“Jani. Mama okay, kan?” tanyanya dengan penuh harap bila sang mama juga selamat seperti dirinya. Jani menalan saliva kemudian mengusapi pungggung tangan lelaki itu seraya menatapnya. Menggeleng dengan pelan menandakan bila Maya bukan lagi baik-baik saja. Melainkan sudah pergi untuk selamanya meninggalkan semua orang yang mencintainya di dunia ini. Rayhan mengerti apa arti dari gelengan kepala Jani. “Dia sudah pergi? Tidak tertolong?” tanya Rayhan dengan suara lemahnya. Jani mencium punggung tangan lelaki itu dan menganggukan kepalanya. “Iya, Mas. Mama sudah bahagia di alam sana. Tuhan lebih sayang Mama, hingga akhirnya dia memanggil Mama secepat ini.” Rayhan tersenyum getir. “Dan aku tidak sempat melihatnya untuk terakhir kalinya. Hanya dalam dekapan dia, saat Arga menembak kami berdua. Mama ….”Rayhan menitikan air matanya. Kehilangan sosok yang berharga dalam hidupnya, yang selalu membelanya sejak masih kecil kala dirundung oleh papanya sendiri. Sangat kehilangan akan sosok p
Satu minggu setelah kematian Maya dan juga Arga, semuanya kembali seperti semula. Duka itu sudah luruh seiring jalannya waktu sebab hidup harus tetap berjalan, tanpa harus meratapi kepergian orang yang sudah tenang di alam sana. “Dua sampai tiga hari lagi Anda sudah diperbolehkan pulang, Pak Rayhan. Karena kondisi Anda sudah semakin membaik dari sebelumnya,” ucap dr. Syarif memberi tahu kepada Rayhan. Lelaki itu menghela napas lega kemudian menganggukkan kepalanya. “Terima kasih, Dokter. Akhirnya, bisa keluar dari rumah sakit juga.”dr. Syarif lantas mengulas senyumnya mendengar ucapan dari pasiennya itu. “Ya sudah kalau begitu, saya pamit keluar. Kalau ada apa-apa, bisa langsung hubungi kami.”“Baik, Dok.” Rayhan mengulas senyum lagi kepada dokter yang sudah merawatnya dengan baik selama satu minggu ini. Tak lama kemudian, Jani dan Elvan masuk ke dalam yang baru saja tiba di rumah sakit. “Halo, Elvan. Anak Papa yang sudah wangi dan ganteng mau jenguk papanya, yaa?” Rayhan mengamb
Samuel menggaruk alisnya. “Sebenarnya nanyain Arga. Tapi, karena orangnya udah nggak ada, akhirnya nanya elo aja.”Rayhan mengerutkan keningnya mendengar ucapan dari Samuel tadi. “Siapa, yang nyariin Arga? Kamu kenal, dengan orangnya? Aku pun kenal, dengan dia?”Samuel mengangguk. “Kalau boleh, gue suruh masuk orangnya.”“Siapa dulu, Samuel?” tanyanya kembali.Samuel meringis pelan. “Marisa. Dia lagi hamil anaknya Arga, kan?”Rayhan mengerjap-ngerjapkan matanya. “Setelah sekian lama, dia muncul kembali dan menanyakan Arga? Mungkin usia kandungannya sekarang sudah mau sembilan bulan, yaa.”“Iya. Tadi pertanyaan gue belum elo jawab, Rayhan. Orangnya boleh masuk apa nggak?”“Silakan. Kalau memang mau masuk, yaa silakan.”“Oke! Gue panggil dulu orangnya.” Samuel kembali beranjak dari duduknya dan keluar me
Dua hari kemudian, Rayhan sudah diperbolehkan pulang oleh dokter yang merawatnya sejak dua mingguan ini. Dan kini, lelaki itu sudah kembali ke rumah bersama dengan Jani dan juga Elvan.“Terima kasih ya, sudah merawatku dengan sabar selama dua minggu ini. Seperti yang kamu lakukan saat aku koma dulu,” ucap Rayhan kemudian mengulas senyumnya kepada perempuan itu.“Sama-sama. Dua minggu bukan waktu yang lama, Mas. Aku sudah pernah menunggu kamu dengan sabar selama dua tahun. Jadi, tidak masalah bagiku.” Jani mengulas senyumnya.Rayhan menghela napasnya dengan panjang. Ia menatap wajah perempuan itu yang kini tengah duduk di depannya.“Aku ingin mengunjungi makam Mama, Papa dan juga Arga. Mungkin besok saja, karena sekarang sudah sore.”Jani menganggukkan kepalanya. “Iya, Mas. Besok pagi saja, sekalian ziarah ke makam Mama dan Papa juga. Makamnya saling berdekatan kok, Mas.”Rayha
Tiga minggu sudah, setelah kejadian yang menimpa keluarga Rayhan dan juga Jani berlalu. Sudah satu minggu ini kondisi Rayhan sudah semakin membaik.“Aku ke kantor dulu, yaa. Kalau ada apa-apa jangan lupa kabarin,” ucap Rayhan kepada Jani yang tengah memakaikan baju kepada anaknya itu.“Iya, Mas. Hati-hati di jalan. Tapi, kamu beneran udah sembuh, kan? Kalau belum, mending jangan dipaksakan deh.” Jani tampak mengkhawatirkan lelaki itu.Rayhan tersenyum mendengarnya. “Aku udah sembuh, Sayang. Udah tiga minggu juga, masa iya belum sembuh.”“Iya sih. Ya sudah kalau begitu, hati-hati di jalan. Nanti siang aku bawakan bekal makan siang buat kamu.”Rayhan mengangguk kemudian mengecup kening perempuan itu dengan lembut. Pamit pada Elvan juga yang sudah semakin aktif mengingat usianya kini sudah masuk dua bulan.“Anak ganteng, Papa berangkat kerja dulu, yaa. Jangan nakal, oke? Nanti si
“Kak! Kalau ngomong yang bener!” ucap Jani tak ingin percaya dengan ucapan kakaknya itu.“Beneran, Jani. Gue baru aja dapat info dari temannya yang kerja di kantor. Gue tanya, Marisa yang mana. Dan dia lihatin fotonya.”Jani masih terdiam membeku mendengar ucapan kakaknya itu. “Kak ….”Samuel menepuk-nepuk bahu Jani. “Mau gimana lagi. Orangnya udah dibawa ke rumah duka. Tapi, anaknya masih di rumah sakit karena mengalami kondisi yang agak memprihatinkan juga.”Jani menghela napasnya kemudian menoleh pada Rayhan yang juga hanya diam karena ia pun merasakan duka itu.“Kamu sudah tahu, penyebab utama kenapa dia bisa meninggal setelah melahirkan anaknya?” tanya Rayhan kepada Samuel.Lelaki itu menggeleng pelan. “Nggak tahu. Kita bisa tanyakan ini ke keluarganya di rumah duka nanti. Besok pagi, sekalian ikut acara upacara kematian dia.”Rayhan me
Di sebuah taman yang tak jauh dari rumah Jani dan Rayhan tengah menikmati pemandangan indah di sana bersama dengan Elvan.Sebelum nanti Rayhan harus pergi ke China selama beberapa minggu ke depan. Jani ingin menikmati waktu bersama dengan lelaki itu sebelum nanti ia harus menunggunya kembali sampai satu bulan setengah."Mas. Berangkat jam berapa dari sini?" tanya Jani kepada lelaki itu.Rayhan kemudian menolehkan kepalanya yang tengah menggendong bayi Elvan. "Jam dua siang. Masih ada waktu satu setengah hari lagi, kok. Aku tahu kamu berat ditinggalkan jauh ke sana. Tapi, harus bisa, yaa. Demi masa depan kita semua."Jani lantas terkekeh dengan pelan. "Iya, Mas. Walaupun agak berat tapi aku harus bisa menunggu sampai kamu kembali pulang ke Indonesia. Jangan lupa bawa oleh-oleh, yaa!" ucapnya lalu menerbitkan cengiran kepada lelaki itu.Rayhan lantas mengusapi pucuk kepala perempuan itu seraya menerbitkan senyumnya."Do
Baru dua minggu saja terasa sangat lama padahal hampir setiap hari Rayhan mengabarinya. Namun, jika tidak melihat langsung di depan membuat Jani tetap saja merindukan lelaki itu.“I miss you and baby Elvan too. Sabar, yaa. Masih satu bulan soalnya. Semoga stok sabar kamu masih banyak,” ucap Rayhan sembari melambaikan tangannya pada Elvan yang tengah bermain dengan mainannya.“Kayaknya dia anteng banget sama dunianya. Sampai papanya telepon pun nggak dia ubris. Hm! Jadi pengen unyel-unyel.”Jani terkekeh pelan. “Belum sadar kayaknya, Mas. Padahal udah aku panggil dari tadi. Tapi, tetep cuek aja. Kayaknya ngambek dia, Mas.”“Yaah! Jangan ngambek dong. Elvan? Look at me, Sayang. Hei! Astaga!” Rayhan menepuk jidatnya karena tak berhasil membuat Elvan menoleh padanya.Jani yang melihatnya lantas terkekeh. “Sabar. Orang sabar hatinya seluas samudera. Namanya juga lagi ngambek. Mau kamu b
Usia kandungan Jani sudah memasuki usia sembilan bulan. Sudah sangat buncit dan kini tengah memeriksa kandungannya dan melihat kondisinya di monitor USG.“Posisi bayinya sudah sangat baik. Perkiraan melahirkannya sekitar dua sampai empat hari lagi,” ucap dr. Mira memberi tahu.Jani menerbitkan senyumnya. “Syukurlah kalau posisinya sudah baik. Saya lega mendengarnya, Dok. Dua sampai empat hari lagi ya, Dok?”“Betul, Ibu. Dua sampai empat hari lagi Anda akan melahirkan.”Jani menghela napasnya kemudian menoleh pada Rayhan yang tengah mengusapi punggung tangannya itu sembari menatap layar monitor USG yang tengah menampilkan wajah calon anaknya itu.Sepulang dari rumah sakit, Jani dan Rayhan mampir ke restoran dulu untuk makan siang bersama.“Mas. Dua sampai empat hari ke depan kamu nggak ke mana-mana, kan?” tanya Jani memastikan kalau Rayhan akan ada saat dia melahirkan nan
Malam harinya. Samuel teringat akan wajah perempuan lugu yang tengah mencari pekerjaan tadi pagi di rumah sakit.Kini, ia tak perlu memikirkan kondisi Rayhan kembali karena lelaki itu sudah sembuh dari obat yang sudah dia berikan pada Rayhan dulu.“Kenapa itu cewek nggak bisa hilang dari pikiran gue, sih? Kasihan banget ya, mimik mukanya. Kayak tertekan gitu.”Samuel menghela napasnya dengan panjang. “Semoga aja dia bisa menguasai kerjaannya di kantor nanti. Paling, gue yang harus sabar kalau nanti banyak yang salah.”Samuel kemudian menutup matanya sebab jam sudah menunjuk angka satu pagi. Ia harus ke kantor untuk interview Vira yang sudah ia tunjuk sebagai calon pengganti Tata.Pukul 07.00 WIB.Jani merasa perutnya seperti ini memuntahkan sesuatu. Baru saja ia bangun dari tidurnya, tiba-tiba saja tenggorokannya terasa pahit. Ia pun segera masuk ke dalam kamar mandi dan memuntahkan cairan kuni
Keesokan harinya, Jani dan sang suami pergi ke rumah sakit bersama-sama. Pun dengan Samuel yang dari jam sembilan sudah ada di rumah hendak ikut dengan adik dan iparnya itu.Bahkan Samuel juga yang menggendong Elvan saat tiba di rumah sakit. Dan kini tengah menunggu Jani dan Rayhan yang sudah masuk ke dalam ruangan dokter.“Elvan mau makan apa? Biar Om belikan,” tanya Samuel kepada keponakannya itu.Elvan menggelengkan kepalanya. “Udah makan, Om. Nggak lapel.”“Ooh!” Samuel menyunggingkan senyumnya menatap keponakannya itu. “Elvan, sayang nggak, sama Om?”Elvan mengangguk. “Sayang, Om.”“Bagus. Anak pintar. Kalau sama Mama dan Papa?”“Sayang banget.”Samuel lantas tertawa mendengarnya. “Lucu banget sih, kamu ini. Nggak pantes rasanya kalau bapak kamu itu si Arga. Nggak ada pantes-pantesnya sumpah, dah!”
Satu minggu berlalu. Keluarga kecil yang tengah liburan itu sekarang sudah kembali ke Jakarta.Pun dengan Samuel. Lelaki itu juga ikut cuti selama satu minggu itu. Sebab terlalu penat dirinya dengan pekerjaan yang setiap hari tak pernah ada habisnya.Di sebuah taman di halaman depan rumah. Jani dan Elvan tengah bermain bersama dengan anak dari dua sahabatnya yang sedang berkunjung ke sana."Jani. Gue mau nanya tentang Rayhan ke elo."Jani menolehkan kepalanya kepada Ellena. "Kenapa El?" tanyanya kemudian.Ellena menghela napasnya dengan panjang seraya menatap Jani dengan lekat. "Elo pernah bilang kalau Rayhan akan sembuh dari cacat kesuburannya karena ulah kakak elo waktu itu."Jadi menganggukkan kepalanya. "Iya. So?" tanyanya kembali."Yaa ... sekarang kan, udah lima tahun. Kalian udah periksa lagi ke dokternya?""Oh, itu. Iyaa. Gue dan Mas Rayhan rencana besok mau ke rumah sakit untuk periksa lagi. Semoga
Pukul 20.00 WIB.Kejutan yang akan diberikan oleh Rayhan kepada Jani sebentar lagi akan dimulai. Lelaki itu tengah menunggu Janu yang masih menidurkan anaknya."Woy!"Rayhan menoleh kemudian mengerutkan keningnya melihat Samuel ada di sana."Kok kamu ada di sini?" tanya Rayhan bingung.Samuel menyunggingkan senyumnya. "Gue nanya sekretaris elo, katanya elo cuti selama seminggu karena mau liburan ke Bali. Ya udah, gue susul aja ke sini. Emangnya Jani nggak bilang, kalau gue tadi telepon dia?"Rayhan menggeleng dengan pelan. Ia kemudian menerbitkan senyumnya dengan lebar. Punya ide untuk menjaga Elvan selama dia dan Jani dinner."Kebetulan kamu datang ke sini, aku mau minta tolong sama kamu buat jagain Elvan di sini. Nanti jam sembilan aku dan Jani mau dinner."Samuel lantas menyunggingkan bibirnya. "Beber aja dugaan gue. Pasti, bakalan disuruh jagain Elvan." Ia pun mendengus kasar.Rayh
Sudah tiba di Bali ….Suasana yang indah, yang akhirnya bisa Jani rasakan lagi setelah sekian lama tak pernah mengunjungi tempat itu. Betapa bahagianya ia akhirnya bisa liburan bersama keluarga kecilnya.“Bagus banget pemandangannya. Udah lama banget nggak pernah ke sini. Banyak perubahan juga,” ucap Jani sembari memandang pantai yang indah dan bersih di depan matanya.Tangan Rayhan kemudian melingkar di pinggang Jani, menghampiri perempuan itu setelah menidurkan Elvan di kamar sebab anak itu masih tidur dengan lelapnya.“Makasih ya, Mas. Udah bawa aku dan Elvan ke sini. Seneng banget akhirnya bisa liburan lagi,” ucap Jani berterima kasih kepada suaminya itu.Cup!Rayhan mencium pipi Jani. “Sama-sama. Aku juga sama, seneng akhirnya bisa bawa kamu dan Elvan liburan ke tempat yang cukup jauh. Biasanya keliling mall atau taman saja. Maafin, karena terlalu sibuk dan lupa liburan.”
Jani membuka sendiri lingerie yang ia kenakan di depan Rayhan yang sudah tak sabar ingin mendekap tubuh perempuan itu.“Eits!” Jani menahan tangan Rayhan yang hendak menyentuh dirinya.Rayhan mengerutkan keningnya bingung. “Kenapa lagi, hm?” tanyanya kemudian.Jani hanya tersenyum. Ia kemudian memiringkan kepalanya lalu duduk di atas paha Rayhan. Melingkarkan tangannya di ceruk leher Rayhan dan memulai lebih dulu ciumannya bersama dengan suaminya itu.Tangan Rayhan mengusap sensual punggung Jani yang sudah telanjang. Membuat perempuan itu menggeliat hangat merasakan sentuhan yang dibuat oleh Rayhan kepadanya.“Eumh ….” Jani mendesah lirih. Ia kemudian melepaskan ciuamannya itu lalu menatap penuh wajah Rayhan dengan mata yang sudah gelap oleh kabut gairah.Rayhan kemudian meraup pucuk merah muda milik perempuan itu dan meremasnya bagian yang menganggur.“Ough
Dua hari kemudian, Rayhan sudah kembali ke Jakarta. Membawakan banyak oleh-oleh untuk anak dan istrinya.Cup!Jani lantas terkejut karena Rayhan datang dengan tiba-tiba lalu mencium pipinya. “Mas Rayhan! Aku pikir siapa tadi, astaga! Bikin aku kaget aja.”Jani memukul pelan lengan suaminya karena kesal dan juga terkejut. Bila ia tengah memegang sesuatu, mungkin benda itu akan melayang ke kepala Rayhan. Beruntung, perempuan itu hanya sedang duduk sembari menonton televisi.Rayhan lantas terkekeh pelan. “Aku pikir kamu lagi tidur. Makanya aku cium biar bangun.”Jani mengerucutkan bibirnya. “Mana ada tidur sambil duduk. Kecuali di dalam kendaraan.”Rayhan kembali terkekeh. Ia kemudian memberikan lima paper bag kepada perempuan itu. “Semua yang aneh-aneh yang belum pernah kamu temui, aku beli.”Jani terperangah kemudian membuka satu persatu paper bag tersebut. “Woah! Banyak b
Dua tahun kemudian …. Tidak terasa, usia Elvan pun sudah memasuki dua tahun. Sudah pintar bicara meski masih tak jelas bicara apa akan tetapi orang-orang terdekatnya paham apa yang dikatakan oleh anak kecil itu. “Elvan sudah besar, sudah pintar. Berhenti ASI pun sangat pintar ya, Nak.” Anak kecil itu memang sudah disapih sebelum usianya dua tahun. Hanya sampai dua puluh bulan saja, Elvan sudah berhenti menyusui. Jani sangat lega, karean Elvan tidak terlalu rewel saat berhenti menyusui. “Morning,” sapa Rayhan kemudian mencium pipi Jani dan menerbitkan senyumnya. “Pagi. Mau berangkat sekarang, Mas?” tanya Jani kepada suaminya itu. Rayhan melihat jam yang melingkar di tangannya lalu mengangguk. “Hanya dua hari kok. Nggak akan lama. Atau mau ikut aja?” Jani menggelengkan kepalanya. “Nggak deh, Mas. Aku sama Elvan nunggu di rumah aja.” Rayhan harus pergi ke Malang selama dua hari di sana untuk menyelesaikan program yang sudah ia selesaikan dan perlu diinstalasi ulang agar bisa bero