Jani pamit pergi dari rumah sakit itu ke rumah duka mengikuti rangkaian proses sebelum Maya dikebumikan untuk selamanya. “Mas Rayhan masih belum bisa ditengok ke dalam selama dua puluh empat jam. Jadi, sebaiknya kita ke rumah duka dulu saja sampai besok,” ucap Jani kepada Vanesha dan Tirta. Keduanya mengangguk dan langsung membawa Jani ke rumah duka di mana Maya sudah berada di sana dan kali ini tengah dimandikan juga didandandi sebelum dimasukan ke dalam peti. “Kamu harus kuat, demi Elvan. Tante Maya sudah tenang di sana karena menurutnya, membantu kamu menolong Elvan merampas kembali dari tangan Arga adalah sebuah tugas yang mungkin membuat Tante Maya senang.”Vanesha mengusapi punggung Jani kemudian mengulas senyumnya. Menasihati perempuan itu agar bisa mengikhlaskan kepergian sang mama ke hadapan Tuhan. Jani menelan saliva dengan pelan kemudian menganggukkan kepalanya. “Iya. Mama sempat menggenggam tanganku dan juga tersenyum sebelum akhirnya menutup mata untuk selamanya. Sebe
Keesokan harinya, Jani mendapat surat dari kepolisian mengenai kasus hukum yang akan dijalani oleh Arga. “Minggu depan Arga akan divonis dan hakim sudah setuju untuk memvonis hukuman mati ke dia. Aku lega dengarnya, Kak. Setidaknya dia menghilang di muka bumi ini dengan cara yang adil.”Jani memberi tahu tentang isi surat yang diberikan oleh polisi padanya kepada Samuel yang ingin tahu tentang isi pesan tersebut. Samuel menganggukkan kepalanya lalu mengusapi lengan adiknya itu sembari tersenyum tipis. Menatap sang adik yang terlihat sedikit lega mendapat kabar hukuman vonis yang akan dijatuhkan oleh pihak pengadilan untuk Arga. “Ya udah, seenggaknya elo bisa bernapas lega karena udah dapat keputusan dari pengadilan seminggu yang akan datang.” Samuel memberikan semangat pada adiknya itu. “Iya, Kak. Sekarang tinggal menunggu Mas Rayhan sembuh lagi dari kritisnya. Sudah hampir dua puluh empat jam dan dia masih belum mau bangun juga.”Jani menghela napasnya dengan panjang seraya menat
“Jani. Mama okay, kan?” tanyanya dengan penuh harap bila sang mama juga selamat seperti dirinya. Jani menalan saliva kemudian mengusapi pungggung tangan lelaki itu seraya menatapnya. Menggeleng dengan pelan menandakan bila Maya bukan lagi baik-baik saja. Melainkan sudah pergi untuk selamanya meninggalkan semua orang yang mencintainya di dunia ini. Rayhan mengerti apa arti dari gelengan kepala Jani. “Dia sudah pergi? Tidak tertolong?” tanya Rayhan dengan suara lemahnya. Jani mencium punggung tangan lelaki itu dan menganggukan kepalanya. “Iya, Mas. Mama sudah bahagia di alam sana. Tuhan lebih sayang Mama, hingga akhirnya dia memanggil Mama secepat ini.” Rayhan tersenyum getir. “Dan aku tidak sempat melihatnya untuk terakhir kalinya. Hanya dalam dekapan dia, saat Arga menembak kami berdua. Mama ….”Rayhan menitikan air matanya. Kehilangan sosok yang berharga dalam hidupnya, yang selalu membelanya sejak masih kecil kala dirundung oleh papanya sendiri. Sangat kehilangan akan sosok p
Satu minggu setelah kematian Maya dan juga Arga, semuanya kembali seperti semula. Duka itu sudah luruh seiring jalannya waktu sebab hidup harus tetap berjalan, tanpa harus meratapi kepergian orang yang sudah tenang di alam sana. “Dua sampai tiga hari lagi Anda sudah diperbolehkan pulang, Pak Rayhan. Karena kondisi Anda sudah semakin membaik dari sebelumnya,” ucap dr. Syarif memberi tahu kepada Rayhan. Lelaki itu menghela napas lega kemudian menganggukkan kepalanya. “Terima kasih, Dokter. Akhirnya, bisa keluar dari rumah sakit juga.”dr. Syarif lantas mengulas senyumnya mendengar ucapan dari pasiennya itu. “Ya sudah kalau begitu, saya pamit keluar. Kalau ada apa-apa, bisa langsung hubungi kami.”“Baik, Dok.” Rayhan mengulas senyum lagi kepada dokter yang sudah merawatnya dengan baik selama satu minggu ini. Tak lama kemudian, Jani dan Elvan masuk ke dalam yang baru saja tiba di rumah sakit. “Halo, Elvan. Anak Papa yang sudah wangi dan ganteng mau jenguk papanya, yaa?” Rayhan mengamb
Samuel menggaruk alisnya. “Sebenarnya nanyain Arga. Tapi, karena orangnya udah nggak ada, akhirnya nanya elo aja.”Rayhan mengerutkan keningnya mendengar ucapan dari Samuel tadi. “Siapa, yang nyariin Arga? Kamu kenal, dengan orangnya? Aku pun kenal, dengan dia?”Samuel mengangguk. “Kalau boleh, gue suruh masuk orangnya.”“Siapa dulu, Samuel?” tanyanya kembali.Samuel meringis pelan. “Marisa. Dia lagi hamil anaknya Arga, kan?”Rayhan mengerjap-ngerjapkan matanya. “Setelah sekian lama, dia muncul kembali dan menanyakan Arga? Mungkin usia kandungannya sekarang sudah mau sembilan bulan, yaa.”“Iya. Tadi pertanyaan gue belum elo jawab, Rayhan. Orangnya boleh masuk apa nggak?”“Silakan. Kalau memang mau masuk, yaa silakan.”“Oke! Gue panggil dulu orangnya.” Samuel kembali beranjak dari duduknya dan keluar me
Dua hari kemudian, Rayhan sudah diperbolehkan pulang oleh dokter yang merawatnya sejak dua mingguan ini. Dan kini, lelaki itu sudah kembali ke rumah bersama dengan Jani dan juga Elvan.“Terima kasih ya, sudah merawatku dengan sabar selama dua minggu ini. Seperti yang kamu lakukan saat aku koma dulu,” ucap Rayhan kemudian mengulas senyumnya kepada perempuan itu.“Sama-sama. Dua minggu bukan waktu yang lama, Mas. Aku sudah pernah menunggu kamu dengan sabar selama dua tahun. Jadi, tidak masalah bagiku.” Jani mengulas senyumnya.Rayhan menghela napasnya dengan panjang. Ia menatap wajah perempuan itu yang kini tengah duduk di depannya.“Aku ingin mengunjungi makam Mama, Papa dan juga Arga. Mungkin besok saja, karena sekarang sudah sore.”Jani menganggukkan kepalanya. “Iya, Mas. Besok pagi saja, sekalian ziarah ke makam Mama dan Papa juga. Makamnya saling berdekatan kok, Mas.”Rayha
Tiga minggu sudah, setelah kejadian yang menimpa keluarga Rayhan dan juga Jani berlalu. Sudah satu minggu ini kondisi Rayhan sudah semakin membaik.“Aku ke kantor dulu, yaa. Kalau ada apa-apa jangan lupa kabarin,” ucap Rayhan kepada Jani yang tengah memakaikan baju kepada anaknya itu.“Iya, Mas. Hati-hati di jalan. Tapi, kamu beneran udah sembuh, kan? Kalau belum, mending jangan dipaksakan deh.” Jani tampak mengkhawatirkan lelaki itu.Rayhan tersenyum mendengarnya. “Aku udah sembuh, Sayang. Udah tiga minggu juga, masa iya belum sembuh.”“Iya sih. Ya sudah kalau begitu, hati-hati di jalan. Nanti siang aku bawakan bekal makan siang buat kamu.”Rayhan mengangguk kemudian mengecup kening perempuan itu dengan lembut. Pamit pada Elvan juga yang sudah semakin aktif mengingat usianya kini sudah masuk dua bulan.“Anak ganteng, Papa berangkat kerja dulu, yaa. Jangan nakal, oke? Nanti si
“Kak! Kalau ngomong yang bener!” ucap Jani tak ingin percaya dengan ucapan kakaknya itu.“Beneran, Jani. Gue baru aja dapat info dari temannya yang kerja di kantor. Gue tanya, Marisa yang mana. Dan dia lihatin fotonya.”Jani masih terdiam membeku mendengar ucapan kakaknya itu. “Kak ….”Samuel menepuk-nepuk bahu Jani. “Mau gimana lagi. Orangnya udah dibawa ke rumah duka. Tapi, anaknya masih di rumah sakit karena mengalami kondisi yang agak memprihatinkan juga.”Jani menghela napasnya kemudian menoleh pada Rayhan yang juga hanya diam karena ia pun merasakan duka itu.“Kamu sudah tahu, penyebab utama kenapa dia bisa meninggal setelah melahirkan anaknya?” tanya Rayhan kepada Samuel.Lelaki itu menggeleng pelan. “Nggak tahu. Kita bisa tanyakan ini ke keluarganya di rumah duka nanti. Besok pagi, sekalian ikut acara upacara kematian dia.”Rayhan me