Boo sudah diwanti-wanti agar kaki telanjangnya diam saat Isabelle mewarnai kuku kakinya yang tampak pucat. Sesekali gadis berambut perak itu memekik jengkel saat Boo malah menggelitiki tubuhnya yang duduk di lantai hingga akhirnya cat kuku itu tumpah mengenai bagian sudut sofa lembut itu.
"Kubilang diam, Boo," titah Belle yang jengah karena ulah Boo yang sejak tadi terus menggodanya. Lihat saja nanti jika Paman Hwang datang, ia akan mengadukan gadis nakal itu hingga ia tak dapat jatah makan malam.
"Adukan saja. Nanti cat kukumu akan ku tumpahkan lagi. Lihat, masih ada emerald dan gold di sana," goda Boo sambil menunjuk kotak kaca berbentuk kubus yang ada di tengah meja.
"Sudah cukup main-mainnya. Kau tahu 'kan nanti malam Ketua William akan datang menjemputmu. Jangan banyak tingkah!" seru Isabelle dengan kesal, atau mungkin gadis itu terlampau cemas setelah mengucapkan nama pemuda asing itu.
"Untuk apa aku menurut? Dia itu hanya kesayangan Paman Hwang dan aku tak suka padanya." Boo lihat jemari kakinya yang telah diwarnai dengan cantik dan rapih sekali. Ia tak suka. Sungguh. Jika saja Isabelle tak memohon padanya untuk merusak hasil kerjanya itu, maka bisa dipastikan ia akan memasukkan kakinya ke ladang rumput.
"Kau harus tetap tinggal bersamanya. Walau kau tak suka sekalipun. Ia tetap bagian dari keluargamu," jelas Isabelle yang lantas menggenggam jemari Boo. Rasanya memang berat melepas Boo yang merupakan teman dekatnya itu untuk pergi ke rumah besar milik keluarga Will. Namun, ia tak dapat berbuat apapun.
Boo menghela napas panjang sebelum beranjak dari sofa empuknya. Gadis itu berjalan menuju kasur busa miliknya yang telah rapih oleh perbuatan Isabelle tadi siang.
Tubuhnya langsung menerjang guling besar itu dan mulai terlelap.Malam nanti ia akan melakukan perjalanan panjang bersama pria bernama William itu. Pria yang bahkan enggan ia temui beberapa tahun lalu setelah Paman Hwang mengatakan bahwa pria kaku itu adalah saudara jauh ayahnya.
Ia selalu mengutuk nama itu.
William, William, William... jangan muncul dihadapanku!Batinnya akan selalu berkata begitu.Boo mengintip dari celah rambutnya yang tergerai menyentuh selimut. Mengamati Isabelle yang memandangnya sendu. Tentu gadis itu menangkap jelas kegelisahan teman satu-satunya itu.
"Belle, aku ingin tidur siang. Tolong kunci pintunya, ya. Aku mencintaimu," ucap Boo sembari merapatkan selimut yang ia tarik menutupi tubuhnya.
Ia tak ingin melihat wajah sendu itu lebih lama lagi. Isabelle anak baik dan teman baiknya. Hanya saja mereka tak bisa bersama hingga malam nanti.
Sampai ia mendengar suara pintu tertutup, matanya terbuka dan mulai membuka selimutnya kembali. Ia mendapati Isabelle tak ada di sana lagi dan itu membuatnya lega.
¶¶_______________________________________________¶¶
Malam harinya Isabelle meneriakinya saat ia kelepasan tidur hingga petang. Jika dihitung, gadis itu tertidur cukup lama sekitar lima jam sejak pukul dua lalu.
"Bangunlah, Boo. Jangan sampai Ketua Will kemari dan menyeretmu sampai ke rumahnya," celetuk Isabelle yang lagi-lagi harus menerima pekerjaan sulit. Membangunkan Boo adalah salah satunya."Iya, aku bangun," ucap Boo dengan suara parau. Ia menggaruk tubuhnya yang mulai gatal. Tentu saja karena ia melewatkan jam mandinya.
Gadis itu terus menggaruk tubuhnya dengan mata terpejam. Isabelle sampai harus menghentikannya karena takut kuku Boo malah melukai tubuhnya sendiri."Jangan merengek terus, Boo. Cepat bangun dan mandi. Ketua Min dan Paman Hwang sudah datang. Aku akan membawa kopermu keluar setelah kau mandi."
Isabelle, gadis itu yang paling sibuk malam ini. Membuat Boo mandi dan memastikan gadis itu melakukannya dengan benar, merapihkan kamar, memasukkan beberapa barang yang nanti dibawa gadis itu ke rumah besar Ketua Will dan menghias wajah Boo diakhir nanti.
"Cepatlah sedikit, pemalas. Aku harus menghiasmu juga dalam waktu sepuluh menit," teriak Isabelle memperingati Boo yang mengambil waktu mandinya terlalu lama.
Mereka harus cepat. Ingat, 'kan? Kebetulan Ketua Will bukan orang yang mudah memberi toleransi.
"Iya, aku dengar. Tunggu Belle sepertinya pengait bra-ku lepas. Tolong ambilkan yang baru, ya."
Tak tahu diri! Tak tahu diri!
Mungkin itu yang menjadi umpatan Isabelle setelah mendengar suara Boo.Kegaduhan mulai mereda saat Boo telah selesai dan didudukkan di kursi rias dengan berhadapan dengan cermin besar di kamarnya.
Isabelle jelas-jelas merasa dongkol sekali sebab mendapati cat kuku di kedua jemari itu lenyap dan rusak akibat Boo yang terburu-buru hingga membentur kayu di sudut ranjangnya.
Ia lebih banyak diam karena Isabelle murka dan mengatakan hal-hal menggelikan. Boo bahkan lebih baik mendengar ceramahnya ketimbang ia mengatakan macam ini,
"Kau tahu mengapa kau terlambat bangun? Karena aku yang menyumpal mulut ayam di samping rumah ini.""Kau juga pasti tak tahu jika aku diam-diam mencampur air mandimu dengan lem keras hingga membuat tubuhmu kaku dan membentur sisi ranjang."
"Atau kau tak heran mengapa aku meriasmu malam ini? Supaya besok-besok aku bisa menari-nari karena kau berhasil dinikahi Ketua Will!"
Masih banyak celotehan tak masuk akal keluar dari bibirnya. Boo sampai mual mendengar semuanya.
"Belle aku tak suka rambutku diikat aneh beg—" Isabelle dengan cepat melotot padanya, "Oke— maaf." Setelahnya Boo tak protes lagi.
Sudah hampir tiga menit dan Boo begitu tersiksa saat Belle menyisipkan jepitan kecil-kecil itu di rambut panjangnya. Menurutnya, gadis itu sedang balas dendam dengan menusuk-nusuk rambutnya yang dibuat melengkung itu.
"Sudah siap, kau terlihat begitu cantik Boo. Seperti mempelai wanita Jepang itu loh. Ketua Min pasti suka," ujar Isabelle dengan tersenyum senang. Ia bahkan lupa jika beberapa menit lalu telah membuat Boo tersiksa.
Boo mulai memandang lekat pantulan dirinya di cermin. Isabelle benar-benar menganggap dirinya mempelai wanita. Sungguh berlebihan.
Padahal ia hanya akan pindah ke tempat Ketua Will dan bukan melangsungkan pernikahan.Jika saja Isabelle dan senyumnya yang tampak bodoh ini membuatnya ikut tersenyum juga, ia pastikan akan menarik-narik rambutnya hingga kusut.
"Cepat, Ketua Will telah menunggumu."
¶¶____________________________________________ ¶¶
"Selamat malam Boo, kau cantik sekali," puji Paman Hwang yang tengah bersandar pada Lambo miliknya. Sementara di seberang sana, Ketua Will terpaku sejenak kemudian mengalihkan wajahnya.
"Terima kasih Paman Hwang. Katakan padaku, kita akan kemana?" kali ini Boo sudah tak tahan lagi. Rambutnya terasa gatal akibat spray rambut yang terlalu banyak.
Isabelle yang di sebelahnya pun dengan cepat menahan jemari Boo yang akan menggaruk lagi.
"Diamlah, Boo. Nanti Ketua tak menyukaimu," bisik Isabelle yang langsung membuat Boo memandang pria itu lagi.
"Kau akan tinggal bersama Ketua Will sesuai dengan wasiat orang tuamu. Hiduplah dengan baik di sana. Aku pasti akan merindukanmu." Paman Hwang mengucapkannya dengan sungguh-sungguh.
Ia pasti sudah gila!
Namun sebelum Boo bisa mengatakan apapun, Ketua Will menarik lengannya sedikit keras dan membawanya masuk ke dalam Hyundai miliknya.
"Maaf jika sedikit kasar," ucap Ketua Will saat memasukannya seperti rongsokan. Kepala pria itu melongok sekedar melihat Boo yang meringis setelah ia tarik paksa.
"Pasang sabuk pengamannya, aku akan memasukkan kopermu dulu." Ketua Will berjalan menjauh. Boo mengintip lewat spion saat Yoongi berpamitan pada Paman Hwang dan Isabelle.
Anak yang sopan ternyata
Boo kembali melihat peia itu bergerak membuka pintu mobil, menutupnya kembali dengan tepat. Tanpa percakapan lagi, pria itu membawanya menjauh dari rumah serta keluarganya.
"Aku seperti tawanan, tahu? Kau menjengkelkan sekali." Boo mulai bersuara saat perjalanan telah cukup lama ia rasa.
Sementara Will hanya tersenyum tanpa ingin membalas ucapannya.
"Beritahu aku kemana kita akan tinggal! Aku tak suka tinggal bersamamu walau ku tahu kau salah satu keluarga jauh Ayah," ucapnya begitu kesal. Ia harus tahu kemana tujuan mereka. Ia tak tahu sebegini jauhnya perjalanan keduanya untuk sampai di tempat William.
Ia bisa saja nekat turun di tengah jalan dengan membuka pintu. Jika saja ia tak takut mati terlindas di jalan.
"Di rumah peninggalan Ayah dulu. Kau pernah ke sana saat berumur lima tahun. Aku yang menggendongmu kesana-kemari. Jika kau lupa."
Boo mencoba mengingat kenangan masa lalunya di mana memang benar Will yang menggendongnya saat ia ketakutan melihat sesuatu di salah satu ruangan. Ia tak ingat pasti apa yang ia lihat di sana. Yang ia tahu, pria itu langsung menggendongnya saat ia terisak keras.
"Aku bahkan tak ingat omong kosong itu," bohongnya kemudian mengalihkan pandangan pada pepohonan yang seakan mengejarnya.
"Kau akan ingat kembali setelah sampai di sana. Aku ingin memperbaiki hubungan kita dulu, Boo. Jadi tolong jangan terlalu keras padaku."
Pria itu kemudian kembali memperhatikan jalanan ketika mendapati Boo yang telah terlelap. Atau sengaja terlelap?
Karena ia sedikit melihat gadis itu tersenyum remeh.Setelah melewati gerbang utama, Will memutar setir ke arah kanan dan melaju dengan tenang melewati deretan bunga-bunga yang menggantung di sana. Ia terkejut mendengar pekikan dari bunga Rose yang masih terjaga saat ia sedikit menurunkan kaca mobilnya. Sekadar menunjukkan siapa gadis yang ia bawa."Ya Tuhan, Ya Tuhan, Ya Tuhan... Willku membawa gadis cantik!" teriaknya lagi yang kemudian berhasil membangunkan bunga lainnya yang mulai sahut-sahutan.Hingga pria jangkung itu mematikan mesin, Boo masih terlelap tanpa terganggu gurauan seseorang yang menyambutnya di pintu utama."Selamat datang Ketua Will. Senang bertemu denganmu dan—" Ia melirik sekilas seseorang lewat kaca mobil yang sengaja dibukanya."Tolong siapkan satu kamar di samping milikku. Boo sepertinya terlalu lelah," pintanya yang kemudian disegerakan oleh Kepala Pelayan Song.Segera setelah Will memerintahkannya, beberapa pelayan mula
Kakinya berjinjit kecil. Setenang mungkin melangkah melewati lorong panjang di luar kamarnya. Rambutnya yang lusuh dibiarkannya terombang-ambing sampai terlilit. Ia tak peduli.Boo berjengit lantaran menginjak sesuatu yang lembut di bawah kakinya. Ia kemudian melongok dan mendapati seekor anjing manis berbulu putih bercorak hitam. Ia memutari kaki Boo yang tertegun. Lidahnya menjulur-julur dengan mata coklat yang cerah memandangnya."Pergilah anjing baik. Jangan gigit aku," ucap Boo sembari bersiap melangkah lagi jika saja si putih manis ini tak menggonggong dengan kencang sebanyak tiga kali.Boo akhirnya terduduk di lantai dan meminta anjing manis itu duduk di pahanya. Kebetulan ia hanya mengenakan celana piyama miliknya yang hanya menutupi sedikit paha atasnya. Sehingga anjing itu bergesekan langsung dengan kulitnya.Semakin lama anjing itu meringsek seperti mendekapnya. Ini terlalu dekat dan perutnya se
Will meminta Boo ke taman belakang yang begitu jauh dari kamarnya. Ditemani Pelayan Song yang sejak tadi tersenyum ramah padanya. Namun, gadis itu sama sekali tak menyambutnya hangat. Bahkan sejak tadi dirinya hanya tertarik pada sekumpulan bunga-bunga yang bercahaya di sekitarnya."Kau suka flowerblast?" tanya Pelayan Song sambil menunjuk objek yang diamatinya sejak tadi. Salah satu flowerblast melayang di sisinya begitu pria itu menjentikkan jarinya.Kini ia dapat melihat lebih jelas bahwa bunga menyala itu memiliki mata yang indah dan mulut yang — tunggu dulu. Mulut? Bunga ini memiliki mulut kecil. Ah, gila!"Selamat datang, wanitanya Will, aku roseblast," sapa bunga mawar merah itu sambil menempelkan kelopaknya di pipi Boo. Oh, apakah ini cara mereka berkomunikasi?"A—ap, ah, maksudku aku Boo. Bisakah jauhkan durimu dari lenganku. Tolong," pintanya saat dirasa duri itu semaki
Boo mengunyah kacang almond dan beberapa kudapan lainnya. Ia sungguh lapar. Bahkan sampai lupa jika semua orang terkecuali Charlie memandangnya begitu lekat."Apa?" tanyanya ketus. Ia masih kesal dengan keadaan yang membuatnya gila. Bagaimana bisa ia terjebak dengan mereka semua."Ekm. Baiklah sesuai surat wasiat ayahmu, Boo. Kau harus tinggal di sini bersama kami. Kau juga sekarang bagian dari kami. Jika kau bingung, mereka adalah makhluk setengah manusiayang aku temui. Hanya kau yang tahu masalah ini. Juga, benda-benda di sini yah seperti yang kau lihat, hidup. Mereka hidup sebelum kami semua di sini. Jadi, tolong hormati mereka." William serius dengan ucapannya. Ditambah tak ada bantahan dari siapa pun di sini."Aku tak peduli mau kalian semua bahkan kau, Will. Tapi, benda-benda di kamarku yang membuatku tak nyaman. Kau pikir bagaimana bisa aku tidur jika semuanya meracau dan berteriak bahkan
"Sudah siap?" tanya Judish sambil melongok ke belakang kursi kemudi. Hari ini gilirannya untuk mengantar Christ, Charlie, Valdish dan penghuni baru, Boo pergi ke SMA Cellos. Jaraknya lumayan jauh dari tempat tinggal mereka.Butuh sekiranya satu jam perjalanan ke sana."Geser sedikit, bokongmu besar sekali, sih. Aku terhimpit," sungut Charlie yang sialnya duduk di tengah mobil. Biasanya ia akan duduk leluasa karena kursi ini cukup diduduki tiga orang. Tapi, akibat bertambah satu orang, ia mau tak mau kesal juga."Bokongku baik-baik saja. Mungkin badanmu saja yang sudah berubah jadi babi sampai mobil ini rasanya terlalu kecil untukmu," balas Boo yang memang telinganya terasa diganggu oleh ucapan si kelinci bongsor itu."Kau—"
Charlie sibuk menggendong tubuh Boo setelah pelajaran terakhir usai. Di belakangnya, Christ dan Valdish membawa beberapa barang milik gadis itu. Jujur saja si kelinci manis berubah diam saat memasuki ruang kesehatan tadi. Bukan hanya Boo yang merasakan, semuanya yang berada di mobil pun ikut merasa bahwa Charlie tengah menebus kesalahannya.Setidaknya Charlie tak lepas tanggung jawab dan merengek minta perlindungan. Ia justru begitu fokus menatap jalanan. Hari ini memang gilirannya menyetir. Ditambah beberapa kali ia menanyakan keadaan Boo seperti,"Apa punggungmu masih sakit? Beritahu aku"atau"Jangan terlalu menekan punggungmu di kursi. Biar Christ yang menjadi sandaranmu sampai kita tiba di rumah."Dan lebih parahnya, kalimat terakhir Charlie membuat dirinya takut"Kau tidur denganku untuk sementara. Aku izinkan sampai kau pulih."Ia mengucapkan kalimat terakhir dengan sorot ma
Charlie menjadi satu-satunya yang nampak begitu bahagia setelah Mrs. nursea mengatakan bahwa Boo akan pulih besok. Luka memarnya pun telah lenyap sejak dua jam lalu. Namun, gadis itu masih harus istirahat selama semalam penuh agar racun Flower Guinea bisa melemah.Hampir saja Jack terkena lemparan bola baseball milik Charlie, jika saja ia berhasil menghindar."Sudah kukatakan bahwa aku tak tahu ada racun di dalamnya," ucap Jackson takut. Ia masih sibuk berlindung di belakang punggung Valdish."Untung saja kau bawa Nursea tepat waktu. Jika tidak, aku akan memindahkanmu ke Amazon!" gertak Charlie yang kesal.Mereka menoleh pada suara langkah kaki yang semakin mendekat. Jika dihitung-hitung, di kamar itu hanya ada Valdish, Christ, Jackson dan Charlie. Sementara Hosea dan Judish tengah berada di kamarnya.Lalu, siapa yang datang?"Apa yang kalian lakukan?" tanya William yang baru saja tiba dan mendekati kamar Charlie ya
Boo pagi-pagi sekali telah berada di taman belakang. Ia mengamati sekitar saat flowerblast berbisik-bisik mengenai dirinya. Ia bahkan sempat mendengar bahwa salah satunya akan melukai dirinya. Tentu saja itu tak membuatnya bergeming. Ia hanya ingin menikmati pagi akhir pekan. Setelah beberapa hari sebelumnya cedera punggung membuatnya susah tidur. Sesekali ia menghirup udara sejuk saat hembusan angin melewatinya. Cuaca saat ini tak begitu buruk. Rasanya ia ingin berkeliling lebih dalam hingga hutan yang berada di perbatasan rumah William ini. Ini menyenangkan. Melangkah ringan, kakinya ia bawa menuju ke ujung taman. Di sana terasa lebih dingin dan gelap. Bahkan ia hampir menyangka jika saja, hari berganti begitu cepat. Terlalu dalam dan gelap. Ia bisa merasakan jika suara burung yang sejak tadi berkicauan menjadi sunyi. . Apa ini yang dimaksud dengan "Disembunyikan alam"? Ia sungguh menyesal tak m
Setelah melewati gerbang utama, Will memutar setir ke arah kanan dan melaju dengan tenang melewati deretan bunga-bunga yang menggantung di sana. Ia terkejut mendengar pekikan dari bunga Rose yang masih terjaga saat ia sedikit menurunkan kaca mobilnya. Sekadar menunjukkan siapa gadis yang ia bawa."Ya Tuhan, Ya Tuhan, Ya Tuhan... Willku membawa gadis cantik!" teriaknya lagi yang kemudian berhasil membangunkan bunga lainnya yang mulai sahut-sahutan.Hingga pria jangkung itu mematikan mesin, Boo masih terlelap tanpa terganggu gurauan seseorang yang menyambutnya di pintu utama."Selamat datang Ketua Will. Senang bertemu denganmu dan—" Ia melirik sekilas seseorang lewat kaca mobil yang sengaja dibukanya."Tolong siapkan satu kamar di samping milikku. Boo sepertinya terlalu lelah," pintanya yang kemudian disegerakan oleh Kepala Pelayan Song.Segera setelah Will memerintahkannya, beberapa p
Boo sudah diwanti-wanti agar kaki telanjangnya diam saat Isabelle mewarnai kuku kakinya yang tampak pucat. Sesekali gadis berambut perak itu memekik jengkel saat Boo malah menggelitiki tubuhnya yang duduk di lantai hingga akhirnya cat kuku itu tumpah mengenai bagian sudut sofa lembut itu."Kubilang diam, Boo," titah Belle yang jengah karena ulah Boo yang sejak tadi terus menggodanya. Lihat saja nanti jika Paman Hwang datang, ia akan mengadukan gadis nakal itu hingga ia tak dapat jatah makan malam."Adukan saja. Nanti cat kukumu akan ku tumpahkan lagi. Lihat, masih ada emerald dan gold di sana," goda Boo sambil menunjuk kotak kaca berbentuk kubus yang ada di tengah meja."Sudah cukup main-mainnya. Kau tahu 'kan nanti malam Ketua William akan datang menjemputmu. Jangan banyak tingkah!" seru Isabelle dengan kesal, atau mungkin gadis itu terlampau cemas setelah mengucapkan nama pemuda asing itu.
ValdishSejak Boo memberikan hadiah pada Valdish, pria itu terus mengekorinya. Ia mengucapkan terima kasih lagi malam ini. Tentu saja gadis itu merasa tak nyaman. Sebab, jika dipikir lagi, Valdish sepertinya telah salah paham. Ia menjelaskan bahwa hadiah itu dari seseorang bernama Alexa. Namun, pria itu tak percaya.Sampai akhirnya Valdish meminta Boo pergi bersamanya ke hutan. Kebetulan hari ini ia tak menemui Azua karena pria itu tengah berada di luar. Tak ada kecurigaan awalnya. Meski hatinya mengatakan jika ada sesuatu yang buruk akan terjadi.Valdish menggenggam jemarinya erat saat mereka melewati bagian timur hutan. Gadis itu terpana melihat sesuatu yang bercahaya mengelilinginya. Kegelapan dalam hutan seakan lenyap begitu saja.“Kau menyukainya? Ini kerabat dekat flowerblast. William membawa mereka kemari.”Boo terus terkesima saat melihat seekor rusa. Warnanya yang merah kecoklatan, seakan terlindungi. Rusa itu terus be
Hari ini terik sekali. Boo, Christ, Valdish dan Charlie masih berkutat dengan ujian tengah mereka. Rasanya seperti neraka. Mrs. Zoe terus mengawasi dengan ketat. Bahkan tak ada murid yang berani membuka suara. Sebab, jika terlihat gerakan mencurigakan, wanita itu tak segan mengambil kertas ulangan dengan paksa.Kali ini Mrs. Zoe melewati bangkunya dan Valdish. Mengentakkan sepatu pantofelnya nyaring. Tinggal satu soal lagi yang harus Boo kerjakan. Ia sedikit melirik kertas Valdish yang telah terisi hampir seluruhnya. Sulit sekali. Padahal pria itu telah membuka lebar kertas miliknya dan bergumam pelan. “Cepatlah salin,” ujarnya begitu perlahan sambil mengamati guru mereka yang untungnya telah berada di bangku lainnya.Boo segera menyalin jawaban di soal terakhir. Ia tak lupa mengatakan terima kasih. Valdish yang gemas, mengusak surai panjangnya. Ah, pria itu tampan sekali.“Mrs. Zoe, aku telah selesai,” ucap Valdish yang kemudian bangkit
Boo meringis kesakitan saat Azua membersihkan sisa luka yang mengering di tubuhnya. Beberapa menit setelah gadis itu limbung, tiga jamur yang menggigitnya telah dimasukkan ke dalam kantung khusus penahan makhluk. Lukanya cukup dalam bagi manusia lemah. Azua sampai harus repot memindahkan tubuh gadis itu ke tempat tidurnya. Ia sibuk meracik ramuan penyembuh. Sesekali melirik ke arah Boo. Sungguh gadis lemah yang malang, pikirnya. Azua berpikir untuk melatih gadis itu agar kebal saat diserang para makhluk. Sudah jelas jika enam hari ke depan, ia akan menghadapi berbagai makhluk yang akan digunakan sebagai ramuannya. Azua bisa saja melakukannya sendiri. Bahkan jika dipikir, lebi cepat ia lakukan tanpa bantuan seseorang. Namun, melihat gadis itu hampir sekarat karena gigitan anak jamur, rasanya ada simpati yang muncul. Ia harus melindungi gadis ini. Ramuan penyembuh racikannya telah dibuat sempurna. Di
Boo ditemukan seekor rubah merah yang kebetulan tengah melintas. Rubah itu kemudian mengubah dirinya menjadi manusia. Ada rasa penasaran saat mencium aroma tubuh gadis ini. Tercium aroma citrus yang segar menguar dari tubuh Boo. Rubah itu terus mendekat hingga menghirup ceruk leher gadis itu. "Hentikan dan bawa gadis itu ke tempatku!" seru Azua yang datang dari arah sebrang. Rubah itu terlihat ketakutan. Ia segera membawa gadis itu menuju tempat tuannya. Azua, pria yang merupakan penguasa dalam hutan mengikutinya dalam diam. Ada semacam tali transparan yang mengkilat di sekitar pondok Azua. Ia sengaja memantrainya agar tak ada makluk yang dapat masuk, kecuali manusia. Maka, setelah berada di sekitar tali pembatas, rubah itu memberikan Boo dalam dekapan Azua. Kemudian, ia kembali ke bentuk semula. "Tuan, gadis itu siapa?" tanya rubah sambil terus memperhatikan Boo dari dekat. Azua mengernyit tak suka, "Pergil
"Aku ingin salad," ucap Boo yang baru tiba di meja makan. Seluruh makhluk dan William menoleh ke arahnya. Sejak kejadian semalam, Boo hanya mengurung diri di kamar. Bahkan gadis itu melewatkan jam makannya. Tak ada yang mencegahnya. Tak ada siapa pun yang diizinkan William untuk mendatangi kamar gadis itu termasuk Judish yang bersikeras untuk menjelaskan sesuatu. Hari ini pun Boo terlihat murung. Charlie yang di sampingnya tak berani protes saat gadis itu justru mengambil roti isinya. William terus memperhatikannya. Jadi, tak ada yang bisa membantah. "Bagaimana urusan sekolah kalian? Kudengar akan ada ujian minggu depan." William mengunyah roti isinya tanpa minat. "Ya. Kau tahu, di dunia manusia itu rumit. Aku malas belajar, Ketua." Charlie menyahut dengan cepat. Ia tak menyukai hal yang berkaitan dengan sekolah, kecuali bagian olahraga. "Kau memang bodoh," celetuk Boo s
Boo merasakan lengannya menyengat saat bersentuhan dengan Hosea. Sensasinya tak melukai. Namun, aneh. "Sebenarnya apa yang kalian bicarakan? Dan mengapa Azua itu begitu mudah memberikan penawarnya?" Hosea menanyakan berbagai pertanyaan perihal botol penawar yang ia kalungkan. "Tak ada. Ia hanya mengatakan akan membantu," jawab Boo sekenanya. Hosea dan Zia melaju membelah hutan. Setelahnya tak ada percakapan di antara mereka. Boo segera berlari begitu turun dari tubuh Hosea. Ia mengambil jalan melewati samping. Hanya untuk sampai lebih cepat. Gadis itu pergi ke dapur untuk meracik minuman yang diberi penawar. Jika ia tak salah ingat, penawar ini cukup ditetesi sebanyak 10 kali. Boo mulai meneteskan sebanyak yang dibutuhkan. Ia mengaduknya perlahan. Terlihat sesuatu yang menguar di atas cawan. Sesuatu yang indah seperti ribuan kupu-kupu yang terlepas. Apakah ini pertanda baik?
Boo mendekati Judish yang tengah berbicara dengan para tamu. Ia menarik kekasihnya itu ke sudut ruangan yang jauh dari suara musik yang memusingkan. “Ada apa?” tanya Judish sembari menghabiskan minumannya. Ia kemudian merangkul Boo dan mengecup pipinya sekilas. Boo terhenyak. Ia mendorong tubuh Judish yang terlihat aneh. “Judish, bantu—“ Ucapannya tenggelam dalam kebisingan. Boo mengamati sekitar. Di sana, Daisy melihatnya. Sial, gadis itu tahu jika ia mencoba meminta bantuan Judish. “Akh, lenganku sakit sekali,” ucap Judish tiba-tiba. Boo terkejut saat melihat lengan Judish membiru. Apa Daisy juga memberi ramuan itu pada Judish? Tapi kapan? Ia melihat Daisy menunjukkan sebuah botol kecil dan mengarahkannya ke minuman yang disajikan untuk para tamu. Satu per satu, para makhluk di sana meringis kesakitan karena ramuan itu. Pesta yang tadi meriah berubah jadi teriakan kesakitan di mana-mana. Boo panik seba