"Kalau begitu, aku tau apa yang harus aku lakukan." Seringai tajam melukis di bibir Alby. Mata hati telah buta karena cinta. .Siang itu, Arham menjemput Sherina di sekolah dan ternyata kata satpam sudah dijemput oleh seseorang. Kata pria berseragam putih itu, namanya Berlian. Sontak Arham tersenyum dan tenang. Ia segera memacu kendaraan besinya lagi membelah jalanan.Yang ia tuju sekarang adalah sebuah rumah sederhana yang ia hadiahkan untuk istri keduanya. Tak lupa membawa buah tangan untuk mereka. Seakan lupa dengan Nayla, pria itu terus memangkas jarak antara tempat ia berdiri dan sebuah pintu yang masih tertutup rapat."Assalamualaikum? Berlian, Sherina? Bukain, dong!" teriaknya dari luar. Namun, rumah itu tampak sepi. ***Suasana begitu sepi. Deru angin menyibak rambut pria itu. Seakan menekan keadaan yang semakin jelas. Tak ada siapapun di sana. Ingin bertanya tetangga, tetapi tak satupun yang pintunya terlihat terbuka. Arham jadi sungkan. Sejenak, pria berpeluh itu tertundu
"Berlian, aku harus pulang. Nanti aku akan lapor polisi kalau perlu." Arham mendekati gadis yang masih tersedu itu. Ia menyentuh tangan dingin yang bertumpu satu sama lain. Lalu, meninggalkan sebuah kecupan manis di kening istri mudanya.Pria itu pergi begitu saja dan segera menancap pedal gas. Derau angin membawa dedaunan dan debu di antara putaran roda mobil. Membising suara di tengah ramainya pengendara. Masih terbesit rasa tak percaya, ketika putrinya hilang tanpa jejak. Arham tak bisa berpikir jernih hingga sampai di rumah, pria itu langsung terkena marah oleh mertuanya."Assalamualaikum?" Arham membuka pintu. Ia melihat sosok putri kecilnya sudah bermain di sana. Di ruang tamu bersama dengan sang Oma-nya yang tengah menyisir rambut Nayla."Kamu dari mana aja, sih, Ham?" Mertua yang memasang wajah muram itu berdiri segera. "Dari nyari Sherina. Aku tadi jemput ke sekolah dia, Ma. Tapi, di sana sudah enggak ada. Alhamdulillah, kalau dia sudah pulang." Arham pun langsung memeluk pu
"Ada apa ini?" Arham menyerobot dengan sebuah pertanyaan."Berlian!" Arham mendekat."Pergi kamu, Mas Alby! Aku tidak mau lagi melihat wajahmu!" teriak Berlian lagi."Biarkan aku tanggung jawab atas anak itu, Berlian. Dia anakku. Jangan halangi aku untuk sekadar menyentuh lapisan yang melindunginya." Alby bersikukuh."Kalian berdua sejak kapan di sini?" Arham mulai bersuara."Mas, tolong usir dia dari sini," pinta Berlian pada Arham dengan mengiba. Gadis muda itu mendorong tangan Arham agar segera melaksanakan keinginannya."Tunggu, Berlian. Aku ingin tau sedikit, sejak kapan kalian di sini?" "Aku sudah sejak tadi di sini," sahut Alby."Bagaimanapun juga, ada kemungkinan dia memang ayah biologis dari anak ini, Berlian." Seketika bola mata Berlian mendelik mendengar ucapan Arham tadi. Dadanya naik turun dan ingin rasanya segera pergi dari sana.***"Apa, Mas, kamu bilang? Coba ulangi sekali lagi!" Berlian mundur dua langkah. Sampai kakinya membentur kursi di belakang.Seakan tak perc
"Maaf, Anda siapanya?" Karena bingung, dokter pun menatap dua lelaki itu secara bergantian. "Saya suaminya, Dok." Arham menunjuk dirinya sendiri. "Kondisinya cukup drob, Pak. Saya harap, jangan buat dia tertekan. Luka di tangannya juga cukup dalam. Saya rasa, pasien mengalami stres berat. Sehingga mencoba bunuh diri."Mereka semua terkejut. Arham jadi tak tega untuk pulang. Bukan hanya perasaan saja yang hancur, tetapi rasa cemburu dengan Alby hanya bisa ditahan."Sekarang, boleh saya masuk, Dok?" Alby langsung menyerobot."Boleh, silakan." Dokter segera pergi dari sana setelah menjawab. Alby lebih dulu masuk, sementara Arham masih lama berpikir dan menimbang. Perasaannya pada Berlian mulai luntur dan ia tak tahu lagi harus bagaimana. Antara pulang atau melihat sejenak bagaimana kondisi istrinya. Bagaimanapun juga, Berlian masih tanggung jawabnya.*"Uhuuk. Uhuuk." Terbatuk-batuk, hingga dada terasa sakit. Ketika guncangan itu menyentak tubuhnya, Berlian kembali teringat ucapan san
"Iya, Ma. Aku harap, Mas, Arham enggak menemui gadis itu lagi. Aku juga tidak akan membiarkan gadis itu bertemu dengan Mas Arham. Aku akan cari tau, anak siapa sebenarnya yang dikandung gadis itu. Kalau perlu, aku akan melenyapkannya sekalian. Aku akan mengajak kerja sama si Alby itu lagi untuk rencana selanjutnya. Setelah rencana kita dengannya untuk memfitnah Berlian akhirnya berhasil." "Kamu benar sekali, Nay. Pokoknya jangan kasih kendor. Kita tidak akan pernah tenang sebelum gadis itu pergi dari kota ini." Wanita tua itu bersorak dalam hati. Langkah kaki yang tak terdengar membuat mereka berdua tak melihat siapa yang sudah datang. Karena ada barang yang tertinggal, Arham kembali lagi. Mendengar dua wanita yang membicarakannya itu, gemuruh dalam dada sudah seperti petir menyambar-nyambar. Tangannya mengepal kuat dan siap dilayangkan ke siapa saja. Wajahnya sudah tampak merah dan tubuhnya bergetar menahan luapan emosi. "Aku tidak pernah menyangka kalian setega itu!" teriak Arham
Setelah dirasa yakin, mereka bergegas lagi ke sana. Pintu mobil yang hampir tertutup tiba-tiba ia cegah. Tangan Arham terjepit dan sempat memekik.Berlian kaget. Begitu juga dengan Alby yang sudah duduk di bagian kemudi. Lalu, keluar lagi dengan wajah muram."Ada apa lagi? Jangan ganggu dia! Kau sudah menyakiti hatinya berulangkali." Alby mendorong tubuh Arham dengan kencang.Tak peduli dengan ucapan Alby, ayah dari gadis kecil yang menyaksikan pertikaian itu terus mengetuk jendela kaca dan menjelaskan."Berlian, buka dulu pintunya! Aku mau jelaskan sesuatu." Di dalam sana, sang gadis sibuk mengusap air mata yang tak mau diajak kompromi. Ia tak kuat melihat wajah pria yang ia cintai terus memintanya keluar. Berlian membuang tatapannya ke samping. "Berlian, tolong dengarkan penjelasan aku. Jangan pergi, kau masih istriku. Aku mau memberitahu sebuah kenyataan bahwa pria itu ...."Tubuh Arham ditarik paksa oleh Alby. "Sudah, jangan ganggu dia lagi. Dia sudah tidak mau lagi bertemu deng
"Berlian!" Arham langsung mendekat dan meminta tolong. Ia langsung menggendong istrinya dan menaikkan ke atas ranjang rumah sakit. *"Apa? Dia sudah menceraikan kamu?" Alby terkejut ketika mereka sudah pergi dari sana dan kini mereka istirahat sejenak di sebuah kafe. Nayla mengangguk. Ia mengusap wajahnya yang sejak tadi basah karena air mata."Benar-benar keterlaluan dia. Bukannya Berlian yang dia ceraikan tapi malah kamu?" Alby menggeleng kepalanya. Tangannya mengepal di atas meja. Mereka tak tahu jika ada gadis kecil yang sudah mulai paham pembahasan orang dewasa. Sherina kecil hanya bisa tertunduk sedih. Ia seperti tidak diperhatikan dan memilih diam-diam pergi dari sana. Sejak tadi, Mamanya hanya sibuk dengan kesedihannya saja. Jalanan begitu ramai, sementara perutnya sudah mulai lapar. Gadis mungil itu memegangi perutnya dan terus berjalan. Ia ingin mencari Papanya lagi. "Lalu, rencana apa lagi yang akan kita lakukan? Kita sudah ketahuan, Nay." Alby meremas kepalanya. Ponse
"Maaf, kami akan segera memeriksanya." Suster mencegah pria itu larut dalam suasana. "Saya Papanya, Sus. Dia kemarin dengan Mamanya, tetapi kenapa sekarang jadi begini?" Kebingungan membuat Arham semakin mengganggu jalannya pertolongan dokter. Keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya dan kaki bergetar seperti tak bertulang. Hampir terjatuh tak bisa membayangkan apa saja yang sudah terjadi dengan gadis kecil itu. "Bapak, tunggu di luar ruangan saja. Biar kami periksa," kata suster lagi.Akhirnya, Arham pasrah. Ia hanya bisa menunggu saja. Bayangan tawa pada bibir Sherina terulang dalam ingatan. Ia merasakan begitu sempurna hidupnya dahulu. Akan tetapi, sekarang ujian pernikahan membuatnya tahu, bahwa semua akan berdampak pada anaknya. Arham segera menelpon Nayla. Akan tetapi, sampai beberapakali diulang tak juga diangkat. Pria itu bergumam dengan kesal. Ia meninggalkan pesan beruntun dan makian atas keteledoran Nayla sehingga membuat putri mereka yang harus menanggung semuanya. S