Meisya melangkahkan kakinya masuk ke dalam ruangan Rayhan. Namun, lelaki itu tidak ada di sana. Meisya lantas mengerutkan keningnya mencari keberadaan Rayhan.
Ia lalu menaruh gelas berisi teh itu di atas meja kerjanya. Melihat ada foto pengantin Rayhan dan Jani di sana, membuatnya sangat marah. “Kenapa harus ini, yang dia pajang di sini sih! Ngeselin banget!” gerutunya akan tetapi ia tidak membanting atau membuat figura tersebut. Bahkan tembok dekat jendela pun terdapat foto pengantin yang memang sudah Rayhan simpan di sana setelah mendirikan perusahaan tersebut. “Dan dia nggak ada niat buat turunin itu foto! Argghh!” Meisya kembali emosi. Pintu terbuka. Rayhan menghela napasnya dengan panjang melihat ada Meisya di sana. “Mau apa lagi, kamu ke sini?” tanyanya sembari menatap datar wajah perempuan itu. Meisya menghela napasnya dengan panjang. “Rayhan. Kamu masih mau mempertahanTirta menggedor pintu kamar privasi ruangan Rayhan. “Meisya! Keluar kamu!” pekiknya sembari terus menerus menggedor pintu kamar itu dengan sangat kencang.Hingga Rayhan yang tertidur pulas itu terbangun kemudian mengucek matanya. Ia tampak kebingungan karena bisa berada di dalam kamar.“Kenapa aku ada di sini?” gumamnya lalu melihat ke bawah. Kemeja yang ia kenakan sudah tidak ada di tubuhnya.Tampak Meisya yang baru saja mengenakan pakainnya bergegas keluar dan membuka pintu kamar tersebut.“Apa sih! Nggak sopan banget gedor pintu kamar orang!” ucapnya kesal.Tirta lantas menyeret keluar adiknya dengan sangat kasar hingga membuat Meisya merintih sakit.“Aww! Kak!” pekiknya sembari menatap kesal wajah sang kakak.“Keterlaluan kamu, Meisya! Apa maksud kamu melakukan hal ini, huh? Kamu sengaja menaburkan obat tidur ke dalam minuman Rayhan untuk menje
“Jangan dengerin omongan si kampret Meisya itu. Dia hanya lagi kalah aja karena Rayhan lebih milih elo padahal elo lagi hamil anaknya Arga. Sementara dia, merasa masih single dan gampang baginya buat ambil hati Rayhan lagi.”Mendengar penuturan dari Samuel membuat Jani terdiam sejenak. Apa yang dikatakan oleh kakaknya itu memang benar. Namun, rasa rendah dirinya dan juga tahu dirinya yang bukan siapa-siapa membuatnya selalu malu pada dirinya sendiri. “Kak. Kedatanganku ke sini bukan untuk bahas Mas Rayhan dan Meisya. Mungkin hanya aku saja yang merasa rendah dan tidak punya alasan untuk marah.”Samuel menghela napas kasar. “Terus, mau ngapain?” tanyanya dengan suara datarnya. “Kalau nyuruh gue kawinin Meisya, emangnya elo mau, punya kakak ipar modelan begitu?” Jani menggeleng pelan. “Nggak kok. Aku nggak minta Kakak untuk menikahi Meisya. Aku hanya ingin menanyakan tentang perusahaan Papa yang sengaja Kakak buat bangkrut.”Samuel menaikan kedua alisnya. “Perusahaan Papa yang sengaja
Tiga hari berlalu …. Marisa baru diperbolehkan pulang oleh dokter setelah kondisinya sudah membaik. Bahkan janin yang ada di dalam perutnya sudah kembali membaik padahal sempat mengalami guncangan. “Ma. Kenapa Mama menolak Arga untuk tanggung jawab? Kenapa Mama tega lakuin ini ke aku sih?” ucap Marisa setelah tahu jika Arga pergi dan tidak akan mau bertanggung jawab.“Untuk apa, Marisa? Dia sudah menikah meskipun wanita itu akan menceraikan dia setelah bayi itu lahir. Pria sepertinya yang kamu cintai? Tidak masuk akal! Di mana otak kamu ini, huh?” Nisa sangat marah pada anaknya yang masih saja menginginkan Arga dan menikah dengannya. Marisa menggelengkan kepalanya dengan pelan seraya menitikan air matanya.“Ma. Tapi, aku lagi hamil anak dia.”“Biar saja. Itu salah kamu karena mau-maunya dihamili oleh pria yang sudah menjadi suami orang! Tidak perlu menangis seperti ini, Marisa. Papa kamu sudah mencarikan ayah untuk anak kamu. Jangan menolak! Menikah dengan pilihan orang tuamu sudah
Arga melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh hendak pergi ke Bandung. Ia baru sadar bila Fadly ada mendirikan rumah sakit di Bandung. “Argh! Kenapa gue baru ingat kalau Om Fadly punya rumah sakit juga di Bandung! Sialan! Udah sadar, baru tahu kalau dia ada di sana. Berengsek! Rayhan udah siuman. Pantes aja Jani nggak mau pulang karena Rayhan udah siuman.“Arggh! Nggak bisa dibiarin! Gue nggak akan segan-segan buat elo hancur kedua kalinya. Harusnya elo tahu, Jani lagi hamil anak gue! Berengsek! Kenapa Rayhan malah nerima Jani yang lagi hamil sih. Kenapa?” Arga—seperti orang gila setelah tahu jika Rayhan masih hidup. Ia yang tidak menginginkan hal itu lantas marah karena wanita yang sudah dia incar selama ini harus kembali pada pria yang Jani cintai. Arga terus melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh agar segera sampai ke Bandung. Tidak akan ia biarkan Jani dan Rayhan bersama lagi setelah berhasil ia pisahkan dan kini Jani sudah menjadi miliknya. Arga kemudian tersenyum miring
Ia lalu menoleh pada Rayhan yang tengah menikmati pemandangan indah di sekitaran Bandara Charles de Gaulle, Perancis. “Kamu sudah pernah ke sini, tapi pastinya lupa. Aku masih punya fotonya waktu kita bulan madu ke sini.” Jani kemudian mengambil ponselnya dan mencari foto-foto saat berbulan madu dengan Rayhan di sana. “Nih. Foto di Menara Eiffel. Kamu kelihatan kaku banget kalau difoto,” ucap Jani sembari memperlihatkan betapa kakunya Rayhan kala difoto. Namun, tampak dalam raut wajahnya jika lelaki itu sangat bahagia bisa ke sana Bersama wanita yang sudah menjadi miliknya. “Bagus-bagus fotonya meskipun kelihatan Tegang,” ucap Rayhan sembari menggulir foto-foto kenangan yang masih Jani simpan di dalam ponselnya. “Taksinya sudah datang, Mas. Ayo!” Keduanya lantas masuk ke dalam taksi yang sudah mereka pesan melalui pemesanan online. Lalu melaju menuju apartemen yang akan mereka tempati selama dua minggu di sana. “Aku akan mengajak kamu ke tempat-tempat yang sudah pernah kita ku
Paris, Perancis.Kota tercantik dan romantis yang ada di negara Perancis, di mana kini Jani dan Rayhan tengah menikmati liburan berdua di sana.“Seperti biasa. Kita masih harus tidur terpisah. Kamarku di sini, dan kamar kamu di sana.”Rayhan terkekeh kemudian menghela napasnya dengan panjang. “Sengaja ya, ambil kamar yang di sana karena biar bisa lihat Menara Eiffel setiap kali bangun tidur?” tebak Rayhan sembari menunjuk gemas wajah Jani.Perempuan itu lantas menerbitkan cengiran kepada Rayhan. “Tahu aja. Padahal aku nggak ngasih tahu.”Rayhan kembali terkekeh. “Tahu, karena melihat dari arahnya ke Menara. Makanya langsung ketebak, kalau kamu lebih memilih melihat Menara setelah bangun dari tidurnya ketimbang melihatku.”Jani mengerucutkan bibirnya. “Kan, kalau melihat kamu masih belum boleh. Makanya untuk saat ini, yang boleh aku lihat hanya Menara saja. Kamu jangan cemburu pada Menara. Karena dia tidak bernyawa dan bukan berjenis kelamin laki-laki.”Rayhan tertawa pelan. “Lucu.”“A
Ia kemudian mengambil sebatang rokok di dalam saku celananya. Sembari menyandarkan punggungnya di kap mobil miliknya, ia mengisap rokok tersebut guna menghilangkan stress yang tengah melanda dirinya.“Noh! Orang gila yang dari kemaren teriak-teriak nggak tahu malu karena gagal nemuin Jani.” Samuel menunjuk ke arah Arga.Tirta kemudian tersenyum miring. “Jadi, kamu belum memberi tahu jika Arga ada di sini kepada Jani atau Arga?”Samuel menggeleng pelan. “Belum. Biarin mereka menikmati masa liburannya dulu. Nanti, kalau udah selesai dan mau pulang ke sini, baru gue tahu. Itu pun kalau tuh orang masih di sini.”Tirta manggut-manggut dengan pelan. “Segitu ambisinya Arga, menginginkan Jani. Padahal orangnya saja sudah tidak mau bahkan dari awal pun Jani tidak mau padanya. Tapi, sepertinya Arga tidak peduli dengan hal itu.”Samuel tersenyum miring. “Orang gila kayak dia mana punya malu. Bahkan masa bodoh dengan perasaan Jani yang dia pun udah tahu kalau Jani nggak akan pernah suka sama dia.
Satu minggu sudah, Jani dan Rayhan menikmati waktu bersama di Paris. Meski tidak banyak yang Rayhan ingat, akan tetapi ia sangat bahagia karena Rayhan bisa menemaninya babymoon meski anak yang tengah ia kandung bukanlah anak Rayhan. Namun, lelaki itu membuktikan jika dirinya menerima Jani dan bayi itu dengan tulus. Tidak peduli dengan status Jani yang masih menjadi istri dari Arga. Sebab perempuan itu tak pernah menginginkan pernikahan itu terjadi. “Sudah dikemas semua, Mas?” tanya Jani setelah keluar dari kamarnya. “Sudah. Sebenarnya aku masih ingin di sini. Tapi, banyak kerjaan yang harus aku selesaikan di Indonesia, sepertinya kita lanjut traveling-nya kalau kamu sudah lahiran, yaa.”Jani mengangguk sembari mengulas senyumnya. “Iya, Mas. Semoga urusanku dengan Arga bisa terselesaikan dengan baik dan lancar.”“Aamiin. Jam berapa kita take off?” tanyanya kemudian. “Jam dua siang ini, Mas. Sekitar jam lima subuh kita sampai di Indonesia.”Rayhan manggut-manggut dengan pelan. Ia ke