Boo mengunyah kacang almond dan beberapa kudapan lainnya. Ia sungguh lapar. Bahkan sampai lupa jika semua orang terkecuali Charlie memandangnya begitu lekat.
"Apa?" tanyanya ketus. Ia masih kesal dengan keadaan yang membuatnya gila. Bagaimana bisa ia terjebak dengan mereka semua.
"Ekm. Baiklah sesuai surat wasiat ayahmu, Boo. Kau harus tinggal di sini bersama kami. Kau juga sekarang bagian dari kami. Jika kau bingung, mereka adalah makhluk setengah manusia
yang aku temui. Hanya kau yang tahu masalah ini. Juga, benda-benda di sini yah seperti yang kau lihat, hidup. Mereka hidup sebelum kami semua di sini. Jadi, tolong hormati mereka." William serius dengan ucapannya. Ditambah tak ada bantahan dari siapa pun di sini."Aku tak peduli mau kalian semua bahkan kau, Will. Tapi, benda-benda di kamarku yang membuatku tak nyaman. Kau pikir bagaimana bisa aku tidur jika semuanya meracau dan berteriak bahkan ada yang menangis juga semalaman karena halamannya robek. Kau tahu? Tak masuk akal! Aku rasanya sudah gila. Jika kau ingin aku tinggal di sini, tolong pindahkan aku ke kamar lain." Boo bernapas lega karena berhasil menjelaskan begitu rinci. Ia menoleh ke arah William yang memandangnya sejenak. Ntah apa yang ada di kepala pria itu.
"Biar ku beritahu. Walaupun kau ku pindahkan ke kamar lainnya, semua benda hidup, Boo. Mereka hidup bukan atas keinginanku. Kau harus membiasakannya mulai sekarang. Dan juga, kau akan bersekolah lagi. Aku dengar kau putus sekolah saat tingkat pertama. Aku sudah urus semua berkasnya dan lusa kau akan sekelas dengan Charlie, Valdish dan Christ. Untuk kalian, tolong jangan membuat Boo terkejut seperti tadi. Mengerti?"
Tak ada yang berani menatap William. Hanya anggukan kecil yang dilakukan mereka.
"Judish tak bersekolah denganku? Ah, maksudku kami?" tanya Boo yang kemudian mendapat gelengan dari semuanya dan tentu saja senyuman pria bernama Judish.
"Aku tak sekolah, Boo. Aku, William dan Jackson bekerja. Sementara Hosea masih mengerjakan tugas kuliahnya," jelas pria manis itu.
Boo rasanya ingin merosot saja. Judish tak bersamanya? Lalu, untuk apa aku sekolah?
"Aku ingin protes," celetuk Charlie yang mengembungkan pipinya hingga sebesar biji kenari.
Duh, dia lagi
"Baiklah. Katakan," ucap William
"Aku tak mau sekelas dengannya. Satu sekolah sih oke. Tapi, untuk satu kelas? Aku tak mau," protes Charlie dengan wajah memerah. Ia kesal pada gadis itu. Ntah kenapa.
"Kau masih kesal dengannya karena menarik telingamu waktu itu?" tanya Hosea yang ikut bertanya. Pria tampan nan ceria itu penasaran juga.
"Bukan. Aku hanya merasa gadis ini tak baik. Ia saja tinggal dengan Paman Hwang. Kau kan tahu bahwa Paman Hwang itu—"
"Char, berhenti. Kau membingungkannya," sergah Judish yang mencoba menghentikan ucapannya.
"Ugh. Maafkan aku," ucapnya menundukkan kepala karena William memandangnya tajam.
"Kenapa dengan Paman Hwang?" tanya Boo yang ikut terpancing.
"Kita akan membahasnya nanti. Aku tak akan bohong padamu, Boo. Tapi, untuk saat ini, kebenaran tak akan berarti. Suatu saat nanti kau bisa tahu sendiri." William mencoba mencari celah sentimentilnya.
"Baiklah. Rasanya pembahasan ini terlalu berat. Jadi intinya kau membawaku ke sini untuk apa?"
"Untuk memperkenalkanmu dengan anggota keluargamu. Semua yang ada di sini, meski flowerblast yang kau temui tadi, adalah keluarga."
"Maaf mengganggu suasana sentimentil kalian. Tapi, bisakah kita membahas hal yang biasa saja seperti pesta penyambutan? Aku baru datang dari Swiss dan butuh hiburan, bukan begitu Hosea?" ujar Jackson yang sejak tadi hanya memperhatikan mereka. Ia jengah juga. Ditambah Charlie yang sempat rewel.
"Wah, bagus juga. Kita adakan pesta saja, bagaimana Will?" tanya Hosea yang begitu senang. Ia tengah penat karena dosen pembimbingnya dan butuh sekali penyegaran pikiran.
"Tidak bisa. Aku ada pesta di sekolah malam ini. Bagaimana kalau besok saja?" Charlie buru-buru menghentikan.
"Itu urusanmu manis. Aku dan yang lainnya akan berpesta malam ini." itu Christ yang menyahuti.
"Tidak boleh! Aku juga mau ikut pesta." Charlie tak ingin tertinggal pesta. Tentu saja ia tak mau melewati hidangan mewah dan kue-kue manis di sini.
Sekadar informasi, tiap pesta yang diadakan di rumah ini, dari dekorasi sampai lampu-lampu kecil akan dibuatnya mewah.
Apalagi saat perayaan akhir tahun lalu. Semuanya mengadakan jamuan besar-besaran.
Tak bisa dilewatkan!
"Tak ada pesta untuk hari ini atau selanjutnya jika tak ada hal istimewa lainnya. Lagipula aku yang akan miskin nanti. Kalian seperti babi kelaparan saat pesta," keluh Jackson yang merupakan anggota tertua.
Ia jadi ingat saat semua mengadakan pesta dan berakhir dirinya harus membayar semuanya.
Sahut-sahut kecewa terdengar dari Charlie, Valdish dan Christ karena ketiganya begitu menyukai pesta. Jika diizinkan, mereka bisa mengadakan pesta tiap hari.
"Jika tak ada pertanyaan, kita akhiri pertemuan ini," tegur William yang melihat keadaan sedikit tak terkendali.
"Aku ingin mengajukan beberapa pertanyaan denganmu, Will. Hanya berdua saja." Boo berucap serius.
Will mengangguk setuju, "Di Kamarku," lanjutnya lagi.
"Mengapa tak di sini saja?" tanya Judish sedikit menyelidik. Pikirannya saja atau memang pria itu terlihat tak suka.
"Jika ia ingin berdua, bagaimana?" balas William sembari meneguk minumannya yang tersisa.
"Tak masalah sih. Tapi, sebaiknya tak ada yang dirahasiakan." Judish kemudian tersenyum pada Boo.
Suasana berubah tegang kembali saat Judish tiba-tiba mengubah dirinya menjadi serigala besar dan bergerak melewati semuanya.
Boo tentu saja menjadi satu-satunya yang begitu terkejut. Alasannya bahwa ini pertama kalinya Judish mengubah dirinya menjadi serigala.
"Tenanglah, Boo. Mungkin Judish mengendus musuh di sekitar sini. Biasanya ia berubah menjadi serigala saat keadaan genting," jelas Christ menenangkan.
"Lalu, kalian membiarkan dia sendiri melawan musuh? Kau gila?" Boo kesal mendengarnya. Ia memandang sengit pada tiap orang di sana.
"Judish akan baik-baik saja. Aku kenal dia dengan baik. Ia pasti memiliki urusan sendiri. Tapi, jika itu musuh, ia akan memberitahu kami semua," timpal William ikut menjelaskan.
"Pikiranmu picik sekali, sih. Memang gadis lemah dan penakut," hardik Charlie yang kemudian meninggalkan gazebo.
"Char, aish anak itu. Maafkan dia ya. Dia memang begitu menyayangi Judish jadi ia tak ingin kakaknya itu dibicarakan tak baik." Christ mulai menyusul kelinci itu cepat. Takut-takut mengamuk di dalam.
Bisa bahaya jika ia menangis lagi di tengah malam. Maka ia akan mendapat masalah dan umpatan dari Paman Berkaki Emas.
"Will, aku dan Jackson akan beristirahat. Kalain juga ya. Kami permisi."
Hosea dan Jackson mulai ikut pergi meninggalkan ketiganya.
Iya, ketiganya. Masih ada Valdish bersama keduanya."Kau tak ingin pergi?" tanya William
"Tidak, aku tak ada urusan apapun," jawab pria itu yang terus menatap Boo dengan senyumannya.
"Kalau begitu, Boo dan aku akan pergi."
Boo mengangguk setuju. Ia perlu membicarakan hal lain dengan William. Namun, Valdish menahan dirinya sejenak. Tersenyum lagi.
Ia meraih jemari Boo dan mengecupnya singkat.
Astaga, singa tampan ini
"Sebagai ucapan penyambutan dariku."
¶¶________________________________¶¶
William dan Boo memasuki kamar tamu yang terlihat rapih. Sepertinya para maid yang membuat hiasan bunga mawar berbentuk hati ini di lantai kamarnya lagi.
Astaga, aku bukan pengantin baru!
Boo mengabaikan hiasan-hiasan dan aroma lilin yang memabukkan itu. Ia duduk di tepi ranjang dan membuat William duduk di hadapannya.
"Kau— kau jenis makhluk apa?" pertanyaan pertama yang ada dalam pikiran Boo akhirnya terdengar.
William mengerutkan keningnya. Ia kemudian mengamati beberapa benda yang ikut menguping mereka.
Pria itu lupa bahwa benda-benda akan lebih aktif pada malam hari.
"Aku... Tentu saja manusia biasa," jelas Will masih mengamati sekeliling.
Benda-benda di sini memang genit.
"Tapi yang lainnya hybrid, 'kan? Jangan membohongiku." Boo mulai pusing.
Bau-bauan di kamarnya begitu pekat dan membuat kepalanya berputar."Aku tak bohong padamu, Boo." lagi, William mengamati sebuah lilin berwarna biru di antara lainnya.
"Baiklah. Sepertinya aku mulai pusing. Kau pergilah," ucapnya lemas.
Ia sungguh merasa pusing.
"Tidrulah. Aku di sini." William lantas membenahi selimut gadis itu. Memastikan ia tak kedinginan karena ulah Mrs Fan .
"Matikan lilin pembuat pusing itu atau aku yang akan mematikannya sendiri!" seru William setelah memastikan Boo telah terlelap.
Dengan cepat Mrs. Fan meniup lilin itu agar padam. Sementara yang lain bersora kecewa.
"Ku ingatkan pada kalian. Jangan ganggu Boo. Ia tamu di sini. Mengerti?"
Sekiranya keadaan mulai terasa normal kembali, pria pucat itu beranjak dan mengecup pelan kening Boo.
"Selamat malam."
"Selamat malam Ketua Will," balas semuanya serempak.
"Sudah siap?" tanya Judish sambil melongok ke belakang kursi kemudi. Hari ini gilirannya untuk mengantar Christ, Charlie, Valdish dan penghuni baru, Boo pergi ke SMA Cellos. Jaraknya lumayan jauh dari tempat tinggal mereka.Butuh sekiranya satu jam perjalanan ke sana."Geser sedikit, bokongmu besar sekali, sih. Aku terhimpit," sungut Charlie yang sialnya duduk di tengah mobil. Biasanya ia akan duduk leluasa karena kursi ini cukup diduduki tiga orang. Tapi, akibat bertambah satu orang, ia mau tak mau kesal juga."Bokongku baik-baik saja. Mungkin badanmu saja yang sudah berubah jadi babi sampai mobil ini rasanya terlalu kecil untukmu," balas Boo yang memang telinganya terasa diganggu oleh ucapan si kelinci bongsor itu."Kau—"
Charlie sibuk menggendong tubuh Boo setelah pelajaran terakhir usai. Di belakangnya, Christ dan Valdish membawa beberapa barang milik gadis itu. Jujur saja si kelinci manis berubah diam saat memasuki ruang kesehatan tadi. Bukan hanya Boo yang merasakan, semuanya yang berada di mobil pun ikut merasa bahwa Charlie tengah menebus kesalahannya.Setidaknya Charlie tak lepas tanggung jawab dan merengek minta perlindungan. Ia justru begitu fokus menatap jalanan. Hari ini memang gilirannya menyetir. Ditambah beberapa kali ia menanyakan keadaan Boo seperti,"Apa punggungmu masih sakit? Beritahu aku"atau"Jangan terlalu menekan punggungmu di kursi. Biar Christ yang menjadi sandaranmu sampai kita tiba di rumah."Dan lebih parahnya, kalimat terakhir Charlie membuat dirinya takut"Kau tidur denganku untuk sementara. Aku izinkan sampai kau pulih."Ia mengucapkan kalimat terakhir dengan sorot ma
Charlie menjadi satu-satunya yang nampak begitu bahagia setelah Mrs. nursea mengatakan bahwa Boo akan pulih besok. Luka memarnya pun telah lenyap sejak dua jam lalu. Namun, gadis itu masih harus istirahat selama semalam penuh agar racun Flower Guinea bisa melemah.Hampir saja Jack terkena lemparan bola baseball milik Charlie, jika saja ia berhasil menghindar."Sudah kukatakan bahwa aku tak tahu ada racun di dalamnya," ucap Jackson takut. Ia masih sibuk berlindung di belakang punggung Valdish."Untung saja kau bawa Nursea tepat waktu. Jika tidak, aku akan memindahkanmu ke Amazon!" gertak Charlie yang kesal.Mereka menoleh pada suara langkah kaki yang semakin mendekat. Jika dihitung-hitung, di kamar itu hanya ada Valdish, Christ, Jackson dan Charlie. Sementara Hosea dan Judish tengah berada di kamarnya.Lalu, siapa yang datang?"Apa yang kalian lakukan?" tanya William yang baru saja tiba dan mendekati kamar Charlie ya
Boo pagi-pagi sekali telah berada di taman belakang. Ia mengamati sekitar saat flowerblast berbisik-bisik mengenai dirinya. Ia bahkan sempat mendengar bahwa salah satunya akan melukai dirinya. Tentu saja itu tak membuatnya bergeming. Ia hanya ingin menikmati pagi akhir pekan. Setelah beberapa hari sebelumnya cedera punggung membuatnya susah tidur. Sesekali ia menghirup udara sejuk saat hembusan angin melewatinya. Cuaca saat ini tak begitu buruk. Rasanya ia ingin berkeliling lebih dalam hingga hutan yang berada di perbatasan rumah William ini. Ini menyenangkan. Melangkah ringan, kakinya ia bawa menuju ke ujung taman. Di sana terasa lebih dingin dan gelap. Bahkan ia hampir menyangka jika saja, hari berganti begitu cepat. Terlalu dalam dan gelap. Ia bisa merasakan jika suara burung yang sejak tadi berkicauan menjadi sunyi. . Apa ini yang dimaksud dengan "Disembunyikan alam"? Ia sungguh menyesal tak m
Begitu tubuhnya dijatuhkan di atas sesuatu yang lembut, rasa pening kembali datang, ditambah kini Boo menggeliat tak nyaman. Sudah dibilang 'kan bahwa ia begitu kepanasan dan 'haus'. Ntah setan mana yang merasukinya hingga membuat tubuhnya bergerak sendiri menuju gaun tidur yang sedikit tersingkap saat seseorang melemparnya. Sisi warasnya semakin hilang saat sesuatu yang hangat menyentuh permukaan paha dalamnya. Dingin, jemari sosok itu begitu dingin dan kuat, sedikit mencubit kulitnya. Perih! Lagi, jemari itu menggelitik pusat pusarnya, sesuatu yang digin dan lembab ikut menyentuhnya, mengecupnya, menjilat sepanjang permukaan kulit perutnya hingga bawah tulang rusuknya. "Kau yang memintaku melakukan ini. Kuharap musim kawin ini akan begitu menyenangkan, bukan begitu, Boo?" Suara halus dan dalam itu memasuki pendengarannya; mengancamnya dengan erotis. Membelai lekukan di tepinya begitu sensual. Suara ini... ia m
Setelah semua hal yang terjadi, Boo dan kelima pria lainnya begitu kikuk menghadapi William di ruang utama.Ada Charlie yang terduduk sambil menarik-narik kemeja Judish, Jackson yang memainkan seekor ular kecil yang katanya 'teman baru'.Hosea dan Christ sibuk mengamati gerak-gerik sang ketua.Sejak makan malam usai hingga lewat 15 menit lamanya, si Ketua William tak hentinya bergumam. Sesekali ia memeriksa ponsel dan kemudian memandang satu per satu dengan tajam."Will, bicaralah. Aku pegal jika terus menunduk seperti ini," ucap Boo terang-terangan.Tubuhnya belum sepenuhnya pulih dari efek Blue dirty candle. Yah, iya menyisipkan kata yang tepat sekali!"Aku tak memintamu datang. Pergilah, aku akan membicarakan hal penting dengan yang lainnya," balas William tenang.Boo mulai kesal, ia anggap William tak konsisten. Sebelumnya, pria itu meminta Boo ikut dalam pembicaraan ini, kemudian lagi-lagi berubah."Jangan
Malam ini rasanya Mrs. Fan ingin mengajaknya perang. Sudah dua malam ini tidurnya tak bisa nyenyak. Kamarnya begitu panas bahkan setelah jendela kamarnya dibuka. Jika saja William mengizinkannya berpindah kamar, ia akan dengan cepat melakukannya. The tearpaper (si kertas sobek) juga ikut mengganggu tidurnya. Kertas kusut itu akan terisak, mengadu dan kemudian berkelahi dengan resleting milik baggie (ransel). Kali ini pen (pulpen) dan shoesick (kaus kaki gila) hanya mengamati dari jauh. Boo hampir saja mengucap syukur jika saja ia tak mendapati tugas sekolahnya yang telah diinjak-injak dan dikotori oleh keduanya. Seluruh barang di kamarnya memang selalu jahil, bahkan berakhir melukainya. Walaupun ringan, namun bisa kau bayangkan jika saat tertidur, sesuatu seakan menusuk tubuhmu? Itu yang dirasakan Boo sejak datang kemari. Ia akan mendapati tubuhnya penuh luka sayatan maupun tusukan jarum-jarum kecil setelah bang
Charlie memanggilnya dari kejauhan.Oh, tubuhnya shirtless lagi. Malam-malam begini?Hal buruknya adalah Boo sangat menikmati tubuh setengah telanjang itu dengan wajah memerah. Memang ia akui, tubuh si kelinci buntal ini terbentuk sempurna. Ditambah urat tangannya terlihat jantan sekali. Pun dengan keringat yang mengalir melewati rahangnya yang tajam. Pria ini sangat mempesona!Oke cukup mengamati. Bisa-bisa nanti ia terpesona. Jangan sampai kelinci ini mengetahui bahwa sejak tadi ia mengamatinya."Kau menyukai pertunjukannya? Ini tak gratis, tahu?"Charlie terkekeh setelah menangkap basah dirinya. Mari tenggelamkan Boo di Amazon!"Aku ingin tidur," kilah Boo. Ia melewati Charlie dengan gugup. Jika mereka berdua lebih lama, pasti akan ada pertarungan kecil dan Boo tak cukup gila untuk itu. Tubuhnya pegal dan perih akibat sayatan yang belum mengering sepenuhnya."Lehermu kenapa?" tanya Charlie dengan suara lantan