Ia kemudian mengambil sebatang rokok di dalam saku celananya. Sembari menyandarkan punggungnya di kap mobil miliknya, ia mengisap rokok tersebut guna menghilangkan stress yang tengah melanda dirinya.“Noh! Orang gila yang dari kemaren teriak-teriak nggak tahu malu karena gagal nemuin Jani.” Samuel menunjuk ke arah Arga.Tirta kemudian tersenyum miring. “Jadi, kamu belum memberi tahu jika Arga ada di sini kepada Jani atau Arga?”Samuel menggeleng pelan. “Belum. Biarin mereka menikmati masa liburannya dulu. Nanti, kalau udah selesai dan mau pulang ke sini, baru gue tahu. Itu pun kalau tuh orang masih di sini.”Tirta manggut-manggut dengan pelan. “Segitu ambisinya Arga, menginginkan Jani. Padahal orangnya saja sudah tidak mau bahkan dari awal pun Jani tidak mau padanya. Tapi, sepertinya Arga tidak peduli dengan hal itu.”Samuel tersenyum miring. “Orang gila kayak dia mana punya malu. Bahkan masa bodoh dengan perasaan Jani yang dia pun udah tahu kalau Jani nggak akan pernah suka sama dia.
Satu minggu sudah, Jani dan Rayhan menikmati waktu bersama di Paris. Meski tidak banyak yang Rayhan ingat, akan tetapi ia sangat bahagia karena Rayhan bisa menemaninya babymoon meski anak yang tengah ia kandung bukanlah anak Rayhan. Namun, lelaki itu membuktikan jika dirinya menerima Jani dan bayi itu dengan tulus. Tidak peduli dengan status Jani yang masih menjadi istri dari Arga. Sebab perempuan itu tak pernah menginginkan pernikahan itu terjadi. “Sudah dikemas semua, Mas?” tanya Jani setelah keluar dari kamarnya. “Sudah. Sebenarnya aku masih ingin di sini. Tapi, banyak kerjaan yang harus aku selesaikan di Indonesia, sepertinya kita lanjut traveling-nya kalau kamu sudah lahiran, yaa.”Jani mengangguk sembari mengulas senyumnya. “Iya, Mas. Semoga urusanku dengan Arga bisa terselesaikan dengan baik dan lancar.”“Aamiin. Jam berapa kita take off?” tanyanya kemudian. “Jam dua siang ini, Mas. Sekitar jam lima subuh kita sampai di Indonesia.”Rayhan manggut-manggut dengan pelan. Ia ke
Waktu sudah menunjuk angka delapan pagi. Rayhan bangun lebih dulu dari Jani yang masih terlelap dalam tidurnya di dalam kamar yang tentunya terpisah. Hanya saja, pintu kamar itu tidak dikunci dan akhirnya membuat Rayhan dapat melihat Jani di dalam sana. “Gue udah beliin kalian sarapan. Si Jani belum bangun, yaa?” kata Samuel bertanya kepada Rayhan yang baru saja hendak duduk di sofa ruang tengah. Rayhan mengangguk. “Iya. Barusan aku lihat dia masih tidur. Biarkan saja. Dia pasti lelah.”Samuel mengangguk. “Jadi, gimana? Elo mau ketemu sama nyokap bokap elo sekarang atau kapan?” Rayhan menghela napasnya dengan panjang. “Sebenarnya aku ingin bertemu dengan Arga juga. Tapi, jika memang dia sangat membahayakan untuk keselamatanku, aku urungkan niat itu.” “Jangan dulu. Elo belum ingat apa pun tentang masalah elo dulu sama dia.”Rayhan menganggukkan kepalanya. “Iya. Apa kamu tahu, apa yang sebenarnya terjadi di dua tahun yang lalu itu? Kenapa aku dan Arga bermusuhan bahkan ingin menjeb
Maya mengangguk kemudian menunjuk kamar yang ada di lantai dua di mana kamar tersebut pernah ditempati olehnya dan juga Jani dua tahun yang lalu."Yang itu, Nak. Itu adalah kamar kamu dan Jani. Dulu, kalian tidur satu kamar di kamar itu," ucap Maya memberi tahu. Rayhan lantas melangkahkan kakinya menghampiri kamar tersebut. Bayang-bayang akan rumah ini dengan segala cek-cok yang terjadi dua tahun lalu begitu tengingan dalam dirinya. Kepalanya bedenyut begitu sakit kala merasakan banyaknya memori yang masuk ke dalam dirinya. Ia kemudian menghela napasnya dan memegang handle kamar tersebut. Menggeleng-gelengkan kepalanya lalu masuk ke dalam. Rayhan menutup matanya membiarkan apa yang masuk ke dalam dirinya agar ia segera mengingat semua yang sudah dia lupakan. Menarik napasnya kembali kemudian membuka matanya. Tergambar jelas terakhir kali ia menempati kamar itu. Jani yang tengah tidur dengan lelap, ia elus kepalanya sembari menitikan air matanya."Jani ...." Rayhan kembali menitika
Rayhan menarik tangan Jani membawanya keluar dari kamar tersebut meninggalkan Maya yang tengah menitikan air matanya. Samuel juga ikut keluar mengejar Jani dan Rayhan yang sudah turun ke bawah. “Rayhan, tunggu!” teriak Samuel memanggil Rayhan. Lelaki itu menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Samuel. “Aku harus membawa Jani pergi dari sini. Setelah urusanku dan Arga selesai, aku akan kembali. Bilang pada Arga jika kamu bertemu dengannya. Jangan kabur! Penjara menantinya.” Rayhan kembali menggenggam tangan Jani. “Aku pinjam mobil kamu, Samuel. Terima kasih, sudah menolongku. Jika tidak ada kamu, mungkin aku sudah mati terbawa arus sungai dulu.” Rayhan menepuk pundak Samuel kemudian melangkahkan kakinya pergi meninggalkan tempat itu. “Kak. Nanti aku hubungi kalau sudah sampai.” Jani kemudian menoleh pada Rayhan. “Kita mau ke mana, Mas?” tanyanya ingin tahu. “Masuk saja dulu. Nanti aku jelaskan di mobil.”Jani mengangguk patuh kemudian masuk ke dalam. Pun dengan Rayhan. Ia mela
Waktu sudah menunjuk angka tujuh malam. Jani tertidur hingga empat jam lamanya. Sementara Rayhan masih mencoba menghidupkan computer yang sudah mati karena tidak pernah digunakan selama dua tahun lamanya. Rayhan mengusap wajahnya kemudian menghela napas dengan panjang. Menoleh ke arah tempat tidur yang mana Jani masih terlelap dalam tidurnya. “Semoga tidak lama. Usia kandungan Jani sudah masuk tujuh bulan. Setelah bayi itu lahir, jangan ada lagi ikatan pernikahan dengan Arga. Jani tidak pantas bersanding dengan pria yang telah membunuh papanya.” Rayhan kembali mengambil dokumen yang telah ia simpan dua tahun lalu di dalam brankas yang berhasil ia ambil di tangan Indra. Tak lama kemudian, Jani terbangun dari tidurnya. Terperanjat kaget karena hari sudah malam. “Lho! Mas, kamu nggak bangunin aku?” Jani mengucek matanya lalu menghampiri Rayhan yang masih duduk di depan computer miliknya. “Kamu tidurnya nyenyak banget. Aku nggak tega banguninnya. Memangnya kamu mau ke mana, minta ak
Usai makan malam. Keduanya kembali ke villa. Rayhan berjanji akan menceritakan semuanya karena sudah tidak ada lagi yang mesti ia tutupi dari perempuan itu. Lelaki itu mengambil dokumen yang berhasil ia ambil di gedung milik Ali dulu yang kini dikuasai oleh Indra dan Arga. Lalu memberikan dokumen tersebut kepada Jani. “Akta ini. Akta asli yang berhasil aku ambil di kantor milik papa kamu. Silakan kamu baca,” ucap Rayhan mempersilakan Jani membuka seluruh dokumen yang ia berikan kepada perempuan itu. Lembar demi lembar Jani buka dokumen tersebut. Tertera namanya begitu jelas di sana. Ia tidak menyangka jika gedung yang sering ia datangi adalah miliknya. “Kenapa Papa merahasiakan hal ini dariku? Kenapa dia hanya memberi tahu jika dia memiliki perusahaan yang dulu dikelola oleh Kak Samuel tapi sekarang sudah bangkrut? Kenapa, Mas?” tanyanya dengan bulir air mata keluar dari sudut matanya. Rayhan menghela napasnya dengan panjang. “Bukan keinginan dia untuk menutupi ini semua, Jani. K
Esok harinya. Jam sudah menunjuk angka delapan pagi. Jani baru bangun dari tidurnya setelah sempat tidak bisa tidur karena cerita mengenaskan mengenai orang tuanya. Suara bel pintu berbunyi membuat Rayhan beranjak dari duduknya dan memeriksa siapa yang datang di villa miliknya itu. "Oh, Samuel sudah sampai ternyata," ucapnya kemudian membuka pintu tersebut dan mempersilakan Samuel masuk ke dalam sana. "Jani belum bangun?" tanya Samuel kepada lelaki itu. "Sudah," jawab Jani kemudian menghampiri Samuel dan Rayhan sembari mengucek matanya. "Baru bangun tapi," ucap Rayhan sembari mengusapi pucuk kepala Jani. "Iya, baru bangun.""Nih! Obat dan perlengkapan elo yang lainnya." Samuel memberikan barang keperluan Jani kepada sang empunya. "Terima kasih, Kak. Selama dua bulan, sampai bayiku lahir, aku akan tinggal di sini. Kakak tinggal di sini juga atau kembali ke Bandung?" tanya Jani ingin tahu. "Elo udah ada Rayhan di sini. Gue balik ke Bandung. Urusan kantor Rayhan siapa yang urus k