Charlie menjadi satu-satunya yang nampak begitu bahagia setelah Mrs. nursea mengatakan bahwa Boo akan pulih besok. Luka memarnya pun telah lenyap sejak dua jam lalu. Namun, gadis itu masih harus istirahat selama semalam penuh agar racun Flower Guinea bisa melemah.
Hampir saja Jack terkena lemparan bola baseball milik Charlie, jika saja ia berhasil menghindar.
"Sudah kukatakan bahwa aku tak tahu ada racun di dalamnya," ucap Jackson takut. Ia masih sibuk berlindung di belakang punggung Valdish.
"Untung saja kau bawa Nursea tepat waktu. Jika tidak, aku akan memindahkanmu ke Amazon!" gertak Charlie yang kesal.
Mereka menoleh pada suara langkah kaki yang semakin mendekat. Jika dihitung-hitung, di kamar itu hanya ada Valdish, Christ, Jackson dan Charlie. Sementara Hosea dan Judish tengah berada di kamarnya.
Lalu, siapa yang datang?
"Apa yang kalian lakukan?" tanya William yang baru saja tiba dan mendekati kamar Charlie yang ramai.
Ia sedikit melongok ke dalam, mendapati Boo tengah terlelap.
Gelagat aneh ditunjukkan dari wajah para makhluk itu. Tentu saja William bisa dengan mudah menduga hal yang sedang mereka tutupi.
Ditambah, untuk apa Boo tidur di kamar Charlie dengan mereka di dalamnya?
"Christ, bawa Boo ke kamarnya. Sepertinya gadis itu sedang tak baik."
"A-aku? Maksudku gadis itu tengah tertidur pulas. Lebih baik jangan diganggu," elak Christ sembari bersiul.
Pria itu kentara sekali saat canggung hingga William menatapnya jengah. Tentu saja ia merasa curiga sejak mengetahui mereka secara bersamaan menjaga gadis yang sebelumnya tak disukai.
"Lalu, jika kau tak ingin mengganggunya, mengapa kalian berada di sini? Bukankah itu lebih buruk?" William melewati ke-enam makhluk itu dengan tergesa. Ia jadi penasaran tentang apa yang tengah mereka sembunyikan.
Oh, haruskah ia mendesak mereka?
Ia merasa sesuatu yang buruk terjadi. Terlebih saat melihat Nursea, perawat yang bertugas merawat kesehatan tiap penghuni keluar dari kamar ini.
"Kulihat Nursea ke kamarmu tadi. Ada apa?" tanya William pada Charlie. Pandangannya masih tertuju pada Boo. Ia sungguh khawatir.
Apa sesuatu yang buruk telah terjadi dan ini ada hubungannya dengan salah satu makhluk di sini?
"Ah, itu—" Charlie mencoba setenang mungkin meski tak dapat dipungkiri jika dirinya begitu ketakutan saat menghadapi ketua mereka.
"Apa?" William sudah tak ingin mendengar basa basi rupanya. Ekspresinya pun berubah keras saat mendesak pria kelinci itu.
Ayolah, ia sungguh penasaran karena sejak tadi semuanya hanya terdiam.
Charlie menghela napas dan menatap William sendu, "Maaf, aku tak sengaja mendorongnya saat kita mendapat hukuman membersihkan gudang sekolah. Punggung gadis itu— maksudku, punggung Boo memar parah sekali. Aku meminta Jackson mengambil Flower Guinea untuk menyembuhkannya dan ternyata bunga itu ada racunnya. Untung saja Nursea cepat datang," jelasnya panjang dan runtut.
Bisa dilihat raut wajah William yang terkejut. Keningnya mengernyit, seakan berpikir keras.
Ia kemudian memandang wajah Charlie dan menghela napas dalam.
Setidaknya Charlie telah berkata jujur dan ia harus menghargainya.
"Hah, sudah kuduga tak ada yang biasa sejak gadis ini datang. Sudahlah, biarkan ia istirahat di kamarmu. Kau bisa tidur dengan Judish malam ini," ucap William sambil mengusak surai si kelinci manis. Ia tak tega melihat wajah adik paling kecilnya itu sendu.
"Ah, Ketua Will, apa tak ada hukuman untukku?"
William berhenti mengusak surai Charlie dan menggeleng, "Untuk apa? Itu hanya masalah kecil. Aku senang kau bisa bertanggung jawab."
William tersenyum tulus.
Malam itu rasanya Charlie ingin melompat-lompat sampai hutan di belakang rumah ini. Ia senang bahwa nyatanya William begitu bijaksana.
¶¶_________________________¶¶
"Rasanya tubuhku baru saja tertekan si kelinci buntal. Sesak sekali."
Boo meregangkan tubuhnya yang begitu kaku. Ia merasa kepalanya begitu sakit.
Ia baru ingat jika kemarin tertidur lebih awal dan kini kepalanya pening sekali.
Apa ia melewatkan sesuatu?
"Kau sudah bangun?"
"Sud—AaAaAa," teriaknya saat mendapati Charlie dengan tubuh shirtless.
Gila, berani sekali si kelinci ini, pikirnya.
"Jangan berteriak. Kau itu!" sungut Charlie sambil mencari seragam sekolahnya.
"Kau, kau bagaimana bisa masuk ke kamarku?"
Charlie hanya mengerlingkan matanya. Tak ada niat untuk membalas. Ia sibuk memilih seragamnya yang tergantung di lemari, memakainya segera.
Boo seperti orang bodoh. Ia mengamati sekeliling dan terkejut saat menyadari bahwa ini bukan kamarnya.
"Sudah sadar, eh?" ejek Charlie saat melihat gadis itu tengah memikirkan sesuatu.
Bodoh sekali, pikirnya.
"Diam kau. Bagaimana bisa aku tidur di sini? De-denganmu?"
Charlie melempar handuk kecilnya pada Boo. Tepat sasaran!
Yeah!
"Cepat pergi dari sini dan bersihkan tubuhmu di kamarmu sendiri."
Dengan cepat, Boo berlari meninggalkan kamar Charlie.
¶¶___________________________¶¶
"Punggungmu, bagaimana?"
William membuatnya terkejut saat ia keluar membersihkan diri.
Boo belum sempat meraih seragamnya yang ada di tepi ranjang dekat dengan posisi William.
"Cepat kemari dan perlihatkan punggungmu," ucap William tenang. Ia mengetuk-ngetuk sepatu mengkilapnya di lantai.
"A-aku sudah membaik. Kau pergilah. Aku ingin ke sekolah," sergah Boo buru-buru mengeratkan genggamanya pada handuk.
"Cepatlah sebelum kau terlambat ke sekolah."
Perlahan Boo telah berada di tepi ranjang. Membelakangi William dan perlahan menanggalkan handuknya sebatas area punggung.
Udara pagi begitu dingin menyentuh kulit tubuhnya yang terbuka.
"Cepatlah. Aku kedinginan!"
William dengan cepat mengolesi sesuatu di sepanjang tulang punggungnya hingga pinggang.
Rasanya dingin dan membuat tubuhnya meremang.
Sentuhannya begitu hati-hati saat ia mengoles kembali sisi yang lainnya.
Sapuannya lirih, menggelitik dan membuatnya memerah. Ia malu sekali.
"Sudah."
William kembali menutupi punggungnya dan berdehem keras, "Kau akan pergi denganku. Kutunggu lima menit di ruang makan."
Rasa canggung terasa saat William tak sengaja terbentur pintu saat ingin pergi.
Begitupun, Boo. Gadis itu, masih memerah akibat pengobatan instan yang dilakukan Will.
"Hah, sudahlah."
¶¶________________¶¶
"Malam ini giliranku berpatroli. Kau tenang saja. Iya... Tentu aku tak akan terlambat....."
"... Apa maksudmu? Seseorang melanggar batasan? Sudah kukatakan untuk memperketat jalur itu!"
Boo terkesiap mendapati Judish dengan wajah memerah padam dan menggeram kesal menghubungi seseorang di sana.
Sepertinya hal buruk terjadi.
Ia bahkan lupa jika tujuannya ke ruang makan.
Kakinya justru melangkah lebih dekat ke kamar Judish. Memastikan suatu hal.
Ya, mungkin saja.
Namun langkahnya terhenti saat Judish tiba-tiba saja mematikan sambungan teleponnya.
"Sebaiknya kau jangan menguping pembicaraan seseorang, Boo."
Sial, ketahuan!
Ia berlari cepat meninggalkan kamar Judish dan duduk di ruang makan setelah William memintanya.
"Kau tak menyisir rambutmu?" tanya William saat Boo baru saja menggingit roti panggangnya.
"Ah, itu—"
Belum ia menjawab pertanyaan Will, Judish duduk di sampingnya.
"Bagaimana ia sempat untuk menyisir rambut jika langkahnya justru lebih memilih ke kamarku. Bukan begitu, Boo?"
Boo pagi-pagi sekali telah berada di taman belakang. Ia mengamati sekitar saat flowerblast berbisik-bisik mengenai dirinya. Ia bahkan sempat mendengar bahwa salah satunya akan melukai dirinya. Tentu saja itu tak membuatnya bergeming. Ia hanya ingin menikmati pagi akhir pekan. Setelah beberapa hari sebelumnya cedera punggung membuatnya susah tidur. Sesekali ia menghirup udara sejuk saat hembusan angin melewatinya. Cuaca saat ini tak begitu buruk. Rasanya ia ingin berkeliling lebih dalam hingga hutan yang berada di perbatasan rumah William ini. Ini menyenangkan. Melangkah ringan, kakinya ia bawa menuju ke ujung taman. Di sana terasa lebih dingin dan gelap. Bahkan ia hampir menyangka jika saja, hari berganti begitu cepat. Terlalu dalam dan gelap. Ia bisa merasakan jika suara burung yang sejak tadi berkicauan menjadi sunyi. . Apa ini yang dimaksud dengan "Disembunyikan alam"? Ia sungguh menyesal tak m
Begitu tubuhnya dijatuhkan di atas sesuatu yang lembut, rasa pening kembali datang, ditambah kini Boo menggeliat tak nyaman. Sudah dibilang 'kan bahwa ia begitu kepanasan dan 'haus'. Ntah setan mana yang merasukinya hingga membuat tubuhnya bergerak sendiri menuju gaun tidur yang sedikit tersingkap saat seseorang melemparnya. Sisi warasnya semakin hilang saat sesuatu yang hangat menyentuh permukaan paha dalamnya. Dingin, jemari sosok itu begitu dingin dan kuat, sedikit mencubit kulitnya. Perih! Lagi, jemari itu menggelitik pusat pusarnya, sesuatu yang digin dan lembab ikut menyentuhnya, mengecupnya, menjilat sepanjang permukaan kulit perutnya hingga bawah tulang rusuknya. "Kau yang memintaku melakukan ini. Kuharap musim kawin ini akan begitu menyenangkan, bukan begitu, Boo?" Suara halus dan dalam itu memasuki pendengarannya; mengancamnya dengan erotis. Membelai lekukan di tepinya begitu sensual. Suara ini... ia m
Setelah semua hal yang terjadi, Boo dan kelima pria lainnya begitu kikuk menghadapi William di ruang utama.Ada Charlie yang terduduk sambil menarik-narik kemeja Judish, Jackson yang memainkan seekor ular kecil yang katanya 'teman baru'.Hosea dan Christ sibuk mengamati gerak-gerik sang ketua.Sejak makan malam usai hingga lewat 15 menit lamanya, si Ketua William tak hentinya bergumam. Sesekali ia memeriksa ponsel dan kemudian memandang satu per satu dengan tajam."Will, bicaralah. Aku pegal jika terus menunduk seperti ini," ucap Boo terang-terangan.Tubuhnya belum sepenuhnya pulih dari efek Blue dirty candle. Yah, iya menyisipkan kata yang tepat sekali!"Aku tak memintamu datang. Pergilah, aku akan membicarakan hal penting dengan yang lainnya," balas William tenang.Boo mulai kesal, ia anggap William tak konsisten. Sebelumnya, pria itu meminta Boo ikut dalam pembicaraan ini, kemudian lagi-lagi berubah."Jangan
Malam ini rasanya Mrs. Fan ingin mengajaknya perang. Sudah dua malam ini tidurnya tak bisa nyenyak. Kamarnya begitu panas bahkan setelah jendela kamarnya dibuka. Jika saja William mengizinkannya berpindah kamar, ia akan dengan cepat melakukannya. The tearpaper (si kertas sobek) juga ikut mengganggu tidurnya. Kertas kusut itu akan terisak, mengadu dan kemudian berkelahi dengan resleting milik baggie (ransel). Kali ini pen (pulpen) dan shoesick (kaus kaki gila) hanya mengamati dari jauh. Boo hampir saja mengucap syukur jika saja ia tak mendapati tugas sekolahnya yang telah diinjak-injak dan dikotori oleh keduanya. Seluruh barang di kamarnya memang selalu jahil, bahkan berakhir melukainya. Walaupun ringan, namun bisa kau bayangkan jika saat tertidur, sesuatu seakan menusuk tubuhmu? Itu yang dirasakan Boo sejak datang kemari. Ia akan mendapati tubuhnya penuh luka sayatan maupun tusukan jarum-jarum kecil setelah bang
Charlie memanggilnya dari kejauhan.Oh, tubuhnya shirtless lagi. Malam-malam begini?Hal buruknya adalah Boo sangat menikmati tubuh setengah telanjang itu dengan wajah memerah. Memang ia akui, tubuh si kelinci buntal ini terbentuk sempurna. Ditambah urat tangannya terlihat jantan sekali. Pun dengan keringat yang mengalir melewati rahangnya yang tajam. Pria ini sangat mempesona!Oke cukup mengamati. Bisa-bisa nanti ia terpesona. Jangan sampai kelinci ini mengetahui bahwa sejak tadi ia mengamatinya."Kau menyukai pertunjukannya? Ini tak gratis, tahu?"Charlie terkekeh setelah menangkap basah dirinya. Mari tenggelamkan Boo di Amazon!"Aku ingin tidur," kilah Boo. Ia melewati Charlie dengan gugup. Jika mereka berdua lebih lama, pasti akan ada pertarungan kecil dan Boo tak cukup gila untuk itu. Tubuhnya pegal dan perih akibat sayatan yang belum mengering sepenuhnya."Lehermu kenapa?" tanya Charlie dengan suara lantan
Boo mulai merasa terganggu dalam tidurnya. Tubuhnya seakan tertahan oleh seseorang. Berat! Lengannya mencoba bergerak karena jujur saja ia merasa berkeringat. Padahal ruangan sekitarnya terasa sejuk. Ia sebenarnya ada di mana? "Berat," gumamnya lemas. Matanya mulai mengerjap-ngerjap. Pandangan yang samar kini terlihat semakin jelas dan semakin membuatnya tertegun. Ia, si kelinci itu tengah menggunakan tubuhnya sebagai guling. Pantas saja berat sekali! "Char, lepaskan!" Nihil, pria itu tak bergeming. Bibirnya yang mengerucut membuat Boo memiliki rencana untuk menjahilinya. Dicubitnya bibir bawah Charlie yang tebal. Sesaat kemudian, pria itu meringis dan segera membuka mata. Dilihatnya gadis itu yang tertawa lepas melihat ulah jahilnya sendiri. "Kau, berani mengganggu tidurku. Menyebalkan sekali." Charlie dengan wajah masam, terduduk di sebelah Boo yang juga tengah bersandar pada kepala ranjang. Keduanya sama-sama terdiam. Boo dengan
Sejak sarapan berakhir hingga mereka menuju kursi belakang mobil Judish, Boo sepertinya berubah menjadi diam. Ia sama sekali tak bersuara meski Charlie mencoba beberapa kali mengganggunya. Bahkan rambutnya dibuat lusuh pun, Boo tak bergeming. Ia seakan berada di pikirannya sendiri. Jika diperhatikan lebih lama, gadis itu melihat ke arah gerbang dan kemudian hutan yang berada di ujung sana. Hal itu tak lepas dari pandangan yang lainnya. Sebenarnya apa yang sedang gadis itu pikirkan? Mesin mobil telah dihidupkan dan Judish mulai bergerak jika saja William tak menghentikannya secara mendadak. Ketua mereka itu menghadang mereka di depan gerbang. Judish yang berada di kursi kemudi, mengerti. Ia bergegas turun untuk menghampirinya. Pembicaraan mereka berdua sepertinya begitu serius. Sebab, Judish sampai menoleh ke arah empat orang yang
William mengerutkan keningnya. Ia merasa bahwa permintaan Boo tak memiliki alasan. Hingga pria itu menggeleng tanda menolak. Lagipula, ia lelah sekali dan tak ingin meladeni omong kosong. "Boo, kau memiliki kamar lamamu. Segera pergi tidur. Aku lelah." William mencoba membujuknya. Siapa tahu gadis itu luluh. Namun yang dilakukan Boo adalah bergelayut di lengannya sambil merengek. Ia tetap mengatakan ing n tidur semalam di kamarnya. Jika seperti ini, William tak akan beristirahat dengan tenang. Ia menghela napas panjang. Memandang Boo yang terlihat memelas. Gadis itu selalu tahu jika Will tak senang melihatnya sedih. "Baiklah. Kau kuizinkan. Tapi, tunggu di ruang kerjaku sampai aku selesai membersihkan diri. Kau bisa melakukannya?" Boo terlihat senang. Ia langsung menerobos masuk dan duduk tenang di sofa panjang dekat jendela. Tubuhnya direbahk