Satu minggu berlalu. Rayhan menemui Arga hendak memberi tahu bila anaknya sudah lahir ke dunia. Ditemani oleh Samuel yang tak ingin membuat Rayhan kenapa-kenapa bila pergi sendiri. Tak lama kemudian, Arga datang lalu duduk di depan Rayhan dan juga Samuel sembari menatap keduanya dengan tatapan datarnya. “Ada apa?” tanyanya ketus. Rayhan masih diam dan hanya menatap Arga dengan tatapan yang tidak bisa diartikan. Mengembuskan napasnya dan kembali menatap Arga lagi. “Jani sudah melahirkan. Bayinya laki-laki dan sangat tampan. Mata dan hidungnya dominan kamu, Arga. Jika usianya sudah dua atau tiga bulan, aku akan membawanya agar kamu bisa melihat darah dagingmu. “Yang telah dilahirkan oleh Jani dengan taruhan nyawa. Aku harap kamu dapat menyayanginya meski tidak akan pernah merawatnya. Aku akan bertanggung jawab atas Jani dan juga anaknya.”Arga tersenymum miring mendengar ucapan adiknya itu. “Belagu! Elo pikir, kalian akan hidup tenang, setelah memasukan gue ke penjara? Nggak! Gue
Jani dan Rayhan pergi ke pengadilan untuk mengajukan cerai setelah dua minggu lamanya ia menunggu sampai waktu itu tiba. Ditemani oleh Samuel yang akan membantu menyelesaikan proses tersebut. “Sudah lengkap kan, berkasnya? Tinggal diserahkan ke bagian admin aja?” tanya Samuel kepada adiknya itu.Jani mengangguk. “Udah, Kak. Mas Rayhan udah bantu aku buat ngumpulin berkasnya juga.” Samuel mengangguk kemudian menoleh ke arah di mana Rayhan dan kuasa hukum yang ia tunjuk untuk membantu proses perceraian Jani dengan Arga. “Kamu berikan berkasnya ke Pak Jonny. Dia yang akan membantu kamu dalam proses cerai kamu,” kata Rayhan memberi tahu. Jani mengangguk kemudian menjabat tangan kuasa hukumnya yang akan membantunya menyelesaikan perceraian. “Terima kasih atas bantuannya, Pak Ronny.”“Sama-sama, Bu Jani. Karena suami Anda sedang menjalani masa tahanan bahkan sampai seumur hidup sementara Anda memiliki tanggungan yaitu anak, maka prosesnya bisa segera diselesaikan dengan cepat.”Jani me
Dua minggu setelah menyerahkan dokumen untuk persyaratan perceraian, akhirnya Jani dipanggil untuk melakukan sidang di hari itu. Ia juga membawa Elvan ke sana mengingat usianya yang sudah menginjak satu bulan, bayi mungil itu sudah bisa dibawa keluar oleh sang mama. "Semoga sidangnya berjalan dengan lancar ya, Nak. Mama bisa terbebas dari jeratan pernikahan sama papa kamu yang bahkan tidak mengharapkan Mama. Begitu pun sebaliknya. Mama juga nggak mengharapkan papa kamu." Jani mengusapi wajah anaknya yang tengah menyusui sembari menutup matanya. Kini, mereka sudah berada di perjalanan menuju pengadilan. Ditemani oleh Samuel, Rayhan dan juga Maya yang ikut ke pengadilan. Sementara Pak Ronny sudah berada di sana menunggu mereka tiba. Sisa satu jam lagi, sidang akan dilakukan. Setelah tiba di pengadilan, Jani memberikan anaknya kepada Maya karena ia harus duduk di depan hakim untuk mendengarkan putusan dari hakim. Jani menghela napasnya dengan panjang lalu duduk di kursi yang sudah
Jani menghela napasnya. "Posisi aku udah direbut Elvan kayaknya." Rayhan terkekeh pelan. "You too. Sama anak sendiri masih aja cemburu. Oh, iyaa. Kamu kan memang cemburuan."Jani lantas mengerucutkan bibirnya. "Cemburu itu tanda sayang. Aku bakalan masa bodoh kalau nggak sayang sama kamu." Rayhan tertawa pelan. "Bisa aja jawabnya. Sama software aja kamu cemburu, yaa. Karena aku terlalu banyak pacaran sama sistem." Jani geleng-geleng kepala. "Kurangin, Mas. Kamu kalau udah di depan komputer, bakalan lupa dunia.""Iyaa. Sudah aku kurangi kok," ucapnya lalu menatap Jani dengan tatapan lembutnya. "Jani. May i ask something?" Jani menaikan alisnya sebelah. "Apa?" tanyanya kemudian. Rayhan lalu mendekatkan wajahnya dan menyentuh lembut bibir perempuan itu hingga membuatnya mematung kala merasakan bibir merah itu menyentuh bibirnya.Usai menyentuh bibir perempuan itu, yang bahkan Jani masih diam terpakup padahal Rayhan sudah menyelesaikan ciumannya tersebut. Rayhan mengulas senyum kal
“Pada mau ke mana?” tanya Maya kala melihat Rayhan menggendong Elvan sementara Jani mendorong stroller hendak membawanya ke dalam mobil. “Mau liburan, Ma. Ke danau aja lihat yang hijau-hijau di sana. Jani kayaknya butuh liburan. Sampai ini hari apa dia lupa.”Maya terkekeh mendengar jawaban dari anaknya itu. “Ya sudah kalau begitu, have fun, yaa.”“Siap, Ma. Kalau gitu kami berangkat dulu. Kalau Samuel nanya atau ke sini, kasih tahu aja. Siapa tahu mau join. Mama nggak ikut juga?” tanya Rayhan. Maya menggeleng. “Mama mau istirahat saja, Nak. Kebetulan kemarin juga banyak kerjaan di butik.”“Ya sudah kalau begitu. Mama istirahat saja. Kita pulang agak sorean juga kayaknya, Ma.”“Iya, Nak. Nggak apa-apa.” Maya menerbitkan senyumnya kepada anaknya itu. Keduanya lantas pamit keluar dari rumah itu dan melangkah menuju garasi mobil. Jani mengambil alih Elvan sebab Rayhan hendak memasukan stroller ke dalam bagasi mobil juga barang-barang lainnya di sana. “Nggak ada yang ketinggalan?” tan
Rayhan mengejar lelaki itu sekencang-kencangnya yang telah membawa Elvan. “Ada apa ini?” tanya Samuel yang baru saja tiba di sana. “Elvan mana?” tanyanya lagi kala melihat alas tidur tidak ada Elvan di sana. Jani yang masih menangis histeris hanya menunjuk Rayhan yang tengah mengejar pria yang membawa Elvan entah ke mana. “Shiittt! Berengsek! Kenapa itu orang bisa keluar dari penjara?” pekiknya kemudian mengejar Rayhan dan juga Arga yang berhasil membawa kabur Elvan. Banyak orang yang menghampiri Jani. Melihat dengan mata kepala mereka sendiri kala pria itu membawa Elvan begitu saja.“Halo, Ma. Ma. Entah kenapa Arga bisa kabur dari penjara aku pun nggak tahu. Dia bawa kabur Elvan, Ma.” Jani menghubungi Maya memberi tahu anaknya dibawa kabur Arga. “Apa?” Maya begitu terkejut mendengarnya. “Kamu masih di danau sekarang, Nak?” tanyanya kemudian. “Iya, Ma. Aku masih di sini.”“Ya sudah, Mama ke sana sekarang juga. Kamu harus sabar dan tenang. Rayhan pasti bisa mengambil kembali Elva
Maya dan Rayhan langsung dibawa ke rumah sakit setelah ambulans tiba di tempat kejadian. Jani dan juga Samuel mengikuti mobil ambulans. "Banyakin doa, jangan mikir yang jelek-jelek. Gue yakin, Rayhan pasti akan selamat," ucap Samuel menenangkan dan menguatkan Jani yang sedari tadi menangis. Jani mengusap air matanya dan menatap ke arah sang kakak. "Bukan hanya Mas Rayhan saja yang mengalami luka tembak, melainkan Mama juga. Aku harap mereka baik-baik saja dan bisa terselamatkan," lirik Jani sembari menatap sang kakak. Samuel mengeluhkan kepalanya seraya mengusapi punggung tangan adiknya itu."Sebentar lagi sampai rumah sakit. Lo harus kuat, harus tabah dan tentunya jangan berhenti berdoa untuk keselamatan mereka berdua."Jani mengangguk dengan pelan. Ia tak habis pikir semua ini akan terjadi. Baru saja menikmati hari dengan Rayhan, kini harus mengalami nasib buruk lagi karena ulah Arga yang telah menembakkan peluru kepada Rayhan dan Maya. Setibanya di rumah sakit, Jani dan Samuel
Jani pamit pergi dari rumah sakit itu ke rumah duka mengikuti rangkaian proses sebelum Maya dikebumikan untuk selamanya. “Mas Rayhan masih belum bisa ditengok ke dalam selama dua puluh empat jam. Jadi, sebaiknya kita ke rumah duka dulu saja sampai besok,” ucap Jani kepada Vanesha dan Tirta. Keduanya mengangguk dan langsung membawa Jani ke rumah duka di mana Maya sudah berada di sana dan kali ini tengah dimandikan juga didandandi sebelum dimasukan ke dalam peti. “Kamu harus kuat, demi Elvan. Tante Maya sudah tenang di sana karena menurutnya, membantu kamu menolong Elvan merampas kembali dari tangan Arga adalah sebuah tugas yang mungkin membuat Tante Maya senang.”Vanesha mengusapi punggung Jani kemudian mengulas senyumnya. Menasihati perempuan itu agar bisa mengikhlaskan kepergian sang mama ke hadapan Tuhan. Jani menelan saliva dengan pelan kemudian menganggukkan kepalanya. “Iya. Mama sempat menggenggam tanganku dan juga tersenyum sebelum akhirnya menutup mata untuk selamanya. Sebe