“Tujuanku beli ini juga karena itu sih. Aku ingin ajak dia jalan-jalan nanti ke tempat yang belum pernah aku kunjungi. Sama kamu juga tentunya.” Rayhan menyunggingkan senyum tipis. “Kayak yang bakal aku bolehin aja, kaalu berangkat hanya berdua.”Jani menerbitkan cengiran kepada lelaki itu. “Aku nggak berani lihat muka kamu kalau udah marah.”Rayhan mencubit gemas hidung perempuan itu. “Makanya jangan bikin aku marah.”“Siap, komandan!” Rayhan terkekeh lalu mengacak rambut perempuan itu dan kembali mencari keperluan untuk bayi Jani yang akan launching tiga minggu lagi. Waktu sudah menunjuk angka delapan malam. Usai makan malam bersama. Jani langsung masuk ke dalam kamar untuk merapikan semua perlengkapan yang ia beli dengan Rayhan di mall. “Ma. Nanti ini, dicuci duluan buat dibawa ke rumah sakit,” ucap Jani sembari memisahkan pakaian yang akan dibawa ke rumah sakit nanti. Maya mengangguk dan mengambilnya. “Iya, Nak. Besok saja nanti kita cuci. Ada lagi, yang ingin kamu bawa untu
Dua hari ditinggal ke Jerman membuat Jani sedikit kesepian setelah baru tiga bulan bersama dengan Rayhan. Namun, harus ia tahan karena bukan pergi karena liburan, melainkan karena bekerja. "Masih lagi udah melamun aja, lo." Samuel menghampiri Jani yang tengah duduk di gazebo dekat kolam berenang.Jani menoleh pelan ke arah kakaknya itu. “Ngapain lagi. Nyiram tanaman udah, belanja si bayi juga udah. Teleponan sama Mas Rayhan juga udah.”Samuel menyunggingkan senyum melihat raut wajah Jani yang tampak kesepian karena ditinggal oleh Rayhan ke Jerman.“Mau jalan-jalan? Keliling komplek aja, sambil nyari jajanan. Udah mau lahiran, kudu banyak gerak. Ayo!”Jani menatap Samuel dengan lekat. “Kenapa nggak sekalian nyari jodoh buat Kakak aja?”Samuel menggetok kening Jani. “Bahas itu mulu lo, aah! Males gue.”Jani terkekeh pelan. Ia kemudian beranjak dari duduknya dan menggandeng tangan Samuel yang mengajaknya jalan-jalan keliling komplek sembari mencari jajanan yang bisa mereka makan. "Aku
Sudah sepuluh hari berlalu. Jani merasakan mulas di perutnya saat bangun dari tidurnya. Ia melihat jam baru menunjuk angka enam pagi. "Sstth ...." Jani meringis pelan sembari mengusapi perutnya yang sudah tidak karuan itu. Ia lalu mengambil ponselnya karena sedari tadi berdering. "Halo, Kak. Bisa ke rumah? Perut aku mules banget," pintanya lirih sembari mengusapi perutnya. "Waduh! Padahal gue diminta jemput Rayhan ke bandara. Bentar lagi dia balik, Jani.""Oh, gitu. Ya udah, aku sama Mama aja ke rumah sakitnya. Kakak jemput Mas Rayhan aja." Jani menutup panggilan tersebut lalu beranjak dari tempat tidur, melangkah dengan menahan sakit di perutnya. "Mama ...." "Ya ampun, Non Jani. Ketubannya sudah keluar itu," teriak ART kala melihat Jani keluar dari kamarnya. Maya lantas berlari menghampiri Jani dan langsung berteriak memanggil security agar membawa Jani ke dalam mobil hendak dibawa ke rumah sakit. "Sejak kapan mulesnya, Nak?" tanya Maya sembari mengusapi punggung menantunya
Jam sudah menunjuk angka tiga sore. Usai makan siang, Jani memilih untuk istirahat terlebih dahulu untuk memulihkan tenaganya yang habis terkuras untuk mengeluarkan bayi mungil yang hingga kini belum diberi nama.Tampak Rayhan yang tengah duduk di samping keranjang bayi sedang memandang lembut bayi mungil berjenis kelamin laki-laki itu. "Jadi anak yang baik ya, Nak. Mungkin kamu adalah keponakanku. Tapi, karena mamamu akan menjadi istriku kembali, itu artinya kamu pun sudah menjadi anakku. "Jadi anak yang baik dan nurut pada kedua orang tuamu ya, Sayang. Semoga setelah melihat wajah kamu yang sangat mirip dengannya ini dia berubah pikiran dan akan menyayangi kamu."Rayhan berbicara dengan bayi mungil itu berharap ia akan menjadi anak yang baik dan mau menerima semuanya setelah Rayhan atau Jani menceritakan yang sebenarnya setelah bayi itu dewasa kelak. Rayhan menghela napasnya dengan panjang kemudian menoleh ke arah di mana Samuel datang kembali lalu berdiri di sampingnya. "Elo ha
Satu minggu berlalu. Rayhan menemui Arga hendak memberi tahu bila anaknya sudah lahir ke dunia. Ditemani oleh Samuel yang tak ingin membuat Rayhan kenapa-kenapa bila pergi sendiri. Tak lama kemudian, Arga datang lalu duduk di depan Rayhan dan juga Samuel sembari menatap keduanya dengan tatapan datarnya. “Ada apa?” tanyanya ketus. Rayhan masih diam dan hanya menatap Arga dengan tatapan yang tidak bisa diartikan. Mengembuskan napasnya dan kembali menatap Arga lagi. “Jani sudah melahirkan. Bayinya laki-laki dan sangat tampan. Mata dan hidungnya dominan kamu, Arga. Jika usianya sudah dua atau tiga bulan, aku akan membawanya agar kamu bisa melihat darah dagingmu. “Yang telah dilahirkan oleh Jani dengan taruhan nyawa. Aku harap kamu dapat menyayanginya meski tidak akan pernah merawatnya. Aku akan bertanggung jawab atas Jani dan juga anaknya.”Arga tersenymum miring mendengar ucapan adiknya itu. “Belagu! Elo pikir, kalian akan hidup tenang, setelah memasukan gue ke penjara? Nggak! Gue
Jani dan Rayhan pergi ke pengadilan untuk mengajukan cerai setelah dua minggu lamanya ia menunggu sampai waktu itu tiba. Ditemani oleh Samuel yang akan membantu menyelesaikan proses tersebut. “Sudah lengkap kan, berkasnya? Tinggal diserahkan ke bagian admin aja?” tanya Samuel kepada adiknya itu.Jani mengangguk. “Udah, Kak. Mas Rayhan udah bantu aku buat ngumpulin berkasnya juga.” Samuel mengangguk kemudian menoleh ke arah di mana Rayhan dan kuasa hukum yang ia tunjuk untuk membantu proses perceraian Jani dengan Arga. “Kamu berikan berkasnya ke Pak Jonny. Dia yang akan membantu kamu dalam proses cerai kamu,” kata Rayhan memberi tahu. Jani mengangguk kemudian menjabat tangan kuasa hukumnya yang akan membantunya menyelesaikan perceraian. “Terima kasih atas bantuannya, Pak Ronny.”“Sama-sama, Bu Jani. Karena suami Anda sedang menjalani masa tahanan bahkan sampai seumur hidup sementara Anda memiliki tanggungan yaitu anak, maka prosesnya bisa segera diselesaikan dengan cepat.”Jani me
Dua minggu setelah menyerahkan dokumen untuk persyaratan perceraian, akhirnya Jani dipanggil untuk melakukan sidang di hari itu. Ia juga membawa Elvan ke sana mengingat usianya yang sudah menginjak satu bulan, bayi mungil itu sudah bisa dibawa keluar oleh sang mama. "Semoga sidangnya berjalan dengan lancar ya, Nak. Mama bisa terbebas dari jeratan pernikahan sama papa kamu yang bahkan tidak mengharapkan Mama. Begitu pun sebaliknya. Mama juga nggak mengharapkan papa kamu." Jani mengusapi wajah anaknya yang tengah menyusui sembari menutup matanya. Kini, mereka sudah berada di perjalanan menuju pengadilan. Ditemani oleh Samuel, Rayhan dan juga Maya yang ikut ke pengadilan. Sementara Pak Ronny sudah berada di sana menunggu mereka tiba. Sisa satu jam lagi, sidang akan dilakukan. Setelah tiba di pengadilan, Jani memberikan anaknya kepada Maya karena ia harus duduk di depan hakim untuk mendengarkan putusan dari hakim. Jani menghela napasnya dengan panjang lalu duduk di kursi yang sudah
Jani menghela napasnya. "Posisi aku udah direbut Elvan kayaknya." Rayhan terkekeh pelan. "You too. Sama anak sendiri masih aja cemburu. Oh, iyaa. Kamu kan memang cemburuan."Jani lantas mengerucutkan bibirnya. "Cemburu itu tanda sayang. Aku bakalan masa bodoh kalau nggak sayang sama kamu." Rayhan tertawa pelan. "Bisa aja jawabnya. Sama software aja kamu cemburu, yaa. Karena aku terlalu banyak pacaran sama sistem." Jani geleng-geleng kepala. "Kurangin, Mas. Kamu kalau udah di depan komputer, bakalan lupa dunia.""Iyaa. Sudah aku kurangi kok," ucapnya lalu menatap Jani dengan tatapan lembutnya. "Jani. May i ask something?" Jani menaikan alisnya sebelah. "Apa?" tanyanya kemudian. Rayhan lalu mendekatkan wajahnya dan menyentuh lembut bibir perempuan itu hingga membuatnya mematung kala merasakan bibir merah itu menyentuh bibirnya.Usai menyentuh bibir perempuan itu, yang bahkan Jani masih diam terpakup padahal Rayhan sudah menyelesaikan ciumannya tersebut. Rayhan mengulas senyum kal