Arga melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh hendak pergi ke Bandung. Ia baru sadar bila Fadly ada mendirikan rumah sakit di Bandung. “Argh! Kenapa gue baru ingat kalau Om Fadly punya rumah sakit juga di Bandung! Sialan! Udah sadar, baru tahu kalau dia ada di sana. Berengsek! Rayhan udah siuman. Pantes aja Jani nggak mau pulang karena Rayhan udah siuman.“Arggh! Nggak bisa dibiarin! Gue nggak akan segan-segan buat elo hancur kedua kalinya. Harusnya elo tahu, Jani lagi hamil anak gue! Berengsek! Kenapa Rayhan malah nerima Jani yang lagi hamil sih. Kenapa?” Arga—seperti orang gila setelah tahu jika Rayhan masih hidup. Ia yang tidak menginginkan hal itu lantas marah karena wanita yang sudah dia incar selama ini harus kembali pada pria yang Jani cintai. Arga terus melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh agar segera sampai ke Bandung. Tidak akan ia biarkan Jani dan Rayhan bersama lagi setelah berhasil ia pisahkan dan kini Jani sudah menjadi miliknya. Arga kemudian tersenyum miring
Ia lalu menoleh pada Rayhan yang tengah menikmati pemandangan indah di sekitaran Bandara Charles de Gaulle, Perancis. “Kamu sudah pernah ke sini, tapi pastinya lupa. Aku masih punya fotonya waktu kita bulan madu ke sini.” Jani kemudian mengambil ponselnya dan mencari foto-foto saat berbulan madu dengan Rayhan di sana. “Nih. Foto di Menara Eiffel. Kamu kelihatan kaku banget kalau difoto,” ucap Jani sembari memperlihatkan betapa kakunya Rayhan kala difoto. Namun, tampak dalam raut wajahnya jika lelaki itu sangat bahagia bisa ke sana Bersama wanita yang sudah menjadi miliknya. “Bagus-bagus fotonya meskipun kelihatan Tegang,” ucap Rayhan sembari menggulir foto-foto kenangan yang masih Jani simpan di dalam ponselnya. “Taksinya sudah datang, Mas. Ayo!” Keduanya lantas masuk ke dalam taksi yang sudah mereka pesan melalui pemesanan online. Lalu melaju menuju apartemen yang akan mereka tempati selama dua minggu di sana. “Aku akan mengajak kamu ke tempat-tempat yang sudah pernah kita ku
Paris, Perancis.Kota tercantik dan romantis yang ada di negara Perancis, di mana kini Jani dan Rayhan tengah menikmati liburan berdua di sana.“Seperti biasa. Kita masih harus tidur terpisah. Kamarku di sini, dan kamar kamu di sana.”Rayhan terkekeh kemudian menghela napasnya dengan panjang. “Sengaja ya, ambil kamar yang di sana karena biar bisa lihat Menara Eiffel setiap kali bangun tidur?” tebak Rayhan sembari menunjuk gemas wajah Jani.Perempuan itu lantas menerbitkan cengiran kepada Rayhan. “Tahu aja. Padahal aku nggak ngasih tahu.”Rayhan kembali terkekeh. “Tahu, karena melihat dari arahnya ke Menara. Makanya langsung ketebak, kalau kamu lebih memilih melihat Menara setelah bangun dari tidurnya ketimbang melihatku.”Jani mengerucutkan bibirnya. “Kan, kalau melihat kamu masih belum boleh. Makanya untuk saat ini, yang boleh aku lihat hanya Menara saja. Kamu jangan cemburu pada Menara. Karena dia tidak bernyawa dan bukan berjenis kelamin laki-laki.”Rayhan tertawa pelan. “Lucu.”“A
Ia kemudian mengambil sebatang rokok di dalam saku celananya. Sembari menyandarkan punggungnya di kap mobil miliknya, ia mengisap rokok tersebut guna menghilangkan stress yang tengah melanda dirinya.“Noh! Orang gila yang dari kemaren teriak-teriak nggak tahu malu karena gagal nemuin Jani.” Samuel menunjuk ke arah Arga.Tirta kemudian tersenyum miring. “Jadi, kamu belum memberi tahu jika Arga ada di sini kepada Jani atau Arga?”Samuel menggeleng pelan. “Belum. Biarin mereka menikmati masa liburannya dulu. Nanti, kalau udah selesai dan mau pulang ke sini, baru gue tahu. Itu pun kalau tuh orang masih di sini.”Tirta manggut-manggut dengan pelan. “Segitu ambisinya Arga, menginginkan Jani. Padahal orangnya saja sudah tidak mau bahkan dari awal pun Jani tidak mau padanya. Tapi, sepertinya Arga tidak peduli dengan hal itu.”Samuel tersenyum miring. “Orang gila kayak dia mana punya malu. Bahkan masa bodoh dengan perasaan Jani yang dia pun udah tahu kalau Jani nggak akan pernah suka sama dia.
Satu minggu sudah, Jani dan Rayhan menikmati waktu bersama di Paris. Meski tidak banyak yang Rayhan ingat, akan tetapi ia sangat bahagia karena Rayhan bisa menemaninya babymoon meski anak yang tengah ia kandung bukanlah anak Rayhan. Namun, lelaki itu membuktikan jika dirinya menerima Jani dan bayi itu dengan tulus. Tidak peduli dengan status Jani yang masih menjadi istri dari Arga. Sebab perempuan itu tak pernah menginginkan pernikahan itu terjadi. “Sudah dikemas semua, Mas?” tanya Jani setelah keluar dari kamarnya. “Sudah. Sebenarnya aku masih ingin di sini. Tapi, banyak kerjaan yang harus aku selesaikan di Indonesia, sepertinya kita lanjut traveling-nya kalau kamu sudah lahiran, yaa.”Jani mengangguk sembari mengulas senyumnya. “Iya, Mas. Semoga urusanku dengan Arga bisa terselesaikan dengan baik dan lancar.”“Aamiin. Jam berapa kita take off?” tanyanya kemudian. “Jam dua siang ini, Mas. Sekitar jam lima subuh kita sampai di Indonesia.”Rayhan manggut-manggut dengan pelan. Ia ke
Waktu sudah menunjuk angka delapan pagi. Rayhan bangun lebih dulu dari Jani yang masih terlelap dalam tidurnya di dalam kamar yang tentunya terpisah. Hanya saja, pintu kamar itu tidak dikunci dan akhirnya membuat Rayhan dapat melihat Jani di dalam sana. “Gue udah beliin kalian sarapan. Si Jani belum bangun, yaa?” kata Samuel bertanya kepada Rayhan yang baru saja hendak duduk di sofa ruang tengah. Rayhan mengangguk. “Iya. Barusan aku lihat dia masih tidur. Biarkan saja. Dia pasti lelah.”Samuel mengangguk. “Jadi, gimana? Elo mau ketemu sama nyokap bokap elo sekarang atau kapan?” Rayhan menghela napasnya dengan panjang. “Sebenarnya aku ingin bertemu dengan Arga juga. Tapi, jika memang dia sangat membahayakan untuk keselamatanku, aku urungkan niat itu.” “Jangan dulu. Elo belum ingat apa pun tentang masalah elo dulu sama dia.”Rayhan menganggukkan kepalanya. “Iya. Apa kamu tahu, apa yang sebenarnya terjadi di dua tahun yang lalu itu? Kenapa aku dan Arga bermusuhan bahkan ingin menjeb
Maya mengangguk kemudian menunjuk kamar yang ada di lantai dua di mana kamar tersebut pernah ditempati olehnya dan juga Jani dua tahun yang lalu."Yang itu, Nak. Itu adalah kamar kamu dan Jani. Dulu, kalian tidur satu kamar di kamar itu," ucap Maya memberi tahu. Rayhan lantas melangkahkan kakinya menghampiri kamar tersebut. Bayang-bayang akan rumah ini dengan segala cek-cok yang terjadi dua tahun lalu begitu tengingan dalam dirinya. Kepalanya bedenyut begitu sakit kala merasakan banyaknya memori yang masuk ke dalam dirinya. Ia kemudian menghela napasnya dan memegang handle kamar tersebut. Menggeleng-gelengkan kepalanya lalu masuk ke dalam. Rayhan menutup matanya membiarkan apa yang masuk ke dalam dirinya agar ia segera mengingat semua yang sudah dia lupakan. Menarik napasnya kembali kemudian membuka matanya. Tergambar jelas terakhir kali ia menempati kamar itu. Jani yang tengah tidur dengan lelap, ia elus kepalanya sembari menitikan air matanya."Jani ...." Rayhan kembali menitika
Rayhan menarik tangan Jani membawanya keluar dari kamar tersebut meninggalkan Maya yang tengah menitikan air matanya. Samuel juga ikut keluar mengejar Jani dan Rayhan yang sudah turun ke bawah. “Rayhan, tunggu!” teriak Samuel memanggil Rayhan. Lelaki itu menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Samuel. “Aku harus membawa Jani pergi dari sini. Setelah urusanku dan Arga selesai, aku akan kembali. Bilang pada Arga jika kamu bertemu dengannya. Jangan kabur! Penjara menantinya.” Rayhan kembali menggenggam tangan Jani. “Aku pinjam mobil kamu, Samuel. Terima kasih, sudah menolongku. Jika tidak ada kamu, mungkin aku sudah mati terbawa arus sungai dulu.” Rayhan menepuk pundak Samuel kemudian melangkahkan kakinya pergi meninggalkan tempat itu. “Kak. Nanti aku hubungi kalau sudah sampai.” Jani kemudian menoleh pada Rayhan. “Kita mau ke mana, Mas?” tanyanya ingin tahu. “Masuk saja dulu. Nanti aku jelaskan di mobil.”Jani mengangguk patuh kemudian masuk ke dalam. Pun dengan Rayhan. Ia mela