William mengerutkan keningnya. Ia merasa bahwa permintaan Boo tak memiliki alasan.
Hingga pria itu menggeleng tanda menolak. Lagipula, ia lelah sekali dan tak ingin meladeni omong kosong.
"Boo, kau memiliki kamar lamamu. Segera pergi tidur. Aku lelah." William mencoba membujuknya. Siapa tahu gadis itu luluh.
Namun yang dilakukan Boo adalah bergelayut di lengannya sambil merengek. Ia tetap mengatakan ing n tidur semalam di kamarnya.
Jika seperti ini, William tak akan beristirahat dengan tenang.
Ia menghela napas panjang. Memandang Boo yang terlihat memelas. Gadis itu selalu tahu jika Will tak senang melihatnya sedih.
"Baiklah. Kau kuizinkan. Tapi, tunggu di ruang kerjaku sampai aku selesai membersihkan diri. Kau bisa melakukannya?"
Boo terlihat senang. Ia langsung menerobos masuk dan duduk tenang di sofa panjang dekat jendela.
Tubuhnya direbahk
Pandangannya buram. Sesaat, ia lebih memilih mati dibandingkan menahan rasa nyeri. Tubuhnya masih tak bisa digerakkan. Hanya matanya yang mengerjap beberapa kali untuk melihat situasi sekitarnya. Sudah berapa lama ia berada di sini? Dan bagaimana dengan Judish? Pepohonan tinggi itu seakan mengoloknya dari atas. Angkuh sekali. Jika saja ada seseorang yang menyadari keberadannya, ia harap itu Judish. Ia tak bisa kembali ke rumah William. Tidak dengan keadaannya yang begitu miris. Hari semakin gelap. Ia tak dapat melihat dengan jelas. Rasanya begitu menakutkan. Beberapa binatang kecil terbang di sekitarnya. Menggigit tubuhnya dengan sangat rakus. Ia tak ingin berakhir di sini. Boo harus kembali ke kediaman William segera sebelum binatang buas menemukannya di sini. Ia harus bisa menahan nyeri untuk pergi dari sini.
Seusai ciuman panas keduanya. Judish ikut berbaring di sisi kanan Boo. Pria itu sengaja menautkan jemari mereka. Memandangi lagit-langit kamar yang nampak begitu indah. Judish meraih jemari gadisnya, menyisipkan kecupan lembut di sekitar pergelangan tangannya. Kecupan itu terus naik hingga lengan, bahu, dan tubuhnya mulai mengungkung di atas. Kening keduanya saling menyatu. Menghirup napas satu sama lain. Ada letupan keras di antara keduanya. Letupan penuh kasih yang baru mereka bina. Baik Boo maupun Judish, melakukannya dengan perlahan. Lekukan sepanjang collarbone menjadi pilihan pertama Judish. Ia mengecup sekitar area itu dengan napas yang memburu. Menghirup aroma gadisnya dengan rakus. Aroma lemon yang segar menguar dari tubuh Boo. Maklum saja, ia selalu menggunakan aroma segar untuk beraktivitas. Lidah Judish ikut mencicipi tubuh gadis itu. Tubuh Boo meremang. Sensasi
Setelah semalaman Judish terjaga di kamarnya untuk sekadar memperhatikan Boo yang kelelahan, ia ahirnya bangun lebih awal.Perutnya sudah lapar karena semalam ia melewatkan makan malamnya.Jika ada yang bertanya mengapa baik Charlie maupun penghuni lainnya tak mengkhawatirkan Boo, jawabannya adalah karena setelah malam panas mereka berdua, pria itu melakukan pertemuan dengan seluruh penghuni. Termasuk memberitahu bahwa dirinya dan Boo telah bersama.Ingin tahu siapa yang protes paling depan?Charlie?Bukan. Bahkan jawabannya bukan William.Namun, Valdish dan Christ yang sejak lama mengincar gadis itu.Sementara Charlie terlihat biasa saja saat ia mengatakan bahwa waktunya akan terbagi untuk kekasihnya.Pria kelinci itu hanya sibuk memainkan konsol gamenya. Seperti enggan mengetahui apa yang terjadi.Ini sedikit mengusiknya karena yang ia tahu, Charlie selalu ingin bersamanya setiap saat. Bahkan tak ada satu p
Boo sengaja bangun pagi untuk menyiapkan sarapan untuk anggota keluarganya kini. Dibantu oleh para Nanny yang begitu ramah menyambutnya di dapur. Ia sangat bahagia hari ini karena sejak ia mengatakan ingin tidur bersama Judish, tak ada gangguan yang ia dapatkan lagi. Bahkan mungkin, ia tak ingat kapan terakhir kali ia dijahili oleh benda_-benda di kamarnya itu. Yang jelas, ia terbebas.Nany Salad mengatakan padanya bahwa ini adalah kali pertama dirinya mengetahui jika William mengizinkan orang asinb berada di rumahnya. Wanita tua bergigi dua itu dengan semangat mengajarinya membuat berbagai hidangan kesukaan para makhluk dan... sedikit memberi bocoran tentang asal usul mereka."Nanny, dari semua hal yang kau ceritakan, apa William juga termasuk makhluk seperti mereka?"Nanny Rose yang baru saja memasukkan potongan wortel, terkejut hingga tak sengaja menjatuhkan beberapa peralatan makan di meja pantry. Wanita tua yang umurnya nyaris seperti Nanny Sala
Ini pertama kalinya Boo uring-uringan perihal Judish yang didominasi oleh Daisy sejak pagi tadi.Ia mendapati kekasihnya itu sibuk bercengkrama dengan kekasih William. Ntah apa yang mereka bicarakan.Berlatar di ruang utama, Boo melepas penatnya di sofa empuk. Ia baru saja pulang sekolah. Hatinya kesal karena sejak kepulangannya, Judish sama sekali tak menyambutnya.Oh, apa mungkin pria itu tak melihat kedatangannya?Dengan kesal, ia menyentak kakinya sembari berjalan menuju pantry. Tujuannya adalah mengambil minuman dingin. Pikirannya harus jernih.Namun, pandangannya tetap pada Judish dan Daisy yang ada di taman samping.Terdapat kaca bening besar yang bisa melihat pemandangan luar. Jadi, ia tak dapat mengarahkan pandangannya ke arah lain.Botol minuman kemasan ia lempar ke dustbin di bawah lemari pendingin.Ia tak bisa biarkan gadis itu mengambil alih kekasihnya.Rencananya ia aka
Charlie mendengkus sebal sebab Daisy mengancamnya dengan mudah. Sebenarnya ia tak takut dengan gadis itu. Hanya saja ia lebih baik menghindari Daisy karena ia tahu bahwa gadis itu bisa melakukan apa saja termasuk menyakiti orang sekitarnya. Charlie mendekati Daisy hingga tak ada jarak di antara keduanya. Sembari berbisik tajam, "Berhentilah bermain-main penyihir. Jika aku melihatmu mengakiti orang-orang sekitarku seperti tadi. Aku akan melenyapkanmu seperti kawananmu terdahulu." Kemudian tubuh gadis itu di dorongnya menjauh. Ia jelas tahu siapa Daisy itu. Gadis itu penyihir yang licik. Hanya saja yang ia tak ketahui adalah tujuan William membawanya kemari. Jujur saja sejak melihatnya melukai Boo dan Nanny, ia jadi ingin membalasnya. Hanya saja gadis itu bukan lawannya. Dan pastinya... William harus ia beritahu sebelum gadis itu semakin menjadi. ------------- Boo telah ditangani Nurse
Sejak makan malam usai, William dan Daisy terlihat begitu mesra. Lebih tepatnya si gadis penyihir itu yang semakin menempel. Anehnya, William seakan tak merasa canggung maupun terganggu. Biasanya ia akan dengan tegas saat siapapun mengganggu waktu senggangnya. Hari ini, justru sebaliknya. Sepasang kekasih itu kini tengah berada di ruang utama. Daisy dengan manja meminta William membelikannya beberapa perhiasan untuk pergi ke acara pesta bersama temannya nanti. Dengan mudahnya William memberikan sebuah kartu hitam unlimited pada gadis itu. Tentu saja semua orang yang menyaksikan kejadian itu terheran. Bukankah beberapa hari lalu William meminta mereka untuk berhemat karena perusahaan sedang tak stabil? Hosea saja yang meminta pinjam sore tadi untuk memperbaiki mobil mereka tak diberikan. Mengapa gadis ini dengan mudahnya meminta? Bahkan William tak mengatakan apapun setelahnya.
Suasana pagi itu kentara berbeda. Christ, Charlie, dan Boo hanya diam menikmati sarapan mereka. Penghuni lainnya sibuk dengan urusan masing-masing. Oh, sepertinya Boo melupakan sepasang kekasih yang bersama mereka dalam satu meja. Daisy lagi-lagi membuat suasana semakin buruk. Kemarin setelah ia memintanya membawakan tas dan pergi bersama keduanya di pusat perbelanjaan, gadis penyihir itu terus menyuruhnya membawakan banyak barang hasil memeras William. Boo tentu tak bisa berkutik saat William terus memarahinya jika ia tak menuruti ucapan Daisy. Bahkan hari ini pun ia yang diminta menyiapkan sarapan untuk seluruh penghuni. Sebenarnya saat ia terbangun di pagi buta, Charlie maupun Christ hendak membantunya jika saja Daisy terlebih dulu menatapnya tajam. "Will, aku membuatkan teh hangat untukmu. Cobalah." Daisy meletakkan secangkir teh hangat di sebelah roti isi William. Senyum gadis itu
Setelah melewati gerbang utama, Will memutar setir ke arah kanan dan melaju dengan tenang melewati deretan bunga-bunga yang menggantung di sana. Ia terkejut mendengar pekikan dari bunga Rose yang masih terjaga saat ia sedikit menurunkan kaca mobilnya. Sekadar menunjukkan siapa gadis yang ia bawa."Ya Tuhan, Ya Tuhan, Ya Tuhan... Willku membawa gadis cantik!" teriaknya lagi yang kemudian berhasil membangunkan bunga lainnya yang mulai sahut-sahutan.Hingga pria jangkung itu mematikan mesin, Boo masih terlelap tanpa terganggu gurauan seseorang yang menyambutnya di pintu utama."Selamat datang Ketua Will. Senang bertemu denganmu dan—" Ia melirik sekilas seseorang lewat kaca mobil yang sengaja dibukanya."Tolong siapkan satu kamar di samping milikku. Boo sepertinya terlalu lelah," pintanya yang kemudian disegerakan oleh Kepala Pelayan Song.Segera setelah Will memerintahkannya, beberapa p
Boo sudah diwanti-wanti agar kaki telanjangnya diam saat Isabelle mewarnai kuku kakinya yang tampak pucat. Sesekali gadis berambut perak itu memekik jengkel saat Boo malah menggelitiki tubuhnya yang duduk di lantai hingga akhirnya cat kuku itu tumpah mengenai bagian sudut sofa lembut itu."Kubilang diam, Boo," titah Belle yang jengah karena ulah Boo yang sejak tadi terus menggodanya. Lihat saja nanti jika Paman Hwang datang, ia akan mengadukan gadis nakal itu hingga ia tak dapat jatah makan malam."Adukan saja. Nanti cat kukumu akan ku tumpahkan lagi. Lihat, masih ada emerald dan gold di sana," goda Boo sambil menunjuk kotak kaca berbentuk kubus yang ada di tengah meja."Sudah cukup main-mainnya. Kau tahu 'kan nanti malam Ketua William akan datang menjemputmu. Jangan banyak tingkah!" seru Isabelle dengan kesal, atau mungkin gadis itu terlampau cemas setelah mengucapkan nama pemuda asing itu.
ValdishSejak Boo memberikan hadiah pada Valdish, pria itu terus mengekorinya. Ia mengucapkan terima kasih lagi malam ini. Tentu saja gadis itu merasa tak nyaman. Sebab, jika dipikir lagi, Valdish sepertinya telah salah paham. Ia menjelaskan bahwa hadiah itu dari seseorang bernama Alexa. Namun, pria itu tak percaya.Sampai akhirnya Valdish meminta Boo pergi bersamanya ke hutan. Kebetulan hari ini ia tak menemui Azua karena pria itu tengah berada di luar. Tak ada kecurigaan awalnya. Meski hatinya mengatakan jika ada sesuatu yang buruk akan terjadi.Valdish menggenggam jemarinya erat saat mereka melewati bagian timur hutan. Gadis itu terpana melihat sesuatu yang bercahaya mengelilinginya. Kegelapan dalam hutan seakan lenyap begitu saja.“Kau menyukainya? Ini kerabat dekat flowerblast. William membawa mereka kemari.”Boo terus terkesima saat melihat seekor rusa. Warnanya yang merah kecoklatan, seakan terlindungi. Rusa itu terus be
Hari ini terik sekali. Boo, Christ, Valdish dan Charlie masih berkutat dengan ujian tengah mereka. Rasanya seperti neraka. Mrs. Zoe terus mengawasi dengan ketat. Bahkan tak ada murid yang berani membuka suara. Sebab, jika terlihat gerakan mencurigakan, wanita itu tak segan mengambil kertas ulangan dengan paksa.Kali ini Mrs. Zoe melewati bangkunya dan Valdish. Mengentakkan sepatu pantofelnya nyaring. Tinggal satu soal lagi yang harus Boo kerjakan. Ia sedikit melirik kertas Valdish yang telah terisi hampir seluruhnya. Sulit sekali. Padahal pria itu telah membuka lebar kertas miliknya dan bergumam pelan. “Cepatlah salin,” ujarnya begitu perlahan sambil mengamati guru mereka yang untungnya telah berada di bangku lainnya.Boo segera menyalin jawaban di soal terakhir. Ia tak lupa mengatakan terima kasih. Valdish yang gemas, mengusak surai panjangnya. Ah, pria itu tampan sekali.“Mrs. Zoe, aku telah selesai,” ucap Valdish yang kemudian bangkit
Boo meringis kesakitan saat Azua membersihkan sisa luka yang mengering di tubuhnya. Beberapa menit setelah gadis itu limbung, tiga jamur yang menggigitnya telah dimasukkan ke dalam kantung khusus penahan makhluk. Lukanya cukup dalam bagi manusia lemah. Azua sampai harus repot memindahkan tubuh gadis itu ke tempat tidurnya. Ia sibuk meracik ramuan penyembuh. Sesekali melirik ke arah Boo. Sungguh gadis lemah yang malang, pikirnya. Azua berpikir untuk melatih gadis itu agar kebal saat diserang para makhluk. Sudah jelas jika enam hari ke depan, ia akan menghadapi berbagai makhluk yang akan digunakan sebagai ramuannya. Azua bisa saja melakukannya sendiri. Bahkan jika dipikir, lebi cepat ia lakukan tanpa bantuan seseorang. Namun, melihat gadis itu hampir sekarat karena gigitan anak jamur, rasanya ada simpati yang muncul. Ia harus melindungi gadis ini. Ramuan penyembuh racikannya telah dibuat sempurna. Di
Boo ditemukan seekor rubah merah yang kebetulan tengah melintas. Rubah itu kemudian mengubah dirinya menjadi manusia. Ada rasa penasaran saat mencium aroma tubuh gadis ini. Tercium aroma citrus yang segar menguar dari tubuh Boo. Rubah itu terus mendekat hingga menghirup ceruk leher gadis itu. "Hentikan dan bawa gadis itu ke tempatku!" seru Azua yang datang dari arah sebrang. Rubah itu terlihat ketakutan. Ia segera membawa gadis itu menuju tempat tuannya. Azua, pria yang merupakan penguasa dalam hutan mengikutinya dalam diam. Ada semacam tali transparan yang mengkilat di sekitar pondok Azua. Ia sengaja memantrainya agar tak ada makluk yang dapat masuk, kecuali manusia. Maka, setelah berada di sekitar tali pembatas, rubah itu memberikan Boo dalam dekapan Azua. Kemudian, ia kembali ke bentuk semula. "Tuan, gadis itu siapa?" tanya rubah sambil terus memperhatikan Boo dari dekat. Azua mengernyit tak suka, "Pergil
"Aku ingin salad," ucap Boo yang baru tiba di meja makan. Seluruh makhluk dan William menoleh ke arahnya. Sejak kejadian semalam, Boo hanya mengurung diri di kamar. Bahkan gadis itu melewatkan jam makannya. Tak ada yang mencegahnya. Tak ada siapa pun yang diizinkan William untuk mendatangi kamar gadis itu termasuk Judish yang bersikeras untuk menjelaskan sesuatu. Hari ini pun Boo terlihat murung. Charlie yang di sampingnya tak berani protes saat gadis itu justru mengambil roti isinya. William terus memperhatikannya. Jadi, tak ada yang bisa membantah. "Bagaimana urusan sekolah kalian? Kudengar akan ada ujian minggu depan." William mengunyah roti isinya tanpa minat. "Ya. Kau tahu, di dunia manusia itu rumit. Aku malas belajar, Ketua." Charlie menyahut dengan cepat. Ia tak menyukai hal yang berkaitan dengan sekolah, kecuali bagian olahraga. "Kau memang bodoh," celetuk Boo s
Boo merasakan lengannya menyengat saat bersentuhan dengan Hosea. Sensasinya tak melukai. Namun, aneh. "Sebenarnya apa yang kalian bicarakan? Dan mengapa Azua itu begitu mudah memberikan penawarnya?" Hosea menanyakan berbagai pertanyaan perihal botol penawar yang ia kalungkan. "Tak ada. Ia hanya mengatakan akan membantu," jawab Boo sekenanya. Hosea dan Zia melaju membelah hutan. Setelahnya tak ada percakapan di antara mereka. Boo segera berlari begitu turun dari tubuh Hosea. Ia mengambil jalan melewati samping. Hanya untuk sampai lebih cepat. Gadis itu pergi ke dapur untuk meracik minuman yang diberi penawar. Jika ia tak salah ingat, penawar ini cukup ditetesi sebanyak 10 kali. Boo mulai meneteskan sebanyak yang dibutuhkan. Ia mengaduknya perlahan. Terlihat sesuatu yang menguar di atas cawan. Sesuatu yang indah seperti ribuan kupu-kupu yang terlepas. Apakah ini pertanda baik?
Boo mendekati Judish yang tengah berbicara dengan para tamu. Ia menarik kekasihnya itu ke sudut ruangan yang jauh dari suara musik yang memusingkan. “Ada apa?” tanya Judish sembari menghabiskan minumannya. Ia kemudian merangkul Boo dan mengecup pipinya sekilas. Boo terhenyak. Ia mendorong tubuh Judish yang terlihat aneh. “Judish, bantu—“ Ucapannya tenggelam dalam kebisingan. Boo mengamati sekitar. Di sana, Daisy melihatnya. Sial, gadis itu tahu jika ia mencoba meminta bantuan Judish. “Akh, lenganku sakit sekali,” ucap Judish tiba-tiba. Boo terkejut saat melihat lengan Judish membiru. Apa Daisy juga memberi ramuan itu pada Judish? Tapi kapan? Ia melihat Daisy menunjukkan sebuah botol kecil dan mengarahkannya ke minuman yang disajikan untuk para tamu. Satu per satu, para makhluk di sana meringis kesakitan karena ramuan itu. Pesta yang tadi meriah berubah jadi teriakan kesakitan di mana-mana. Boo panik seba