“Pada mau ke mana?” tanya Maya kala melihat Rayhan menggendong Elvan sementara Jani mendorong stroller hendak membawanya ke dalam mobil. “Mau liburan, Ma. Ke danau aja lihat yang hijau-hijau di sana. Jani kayaknya butuh liburan. Sampai ini hari apa dia lupa.”Maya terkekeh mendengar jawaban dari anaknya itu. “Ya sudah kalau begitu, have fun, yaa.”“Siap, Ma. Kalau gitu kami berangkat dulu. Kalau Samuel nanya atau ke sini, kasih tahu aja. Siapa tahu mau join. Mama nggak ikut juga?” tanya Rayhan. Maya menggeleng. “Mama mau istirahat saja, Nak. Kebetulan kemarin juga banyak kerjaan di butik.”“Ya sudah kalau begitu. Mama istirahat saja. Kita pulang agak sorean juga kayaknya, Ma.”“Iya, Nak. Nggak apa-apa.” Maya menerbitkan senyumnya kepada anaknya itu. Keduanya lantas pamit keluar dari rumah itu dan melangkah menuju garasi mobil. Jani mengambil alih Elvan sebab Rayhan hendak memasukan stroller ke dalam bagasi mobil juga barang-barang lainnya di sana. “Nggak ada yang ketinggalan?” tan
Rayhan mengejar lelaki itu sekencang-kencangnya yang telah membawa Elvan. “Ada apa ini?” tanya Samuel yang baru saja tiba di sana. “Elvan mana?” tanyanya lagi kala melihat alas tidur tidak ada Elvan di sana. Jani yang masih menangis histeris hanya menunjuk Rayhan yang tengah mengejar pria yang membawa Elvan entah ke mana. “Shiittt! Berengsek! Kenapa itu orang bisa keluar dari penjara?” pekiknya kemudian mengejar Rayhan dan juga Arga yang berhasil membawa kabur Elvan. Banyak orang yang menghampiri Jani. Melihat dengan mata kepala mereka sendiri kala pria itu membawa Elvan begitu saja.“Halo, Ma. Ma. Entah kenapa Arga bisa kabur dari penjara aku pun nggak tahu. Dia bawa kabur Elvan, Ma.” Jani menghubungi Maya memberi tahu anaknya dibawa kabur Arga. “Apa?” Maya begitu terkejut mendengarnya. “Kamu masih di danau sekarang, Nak?” tanyanya kemudian. “Iya, Ma. Aku masih di sini.”“Ya sudah, Mama ke sana sekarang juga. Kamu harus sabar dan tenang. Rayhan pasti bisa mengambil kembali Elva
Maya dan Rayhan langsung dibawa ke rumah sakit setelah ambulans tiba di tempat kejadian. Jani dan juga Samuel mengikuti mobil ambulans. "Banyakin doa, jangan mikir yang jelek-jelek. Gue yakin, Rayhan pasti akan selamat," ucap Samuel menenangkan dan menguatkan Jani yang sedari tadi menangis. Jani mengusap air matanya dan menatap ke arah sang kakak. "Bukan hanya Mas Rayhan saja yang mengalami luka tembak, melainkan Mama juga. Aku harap mereka baik-baik saja dan bisa terselamatkan," lirik Jani sembari menatap sang kakak. Samuel mengeluhkan kepalanya seraya mengusapi punggung tangan adiknya itu."Sebentar lagi sampai rumah sakit. Lo harus kuat, harus tabah dan tentunya jangan berhenti berdoa untuk keselamatan mereka berdua."Jani mengangguk dengan pelan. Ia tak habis pikir semua ini akan terjadi. Baru saja menikmati hari dengan Rayhan, kini harus mengalami nasib buruk lagi karena ulah Arga yang telah menembakkan peluru kepada Rayhan dan Maya. Setibanya di rumah sakit, Jani dan Samuel
Jani pamit pergi dari rumah sakit itu ke rumah duka mengikuti rangkaian proses sebelum Maya dikebumikan untuk selamanya. “Mas Rayhan masih belum bisa ditengok ke dalam selama dua puluh empat jam. Jadi, sebaiknya kita ke rumah duka dulu saja sampai besok,” ucap Jani kepada Vanesha dan Tirta. Keduanya mengangguk dan langsung membawa Jani ke rumah duka di mana Maya sudah berada di sana dan kali ini tengah dimandikan juga didandandi sebelum dimasukan ke dalam peti. “Kamu harus kuat, demi Elvan. Tante Maya sudah tenang di sana karena menurutnya, membantu kamu menolong Elvan merampas kembali dari tangan Arga adalah sebuah tugas yang mungkin membuat Tante Maya senang.”Vanesha mengusapi punggung Jani kemudian mengulas senyumnya. Menasihati perempuan itu agar bisa mengikhlaskan kepergian sang mama ke hadapan Tuhan. Jani menelan saliva dengan pelan kemudian menganggukkan kepalanya. “Iya. Mama sempat menggenggam tanganku dan juga tersenyum sebelum akhirnya menutup mata untuk selamanya. Sebe
Keesokan harinya, Jani mendapat surat dari kepolisian mengenai kasus hukum yang akan dijalani oleh Arga. “Minggu depan Arga akan divonis dan hakim sudah setuju untuk memvonis hukuman mati ke dia. Aku lega dengarnya, Kak. Setidaknya dia menghilang di muka bumi ini dengan cara yang adil.”Jani memberi tahu tentang isi surat yang diberikan oleh polisi padanya kepada Samuel yang ingin tahu tentang isi pesan tersebut. Samuel menganggukkan kepalanya lalu mengusapi lengan adiknya itu sembari tersenyum tipis. Menatap sang adik yang terlihat sedikit lega mendapat kabar hukuman vonis yang akan dijatuhkan oleh pihak pengadilan untuk Arga. “Ya udah, seenggaknya elo bisa bernapas lega karena udah dapat keputusan dari pengadilan seminggu yang akan datang.” Samuel memberikan semangat pada adiknya itu. “Iya, Kak. Sekarang tinggal menunggu Mas Rayhan sembuh lagi dari kritisnya. Sudah hampir dua puluh empat jam dan dia masih belum mau bangun juga.”Jani menghela napasnya dengan panjang seraya menat
“Jani. Mama okay, kan?” tanyanya dengan penuh harap bila sang mama juga selamat seperti dirinya. Jani menalan saliva kemudian mengusapi pungggung tangan lelaki itu seraya menatapnya. Menggeleng dengan pelan menandakan bila Maya bukan lagi baik-baik saja. Melainkan sudah pergi untuk selamanya meninggalkan semua orang yang mencintainya di dunia ini. Rayhan mengerti apa arti dari gelengan kepala Jani. “Dia sudah pergi? Tidak tertolong?” tanya Rayhan dengan suara lemahnya. Jani mencium punggung tangan lelaki itu dan menganggukan kepalanya. “Iya, Mas. Mama sudah bahagia di alam sana. Tuhan lebih sayang Mama, hingga akhirnya dia memanggil Mama secepat ini.” Rayhan tersenyum getir. “Dan aku tidak sempat melihatnya untuk terakhir kalinya. Hanya dalam dekapan dia, saat Arga menembak kami berdua. Mama ….”Rayhan menitikan air matanya. Kehilangan sosok yang berharga dalam hidupnya, yang selalu membelanya sejak masih kecil kala dirundung oleh papanya sendiri. Sangat kehilangan akan sosok p
Satu minggu setelah kematian Maya dan juga Arga, semuanya kembali seperti semula. Duka itu sudah luruh seiring jalannya waktu sebab hidup harus tetap berjalan, tanpa harus meratapi kepergian orang yang sudah tenang di alam sana. “Dua sampai tiga hari lagi Anda sudah diperbolehkan pulang, Pak Rayhan. Karena kondisi Anda sudah semakin membaik dari sebelumnya,” ucap dr. Syarif memberi tahu kepada Rayhan. Lelaki itu menghela napas lega kemudian menganggukkan kepalanya. “Terima kasih, Dokter. Akhirnya, bisa keluar dari rumah sakit juga.”dr. Syarif lantas mengulas senyumnya mendengar ucapan dari pasiennya itu. “Ya sudah kalau begitu, saya pamit keluar. Kalau ada apa-apa, bisa langsung hubungi kami.”“Baik, Dok.” Rayhan mengulas senyum lagi kepada dokter yang sudah merawatnya dengan baik selama satu minggu ini. Tak lama kemudian, Jani dan Elvan masuk ke dalam yang baru saja tiba di rumah sakit. “Halo, Elvan. Anak Papa yang sudah wangi dan ganteng mau jenguk papanya, yaa?” Rayhan mengamb
Samuel menggaruk alisnya. “Sebenarnya nanyain Arga. Tapi, karena orangnya udah nggak ada, akhirnya nanya elo aja.”Rayhan mengerutkan keningnya mendengar ucapan dari Samuel tadi. “Siapa, yang nyariin Arga? Kamu kenal, dengan orangnya? Aku pun kenal, dengan dia?”Samuel mengangguk. “Kalau boleh, gue suruh masuk orangnya.”“Siapa dulu, Samuel?” tanyanya kembali.Samuel meringis pelan. “Marisa. Dia lagi hamil anaknya Arga, kan?”Rayhan mengerjap-ngerjapkan matanya. “Setelah sekian lama, dia muncul kembali dan menanyakan Arga? Mungkin usia kandungannya sekarang sudah mau sembilan bulan, yaa.”“Iya. Tadi pertanyaan gue belum elo jawab, Rayhan. Orangnya boleh masuk apa nggak?”“Silakan. Kalau memang mau masuk, yaa silakan.”“Oke! Gue panggil dulu orangnya.” Samuel kembali beranjak dari duduknya dan keluar me