"Mas Arham katanya pegel, Ma. Dia mau di rumah aja sambil mengerjakan kerjaan kantor." Nayla meneguk minuman di depannya. Sementara Sherina mulai bermain dengan anak-anak kecil lainnya."Halah, kata Papa dia pulang awal dari kantor tadi." "Iya, tapi kami diajak jalan-jalan dulu ke mall."Mendengar penuturan putrinya, wanita tua dengan rambut sanggul tinggi itu mengangguk paham. Mereka langsung memulai acaranya. Setengah acara telah usai, kini mereka makan-makan dan Nayla memilih menyendiri di dekat kolam renang. Ia masih terngiang kejadian siang tadi. Nama siapa yang disebut Arham tanpa sengaja tadi?"Nay, kamu kenapa di sini? Ayo, gabung sama, makan dulu!" Salah seorang sahabat Nayla datang menghampiri. "Aku udah kenyang, Vin." Nayla menjawab dengan singkat. "Kamu kenapa, Nay? Tumben kayak enggak mood gitu? Biasanya paling rame." Vina mengambil posisi duduk di dekat Nayla. "Aku bingung, Vin. Tadi Mas Arham menyebut nama wanita saat dia tidur. Tapi, saat kutanya enggak tau apa-ap
Wanita itu keluar dari kantor membawa perasaan panas dalam dadanya. Ia segera menyalakan mobil suaminya tanpa sopir yang biasa mengantar. Ia ingin dirinya sendiri yang menghadapi sosok misterius itu. Sampai di sebuah kafe yang memang biasanya Nayla ke tempat itu dengan Arham, ia segera masuk dan menunggu di dalam sana. Ia juga tak lupa mengenakan masker agar tak mudah dikenali. Sudah lima belas menit Nayla di sana. Seseorang yang ia tunggu tak kunjung datang juga. Padahal, ia sudah memberitahu seseorang yang melepon tadi dengan sebuah pesan agar menghubungi nomornya langsung.Nayla mulai lelah menunggu. Ia meneguk minuman yang sudah ia pesan tadi sambil terus menoleh kanan kiri karena tak tenang. Selang semenit kemudian, ponselnya bergetar. Ia terkejut dan langsung melihat siapa yang telah memanggil.Ternyata nomor yang sama. Ia buru-buru mencari keberadaan seseorang yang sudah ia tunggu-tunggu. Beralih pada pesan, Nayla mengetik agar sang pemilik nomor misterius itu menunjukkan tem
Mereka berpisah di lobi kantor yang bernuansa kaca seluruhnya. Arham pun mengeluarkan ponselnya lagi dan menelpon Berlian. Perjalanan singkat dari kantor membuat Arham sampai di rumah Berlian hanya membutuhkan waktu 20 menit. Ia membawa buah tangan buket bunga Lili dan buah-buahan. Berlian yang mendengar deru suara mobil suaminya lantas membuka pintu. Gadis itu tersenyum manis dan segera memeluk Arham tanpa rasa malu lagi. Mereka masuk ke dalam rumah setelah itu."Maaf, ya, Berlian. Aku baru bisa ke sini. Kamu baik-baik saja, kan?" Arham membuka jas kerjanya dan sepatu yang membungkus kaki sejak pagi."Alhamdulillah, aku baik-baik saja, Mas. Kalau datang ke sini, Mas Arham enggak usah bawa apa-apa. Bahan makanan dan buah di kulkas masih banyak, kan, Mas yang ngisi dua hari lalu." Berlian meletakkan minuman segar di atas meja. Ia duduk di sebelah pria itu."Aku enggak bawa banyak, Berl. Aku membawa itu semua karena agar kamu enggak keseringan di luar. Kalau butuh apa-apa, kan, kamu t
Nayla menggeleng kepalanya. Ia tak bisa terima alasan Arham yang menurutnya tidak logis. "Kamu kira aku enggak semakin marah dengan kejadian ini? Aku tau semuanya dengan sendiri. Itu lebih menyakitkan, Mas! Aku benci kamu!" Nayla histeris. Mengundang banyak perhatian orang di sana. Ia langsung berdiri dan meninggalkan tempat itu."Nayla tunggu!" Arham melepas genggaman tangannya pada Berlian dan mengejar istri pertamanya. "Nay ...."Nayla berhenti ketika Arham mendapatkan tangannya. Ia masih menangis. "Sudahlah, Mas. Lepaskan aku. Aku tunggu talak darimu." Arham lemas. "Nay, sampai kapanpun kamu tidak akan pernah kuceraikan. Kamu tetap akan jadi istriku.""Kalau begitu, segera ceraikan dia." Arham terkejut. Ia tidak bisa melakukannya apalagi sudah berjanji tidak akan menceraikan Berlian juga. "Maaf, Nay, aku juga enggak bisa. Kalian adalah istriku. Terimalah dengan lapang dada takdir ini, Nay. Kita bisa damai dengan cara baik-baik.""Kata siapa kita bisa damai dengan baik-baik? Kamu
Keesokan harinya, Arham dengan senyum bekas semalam sudah tampak segar keluar dari kamar mandi. Ia mendekati Berlian yang tengah bersih-bersih tempat tidur. Lalu, Arham memeluk Berlian dari belakang."Astaghfirullah, Mas." Berlian menoleh cepat. "Kamu bikin kaget aja."Pria tampan itu tersenyum manis. "Makasih, ya?" bisiknya di dekat telinga.Meski tersenyum, tetapi hati Berlian tetap tak enak hati. Ia tak bisa tenang hidup dalam kegamangan seperti ini.Lepas suaminya pergi, ia terduduk di atas tempat tidur. Ia melihat ponselnya lagi setelah kemarin sempat menerima pesan dari nomor tak dikenal. Ia melihat lagi profilnya. Ternyata seorang gadis kecil dengan seragam SD.Gadis itu mengusap wajahnya yang basah. Ia mencoba mengirim pesan permintaan maaf. Ia siap untuk dicaci dan dihina. Asal dimaafkan oleh Nayla. Ia hanya ingin damai dan tak punya musuh. Setelah beberapa waktu menunggu, akhirnya mendapat balasan juga dari nomor yang diduga milik Nayla. Di sana, Berlian diajak ketemuan tet
"Buka aja!" Nayla memerintah dengan ketus. Ia memasang wajah dingin. Sedingin hatinya yang kini dirasa sudah mati.Berlian membukanya. Ia melihat lembaran merah begitu tebal dalam satu ikatan. Tertulis di sana 100 juta. Berlian langsung memasukkan lagi uang itu dan mengembalikan pada Nayla."Untuk apa ini, Mbak?" "Untuk kamu." Nayla menghela napas panjang. "Pergi dari kota ini dan tinggalkan Mas Arham. Jangan hubungi dia lagi atau kamu minta cerai sama dia.""Astaghfirullah." Berlian terkejut. Jantung hatinya berdegup begitu kencang. Ia merasa sangat direndahkan. "Saya sudah bilang sama Mas Arham jauh-jauh hari. Bahkan sebelum pernikahan, tetapi Mas Arham yang sudah kekeh.""Bagaimana bisa aku percaya sama kamu? Tidak ada yang bisa dipercayai dari mulut kamu. Seorang pelakor tetaplah pelakor. Sampai dunia hancur pun, aku tidak akan percaya suamiku tergoda tanpa sebab."Mbak, aku tidak seperti itu. Apakah kita tidak bisa berdamai?" Berlian sangat berharap, paling tidak menjadi teman N
Matahari mulai tampak meninggi, sosok yang sejak Subuh sudah terbangun dan meneguk air putih tersandar pada dinding. Dalam kontrakan sempit itu, tak ada barang selain tikar dan pakaian saja, serta keperluan mandi. Untuk menyeduh air hangat saja, tak ada, Berlian ingin mencari minuman hangat barangkali sudah ada warung yang buka. Gadis muda yang kini kembali sebatang kara itu membuka pintu. Ia keluar dan mengedarkan pandangan ke sekeliling tempat itu. Ada warung nasi uduk yang sudah buka, Berlian bergegas ke sana dan membeli teh hangat.Setelah menikmatinya di warung itu, tiba-tiba ia merasakan mual lagi. Dengan cepat, Berlian kembali ke kontrakan untuk mengeluarkan semua yang telah masuk ke dalam perutnya. Perih dirasa perut yang sejak malam kosong, kini mau diisi malah semua keluar.Jam delapan pagi, ia berniat menemui Fawwaz. Hanya dia yang dikira bisa membantu untuk kembali kerja di sana. Berlian mulai menunggu angkutan umum berwarna merah yang menuju ke arah sana.Terlalu lama me
"Kau sudah menghancurkan masa depanku, Mas. Kau memaksaku malam itu hingga aku benar-benar ternoda. Aku tak ada bedanya dengan ....""Sudah, jangan teruskan ucapanmu! Jangan kau buat aku semakin tersiksa. Aku akan tanggung jawab. Kupikir, dengan begitu aku bisa memilikimu seutuhnya. Aku tidak bisa melihatmu jauh-jauh, Berl." "Justru aku yang tersiksa, Mas. Aku yang sudah kau hancurkan. Meskipun jika kau memilikiku, tetapi kau hanya akan mendapatkan raga ini saja. Hatiku sudah menjadi milik orang lain. Aku mencintai Mas Arham. Aku adalah istrinya.""Tapi, kau mengandung anakku. Aku yang pertama menanam benih itu. Aku tidak akan melepasmu meski kau mencintai dia."Pasrah dengan apa yang sudah terlanjur terjadi, Berlian menatap kosong ke atas langit-langit ruangan itu. Ketika suster datang, mereka bersikap biasa lagi. Suster memeriksa cairan infus yang sudah tinggal sedikit. "Sebentar lagi boleh pulang, ya, Mbak. Tunggu infusnya habis dulu." Senyum wanita itu mengembang."Makasih, Sus