Begitu tubuhnya dijatuhkan di atas sesuatu yang lembut, rasa pening kembali datang, ditambah kini Boo menggeliat tak nyaman. Sudah dibilang 'kan bahwa ia begitu kepanasan dan 'haus'.
Ntah setan mana yang merasukinya hingga membuat tubuhnya bergerak sendiri menuju gaun tidur yang sedikit tersingkap saat seseorang melemparnya. Sisi warasnya semakin hilang saat sesuatu yang hangat menyentuh permukaan paha dalamnya.
Dingin, jemari sosok itu begitu dingin dan kuat, sedikit mencubit kulitnya. Perih!
Lagi, jemari itu menggelitik pusat pusarnya, sesuatu yang digin dan lembab ikut menyentuhnya, mengecupnya, menjilat sepanjang permukaan kulit perutnya hingga bawah tulang rusuknya.
"Kau yang memintaku melakukan ini. Kuharap musim kawin ini akan begitu menyenangkan, bukan begitu, Boo?"
Suara halus dan dalam itu memasuki pendengarannya; mengancamnya dengan erotis. Membelai lekukan di tepinya begitu sensual.
Suara ini... ia m
Setelah semua hal yang terjadi, Boo dan kelima pria lainnya begitu kikuk menghadapi William di ruang utama.Ada Charlie yang terduduk sambil menarik-narik kemeja Judish, Jackson yang memainkan seekor ular kecil yang katanya 'teman baru'.Hosea dan Christ sibuk mengamati gerak-gerik sang ketua.Sejak makan malam usai hingga lewat 15 menit lamanya, si Ketua William tak hentinya bergumam. Sesekali ia memeriksa ponsel dan kemudian memandang satu per satu dengan tajam."Will, bicaralah. Aku pegal jika terus menunduk seperti ini," ucap Boo terang-terangan.Tubuhnya belum sepenuhnya pulih dari efek Blue dirty candle. Yah, iya menyisipkan kata yang tepat sekali!"Aku tak memintamu datang. Pergilah, aku akan membicarakan hal penting dengan yang lainnya," balas William tenang.Boo mulai kesal, ia anggap William tak konsisten. Sebelumnya, pria itu meminta Boo ikut dalam pembicaraan ini, kemudian lagi-lagi berubah."Jangan
Malam ini rasanya Mrs. Fan ingin mengajaknya perang. Sudah dua malam ini tidurnya tak bisa nyenyak. Kamarnya begitu panas bahkan setelah jendela kamarnya dibuka. Jika saja William mengizinkannya berpindah kamar, ia akan dengan cepat melakukannya. The tearpaper (si kertas sobek) juga ikut mengganggu tidurnya. Kertas kusut itu akan terisak, mengadu dan kemudian berkelahi dengan resleting milik baggie (ransel). Kali ini pen (pulpen) dan shoesick (kaus kaki gila) hanya mengamati dari jauh. Boo hampir saja mengucap syukur jika saja ia tak mendapati tugas sekolahnya yang telah diinjak-injak dan dikotori oleh keduanya. Seluruh barang di kamarnya memang selalu jahil, bahkan berakhir melukainya. Walaupun ringan, namun bisa kau bayangkan jika saat tertidur, sesuatu seakan menusuk tubuhmu? Itu yang dirasakan Boo sejak datang kemari. Ia akan mendapati tubuhnya penuh luka sayatan maupun tusukan jarum-jarum kecil setelah bang
Charlie memanggilnya dari kejauhan.Oh, tubuhnya shirtless lagi. Malam-malam begini?Hal buruknya adalah Boo sangat menikmati tubuh setengah telanjang itu dengan wajah memerah. Memang ia akui, tubuh si kelinci buntal ini terbentuk sempurna. Ditambah urat tangannya terlihat jantan sekali. Pun dengan keringat yang mengalir melewati rahangnya yang tajam. Pria ini sangat mempesona!Oke cukup mengamati. Bisa-bisa nanti ia terpesona. Jangan sampai kelinci ini mengetahui bahwa sejak tadi ia mengamatinya."Kau menyukai pertunjukannya? Ini tak gratis, tahu?"Charlie terkekeh setelah menangkap basah dirinya. Mari tenggelamkan Boo di Amazon!"Aku ingin tidur," kilah Boo. Ia melewati Charlie dengan gugup. Jika mereka berdua lebih lama, pasti akan ada pertarungan kecil dan Boo tak cukup gila untuk itu. Tubuhnya pegal dan perih akibat sayatan yang belum mengering sepenuhnya."Lehermu kenapa?" tanya Charlie dengan suara lantan
Boo mulai merasa terganggu dalam tidurnya. Tubuhnya seakan tertahan oleh seseorang. Berat! Lengannya mencoba bergerak karena jujur saja ia merasa berkeringat. Padahal ruangan sekitarnya terasa sejuk. Ia sebenarnya ada di mana? "Berat," gumamnya lemas. Matanya mulai mengerjap-ngerjap. Pandangan yang samar kini terlihat semakin jelas dan semakin membuatnya tertegun. Ia, si kelinci itu tengah menggunakan tubuhnya sebagai guling. Pantas saja berat sekali! "Char, lepaskan!" Nihil, pria itu tak bergeming. Bibirnya yang mengerucut membuat Boo memiliki rencana untuk menjahilinya. Dicubitnya bibir bawah Charlie yang tebal. Sesaat kemudian, pria itu meringis dan segera membuka mata. Dilihatnya gadis itu yang tertawa lepas melihat ulah jahilnya sendiri. "Kau, berani mengganggu tidurku. Menyebalkan sekali." Charlie dengan wajah masam, terduduk di sebelah Boo yang juga tengah bersandar pada kepala ranjang. Keduanya sama-sama terdiam. Boo dengan
Sejak sarapan berakhir hingga mereka menuju kursi belakang mobil Judish, Boo sepertinya berubah menjadi diam. Ia sama sekali tak bersuara meski Charlie mencoba beberapa kali mengganggunya. Bahkan rambutnya dibuat lusuh pun, Boo tak bergeming. Ia seakan berada di pikirannya sendiri. Jika diperhatikan lebih lama, gadis itu melihat ke arah gerbang dan kemudian hutan yang berada di ujung sana. Hal itu tak lepas dari pandangan yang lainnya. Sebenarnya apa yang sedang gadis itu pikirkan? Mesin mobil telah dihidupkan dan Judish mulai bergerak jika saja William tak menghentikannya secara mendadak. Ketua mereka itu menghadang mereka di depan gerbang. Judish yang berada di kursi kemudi, mengerti. Ia bergegas turun untuk menghampirinya. Pembicaraan mereka berdua sepertinya begitu serius. Sebab, Judish sampai menoleh ke arah empat orang yang
William mengerutkan keningnya. Ia merasa bahwa permintaan Boo tak memiliki alasan. Hingga pria itu menggeleng tanda menolak. Lagipula, ia lelah sekali dan tak ingin meladeni omong kosong. "Boo, kau memiliki kamar lamamu. Segera pergi tidur. Aku lelah." William mencoba membujuknya. Siapa tahu gadis itu luluh. Namun yang dilakukan Boo adalah bergelayut di lengannya sambil merengek. Ia tetap mengatakan ing n tidur semalam di kamarnya. Jika seperti ini, William tak akan beristirahat dengan tenang. Ia menghela napas panjang. Memandang Boo yang terlihat memelas. Gadis itu selalu tahu jika Will tak senang melihatnya sedih. "Baiklah. Kau kuizinkan. Tapi, tunggu di ruang kerjaku sampai aku selesai membersihkan diri. Kau bisa melakukannya?" Boo terlihat senang. Ia langsung menerobos masuk dan duduk tenang di sofa panjang dekat jendela. Tubuhnya direbahk
Pandangannya buram. Sesaat, ia lebih memilih mati dibandingkan menahan rasa nyeri. Tubuhnya masih tak bisa digerakkan. Hanya matanya yang mengerjap beberapa kali untuk melihat situasi sekitarnya. Sudah berapa lama ia berada di sini? Dan bagaimana dengan Judish? Pepohonan tinggi itu seakan mengoloknya dari atas. Angkuh sekali. Jika saja ada seseorang yang menyadari keberadannya, ia harap itu Judish. Ia tak bisa kembali ke rumah William. Tidak dengan keadaannya yang begitu miris. Hari semakin gelap. Ia tak dapat melihat dengan jelas. Rasanya begitu menakutkan. Beberapa binatang kecil terbang di sekitarnya. Menggigit tubuhnya dengan sangat rakus. Ia tak ingin berakhir di sini. Boo harus kembali ke kediaman William segera sebelum binatang buas menemukannya di sini. Ia harus bisa menahan nyeri untuk pergi dari sini.
Seusai ciuman panas keduanya. Judish ikut berbaring di sisi kanan Boo. Pria itu sengaja menautkan jemari mereka. Memandangi lagit-langit kamar yang nampak begitu indah. Judish meraih jemari gadisnya, menyisipkan kecupan lembut di sekitar pergelangan tangannya. Kecupan itu terus naik hingga lengan, bahu, dan tubuhnya mulai mengungkung di atas. Kening keduanya saling menyatu. Menghirup napas satu sama lain. Ada letupan keras di antara keduanya. Letupan penuh kasih yang baru mereka bina. Baik Boo maupun Judish, melakukannya dengan perlahan. Lekukan sepanjang collarbone menjadi pilihan pertama Judish. Ia mengecup sekitar area itu dengan napas yang memburu. Menghirup aroma gadisnya dengan rakus. Aroma lemon yang segar menguar dari tubuh Boo. Maklum saja, ia selalu menggunakan aroma segar untuk beraktivitas. Lidah Judish ikut mencicipi tubuh gadis itu. Tubuh Boo meremang. Sensasi
Setelah melewati gerbang utama, Will memutar setir ke arah kanan dan melaju dengan tenang melewati deretan bunga-bunga yang menggantung di sana. Ia terkejut mendengar pekikan dari bunga Rose yang masih terjaga saat ia sedikit menurunkan kaca mobilnya. Sekadar menunjukkan siapa gadis yang ia bawa."Ya Tuhan, Ya Tuhan, Ya Tuhan... Willku membawa gadis cantik!" teriaknya lagi yang kemudian berhasil membangunkan bunga lainnya yang mulai sahut-sahutan.Hingga pria jangkung itu mematikan mesin, Boo masih terlelap tanpa terganggu gurauan seseorang yang menyambutnya di pintu utama."Selamat datang Ketua Will. Senang bertemu denganmu dan—" Ia melirik sekilas seseorang lewat kaca mobil yang sengaja dibukanya."Tolong siapkan satu kamar di samping milikku. Boo sepertinya terlalu lelah," pintanya yang kemudian disegerakan oleh Kepala Pelayan Song.Segera setelah Will memerintahkannya, beberapa p
Boo sudah diwanti-wanti agar kaki telanjangnya diam saat Isabelle mewarnai kuku kakinya yang tampak pucat. Sesekali gadis berambut perak itu memekik jengkel saat Boo malah menggelitiki tubuhnya yang duduk di lantai hingga akhirnya cat kuku itu tumpah mengenai bagian sudut sofa lembut itu."Kubilang diam, Boo," titah Belle yang jengah karena ulah Boo yang sejak tadi terus menggodanya. Lihat saja nanti jika Paman Hwang datang, ia akan mengadukan gadis nakal itu hingga ia tak dapat jatah makan malam."Adukan saja. Nanti cat kukumu akan ku tumpahkan lagi. Lihat, masih ada emerald dan gold di sana," goda Boo sambil menunjuk kotak kaca berbentuk kubus yang ada di tengah meja."Sudah cukup main-mainnya. Kau tahu 'kan nanti malam Ketua William akan datang menjemputmu. Jangan banyak tingkah!" seru Isabelle dengan kesal, atau mungkin gadis itu terlampau cemas setelah mengucapkan nama pemuda asing itu.
ValdishSejak Boo memberikan hadiah pada Valdish, pria itu terus mengekorinya. Ia mengucapkan terima kasih lagi malam ini. Tentu saja gadis itu merasa tak nyaman. Sebab, jika dipikir lagi, Valdish sepertinya telah salah paham. Ia menjelaskan bahwa hadiah itu dari seseorang bernama Alexa. Namun, pria itu tak percaya.Sampai akhirnya Valdish meminta Boo pergi bersamanya ke hutan. Kebetulan hari ini ia tak menemui Azua karena pria itu tengah berada di luar. Tak ada kecurigaan awalnya. Meski hatinya mengatakan jika ada sesuatu yang buruk akan terjadi.Valdish menggenggam jemarinya erat saat mereka melewati bagian timur hutan. Gadis itu terpana melihat sesuatu yang bercahaya mengelilinginya. Kegelapan dalam hutan seakan lenyap begitu saja.“Kau menyukainya? Ini kerabat dekat flowerblast. William membawa mereka kemari.”Boo terus terkesima saat melihat seekor rusa. Warnanya yang merah kecoklatan, seakan terlindungi. Rusa itu terus be
Hari ini terik sekali. Boo, Christ, Valdish dan Charlie masih berkutat dengan ujian tengah mereka. Rasanya seperti neraka. Mrs. Zoe terus mengawasi dengan ketat. Bahkan tak ada murid yang berani membuka suara. Sebab, jika terlihat gerakan mencurigakan, wanita itu tak segan mengambil kertas ulangan dengan paksa.Kali ini Mrs. Zoe melewati bangkunya dan Valdish. Mengentakkan sepatu pantofelnya nyaring. Tinggal satu soal lagi yang harus Boo kerjakan. Ia sedikit melirik kertas Valdish yang telah terisi hampir seluruhnya. Sulit sekali. Padahal pria itu telah membuka lebar kertas miliknya dan bergumam pelan. “Cepatlah salin,” ujarnya begitu perlahan sambil mengamati guru mereka yang untungnya telah berada di bangku lainnya.Boo segera menyalin jawaban di soal terakhir. Ia tak lupa mengatakan terima kasih. Valdish yang gemas, mengusak surai panjangnya. Ah, pria itu tampan sekali.“Mrs. Zoe, aku telah selesai,” ucap Valdish yang kemudian bangkit
Boo meringis kesakitan saat Azua membersihkan sisa luka yang mengering di tubuhnya. Beberapa menit setelah gadis itu limbung, tiga jamur yang menggigitnya telah dimasukkan ke dalam kantung khusus penahan makhluk. Lukanya cukup dalam bagi manusia lemah. Azua sampai harus repot memindahkan tubuh gadis itu ke tempat tidurnya. Ia sibuk meracik ramuan penyembuh. Sesekali melirik ke arah Boo. Sungguh gadis lemah yang malang, pikirnya. Azua berpikir untuk melatih gadis itu agar kebal saat diserang para makhluk. Sudah jelas jika enam hari ke depan, ia akan menghadapi berbagai makhluk yang akan digunakan sebagai ramuannya. Azua bisa saja melakukannya sendiri. Bahkan jika dipikir, lebi cepat ia lakukan tanpa bantuan seseorang. Namun, melihat gadis itu hampir sekarat karena gigitan anak jamur, rasanya ada simpati yang muncul. Ia harus melindungi gadis ini. Ramuan penyembuh racikannya telah dibuat sempurna. Di
Boo ditemukan seekor rubah merah yang kebetulan tengah melintas. Rubah itu kemudian mengubah dirinya menjadi manusia. Ada rasa penasaran saat mencium aroma tubuh gadis ini. Tercium aroma citrus yang segar menguar dari tubuh Boo. Rubah itu terus mendekat hingga menghirup ceruk leher gadis itu. "Hentikan dan bawa gadis itu ke tempatku!" seru Azua yang datang dari arah sebrang. Rubah itu terlihat ketakutan. Ia segera membawa gadis itu menuju tempat tuannya. Azua, pria yang merupakan penguasa dalam hutan mengikutinya dalam diam. Ada semacam tali transparan yang mengkilat di sekitar pondok Azua. Ia sengaja memantrainya agar tak ada makluk yang dapat masuk, kecuali manusia. Maka, setelah berada di sekitar tali pembatas, rubah itu memberikan Boo dalam dekapan Azua. Kemudian, ia kembali ke bentuk semula. "Tuan, gadis itu siapa?" tanya rubah sambil terus memperhatikan Boo dari dekat. Azua mengernyit tak suka, "Pergil
"Aku ingin salad," ucap Boo yang baru tiba di meja makan. Seluruh makhluk dan William menoleh ke arahnya. Sejak kejadian semalam, Boo hanya mengurung diri di kamar. Bahkan gadis itu melewatkan jam makannya. Tak ada yang mencegahnya. Tak ada siapa pun yang diizinkan William untuk mendatangi kamar gadis itu termasuk Judish yang bersikeras untuk menjelaskan sesuatu. Hari ini pun Boo terlihat murung. Charlie yang di sampingnya tak berani protes saat gadis itu justru mengambil roti isinya. William terus memperhatikannya. Jadi, tak ada yang bisa membantah. "Bagaimana urusan sekolah kalian? Kudengar akan ada ujian minggu depan." William mengunyah roti isinya tanpa minat. "Ya. Kau tahu, di dunia manusia itu rumit. Aku malas belajar, Ketua." Charlie menyahut dengan cepat. Ia tak menyukai hal yang berkaitan dengan sekolah, kecuali bagian olahraga. "Kau memang bodoh," celetuk Boo s
Boo merasakan lengannya menyengat saat bersentuhan dengan Hosea. Sensasinya tak melukai. Namun, aneh. "Sebenarnya apa yang kalian bicarakan? Dan mengapa Azua itu begitu mudah memberikan penawarnya?" Hosea menanyakan berbagai pertanyaan perihal botol penawar yang ia kalungkan. "Tak ada. Ia hanya mengatakan akan membantu," jawab Boo sekenanya. Hosea dan Zia melaju membelah hutan. Setelahnya tak ada percakapan di antara mereka. Boo segera berlari begitu turun dari tubuh Hosea. Ia mengambil jalan melewati samping. Hanya untuk sampai lebih cepat. Gadis itu pergi ke dapur untuk meracik minuman yang diberi penawar. Jika ia tak salah ingat, penawar ini cukup ditetesi sebanyak 10 kali. Boo mulai meneteskan sebanyak yang dibutuhkan. Ia mengaduknya perlahan. Terlihat sesuatu yang menguar di atas cawan. Sesuatu yang indah seperti ribuan kupu-kupu yang terlepas. Apakah ini pertanda baik?
Boo mendekati Judish yang tengah berbicara dengan para tamu. Ia menarik kekasihnya itu ke sudut ruangan yang jauh dari suara musik yang memusingkan. “Ada apa?” tanya Judish sembari menghabiskan minumannya. Ia kemudian merangkul Boo dan mengecup pipinya sekilas. Boo terhenyak. Ia mendorong tubuh Judish yang terlihat aneh. “Judish, bantu—“ Ucapannya tenggelam dalam kebisingan. Boo mengamati sekitar. Di sana, Daisy melihatnya. Sial, gadis itu tahu jika ia mencoba meminta bantuan Judish. “Akh, lenganku sakit sekali,” ucap Judish tiba-tiba. Boo terkejut saat melihat lengan Judish membiru. Apa Daisy juga memberi ramuan itu pada Judish? Tapi kapan? Ia melihat Daisy menunjukkan sebuah botol kecil dan mengarahkannya ke minuman yang disajikan untuk para tamu. Satu per satu, para makhluk di sana meringis kesakitan karena ramuan itu. Pesta yang tadi meriah berubah jadi teriakan kesakitan di mana-mana. Boo panik seba