"Bukan maksudku begitu, aku cuman peduli saja sama kamu." Lela melengos ketika Yoga hendak membuka jalan pikirannya. "Aku yakin, satu sisi dirimu banyak menyimpan kebaikan. Maka dari itu, aku ingin kau meninggalkan dunia gelap itu. Dan tinggal di sini memulai semua dari awal."Lela memasang seringai miring. "Memangnya kau siapa? Apakah setelah kau membantuku banyak hal, kau bebas menyuruhku begini begitu? Mengatur hidupku? Jangan mimpi, Yoga!" Santai pria matang itu menanggapi. Mereka bukan lagi anak-anak yang semua serba singkat. Memang seharusnya tak mudah terbujuk emosi. Kedua kaki menopang, Yoga menatap lurus dengan bayangan putri Lela. "Aku kasihan sama kalian. Di luar sana, masih banyak yang butuh pekerjaan halal. Sehingga susah payah dengan sekuat tenaga menghindari sesuatu yang haram. Mereka menjaga diri dan keluarganya hanya untuk sesuap makanan halal. Dan kamu bisa dapatkan di sini dengan mudah.""Cukup, Yoga! Kau sudah terlalu jauh bicara. Kau bukan siapa-siapa dalam kehi
Sementara Lela, ia tak sabar lagi menunggu jawaban. Sebagai tanda hatinya bergumam, ia menyentuh tangan Johan."Untuk apa menikah? Sejauh ini kita enjoy saja menikmatinya. Kamu senang, aku pun juga. Kita sama-sama senang dan saling mencintai," balas pria itu santai. "Seburuk-buruknya wanita malam, tetap saja merindukan kehidupan layaknya mereka, pasangan suami istri." Lela mulai paham ke mana arah pembicaraan Johan. "Sayang, kau tidak perlu memikirkan itu terlalu dalam. Percayalah, hanya kau yang selalu ada di hatiku." Johan berdiri. Ia menggandeng tangan wanita itu untuk masuk ke dalam rumah. Di sana, Lela terus mengurai senyuman. Ia sangat mencintai Johan. Pria yang selama ini menariknya ke dalam lembah hitam. Aku tau ini salah, tapi aku tak bisa menolak dan berpaling darinya. Hidupku sudah menjadi miliknya. Aku tak butuh lagi masa depan seperti mereka yang sok suci. Aku sudah terlanjur terjun dan tak mungkin kembali lagi. Untuk apa? Bahkan aku sudah tak kenal lagi dengan rasa m
Selepas acara tersebut, sampai saat ini menjelang gulita merayap ke seluruh penjuru kota, Alby terus menemani gadis itu. Ia kagum dengan sosok yang baru sehari ia kenal. Pria berkemeja pendek itu ikut memberikan edukasi pada anak jalanan. Makan bersama mereka dan pemuda itupun tak malu dengan keadaan yang ada.Setiap melirik senyum manis dengan bola mata madu yang begitu menawan, Alby terbayang dirinya dan Berlian tengah jalan berdua. Mereka berada di tempat yang indah. "Berl, semuanya sudah berangkat tidur. Apakah kamu tidak ingin pulang juga?" tanya Alby. Pria itu menemani Berlian duduk di bawah jembatan besar. Di sanalah, tempat anak-anak itu tinggal. Sang gadis masih membeku. Menatap kosong dan menembus lamunan."Berlian," panggil Alby lagi."Eh ... em. Iya, Mas? Maaf." Gadis itu terbata-bata."Dari tadi kamu melamun. Sebenarnya, apa yang sedang kamu pikirkan?" Pria tadi menatap sang gadis yang tertunduk. "Enggak. Enggak ada apa-apa, Mas. Maaf kalau saya dan Ibu banyak merepotka
Mereka masuk setelah dipersilakan. "Bagaimana keadaanmu, Berl?" tanya Yoga saat melihat Berlian telah membuka mata. Gadis itu masih terlihat begitu lemah. Ada balutan putih di kepalanya. "Berlian baik-baik saja, Om." Setelah menoleh, gadis itu tak menemukan seseorang yang ia cari. Kedua matanya terus bergerak menelisik semua sudut ruangan. Nihil, Ibunya tak ada.Yoga paham dengan gelagat Berlian, ia segera menghiburnya. "Berlian, Ibumu ada urusan sebentar. Jangan khawatir, di pasti ke sini lagi. Tadi, dia yang mengantarmu ke sini.""Benarkah, Om? Aku kangen sama Ibu." Alby yang tak kuasa mendengar ucapan gadis itu, membalik badan untuk menghalau panasnya kedua mata. Ia juga rindu Ibunya. Pria muda itu mengusap sudut mata, lalu kembali mendekati Berlian."Kamu sabar, ya! Jangan pikirkan apapun. Besok, kamu bisa pulang." Pemuda itu menoleh pada Yoga. Mereka mengulas senyum dan menunggu hari esok.Gadis itu terdiam membayangkan tanggungan. Ia harus kembali kerja dan tak boleh absen se
"Aku tak peduli sekalipun kau sang pendosa. Aku dan kamu sama-sama manusia yang punya masa lalu. Dan kita juga sama-sama punya masa depan. Sebesar apapun dosamu, aku tak peduli. Maukah kau menjalani dari awal bersamaku?" Lela paham betul perkataan Yoga. "Kau bulan, sementara aku hanyalah wanita pendosa. Tak pantas wanita sepertiku berjalan bersamamu. Kau tak perlu memikirkanku. Biarlah aku menyatu dengan debu pada selembar kain." Lela kembali menatap lurus. Air mata telah kering bersama dengan embusan angin. Wanita itu berdiri meninggalkan Yoga sendirian. Ada perasaan kecewa, tetapi Yoga berusaha mengerti. Di balik langkah yang sudah mantap ia mabil, pasti akan ada ujian menyapa. Pria itupun berdiri dan kembali ke kamarnya. Yoga menyandarkan punggungnya pada dipan. Pria matang itu menatap singgahan wajah Lela dalam bayangan. Begitu pula dengan wanita yang sempat menjadi teman sesaat tadi, Lela duduk di sebelah putrinya yang terlelap dengan bekas air mata di pipi.Lela melihat ponse
Panas dingin dalam dada Berlian, gadis dengan wajah manis itu menahan luapan dalam dada. Ia terus berjalan dengan langkah panjangnya. Hampir satu sekolahan tahu, bahwa Ibunya memang wanita malam. Meskipun begitu, Berlian tak sedikitpun membalas ucapan mereka. Ia masuk ke dalam kelas dengan keringat yang sudah membanjiri. Semua itu berasal dari rasa panas dari dalam hati yang tak mampu ia ungkapkan. Beban yang ia tanggung tak sekadar masalah Ibunya saja, melainkan teman-teman sekolah yang setiap hari terus mengoloknya.Gadis itu ingin cepat-cepat lulus dan pergi jauh-jauh dari mereka. Dengan begitu, ia akan bebas dari segala cacian. Ia akan segera membantu Ibunya kerja mencari pekerjaan halal dan tidak menjadi beban.Waktu bergulir begitu cepat. Berlian sengaja pulang terlambat. Agar semua siswa-siswi tak melihatnya pulang ke rumah siapa.Agar mereka tak melihat siapa yang akan menjemputnya atau sebaliknya. Alby tidak akan menemukannya.Setelah gedung sekolahan itu kosong, dan hanya t
"Apa, Bu?" Gadis itu menggeleng kepalanya. "Ibu, pasti bohong. Aku anak Ibu, kan? Jangan berbohong hanya demi sebuah kemaksiatan, Bu! Ibu, akan menyesal!" Gadis itu semakin histeris."Aku tidak berbohong, Berlian. Kau memang bukan anakku. Kau anak yang berada di dalam kardus. Tanya saja sama Bagio kalau tidak percaya. Saat itu, aku baru saja pulang dari club' dan di jalan, aku menemukanmu."Berlian terisak hebat. Ia memegangi kepalanya yang mendadak sakit. "Cukup!" "Lihat saja wajahmu, tidak sedikitpun ada kemiripan denganku. Selama ini aku berlaku kasar karena kau selalu menyusahkan hidupku. Tangismu selalu membuat gendang telingaku hampir pecah saat aku mau tidur. Hanya demi kamu, aku banyak kehilangan job. Dengar baik-baik, Berlian ... kau, bukan darah dagingku! Kau hanya beban dalam hidupku!" Setelah membentak lagi, Lela lantas pergi. Ia masuk mengikuti Johan yang lebih dulu. Namun, saat dia berada di dalam sana, tangisnya mendadak pecah. Teringat bayi merah yang ia dekap saat h
"Sepuluh ribu, Neng." Pria itu terus mengaduk nasi di atas wajah dengan api besar setelah menoleh sekilas."Satu, ya, Bang?" "Oke."Berlian duduk di kursi belakang pria itu. Ia juga haus, tetapi tak punya uang lagi. Uang dari Yoga yang sempat dipaksa untuk diterima, sudah ia bayarkan untuk acara kelulusan. Kedua mata menatap kepulan asap yang berasal dari nasi goreng di atas piring. Siap disantap dengan telur dadar di atasnya. Baru sesuap, tiba-tiba terdengar suara gemuruh di ujung sana. Sontak sang penjual nasi goreng pun bingung kalang kabut.Berlian yang tak tahu apa-apa, kini sudah ditinggal kabur oleh penjual nasi goreng tadi. "Ada apa ini?" Suara bising sepeda motor melaju dengan kecepatan penuh. Suara seretan benda tajam pun memekik telinga. Gadis itu menutup telinganya dengan kedua tangan."Hei!" Salah seorang pria yang baru saja turun dari sepeda motor pun menunjuk sang gadis. Berlian mendelik. Ia bingung harus ke mana. Akhirnya, ia berusaha lari tetapi terus dikejar. Rok