Kakinya berjinjit kecil. Setenang mungkin melangkah melewati lorong panjang di luar kamarnya. Rambutnya yang lusuh dibiarkannya terombang-ambing sampai terlilit. Ia tak peduli.
Boo berjengit lantaran menginjak sesuatu yang lembut di bawah kakinya. Ia kemudian melongok dan mendapati seekor anjing manis berbulu putih bercorak hitam. Ia memutari kaki Boo yang tertegun. Lidahnya menjulur-julur dengan mata coklat yang cerah memandangnya.
"Pergilah anjing baik. Jangan gigit aku," ucap Boo sembari bersiap melangkah lagi jika saja si putih manis ini tak menggonggong dengan kencang sebanyak tiga kali.
Boo akhirnya terduduk di lantai dan meminta anjing manis itu duduk di pahanya. Kebetulan ia hanya mengenakan celana piyama miliknya yang hanya menutupi sedikit paha atasnya.
Sehingga anjing itu bergesekan langsung dengan kulitnya.Semakin lama anjing itu meringsek seperti mendekapnya. Ini terlalu dekat dan perutnya sedikit teremas.
Anjing ini menyebalkan juga
"Boo, sedang apa kau?"
Will datang dari belakang punggung gadis itu dan mendekat hingga kini ia berada di hadapannya sambil membawa tongkat kasti.
William bermain kasti? Lelucon apa lagi ini?
"Anak anjing ini menyebalkan. Terlalu menempel. Ia sepertinya menyukai bajuku. Lihatlah jadi kusut," kesal Boo saat melihat bajunya hampir tersingkap.
"Wah, sialan juga kau Christ. Ubah ke wujud aslimu cepat!"
William tak membentaknya tapi ucapannya begitu tegas. Hingga anjing itu mulai turun dari pahanya dan berada di hadapannya.
seketika muncul asap pekat melingkari anjing itu dan dengan cepat terganti dengan sosok pria shirtless sambil menunjukkan senyum lebarnya. Lihat, matanya hilang saat ia tersenyum.
Kemudian pria di hadapannya itu menyugar rambut ntah untuk apa.
Sementara Boo masih mencerna apa yang baru saja terjadi. Sampai-sampai tongkat kasti itu menyenggol tubuhnya pelan.
"Jangan terkejut begitu. Nanti kau bisa mati muda. Ini Christ, manusia setengah
anjing.""Halo manis. Aku Christian. Panggil saja baby," goda Christ dengan mata yang mengerling.
Boo hanya mengangguk canggung. Ia jadi berpikir lebih baik Christ tetap jadi anjing. Alasannya karena ia lucu sekali dan juga bulu-bulunya halus.
"Boo— ah panggil aku Boo saja," sahutnya sambil memandang William yang berdiri angkuh di sampingnya.
"Bangunlah. Paman Song telah menyiapkan kita sarapan."
¶¶______________________________________¶¶
Sejak acara makan pagi dimulai, tak ada suara sedikit pun. Boo menengok William yang ada di sebrangnya. Pria itu dengan tenang menggigit roti panggang selai coklatnya. Sementara Christ terus saja menggodanya dengan menyentuh rambut panjangnya yang tergerai.
Ia bilang bahwa rambutnya begitu halus dan wangi. Tak tahu saja jika bukan karena Isabelle memaksanya, ia tak akan mencuci rambutnya dengan baik.
Rasa canggung mulai hilang saat pria berlesung pipi datang dan mengambil tempat di dekat William. Ya Tuhan, wangi sekali pria ini.
"Selamat datang Boo. Aku Judish. Tadi malam aku melihatmu tidur di sofa. Ah, kalau diingat lagi kau lucu sekali saat tertidur. Manis sekali."
Bilang ini bukan mimpi. Karena suara Judish begitu dalam dan tenang. Ditambah ia menatapnya dengan penuh saat berbicara. Boo hampir saja menjatuhkan roti isinya jika saja jemari kakinya yang telanjang dicubit dari bawah.
Ia mengerang sedikit. Rasanya menyakitkan dan terlihat bodoh di mata Judish. Gadis itu sungguh malu. Bagaimana jika Judish menangkap kebodohannya tadi?
"Ah, begitu. Aku rasa kau terlalu melebihkan. Seseorang pernah bilang padaku jika aku tertidur seperti anak bebek terlepas."
William di seberang sana ikut menoleh dan alisnya menukik. Ia jelas tahu siapa yang mengatai gadis itu seperti biawak. Iya, William yang mengatakannya saat menemukan Boo tertidur terlentang di sofa kamarnya saat berusia tujuh tahun."Memang seperti bebek. Lihat saja bibirmu saat berbicara pasti kau memanjangkannya," ejek William sambil tertawa.
Tak terima ucapan pria pucat itu, Boo hampir saja melempar satu buah jeruk keprok ke arahnya. Untung saja Christ cepat melerai dan menggenggam tangannya.
"Sudahlah. Kau cantik kok. Mau bibirmu panjang, pendek. Aku suka."
Cup
Christ mencium pipinya cepat. Boo tentu saja tak berkutik. Gadis itu hanya terdiam dan kemudian melempari sisa jeruk keprok itu ke arah Christ yang berlari kencang.
"Kembali kau Christ! Akan kucincang nanti. Lihat saja," gerutu Boo sambil mengusap-usap pipinya yang terkena ciuman itu.
Sementara Judish tertawa memandangnya. Sial, bikin malu saja. Boo rasanya ingin mengubur diri. Pria berlesung pipi itu begitu tampan.
"Aku pulang," seru seorang pria sambil berjalan mendekati meja makan mereka. Pria itu terkikik dan meloncat beberapa kali. Telinganya juga bergerak mengikuti ke mana ia melangkah.
"Aku mau roti selai coklat dan stoberi yang tebal Ketua William," pintanya saat ia berhasil duduk si samping Boo.
Sementara gadis itu tak sadar jika seseorang duduk di sampingnya menggantikan tempat Christ.
"Oh iya, nanti malam aku izin pergi ya Ketua. Di sekolahku akan ada pesta kecil," bujuk Charlie sambil merapihkan telinga panjangnya yang tak sengaja menyentuh bahu Boo.
"Aku izinkan. Asal kau ajak Valdish bersamamu," balas William sambil memberikan roti dengan selai tebal ke arahnya.
Tentu saja Charlie senang dan langsung menggigit rotinya.
Ia bahkan tak peduli bahwa sejak tadi Boo memperhatikannya dengan lamat. Apalagi setelah telinga miliknya menyentuh tubuh gadis itu."Kau— kelinci?" suara Boo terdengar bergetar. Ia tak takut sungguh. Hanya saja ia terkejut. Matanya membesar saat Charlie menoleh padanya.
Pun kelinci begundal itu juga sampai tersedak saat melihat wajah Boo yang terlalu dekat dengannya.
"Menjauhlah anak nakal!" secara tanpa sengaja, Charlie mendorong baju Boo kencang. Hal itu bahkan disadari oleh William.
"Aw, kasar sekali. Kau kelinci jelek!" ejek Boo karena ia kesal telah didorong kelinci gemuk itu. Ia tak jadi memuji kelinci itu.
"Apa kau bilang? Kau gadis nakal yang pernah menarik telingaku itu. Menyebalkan sekali. Kenapa dia ada di sini, ketua?" Charlie mengeluh pada William dan hanya ditanggapi gelengan kepala.
"Omong kosong macam apa itu? Aku bahkan baru bertemu denganmu kelinci jelek, gendut!"
Tahu kelanjutannya? Charlie terisak dengan binar mata besarnya yang redup. Ia semakin kencang menangis. Telinganya pun jadi layu dan menutup.
Judish yang melihatnya, dengan sigap berlari kecil dan meminta pria manis itu untuk berdiri. Sementara ia menempati tempat duduk di samping Boo.
Menarik Charlie pelan di pangkuannya."Dia hiks bilang aku kewlinc kewlinci jelek dan gen-genduwth.. Hiks kata Judish aku kan kelinci paling manis. Dia jahat padaku Judish. Bawa pergi saja dari sini. Dia masih saja nakal," adu Charlie dengan wajah yang memerah dan menenggelamkan wajahnya di bahu besar Judish.
Sebagai yang terdekat, Judish mencoba menenangkannya dengan cara mengusap lembut bahu Charlie hingga isakannya itu terdengar semakin pelan.
" Judish, bawa Charlie ke kamar dan bilang pada Paman Song untuk membuatkan roti isi yang baru dan satu gelas susu tambahan untuknya," perintah William yang kemudian dilaksanakan dengan cepat.
Boo yang masih terdiam hanya dapat menyesal saat mendengar isakan Charlie yang terdengar lagi saat Judish membawanya ke kamar.
"Apa dia selalu seperti itu?" tanya Boo yang masih memandangi mereka yang semakin menjauh.
"Iya memang. Charlie si kelinci manis yang lembut. Ia paling disayang sehingga satu ucapan ejekan membuatnya terluka," jelasnya sambil menyeruput sisa kopinya.
"Ish, bukan si kelinci buntal itu. Yang ku maksud adalah Judish. Apa dia selalu menjadi Ayah bagi Charlie? Apa jangan-jangan si kelinci buntal itu anaknya?" tanya Boo histeris.
Ia tak siap jika mendengar bahwa Judish telah memiliki anak. Ia tak mau!
"Dari segi manapun Charlie dan Judish tak ada mirip-miripnya sama sekali, bodoh! Satu kelinci dan satunya serigala."
"Seriga— apa?!"
Boo sampai beranjak dari duduknya saat mulut bodoh William membuatnya terkejut.
Judish serigala? Kegilaan apalagi ini?
"Ya Tuhan. Mengapa kau membawaku ke tempat yang dipenuhi orang-orang aneh, sih? Pokoknya aku mau pulang! Kau gila! dan semuanya juga gila. Bahkan barang-barang di kamarku juga."
"Kau bahkan belum tahu semuanya. Sudahlah lupakan. Nanti malam aku akan memperkenalkan semuanya padamu."
William dengan santai melenggang pergi meninggalkannya dengan rasa takut dan kesal.
"William brengsek!" umpatnya keras hingga ia mendengar Charlie terisak lagi.
Will meminta Boo ke taman belakang yang begitu jauh dari kamarnya. Ditemani Pelayan Song yang sejak tadi tersenyum ramah padanya. Namun, gadis itu sama sekali tak menyambutnya hangat. Bahkan sejak tadi dirinya hanya tertarik pada sekumpulan bunga-bunga yang bercahaya di sekitarnya."Kau suka flowerblast?" tanya Pelayan Song sambil menunjuk objek yang diamatinya sejak tadi. Salah satu flowerblast melayang di sisinya begitu pria itu menjentikkan jarinya.Kini ia dapat melihat lebih jelas bahwa bunga menyala itu memiliki mata yang indah dan mulut yang — tunggu dulu. Mulut? Bunga ini memiliki mulut kecil. Ah, gila!"Selamat datang, wanitanya Will, aku roseblast," sapa bunga mawar merah itu sambil menempelkan kelopaknya di pipi Boo. Oh, apakah ini cara mereka berkomunikasi?"A—ap, ah, maksudku aku Boo. Bisakah jauhkan durimu dari lenganku. Tolong," pintanya saat dirasa duri itu semaki
Boo mengunyah kacang almond dan beberapa kudapan lainnya. Ia sungguh lapar. Bahkan sampai lupa jika semua orang terkecuali Charlie memandangnya begitu lekat."Apa?" tanyanya ketus. Ia masih kesal dengan keadaan yang membuatnya gila. Bagaimana bisa ia terjebak dengan mereka semua."Ekm. Baiklah sesuai surat wasiat ayahmu, Boo. Kau harus tinggal di sini bersama kami. Kau juga sekarang bagian dari kami. Jika kau bingung, mereka adalah makhluk setengah manusiayang aku temui. Hanya kau yang tahu masalah ini. Juga, benda-benda di sini yah seperti yang kau lihat, hidup. Mereka hidup sebelum kami semua di sini. Jadi, tolong hormati mereka." William serius dengan ucapannya. Ditambah tak ada bantahan dari siapa pun di sini."Aku tak peduli mau kalian semua bahkan kau, Will. Tapi, benda-benda di kamarku yang membuatku tak nyaman. Kau pikir bagaimana bisa aku tidur jika semuanya meracau dan berteriak bahkan
"Sudah siap?" tanya Judish sambil melongok ke belakang kursi kemudi. Hari ini gilirannya untuk mengantar Christ, Charlie, Valdish dan penghuni baru, Boo pergi ke SMA Cellos. Jaraknya lumayan jauh dari tempat tinggal mereka.Butuh sekiranya satu jam perjalanan ke sana."Geser sedikit, bokongmu besar sekali, sih. Aku terhimpit," sungut Charlie yang sialnya duduk di tengah mobil. Biasanya ia akan duduk leluasa karena kursi ini cukup diduduki tiga orang. Tapi, akibat bertambah satu orang, ia mau tak mau kesal juga."Bokongku baik-baik saja. Mungkin badanmu saja yang sudah berubah jadi babi sampai mobil ini rasanya terlalu kecil untukmu," balas Boo yang memang telinganya terasa diganggu oleh ucapan si kelinci bongsor itu."Kau—"
Charlie sibuk menggendong tubuh Boo setelah pelajaran terakhir usai. Di belakangnya, Christ dan Valdish membawa beberapa barang milik gadis itu. Jujur saja si kelinci manis berubah diam saat memasuki ruang kesehatan tadi. Bukan hanya Boo yang merasakan, semuanya yang berada di mobil pun ikut merasa bahwa Charlie tengah menebus kesalahannya.Setidaknya Charlie tak lepas tanggung jawab dan merengek minta perlindungan. Ia justru begitu fokus menatap jalanan. Hari ini memang gilirannya menyetir. Ditambah beberapa kali ia menanyakan keadaan Boo seperti,"Apa punggungmu masih sakit? Beritahu aku"atau"Jangan terlalu menekan punggungmu di kursi. Biar Christ yang menjadi sandaranmu sampai kita tiba di rumah."Dan lebih parahnya, kalimat terakhir Charlie membuat dirinya takut"Kau tidur denganku untuk sementara. Aku izinkan sampai kau pulih."Ia mengucapkan kalimat terakhir dengan sorot ma
Charlie menjadi satu-satunya yang nampak begitu bahagia setelah Mrs. nursea mengatakan bahwa Boo akan pulih besok. Luka memarnya pun telah lenyap sejak dua jam lalu. Namun, gadis itu masih harus istirahat selama semalam penuh agar racun Flower Guinea bisa melemah.Hampir saja Jack terkena lemparan bola baseball milik Charlie, jika saja ia berhasil menghindar."Sudah kukatakan bahwa aku tak tahu ada racun di dalamnya," ucap Jackson takut. Ia masih sibuk berlindung di belakang punggung Valdish."Untung saja kau bawa Nursea tepat waktu. Jika tidak, aku akan memindahkanmu ke Amazon!" gertak Charlie yang kesal.Mereka menoleh pada suara langkah kaki yang semakin mendekat. Jika dihitung-hitung, di kamar itu hanya ada Valdish, Christ, Jackson dan Charlie. Sementara Hosea dan Judish tengah berada di kamarnya.Lalu, siapa yang datang?"Apa yang kalian lakukan?" tanya William yang baru saja tiba dan mendekati kamar Charlie ya
Boo pagi-pagi sekali telah berada di taman belakang. Ia mengamati sekitar saat flowerblast berbisik-bisik mengenai dirinya. Ia bahkan sempat mendengar bahwa salah satunya akan melukai dirinya. Tentu saja itu tak membuatnya bergeming. Ia hanya ingin menikmati pagi akhir pekan. Setelah beberapa hari sebelumnya cedera punggung membuatnya susah tidur. Sesekali ia menghirup udara sejuk saat hembusan angin melewatinya. Cuaca saat ini tak begitu buruk. Rasanya ia ingin berkeliling lebih dalam hingga hutan yang berada di perbatasan rumah William ini. Ini menyenangkan. Melangkah ringan, kakinya ia bawa menuju ke ujung taman. Di sana terasa lebih dingin dan gelap. Bahkan ia hampir menyangka jika saja, hari berganti begitu cepat. Terlalu dalam dan gelap. Ia bisa merasakan jika suara burung yang sejak tadi berkicauan menjadi sunyi. . Apa ini yang dimaksud dengan "Disembunyikan alam"? Ia sungguh menyesal tak m
Begitu tubuhnya dijatuhkan di atas sesuatu yang lembut, rasa pening kembali datang, ditambah kini Boo menggeliat tak nyaman. Sudah dibilang 'kan bahwa ia begitu kepanasan dan 'haus'. Ntah setan mana yang merasukinya hingga membuat tubuhnya bergerak sendiri menuju gaun tidur yang sedikit tersingkap saat seseorang melemparnya. Sisi warasnya semakin hilang saat sesuatu yang hangat menyentuh permukaan paha dalamnya. Dingin, jemari sosok itu begitu dingin dan kuat, sedikit mencubit kulitnya. Perih! Lagi, jemari itu menggelitik pusat pusarnya, sesuatu yang digin dan lembab ikut menyentuhnya, mengecupnya, menjilat sepanjang permukaan kulit perutnya hingga bawah tulang rusuknya. "Kau yang memintaku melakukan ini. Kuharap musim kawin ini akan begitu menyenangkan, bukan begitu, Boo?" Suara halus dan dalam itu memasuki pendengarannya; mengancamnya dengan erotis. Membelai lekukan di tepinya begitu sensual. Suara ini... ia m
Setelah semua hal yang terjadi, Boo dan kelima pria lainnya begitu kikuk menghadapi William di ruang utama.Ada Charlie yang terduduk sambil menarik-narik kemeja Judish, Jackson yang memainkan seekor ular kecil yang katanya 'teman baru'.Hosea dan Christ sibuk mengamati gerak-gerik sang ketua.Sejak makan malam usai hingga lewat 15 menit lamanya, si Ketua William tak hentinya bergumam. Sesekali ia memeriksa ponsel dan kemudian memandang satu per satu dengan tajam."Will, bicaralah. Aku pegal jika terus menunduk seperti ini," ucap Boo terang-terangan.Tubuhnya belum sepenuhnya pulih dari efek Blue dirty candle. Yah, iya menyisipkan kata yang tepat sekali!"Aku tak memintamu datang. Pergilah, aku akan membicarakan hal penting dengan yang lainnya," balas William tenang.Boo mulai kesal, ia anggap William tak konsisten. Sebelumnya, pria itu meminta Boo ikut dalam pembicaraan ini, kemudian lagi-lagi berubah."Jangan