Malam yang seharusnya begitu gelap sekarang begitu terang karena kobaran api semakin menjalar hampir ke seluruh bagian istana ini. Kerajaan Agung sedang dalam bahaya, saat Pangeran Najendra menyadari hal itu, dia pun bergegas menuju ke kamar orang tuanya.
“Rama, Ibu!” Najendra memanggil mereka begitu sampai. Namun, saat dirinya bergegas membuka pintu dengan cara mendobrak sekeras mungkin hingga pintu itu hancur, terlihat di depan mata, Najendra menyaksikan seseorang yang begitu familiar sedang menghunuskan pedang pendeknya ke tubuh sang ayah. Sementara sang ibu sudah tergeletak di bawah dan nyaris terlalap oleh api. “Kau! Apa yang kau lakukan, Raden Adipati!” jerit Najendra penuh amarah. Setengah pakaiannya sudah terbakar semenjak perjalanan menuju ke ruangan ini, kulit kuning langsat itu pun ternodai oleh abu. Amarah sepenuhnya ditujukan hanya untuk si pengkhianat tersebut. “Tidak, Najendra ...pergilah! Jangan sampai kau juga mati di tangannya!” teriak sang Ayah seraya mengulurkan tangan ke arahnya, dalam keadaan tubuh terluka, dia masih saja mengkhawatirkan putranya. “Pergi begitu saja? Apakah karena aku tidak berguna?! Setidaknya aku—” Saat Najendra mulai menarik keris dari pinggang belakangnya, dua prajurit istana menyeret dia dengan paksa. “Ampun, pangeran. Mari kita segera pergi dari sini.” “Tunggu, tidak!” Tidak peduli seberapa besar jeritannya yang menggema di bagian lorong, kedua prajurit itu bergegas mencari jalan lain untuk sang pangeran agar selamat. Keluar dari istana melewati jalur belakang secara sembunyi-sembunyi, namun sayangnya beberapa prajurit yang ikut memberontak justru menghalangi jalan. “Cepat berikan jalan untuk pangeran!” pekik salah satu prajurit yang berada di pihak Najendra, tapi dia tidak tahu bahwa beberapa prajurit di hadapannya sudah tidak sepihak. Tanpa ampun, prajurit berkuda itu pun langsung menghunuskan tombaknya dan membunuh kedua prajurit pihak Pangeran Najendra. “Sudah kuduga akan jadi begini, dasar pengkhianat!” Najendra menggeram kesal, ia bergegas melarikan diri begitu sadar tak ada kesempatan menang melawan mereka. Ia berlari ke sembarang arah lalu memanjat dinding dan pergi menuju ke hutan liar. “Kejar dia! Habisi seluruh keturunan Kerajaan!” seru para prajurit pengkhianat. Secara nekat, Najendra memasuki hutan tak terjamah dengan bertelanjang kaki. Begitu dia mulai kehabisan napas, dia sejenak berhenti seraya menyandarkan tubuh ke batang pohon. Akan tetapi, ketenangannya mulai diganggu. Sebuah mata tombak muncul dari balik semak-semak, tepat di bagian samping arah di mana Najendra sedang beristirahat saat ini. Nyaris saja tombak itu mengenai kepalanya. “Ternyata kau di sini,” ucap Gardapati yang kemudian muncul di hadapannya sembari membawa obor api. “Kenapa kau tahu aku di sini?!” teriak Najendra yang panik, dia kemudian beranjak dari sana dan berencana untuk kabur lagi. “Sejak awal aku juga mengincarmu, Pangeran. Ini adalah wilayah berburuku, tentu saja aku sadar ada jejak yang bukan dari hewan masuk ke hutan ini.” “Tidak masuk akal! Lalu kenapa kau melakukan ini semua? Kenapa berkhianat?” “Karena kau tidaklah pantas menyandang gelar terhormat,” jawab Gardapati seraya mengayunkan tombaknya. Dibanding dengan jawaban Gardapati yang membuat dirinya bingung, spontan Najendra berlari ke arah belakang secepatnya guna menghindari serangan itu. Akan tetapi, panjangnya tombak membuat pemuda itu tidak dapat melarikan diri sehingga dia pun pada akhirnya tetap tertebas mata tombak milik sang patih. “Berbanggalah, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom, Najendra. Engkau mati bukan dalam genggaman pedangku melainkan tombak milik ayahmu,” ucap sang Patih dengan tersenyum senang. Petir menyambar dan tidak lama setelah itu, turunlah hujan deras. Mengguyur bagian wilayah istana hingga ke hutan-hutan. Tubuh Najendra yang terkoyak, terbaring lemas tak berdaya pun turut diguyur hujan. Keris yang dibawanya jatuh tergeletak tak jauh dari tempatnya mulai bersinar sedikit demi sedikit. “Hujan ini membuatku jengkel. Tidak bisakah nanti saja hujannya?” cela Gardapati, ia merengek karena tidak begitu menyukai hujan. Dia melirik ke tubuh Najendra yang sudah tidak berkutik, lalu saat menarik kain jarik yang bermaksud untuk membawa tubuh itu, Gardapati justru hanya merobek kainnya dan Najendra hilang dalam sekejap mata. “Ke mana perginya?” Terkejut sekaligus panik, Gardapati begitu khawatir jika satu-satunya keturunan kerajaan yang seharusnya sudah tewas kini malah menghilang. *** Hari telah berganti, cahaya matahari mulai menyinari seisi hutan. Sesosok pemuda bertubuh kurus kering perlahan membuka matanya, mendapati dirinya yang terbaring di atas dedaunan gugur, lekas dia bangkit. “Apa yang ... terjadi padaku?” Pemuda itu bertanya-tanya namun masih saja tidak dapat memahami sesuatu. Berselang detik kemudian, diraihlah sebuah keris yang berada di sampingnya dan barulah dia memahami sesuatu. Termasuk tentang kejadian semalam itu. Amarahnya kembali berkumpul, kepalanya mulai memanas, mengingat semua momen tragis tanpa berbelas kasih itu, membuat Najendra melempar kerisnya dengan kesal. “Dasar, kau! Raden ... tidak, Gardapati! Pengkhianat!” pekik Najendra. “Argh!! Apa-apaan ini?!” Di saat yang sama, seseorang mengerang kesakitan tepat setelah Najendra melempar kerisnya. "Duh, gusti ... apakah itu karena aku?" duga Najendra, dia perlahan melangkah ke belakang dengan niat untuk kabur. Sebelum niatnya terjadi, seorang pria tua menerobos masuk ke semak-semak yang berada di hadapannya. Pria tua dengan pakaian serba hitam juga mengenggam keris miliknya. “Pasti kau ya!” tuding pria tua itu sambil menunjuk Najendra. “Ampun, aku tidak sengaja, kek?” “Aku masih belum tua!” “Baiklah, pak?” “Sekarang bukan itu! Bagaimana bisa kau melemparkan benda pusaka ini begitu saja?! Sampai mengenai kepalaku yang sampai sekarang terasa sangat sakit ini? Tanggung jawab!” “Ampun, pak. Aku benar-benar minta maaf. Aku tidak sengaja,” ucap Najendra yang masih meninggikan harga dirinya. Dia berpaling sejenak sembari mengatur napasnya. “Dasar bocah sombong!” teriak pria tua itu, kali ini sambil melempar keris itu hingga mengenai tubuh Najendra. “Seharusnya kau bersikap lebih sopan di hadapanku. Apa kau tahu siapa aku?” Dengan sombongnya, Najendra menyahut. “Ha?” Sebelum melangkah pergi lebih jauh, pria itu berbalik badan sambil memasang ekspresi jengkel dan masam. “Siapa dirimu? Apa peduliku? Paling hanya anak orang kaya yang tersesat,” pikirnya. “Aku ini Pangeran! Pangeran dari Kerajaan Agung!” ungkap Najendra dengan lantang. Namun sayangnya dia tidak ditanggapi serius. Pria tua itu tertawa bahak-bahak lalu berkata, “Pangeran? Hei, nak, Kerajaan Agung sudah lenyap jadi abu. Pemberontak itu yang melakukannya. Dan kami bahkan tidak peduli tentang hal itu, yah, lagi pula kami tidak berada di wilayah kerajaan itu.” “Apa?” “Semua orang-orang yang ada di Kerajaan, dari kasta terendah, jabatan terendah hingga tertinggi hingga raja, ratu, sanak-saudara dan termasuk pangeran yang katanya akan jadi raja itu sudah tewas!” “Tidak mungkin. Semuanya tewas?” “Kecuali pemberontaknya. Kudengar, orang yang dulunya berjabat Patih telah membunuh Pangeran Najendra,” ungkapnya sambil melirik ke arah Najendra. Seakan-akan pria ini mengetahui sesuatu tapi bersikap seolah-olah dirinya tidak mengerti. Dia membaca ekspresi Najendra yang panik, wajah pemuda itu pucat pasi.Hari telah berganti, pertukaran nyawa seringkali terjadi. Matahari dan bulan yang berganti peran dengan cepat, jejak kerajaannya pun sekarang lenyap. Kini satu-satunya keturunan ada di sini dan hidup. “Kerajaan Agung lenyap?”“Ya. Lalu kau sendiri itu siapa? Tidak mungkin orang biasa sepertimu bisa memegang keris.”“Biar aku beritahu, akulah Pangeran Najendra. Aku adalah bagian dari Kerajaan Agung yang sudah lenyap itu!” Lagi-lagi pria tua itu tertawa bahak-bahak. Dia menertawakan Najendra sebab berpikir itu adalah lelucon yang paling lucu. “Kau pikir ini lucu 'kan?” “Iya, iya ... itu lucu sekali. Lalu?” “Jika kau membawaku ke tempat Gardapati maka kau pasti bisa hidup mewah. Bahkan jika itu hanya kepalaku saja,” tutur Najendra serius, seolah-olah ingin menyerahkan nyawa begitu saja.“Bicara apa sih, anak muda ini? Aku tidak tertarik dengan benda-benda mewah yang mungkin akan membuatku kaya. Ikutlah denganku.” Najendra terdiam seribu kata, matanya membelak kaget saat mendapati
Tanah yang tandus namun pepohonan berdiri tegak seolah hidup. Meski yang tersisa hanya ranting dan dedaunan yang kering, dengan diliputi cuaca panas bak neraka ini, Najendra menyadari ada mahluk hidup di sini. “Tempat apa ini sebenarnya? Perasaanku aneh, aku memiliki firasat buruk di sini.” “Tuan, engkau sedang berada di alam jin. Di sini adalah tempat tinggal mahluk mistis dan sejenisnya,” jawab seseorang. Merasa tidak sedang ditemani siapa pun, ya, seharusnya begitu. Najendra menoleh ke sumber suara dan dia begitu terkejut ketika mendapati sesosok lelaki yang memiliki rupa dan suara yang sama dengannya. “Kau siapa?” tanya Najendra sambil menatap tajam, dia melangkah mundur dan bersikap waspada. “Saya adalah keris milikmu, tuan. Saya yang melindungimu saat tertebas tombak di hari itu juga. Apa Tuan Najendra sudah sadar?” “Keris? Keris itu 'kan benda mati. Ah, tunggu sebentar ...,”Keris memang benda mati tapi itu bukanlah keris biasa. Keris itu nyatanya memang benar-benar tela
Pada tahun kelahiran sang pangeran, semua menyambutnya dengan meriah. Lantaran anak lelaki itu sudah digadang-gadang akan menjadi raja berikutnya di Kerajaan Agung. Namanya Najendra. Namun, sedari kecil fisiknya lemah. Sang Raja memutuskan untuk membuatnya belajar bela diri agar semakin lebih kuat meskipun kekuatan spiritualnya melebihi para orang dewasa. “Bila pangeran memiliki kekuatan spiritual tinggi, maka beliau akan rentan terhadap segala jenis jin.” Itulah pesan yang disampaikan oleh sang ahli pengobatan. Tidak buruk memiliki kekuatan spiritual tinggi namun Najendra kerap kali diserang oleh para jin, mereka merasuki tubuh Najendra dan mengendalikannya sesuka hati. Itulah yang membuat semua orang gemetar ketakutan. Hingga suatu hari, Najendra merasa muak belajar, baik ilmu akademis maupun ilmu bela diri. Ayahnya pun mengalah dan kemudian memberikan "pelindung" miliknya yaitu Keris Sakti pada Najendra. Seiring berjalannya waktu, sang ayah pun turut menutup indera batin milik
Sesosok pemuda berambut hitam berdiri di atas genangan air, melihat penampilannya yang sedang mengenakan pakaian sederhana yang tidak cocok untuknya. Najendra terdiam sejenak lantas mendongakkan kepala, menghadap langit dengan memikirkan banyak hal. “Sepertinya kamu sudah membiasakan diri dengan alam sekitar. Bagaimana keadaanmu?” tanya Dukun Jaka.“Tidak ada hal yang spesial, guru. Aku seperti biasa, kepalaku pusing karena ocehan darimu setiap malam,” keluh Najendra seraya menghela napas. “Pangeran Najendra, akan pergi sekarang?” tanya Intan dengan raut wajah cemas.“Iya.” “Tolong berhati-hatilah.”“Iya, itu pasti.”Dua tahun telah berlalu, ada perubahan sedikit dari dalam dirinya. Baik itu dari sikap atau sifat hingga kekuatannya. Tenaga dalam yang ditekan kuat hingga terlihat seperti orang biasa, takkan ada orang yang sadar tentang betapa kuatnya dia setelah lama berlatih. “Semoga pangeran beruntung,” ucap Intan.“Terima kasih. Tapi jangan sebut aku dengan panggilan itu.”“Inta
“Pangeran, bukan ... sekarang aku hanya perlu memanggilmu dengan nama saja, Najendra.” “Bersikaplah acuh seperti biasa, Gardapati. Etika kesopanan itu tidak diperlukan saat berhadapan dengan musuh,” ucap Najendra. Dia kembali berdiri setelah terjatuh, tubuhnya sedikit lunglai dengan pendarahan yang tidak sedikit ini. Mengatur napas saja sudah kesusahan, tangannya pula gemetaran. Najendra sulit memenangkan pertarungan ini sampai di titik di mana dia harus memaksakan dirinya sendiri. “Aku mungkin lebih lemah darimu, Gardapati!” Seraya berteriak, Najendra mendorong telapak tangan yang berlumur kobaran api. Gardapati terkejut, tubuhnya terdorong mundur cukup jauh hingga di kursi tahktanya. “Ajian ini ...,”Gardapati cukup terkejut dengan ajian yang dimiliki oleh Najendra. Kemudian dia bertanya, “Kau belajar dari siapa?” “Tidak ada gunanya menanyakan hal itu. Lagi pula kau akan mati. Jangan kau pikir aku tidak tahu apa ajian milikmu, sehingga aku dengan mudah mengantisipasi hal in
Begitu dia membuka mata, Kerajaan Timur sudah berada di ujung tanduk. Tidak menunggu lama hingga kobaran api meluluhlantakkan semua hal. Bangunan, jalanan dan manusia. Jerit tangis selalu terdengar setiap saat, derita hidup dari banyak kalangan bagai penghuni di alam neraka. Api membumihanguskan seluruh bagian dari Kerajaan, termasuk beberapa daerah yang dikuasainya. Keluarga Ningrat pun tidak ada yang selamat, kejadian itu benar-benar membuat seseorang jadi gila. Sudah lama ini direncanakan, lebih tepatnya semenjak Pangeran Najendra mulai beranjak dewasa. Sosok jenderal perang yang sekarang berjabat patih lah adalah si pengkhianat. Dia memulai perang karena inisiatifnya sendiri. Dia berpikir, “Pangeran itu tidak akan mampu memimpin kami. Dia berbeda dengan Kanjeng Sinuwun. Pangeran tidak pantas, dia bahkan tidak jauh lebih kuat dari anak buahku.” Tentang Najendra, dia selalu meremehkan. Tetapi itu benar adanya. Sosok pangeran yang dihadapkan dengan kehancuran kerajaannya sendiri
Intan datang setelah mendengar suara teriakan dari dalam kamar Najendra. Kedatangannya membuat Najendra terkejut namun dia merasa tenang karena berkatnya, siluman ular itu pergi. Tempat yang saat ini mereka singgahi adalah bekas Kerajaan Agung, balai utama yang pernah ditempati oleh Gardapati. “Pangeran tidak apa-apa?”“Ya, aku baik-baik saja,” jawab Najendra dengan sedikit gugup, dia mengalihkan pandangan karena malu. Sedetik kemudian Intan baru tersadar dengan pakaian Najendra yang setengah terbuka, secara spontan Intan berbalik badan. Lalu berkata, “Saya mohon ampun, Pangeran Najendra. Ah, bukan ... maksudnya saya memohon maaf karena tidak melihat pangeran sedang berganti pakaian. Saya pergi.” Setelah itu Intan pergi. “Eh?” Dengan bodohnya Najendra baru sadar akan hal itu, ia pun bergegas membenahi pakaian yang dikenakannya. “Dasar siluman itu!” ucap Najendra memaki.“Tuan memanggil saya?” Ekor ular itu muncul dan menahan kedua tangan Najendra. Siluman ini malah kembali mu
Malam sudah tiba, rembulan mulai menampakkan diri di balik awan. Balai yang dipikir tidak ada penghuninya ternyata hanya sekadar sepi saja. Pengembara itu melirik ke arah kanan dan kirinya seakan sedang mencari sesuatu. “Kau pemilik tempat ini?” “Tidak juga,” jawab Najendra ambigu. Pengembara itu lantas menghela napas, merasa menyesal karena sudah bertanya. “Apa yang kau tunggu? Duduklah di dekat meja pendek di sana, sebentar lagi makanannya akan datang.”"Jangan bilang yang akan mengantarkan makanan adalah jin atau setan?" pikirnya dalam benak. “Sepertinya aku belum mengenal siapa dirimu. Pertama-tama perkenalkan namaku Wira. Aku seorang pengembara yang kebetulan sedang cari makan.”“Hm, ya.” Najendra hanya berdeham dan menjawab singkat."Tuan rumah yang tidak ramah. Menyebabkan," gerutu Wira dalam batin.Setelah menunggu beberapa saat, seorang gadis cantik berambut ikal dengan jepitan manis yang sedikit mengikat bagian rambutnya datang sambil membawakan nampan yang penuh dengan