"Sudah siap?" tanya Judish sambil melongok ke belakang kursi kemudi. Hari ini gilirannya untuk mengantar Christ, Charlie, Valdish dan penghuni baru, Boo pergi ke SMA Cellos. Jaraknya lumayan jauh dari tempat tinggal mereka.
Butuh sekiranya satu jam perjalanan ke sana."Geser sedikit, bokongmu besar sekali, sih. Aku terhimpit," sungut Charlie yang sialnya duduk di tengah mobil. Biasanya ia akan duduk leluasa karena kursi ini cukup diduduki tiga orang. Tapi, akibat bertambah satu orang, ia mau tak mau kesal juga.
"Bokongku baik-baik saja. Mungkin badanmu saja yang sudah berubah jadi babi sampai mobil ini rasanya terlalu kecil untukmu," balas Boo yang memang telinganya terasa diganggu oleh ucapan si kelinci bongsor itu.
"Kau—"
"Astaga, jangan lagi kumohon. Lebih baik salah satu dari kalian duduk di sampingku," ucap Judish menengahi.
Ia kembali mengecek jarum laju BMWnya.
Suara ribut datang dari arah belakang dan dilihatnya Charlie dan Boo yang mencoba turun terlebih dahulu. Mereka berdua duduk di tengah-tengah Valdish dan Christ yang menghambat pergerakannya.
"Aku dulu, gendut!"
"Tidak. Aku yang biasanya duduk dengan Judish!"
"Tidak mau. Kau mengalahlah dengan seorang gadis."
"Tak...mau...."
"Begundal sialan!"
"Mulutmu ingin kusetrika rasanya. Kemari kau. Jangan coba-coba dekati pintunya. Christ lepaskan!"
"Valdish jangan tahan pinggangku! Aw, kelinci buntal jangan tarik rambutku. Sini kau kutarik lagi telinga besarmu biar kau menangis dan jadi jelek lagi."
"Gadis nakal. Beraninya kau mengancamku. Aku tak takut! Sini kau biar kujambak rambutmu sampai botak!"
"Aww... Judish, rambutku ditarik Charlie."
"Biar kau tahu rasa!"
Christ dan Valdish mencoba menangkan mereka berdua. Kursi dengan empat orang rasanya begitu sesak. Mereka harus saling sikut hanya untuk bisa mendudukkan bokongnya.
"Kalian berdua hentikan!" teriak Judish yang kepalanya langsung pening saat mendengar keributan mereka. Ia baru saja akan menghubungi seseorang sebelum William mengetuk pintu kaca mobil.
Dengan cepat Valdish yang duduk di dekat sisi mobil, menurunkan sedikit kaca hitam itu. Nampaklah William yang terheran dengan keadaan mobil yang begitu padat.
"Mengapa kalian berdesakan? Judish, apa kau miskin lagi? Mengapa hanya satu mobil?" tanya William menelisik. Ia kemudian menoleh pada Boo yang penampilannya begitu berantakan.
Seingatnya, Mrs. Comb telah menata rambut gadis itu pagi tadi.
"Maaf, mobilku satunya sedang diperbaiki. Jadi kuputuskan menggunakan mobil ini," jelas Judish canggung.
William sejenak berpikir. Ia juga harus pergi ke suatu tempat. Namun, melihat kekacauan yang terjadi, ia memutuskan untuk mendahului kepentingan mereka.
"Baiklah kalau begitu, Boo biar ku antar. Sisanya bersama Judish. Kau, turunlah cepat," titah Will sambil mengarahkan telunjuknya pada Boo.
Gadis itu sedikit kecewa karena merasa kalah. Ia menoleh pada Charlie yang tersenyum senang karena telah menyingkirkannya.
"Cepat pergi sebelum Ketua Will menunggu," ucap Charlie dengan nada mengejek. Ia bahkan mendorong kecil bahu gadis itu hingga mengenai dada bidang Valdish.
"Jangan dorong aku. Awas saja kau!" ancam Boo yang langsung menuruni mobil.
¶¶________________________¶¶
"Mau permen?" tanya William begitu mereka berada di mobil pria itu.
Boo hanya menggeleng cepat. Ia kembali mengamati jalanan yang sepi. Kebetulan ini masih teralu pagi. Pukul 6.15. Bisa dipastikan, perkelahian Charlie dan dirinya memakan waktu lebih banyak dari sebelumnya.
"Dengarkan aku. Jangan berkelahi dengan Charlie lagi. Jika ia berbuat ulah, biarkan saja," saran William sebelum menambah kecepatannya.
Gadis itu sampai meremat safety belt-nya kencang. Ia tak berani menatap jalanan lagi.
"Sial, jangan terlalu cepat! aku takut," teriak Boo dan membuat William menghentikan mesin mobilnya.
Keduanya berpandangan sejenak.
"Bisakah kau merespon dengan baik ucapanku?" tanya William yang wajahnya semakin dekat dengan gadis di depannya ini.
Semakin dekat hingga Boo cepat-cepat menoleh ke arah lain. Perasa mint tercium tajam dari William. Jujur saja hal itu membuatnya canggung.
Bagaimana bisa mereka sedekat ini?
William kembali fokus membawa BMWnya. Sementara Boo mulai kikuk karena sisi wajah pria itu begitu tajam dan panas. Ia baru sadar jika kerabat jauh ayahnya itu ekm—sedikit tampan. Hanya sedikit. Peringkat satu masih dimiliki Judish, si pria lesung pipi.
Gadis itu menoleh pantulan wajahnya pada spion di sisi luar. Mengamati wajahnya yang telah dihias manis. Mrs. Comb dan kerabatnya juga menata rambut panjangnya sedikit ikal di bawah. Tak lupa pita besar hitam disisipkan di tengahnya.
Ia terkikik saat mengingat si sisir tua itu mengoceh tentang rambutnya yang susah diatur. Bahkan ia dipaksa mencuci rambutnya sebanyak dua kali agar wangi.
"Kau baik-baik saja?" William pun sejak tadi melihatnya aneh. Ia meluhat gadis itu terkikik dan menyentuh rambutnya beberapa kali.
"Ah, tidak. Aku hanya ingat Mrs. Comb sempat mengoceh padaku. Katanya rambutku ini seperti sapu lusuh di gudang."
"Rambutmu memang terlihat rusak dan jelek sekali, sih. Tapi pagi ini aku terkejut karena terlihat rapih dan -uh rapih?" ia tak yakin dengan ucapannya itu.
"Hey, jangan mengejekku begitu. Kata Ibuku, rambutku ini cantik sekali seperti rambut rapunzel. Kau tahu tidak?"
"Bahkan kau lebih cantik," tutur William yang hampir terdengar berbisik.
"Kau bilang ap— Will jangan ngebut!"
Terlambat, William mengencangkan lajunya dan membuat gadis itu ketakutan.
¶¶________________________________¶¶
"Kau lama sekali, sih. Untung saja Mrs. Sez tak masuk. Cepat ke tempatmu!" seru Charlie yang tengah menghadangnya di pintu kelas X.
Boo mengindahkan ucapan si kelinci buntal itu dan sibuk merapihkan rambutnya yang berantakan lagi. Perbuatan si William itu!
"Biar kurapihkan," ucap Valdish yang mendekatinya. Pria tampan nomer dua ini begitu lembut padanya. Bahkan jemarinya digenggam lembut sembari mengambil dedaunan kering dan debu yang tersangkut di rambutnya.
Sorak-sorak langsung terdengar dari arah belakang. Ia melongok di balik bahu Valdish dan menemukan para siswa yang memandangnya jengah.
"Lebih baik kau duduk di sampingku, bagaimana?" tawar Valdish lagi dengan suara yang tenang.
"Ah, jika kau memaksa, aku terima." Boo kemudian diantar ke tempatnya yang ada di belakang.
"Mr. Dode datang!" teriak seseorang dan berlari ke dalam. Dibarengi dengan pria usia matang yang ada di belakangnya.
Valdish dengan cepat menarik tangan Boo, diikuti Christ dan Charlie yang duduk di depannya.
Gadis itu hampir protes saat Valdish mengecup punggung tangannya lembut.
Pria tampan memang berbeda
"Buka buku Biologi kalian dan baca materi bab 19. Jangan ada suara sedikit pun dan oh— selamat datang murid baru. Siapa namamu?"
"Boo, sir." suara gadis itu nyaris melengking saat tiba-tiba tubuhnya berdiri spontan.
Sontak beberapa murid lainnya tertawa melihat tingkahnya yang 'kaku'
"Hm... Nama yang unik. Baiklah Boo kau bisa duduk lagi."
Charlie tertawa puas melihat wajah gadis itu yang menahan malu. Hampir saja ia lihat gadis itu memakan rambut panjangnya sendiri.
"Char, hentikan dan duduk," perintah Christ yang melihat wajah gadis itu memerah.
"Tidak. Lihat saja haha bahkan ia memakan rambutnya sendiri," tawa Charlie dibarengi hampir seluruh murid di kelas terkecuali Valdish dan Christ.
"Haha... Gadis bodoh, jelek pula, pantas saja Paman Al membuangnya" ejek Charlie lagi.
Boo yang mendengarnya menyentak kasar genggaman Valdish dan beralih mendekati Charlie. Dengan cepat ia mendorong tubuh pria kelinci itu sampai terjatuh di dekat kursi Christ.
Ia tak suka mendengar pria itu mencemooh ayahnya. Bahkan bisa saja ia mengamuk di sini jika saja Christ menahan pukulannya yang hampir mengenai dada Charlie.
"Char, kau keterlaluan. Tolong minta maaf," ujar Christ yang melihat Boo begitu marah. Napasnya memburu dan tatapannya begitu tajam memandang pria kelinci itu.
"Ups. Maaf, aku hanya bercanda. Kau tahu, 'kan, Boo?"
Bahkan pria itu berucap main-main. Ia membalikkan tubuhnya dan tertawa lagi.
"Charlie, kemari kau!" Boo bersiap jiia harus gulat dengan si pria bertelinga panjang itu.
Diraihnya dasi panjang Charlie ke depan. Rambutnya pun menjadi sasaran kemarahan Boo. Ia mencabutinya dan sesekali menggelitiki tubuh yang lebih besar itu. Sementara pria itu tak sengaja mendorong tubuh Boo yang menimpanya. Sehingga keadaan berbalik, di mana ia seakan mengungkung gadis itu.
Menahan kedua tangannya ke samping dan terus membuat pergerakan gadis itu sulit."Akh- bodoh. Lepaskan aku!" ronta Boo dalam kungkungannya. Gadis itu menggerakkan kaki telanjangnya dengan brutal hampir menyentuh si junior di bawah sana.
Para murid berkerumun dan bersorak memanggil nama keduanya. Menjadikan mereka bahan tontonan pagi hari.
"Diam, kau ini jangan menggelitikiku. Biar tanganmu kuikat dan akan kugantung di belakang sekolah. Kubilang jangan bergerak!"
Valdish dan Christ sudah hilang sejak tadi. Mereka tak ingin ikut campur dan lebih memilih pergi karena teriakan keduanya membuat kepala pusing.
"Charlie jelek minggir!"
"Tidak. Ini balasan untuk pagi tadi karena Judish tak mengizinkanku duduk di depan!"
"Bukan salahku. Salahkan saja bokongmu yang besar!"
"Jangan bicara macam-macam tentang bokongku!"
"Akh- lepaskan. Sakit!"
"Astaga. Semuanya kembali ke tempat masing-masing!" suara Mr. Dode terdengar lantang. Semua murid akhirnya kembali ke kursi mereka dengan cepat. Sementara Charlie dan Boo masih tertegun di sana. Terlebih penampilan gadis itu seperti benar-benar habis mendapat pelecehan seksual.
"Charlie dan kau murid baru, segera ke ruangan Mrs. Wish, sekarang! Dan sebelum itu, astaga rapihkan pakaian kalian berdua."
Charlie merapihkan rambut dan dasinya sementara Boo sibuk menggunakan sepatunya yang hilang sebelah.
Jika tak salah ingat sepatunya terlempar ke belakang meja Mr Dode.
Matanya mencari ke arah meja itu dan menemukan sebelah sepatunya tepat di bawah kursi.
Ia bergerak mengendap sambil melewati belakang guru itu.
"Kau sedang apa? Apa kau tak dengar apa yang kukatakan tadi?" kesal pria tua itu sambil membetulkan kacamata tebalnya.
"Itu- maafkan aku tapi sepatuku ada di bawah kursimu, Mr. dode. Bisa aku minta kembali?" pintanya takut-takut.
Pria tua itu kemudian merunduk dan mengambil sepatu berwarna biru hitam; melemparkannya tepat ke hadapan Boo.
"Terima Kasih."
¶¶______________________¶¶
"Jangan berjalan di belakangku, bodoh!"
"Kau yang jalan lambat sekali, mengapa tak memberiku jalan sejak tadi?"
"Sudahlah aku lelah jangan ribut lagi."
"Kau yang membuatku ingin sekali menarik telingamu!"
Keduanya terduduk di ruang kosong dekat gudang sekolah. Menerima detensi membersihkan gudang sekolah yang pengap dan berdebu tebal.
Hampir dua jam lamanya mereka menahan untuk saling berbicara dan membersihkan ruangan itu sampai licin dan wangi.
"Aku haus. Kau ada minum?" tanya Boo dengan wajah lesu dan pucat. Ia baru ingat tak menyentuh sarapannya tadi. Tubuhnya begitu lemas dan kepalanya terasa berputar. Tanpa sadar ia bersandar pada punggung Charlie. Sambil mengais napas pelan.
"Aku juga haus tapi aku terlalu lelah berjalan. Kau sana ambilkan," sahut Charlie.
Ia kemudian terkujut saat tubuh Boo menyentuh punggungnya. Pria itu ingin sekali menghindar dan membuat Boo terhuyung ke belakang. Namun, instingnya berkata lain. Ia merasa tubuh gadis itu begitu lemah. Terdegar napasnya memburu dan punggungnya menghangat.
"Hey kau. Apa kau mendengarku?"
Nihil tak ada suara berisik Boo yang ia dengar. Ia semakin gundah karena dua jam lalu mendorong tubuh gadis itu karena kesal diberi hukuman oleh Mrs. Wish.
Ia menoleh perlahan ke belakang dan melihat Boi tertunduk dengan rambut yang menutupi wajahnya.
Charlie menahan tubuhnya dari belakang agar Boo tak terjerembab. Dengan cepat ia membalikkan tubuh dan mendapati wajah pucat, luka di siku, dan keringat di kening Boo.
"Ah, kau merepotkan saja. Jangan mati di sini."
Ia memapah tubuh gadis itu menuju ruang kesehatan. Charlie sendiri sebenarnya mendapat luka kecil sewaktu memindahkan lemari kecil dan berat itu bersama Boo. Namun, melihat tubuh gadis si William itu hampir mati, ia merasa bersalah.
Jika saja ia tak menggodanya dan membuat amarahnya naik.
Jika saja ia tak mendorong tubuhnya, dan jika saja ia tak membahas ayah Boo.Mungkin ia tak ada di sini. Menyaksikan gadis itu diberikan tabung oksigen kecil dan dibersihkan lukanya. Ia bahkan tak berkutik saat ditanya mengenai memar yang ada di punggung Boo.
Apa ia mendorongnya terlalu keras?
"Kau baik-baik saja?"
Itu suara Christ yang menepuk bahunya. Di sampingnya ada Valdish. Mereka pasti telah mendengar kabar tentang Boo yang katanya 'dihabisi' Charlie.
"Aku—aku tak tahu. Aku mendorongnya terlalu kencang tadi. Tolong, tolong jangan beritahu Ketua William."
Wajah Charlie mendadak pucat saat mengingat wajah William yang begitu galak. Ia tak mau kena hukuman.
"Kami tak akan bilang apapun. Kecuali—" Christ memandang Boo yang tengah berbaring setelah mendapat perawatan.
"Jika kau bisa memastikan Boo tak akan merengek pada William. Maaf, tapi kami tak bisa membantumu, Char," ujar Christ dengan wajah sendu.
Sebenaranya ia dan Valdish tengah berada di ruang kesenian. Bermain alat musik dan menari-nari. Saat seseorang berteriak bahwa Charlie menghabisi si murid baru, mereka berdua saling pandang dan berlari kencang.
"Aku pasti kena hukum berat. Aku tak mau duduk di hutan semalaman lagi," rengek Charlie dengan wajah memerah, air mata yang banyak turun di wajahnya dan ingus. Terlihat begitu menyedihkan.
Sampai Valdish mendekapnya, mencium keningnya lembut dan berkata, "Kau tenang saja, aku yakin gadis itu tak tega melihat anak kelinci kita dihukum."
"Tapi, jika ia mengadu, bagaimana?" tanya Charlie takut. Tangisannya sedikit mereda saat mendengar ucapan Valdish tadi.
"Hm—aku akan menciumnya sampai ia tak bisa bicara lagi, bagaimana?"
"Oh, astaga. Mendengarnya saja membuatku ingin muntah," celetuk Christ meninggalkan mereka berdua. Ia lebih memilih menuju tempat Boo.
"Benarkah? Terima kasih, Val." Charlie menggesekkan hidung besarnya di dada Valdish. Ia bahkan tak merasa jijik walau seragamnya terkena ingus adik manisnya itu.
Asal Charlie tak menangis, dunia aman menurutnya.
Charlie sibuk menggendong tubuh Boo setelah pelajaran terakhir usai. Di belakangnya, Christ dan Valdish membawa beberapa barang milik gadis itu. Jujur saja si kelinci manis berubah diam saat memasuki ruang kesehatan tadi. Bukan hanya Boo yang merasakan, semuanya yang berada di mobil pun ikut merasa bahwa Charlie tengah menebus kesalahannya.Setidaknya Charlie tak lepas tanggung jawab dan merengek minta perlindungan. Ia justru begitu fokus menatap jalanan. Hari ini memang gilirannya menyetir. Ditambah beberapa kali ia menanyakan keadaan Boo seperti,"Apa punggungmu masih sakit? Beritahu aku"atau"Jangan terlalu menekan punggungmu di kursi. Biar Christ yang menjadi sandaranmu sampai kita tiba di rumah."Dan lebih parahnya, kalimat terakhir Charlie membuat dirinya takut"Kau tidur denganku untuk sementara. Aku izinkan sampai kau pulih."Ia mengucapkan kalimat terakhir dengan sorot ma
Charlie menjadi satu-satunya yang nampak begitu bahagia setelah Mrs. nursea mengatakan bahwa Boo akan pulih besok. Luka memarnya pun telah lenyap sejak dua jam lalu. Namun, gadis itu masih harus istirahat selama semalam penuh agar racun Flower Guinea bisa melemah.Hampir saja Jack terkena lemparan bola baseball milik Charlie, jika saja ia berhasil menghindar."Sudah kukatakan bahwa aku tak tahu ada racun di dalamnya," ucap Jackson takut. Ia masih sibuk berlindung di belakang punggung Valdish."Untung saja kau bawa Nursea tepat waktu. Jika tidak, aku akan memindahkanmu ke Amazon!" gertak Charlie yang kesal.Mereka menoleh pada suara langkah kaki yang semakin mendekat. Jika dihitung-hitung, di kamar itu hanya ada Valdish, Christ, Jackson dan Charlie. Sementara Hosea dan Judish tengah berada di kamarnya.Lalu, siapa yang datang?"Apa yang kalian lakukan?" tanya William yang baru saja tiba dan mendekati kamar Charlie ya
Boo pagi-pagi sekali telah berada di taman belakang. Ia mengamati sekitar saat flowerblast berbisik-bisik mengenai dirinya. Ia bahkan sempat mendengar bahwa salah satunya akan melukai dirinya. Tentu saja itu tak membuatnya bergeming. Ia hanya ingin menikmati pagi akhir pekan. Setelah beberapa hari sebelumnya cedera punggung membuatnya susah tidur. Sesekali ia menghirup udara sejuk saat hembusan angin melewatinya. Cuaca saat ini tak begitu buruk. Rasanya ia ingin berkeliling lebih dalam hingga hutan yang berada di perbatasan rumah William ini. Ini menyenangkan. Melangkah ringan, kakinya ia bawa menuju ke ujung taman. Di sana terasa lebih dingin dan gelap. Bahkan ia hampir menyangka jika saja, hari berganti begitu cepat. Terlalu dalam dan gelap. Ia bisa merasakan jika suara burung yang sejak tadi berkicauan menjadi sunyi. . Apa ini yang dimaksud dengan "Disembunyikan alam"? Ia sungguh menyesal tak m
Begitu tubuhnya dijatuhkan di atas sesuatu yang lembut, rasa pening kembali datang, ditambah kini Boo menggeliat tak nyaman. Sudah dibilang 'kan bahwa ia begitu kepanasan dan 'haus'. Ntah setan mana yang merasukinya hingga membuat tubuhnya bergerak sendiri menuju gaun tidur yang sedikit tersingkap saat seseorang melemparnya. Sisi warasnya semakin hilang saat sesuatu yang hangat menyentuh permukaan paha dalamnya. Dingin, jemari sosok itu begitu dingin dan kuat, sedikit mencubit kulitnya. Perih! Lagi, jemari itu menggelitik pusat pusarnya, sesuatu yang digin dan lembab ikut menyentuhnya, mengecupnya, menjilat sepanjang permukaan kulit perutnya hingga bawah tulang rusuknya. "Kau yang memintaku melakukan ini. Kuharap musim kawin ini akan begitu menyenangkan, bukan begitu, Boo?" Suara halus dan dalam itu memasuki pendengarannya; mengancamnya dengan erotis. Membelai lekukan di tepinya begitu sensual. Suara ini... ia m
Setelah semua hal yang terjadi, Boo dan kelima pria lainnya begitu kikuk menghadapi William di ruang utama.Ada Charlie yang terduduk sambil menarik-narik kemeja Judish, Jackson yang memainkan seekor ular kecil yang katanya 'teman baru'.Hosea dan Christ sibuk mengamati gerak-gerik sang ketua.Sejak makan malam usai hingga lewat 15 menit lamanya, si Ketua William tak hentinya bergumam. Sesekali ia memeriksa ponsel dan kemudian memandang satu per satu dengan tajam."Will, bicaralah. Aku pegal jika terus menunduk seperti ini," ucap Boo terang-terangan.Tubuhnya belum sepenuhnya pulih dari efek Blue dirty candle. Yah, iya menyisipkan kata yang tepat sekali!"Aku tak memintamu datang. Pergilah, aku akan membicarakan hal penting dengan yang lainnya," balas William tenang.Boo mulai kesal, ia anggap William tak konsisten. Sebelumnya, pria itu meminta Boo ikut dalam pembicaraan ini, kemudian lagi-lagi berubah."Jangan
Malam ini rasanya Mrs. Fan ingin mengajaknya perang. Sudah dua malam ini tidurnya tak bisa nyenyak. Kamarnya begitu panas bahkan setelah jendela kamarnya dibuka. Jika saja William mengizinkannya berpindah kamar, ia akan dengan cepat melakukannya. The tearpaper (si kertas sobek) juga ikut mengganggu tidurnya. Kertas kusut itu akan terisak, mengadu dan kemudian berkelahi dengan resleting milik baggie (ransel). Kali ini pen (pulpen) dan shoesick (kaus kaki gila) hanya mengamati dari jauh. Boo hampir saja mengucap syukur jika saja ia tak mendapati tugas sekolahnya yang telah diinjak-injak dan dikotori oleh keduanya. Seluruh barang di kamarnya memang selalu jahil, bahkan berakhir melukainya. Walaupun ringan, namun bisa kau bayangkan jika saat tertidur, sesuatu seakan menusuk tubuhmu? Itu yang dirasakan Boo sejak datang kemari. Ia akan mendapati tubuhnya penuh luka sayatan maupun tusukan jarum-jarum kecil setelah bang
Charlie memanggilnya dari kejauhan.Oh, tubuhnya shirtless lagi. Malam-malam begini?Hal buruknya adalah Boo sangat menikmati tubuh setengah telanjang itu dengan wajah memerah. Memang ia akui, tubuh si kelinci buntal ini terbentuk sempurna. Ditambah urat tangannya terlihat jantan sekali. Pun dengan keringat yang mengalir melewati rahangnya yang tajam. Pria ini sangat mempesona!Oke cukup mengamati. Bisa-bisa nanti ia terpesona. Jangan sampai kelinci ini mengetahui bahwa sejak tadi ia mengamatinya."Kau menyukai pertunjukannya? Ini tak gratis, tahu?"Charlie terkekeh setelah menangkap basah dirinya. Mari tenggelamkan Boo di Amazon!"Aku ingin tidur," kilah Boo. Ia melewati Charlie dengan gugup. Jika mereka berdua lebih lama, pasti akan ada pertarungan kecil dan Boo tak cukup gila untuk itu. Tubuhnya pegal dan perih akibat sayatan yang belum mengering sepenuhnya."Lehermu kenapa?" tanya Charlie dengan suara lantan
Boo mulai merasa terganggu dalam tidurnya. Tubuhnya seakan tertahan oleh seseorang. Berat! Lengannya mencoba bergerak karena jujur saja ia merasa berkeringat. Padahal ruangan sekitarnya terasa sejuk. Ia sebenarnya ada di mana? "Berat," gumamnya lemas. Matanya mulai mengerjap-ngerjap. Pandangan yang samar kini terlihat semakin jelas dan semakin membuatnya tertegun. Ia, si kelinci itu tengah menggunakan tubuhnya sebagai guling. Pantas saja berat sekali! "Char, lepaskan!" Nihil, pria itu tak bergeming. Bibirnya yang mengerucut membuat Boo memiliki rencana untuk menjahilinya. Dicubitnya bibir bawah Charlie yang tebal. Sesaat kemudian, pria itu meringis dan segera membuka mata. Dilihatnya gadis itu yang tertawa lepas melihat ulah jahilnya sendiri. "Kau, berani mengganggu tidurku. Menyebalkan sekali." Charlie dengan wajah masam, terduduk di sebelah Boo yang juga tengah bersandar pada kepala ranjang. Keduanya sama-sama terdiam. Boo dengan