan saya!" "Kamu dari mana saja? Aku mencarimu ke mana-mana. Jangan pergi lagi, Berlian!" Alby mulai merenggangkan kedua tangannya."Saya ke sini untuk berpamitan, Mas. Saya sudah lulus dan sudah diterima kerja. Saya juga sudah menyewa kontrakan. Terima kasih atas semua kebaikan Mas Alby dan Om Yoga."Alby menggeleng sementara Yoga hanya bisa menyaksikan putranya melepas kepergian gadis itu. Berlian melewati mereka setelah semua barang-barang dikemas dalam tas ukuran sedang. Alby mencegah Berlian lagi. Tas tenteng di tangan kanan sang gadis ia cekal. "Berlian, biarkan aku mengantarmu. Setidaknya, aku bisa melihat keadaanmu nanti karena tau di mana kamu tinggal sekarang.""Maaf, Mas. Biarkan aku pergi
"Kenapa? Galau?" Pria yang masih lengkap dengan jas kerja itu menatap Alby yang tengah melamun. "Biar kutebak, pasti lagi patah hati.""Tau aja," balas Alby setengah malas."Sama siapa? Perasaan, lu, enggak pernah dekat sama cewek." Dua pria itu sengaja duduk di sebuah kedai. Menikmati kopi yang terlihat mengepulkan asap, setelah lelah dengan aktivitas kantor."Ya, dia memang gadis yang berbeda. Aku baru kali ini bertemu dengan gadis polos seperti dia." Masih dengan tatapan menerawang jauh, Alby mengungkap isi hatinya. "Terus, apa yang bikin kamu sekarang begini? Kenapa, enggak langsung dilamar aja kalau udah suka?" Pria di depan Alby bertanya lagi. Ia mulai menyesap perlahan minumannya."Masalahnya, aku enggak tau perasaan dia ke aku. Dia menghindar dengan alasan yang cukup membuatku mengerti." "Kalau gitu, sabar aja dulu." Sepupu Alby itu menarik gelasnya lalu meneguk setengah isinya."Nah, lu, gimana? Lamaran waktu itu, jadi?" Alby ganti bertanya."Jadi, tapi semua itu keingina