"Le, kamu sudah sadar?" Pria dengan jas hitam yang sejak beberapa hari pulang pergi ke rumah sakit itu menegakkan punggungnya. Ia melihat cahaya bening yang keluar dari kedua bola mata Lela. Wanita itu menggerakkan kepalanya mencari seseorang."Mana Berlian?" Lemah suara Lela, ia hanya ingin bertemu gadisnya. Gadis yang rasanya sudah lama tak lagi ia lihat."Dia ... dia lagi enggak ada, Le. Mungkin kerja, soalnya aku belum ketemu dia lagi. Nanti pasti ke sini untuk menjengukmu. Jangan khawatir!" "Aku ingin ketemu dia. Tolong, bawa dia ke sini." Air mata Lela tumpah. Ia menahan rindu yang disertai rasa sakit di sekujur tubuh. Tubuhnya tak bisa digerakkan sedikit saja. Rasa itu tak bisa ia ungkapkan, hanya memejamkan mata untuk menahannya.Yoga menghela napas panjang. Hanya dirinya seorang yang kini menjaga Lela sepenuh hati. Ke mana lagi ia harus mencari anak gadis Lela, sementara dirinya sendiri tak tahu Berlian kerja di mana.Malam itu, Yoga pulang. Ia memasuki mobilnya setelah sang
"Apa kamu benar-benar menyukainya?" Fawwaz masih bertanya lagi. Ia tak mengindahkan ketika sepupunya itu tampak gelisah. "Udah, enggak usah banyak tanya lagi! Sekarang, bawa aku ke sana! Cepat, aku ingin ketemu sama dia!" Fawwaz menghela napas panjang. "Dia udah enggak kerja lagi kayaknya. Sudah tiga hari enggak masuk. Aku cari di kontrakan baru dia juga enggak ada."Alby lemas lagi. "Kamu sama sekali enggak tau di mana dia?"Fawwaz menggeleng kepalanya. "Memangnya kamu mau ngapain cari dia?""Aku mau bilang maaf. Aku sudah membuatnya ...." Alby tak melanjutkan lagi ucapnya. Ia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan serta meremas kepala yang mendadak berdenyut. Alby menyandarkan punggungnya pada kursi dan mengeluarkan angin sesak dari dalam dadanya."Kalau sudah ketemu saja bilangnya. Aku juga mau nyari dia. Kasihan, dia enggak punya siapa-siapa selain Ibunya. Miris banget hidup dia."Setelah pertemuan mereka berdua, Alby tak lagi menanyakan perihal Berlian pada Fawwaz. Mungki
"Sekarang kamu bisa tinggal di sini. Tapi, aku enggak bisa di sini terus. Aku harus pulang." Pria dengan kemeja putih yang dibalut jaket hitam itu mendorong Berlian di atas kursi roda memasuki sebuah rumah minimalis modern. Semua bernuansa putih mulai dari tembok hingga lemari hias dan segala perabotannya. Berlian tertunduk. Ia bingung kenapa jalan hidupnya harus begini. Ia tak mengatakan apapun."Kamu tidak usah pikirkan ucapan mereka semalam. Ini terjadi karena semua sudah kehendak Yang Maha Kuasa." Pria itu terus mendorong kursi roda hingga ke dalam kamar. Melihat Berlian masih diam begitu, Arham jadi sungkan. "Oh, ya, ini ada nafkah buat kamu. Aku harap, kamu mau pergunakan nanti. Kalau kurang, nanti aku kasih lagi. Ini juga ada ponsel, hanya ada nomorku di sana. Kapan saja kamu butuh uang, ketik pesan saja. Tapi, jangan menelpon." Arham meletakkan lembaran merah di atas nakas.Pria itu keluar dari kamar. Ia mengecek bahan makanan di dapur. Ia tak tahu jika Berlian kini tengah t
mulai bangkit. Sedikit rasa sakit yang tersisa di bagian sana, membuat gadis itu mBerlianeringis menahan tekanan ketika berdiri."Kamu kuat berjalan? Kalau enggak, duduk aja di kursi roda."Gadis itu menurut saja. Ia duduk di atas kursi roda yang menuju ke tempat makan. Mereka mulai menikmati sarapan sederhana."Oh, ya, aku sudah putuskan, malam ini masih bisa menginap di sini. Setelah kamu benar-benar sehat, aku akan pulang. Nanti malam aku akan tidur di ruang tamu."Berlian terus saja diam dengan tatapan kosong. Entah dengar atau tidak, gadis itu teringat Ibunya. Apakah nasibnya kelak akan seperti Lela, atau ... semakin menyedihkan.Berlian menghentikan mulutnya mengunyah. Air mata kembali luruh dan ia segera menyekanya. "Maaf, saya sudah membuat, Mas, kerepotan. Saya akan pergi setelah ini.""Jangan! Rumah ini adalah rumahmu. Ini hakmu. Tinggallah di sini sampai kapanpun kamu mau." Arham meneguk air putih dalam gelas. Ia agak kecewa dengan keputusan Berlian barusan. "Kita tidak
"Hallo, Sayang? Em, aku masih di jalan. Ah, aku masih menginap di hotel. Sebentar lagi aku sampai rumah." Arham terlihat gelagapan. Ia langsung merasa bersalah dengan gadis di sampingnya.Nampaknya, setelah pria itu menyebut seseorang di balik panggilan dengan istimewa, Berlian mengetahui sebuah kenyataan. Ia langsung membalik badan dan segera turun dari tempat tidur, merambat berpegangan pada dinding untuk ke kamar mandi.Arham tak bisa menjelaskan apapun. Ia bingung dan memutuskan untuk segera membersihkan diri lalu salat Subuh. Lepas itu, Berlian duduk di belakang Arham karena ia baru saja selesai salat juga. "Berlian, aku mau bicara padamu mengenai keluargaku." Arham membalik badan dan memegang tangan gadis itu. Berlian langsung melepas tangan Arham dan memberi jarak. "Aku sudah tau, Mas. Kamu punya keluarga, kan? Mereka yang telah menantimu di rumah. Pulanglah dan temui mereka. Mereka pasti rindu. Aku tidak apa-apa di sini sendirian. Setelah agak kuat, aku akan pergi dari sini.
"Apa?" Alby masih tak percaya. Ia tak terima. "Enggak mungkin! Kapan kalian menikah? Jangan bohong, hanya untuk menghindari dariku, Berl. Aku mencintaimu, Berlian.""Maaf, dia adalah istriku. Kami sudah menikah dua hari lalu." Arham menjawab kebingungan Alby. "Kami menikah memang dalam waktu singkat. Jangan temui dia lagi, tolong!" Arham segera menggandeng tangan Berlian dan mengajaknya pulang. Di belakang sana, Alby tercengang hingga tertunduk lesu. Ia kembali ke dalam mobilnya. Lenyap sudah cinta yang susah payah ia jaga. Berlian lebih memilih pria lain. "Kamu enggak apa-apa?" Arham mengajak gadis itu duduk di kamar. Pria itu meletakkan tas kerjanya di sofa. "Enggak, Mas. Aku enggak apa-apa. Cuman kaget saja pas dia datang." "Tapi, kamu gemetaran begini. Sebentar, akan aku ambilkan minum." Pria itu segera ke dapur dan menuang air putih dalam gelas. Lalu, kembali ke kamar dan memberikan pada Berlian. Setelah diminum, Berlian tampak menghela napas panjang. Ia terlihat mengatur na
Hujan begitu deras mengguyur hingga pukul tengah malam. Gadis itu bergetar tubuhnya menahan ketakutan. Ia mendekam dalam dekapan pria itu dan mereka larut dalam temaram lampu kamar. "Mas, pulanglah! Istrimu pasti mencari." Arham menggeleng kepalanya. "Kau lebih membutuhkanku, Berlian. Dia di rumah dengan Sherina dan pembantu yang siap mendengarkan perintah. Kalau aku pulang, meninggalkan kamu yang ketakutan begini sendirian itu sama saja aku tidak adil, karena kau juga istriku.""Tapi, Mas, apa dia tau kalau Mas sudah menikah lagi? Aku tidak mau ada apa-apa nanti kalau dia tiba-tiba tau.""Dia akan segera tau, Berl. Insyaallah, aku akan pelan-pelan kasih tau ke dia. Sudah, ya! Sekarang tidur." Rupanya, selama kedua mata Arham terjaga, hujan juga tak kunjung reda. Udara dingin membuat mereka menyatu dalam selimut. Pria itu masih membuka mata, mencari cara bagaimana ia mengatakan kebenaran itu pada Nayla.Sekilas, pria itu memindai wajah cantik Berlian lagi. Gadis yang masih sangat m
Arham paham apa maksud ucapan gadis itu. "Kamu bukan orang ketiga, Berlian. Kita menikah memang sudah jalannya begini. Kau dan Nayla, tetap akan menjadi istriku. Jika kau hamil, entah itu anakku atau bukan, aku akan bertanggung jawab."Berlian malah semakin terisak. Kepalanya menggeleng terus dengan wajah tertutup telapak tangan."Kamu mandi duluan, setelah itu gantian aku. Kita akan salat jamaah dan memohon ampun pada Allah atas segala khilaf."Berlian menuruti apa kata Arham. Ia segera berdiri dengan selimut membungkus. Ketika gadis itu tengah mengguyur tubuhnya dengan air di dalam sana, Arham membuka lemari. Ia tak melihat pakaian Berlian kecuali hanya dua setelan saja. Satu gamis yang sudah kekecilan, tampaknya, ia tarik dan letakkan di atas tempat tidur. Selesai dari kamar mandi, gadis itu menutupi kepalanya dengan handuk. Ia melihat Arham menyiapkan pakaian untuknya."Berlian, bajumu cuman itu saja?" Pria dengan handuk melilit di pinggang itu bertanya. Lalu, berlian mengangguk.