Tanah yang tandus namun pepohonan berdiri tegak seolah hidup. Meski yang tersisa hanya ranting dan dedaunan yang kering, dengan diliputi cuaca panas bak neraka ini, Najendra menyadari ada mahluk hidup di sini.
“Tempat apa ini sebenarnya? Perasaanku aneh, aku memiliki firasat buruk di sini.” “Tuan, engkau sedang berada di alam jin. Di sini adalah tempat tinggal mahluk mistis dan sejenisnya,” jawab seseorang. Merasa tidak sedang ditemani siapa pun, ya, seharusnya begitu. Najendra menoleh ke sumber suara dan dia begitu terkejut ketika mendapati sesosok lelaki yang memiliki rupa dan suara yang sama dengannya. “Kau siapa?” tanya Najendra sambil menatap tajam, dia melangkah mundur dan bersikap waspada. “Saya adalah keris milikmu, tuan. Saya yang melindungimu saat tertebas tombak di hari itu juga. Apa Tuan Najendra sudah sadar?” “Keris? Keris itu 'kan benda mati. Ah, tunggu sebentar ...,” Keris memang benda mati tapi itu bukanlah keris biasa. Keris itu nyatanya memang benar-benar telah melindungi nyawa Najendra sedari kecil dan sekarang dia muncul dengan wujud yang sama persis dengannya. Keris yang dihuni mahluk lain. “Aku ingin terkejut tapi aku tidak bisa terkejut lagi. Aku tahu itu tidak masuk akal, tapi dengan datang ke sini saja aku sudah tahu,” tutur Najendra yang kembali fokus pada apa yang di depannya saat ini. “Ya, tuan benar.” Sepanjang perjalanan, keris itu dengan sengaja merubah penampilannya setiap saat. Entah itu terkadang sebagai Najendra, ataupun kedua orang tuanya. Tetapi terkadang dia juga menjadi sesosok gadis yang merupakan putri dari dukun itu. “Tuan pasti lebih menyukaiku jika berwujud seperti ini,” ucap keris itu. “Jangan mengada-ngada. Lebih baik tiru wujud anjing kecil saja,” kata Najendra yang berusaha untuk tidak meliriknya. “Sesuai permintaan,” ucapnya dan langsung berubah menjadi seekor anjing kecil. “Tak aku sangka kau benar-benar mengikuti perkataanku.” “Ini 'kan perintah dari pangeran.” Entah sudah berapa lama mereka berjalan namun seolah tidak ada ujungnya. Ke manapun mereka pergi, jalannya selalu lama dan langit pun tidak berubah. Najendra semakin kebingungan tentang apa yang harus dia lakukan di tempat ini. “Hei, dukun itu bilang yang akan mengajariku bukanlah dia tapi kau. Tapi aku tidak merasa kau akan melakukan sesuatu,” ucapnya bernada sombong seraya melipat kedua lengan ke depan dada. Anjing itu menggonggong sekali lalu menjawab, “Sebenarnya saya sendiri tidak tahu. Karena kontrak yang kita miliki hanya sebatas aku melindungimu sesuai bayaran.” “Jadi ... untuk apa aku di sini?” “Mungkin dia ingin membunuh tuan.” Seketika Najendra terdiam. Dia juga berhenti jalan dan berpikir keras terhadap pemikiran dukun sesat itu. “Maksudnya nanti aku akan dibunuh oleh dia?” “Bukan. Lebih tepatnya, mereka ...,” jawab si keris itu dengan gelengan kepala lalu melihat ke arah belakang. Sekarang tidak hanya berdua saja, mereka ditemani oleh banyak sekali mahluk-mahluk dari alam jin. Dari berbagai ras dan bentuk yang aneh, mereka berkumpul seakan sedang mencari cara tuk menerkam mangsa mereka. "Aku 'kan tidak bisa bertarung. Lalu untuk apa aku di sini? Seharusnya dukun itu—” “Tuan, menyingkirlah!” Anjing kecil berubah wujud menjadi pria dewasa yang jauh lebih tinggi dari Najendra, dia berteriak lalu menarik tubuh pemuda itu agar terhindar dari serangan kegelapan. Mereka kemudian jatuh tersungkur ke tanah setelah berhasil menghindari serangan mendadak dari salah satu mahluk di sana. “Inilah yang saya maksud, tuan. Dukun itu berencana melatihmu di alam jin.” “Aku tidak dapat berpikir lebih jauh tentang hal ini. Lagi pula bagaimana caraku melawan mereka? Rasanya tidak mungkin jika hanya saling adu pukul.” “Tuan, hal seperti itu tidak akan berpengaruh pada mereka. Jadi tuan harus menggunakan saya.” Tepat setelah mengatakan kalimat tersebut, sosok pria dewasa berambut panjang itu menghilang dalam sekejap. Seketika Najendra panik dan mulai beranjak dari sana. “Dia malah menghilang seenak jidatnya sendiri?!” amuk Najendra. “Tuan, saya ada di dalam tubuhmu. Mulai sekarang saya lah yang akan mengendalikan tubuh tuan agar tuan bisa mempelajari sesuatu hanya dengan melihat saja.” Keris itu kembali berbicara dari dalam tubuhnya, barulah Najendra tersadar. “Aku sampai lupa kalau kau adalah jin juga.” “Saya pelindungmu, tuan.” Keris yang memiliki wujud dan kepribadian sendiri terkadang itu adalah hal menakutkan. Dia bisa bicara, berpikir dan berekspresi. Sosoknya yang ambigu mendorong ambisi Najendra yang terkubur dalam-dalam. “Mereka sama seperti saya. Mahluk halus ini punya kekuatan spiritual tinggi, ilmu hitam dan sangat ternoda. Saya akan membuat tuan mampu mengalahkan mereka hanya dengan menunjuk jari.” Dia bersifat angkuh persis seperti majikannya. Najendra tersenyum puas seolah menikmati hal tersebut. Sekarang tubuhnya mulai bergerak cepat, berlari tanpa alas kaki dan menerjang musuh yang dirasa paling mudah dihabisi. Tidak hanya sekadar menumbangkan mahluk-mahluk halus dengan satu tangan, sulur-sulur tanaman berduri yang muncul dari bawah tanah mulai menjerat kedua kaki hingga ke tubuh Najendra. Akan tetapi hal itu dengan mudahnya dilawan. Keris menggunakan kekuatannya untuk menghancurkan mereka lalu kembali menyerang mahluk itu satu persatu. Cakar di kedua tangannya tumbuh cepat, gigi taring makin meruncing dan tajam. Langkahnya pula semakin gesit, dia menggunakan tubuh Najendra sebagai perisai sekaligus senjata bernyawa. Mahluk yang terkadang tidak memiliki bentuk fisik sempurna, namun banyak dari mereka yang mulai berpikir tentang betapa berbahayanya jika melawan. “Bagaimana perasaan tuan?” Keris itu bertanya. Tidak ada jawaban dari Najendra. “Tuan? Takut?” Perasaan kecewa mengalir, terasa cukup jelas hingga membuat Najendra kembali tersadar. Pikirannya nyaris membaur dengan tempat jahanam ini. “Tubuhku mengalir energi dalam dengan deras. Semuanya mengalir dan aku tahu caranya memusatkan kekuatan dengan benar. Tapi anehnya aku tidak merasakan apa-apa saat kau membunuh mereka,” tutur Najendra. Seringai lebar terukir di wajah Najendra. Bukanlah Najendra yang merasa girang melainkan benda pusaka itu. Dia tampak puas dengan jawaban sang majikan. “Tuan memiliki kekuatan yang jauh lebih besar daripada orang lainnya. Alasan tuan baru saja merasakannya adalah karena dibatasi oleh orang tuamu,” jelasnya. “Dibatasi?” “Ya, apa tuan ingin tahu rahasia sewaktu masa kecil? Ini mungkin akan membuatmu jadi semakin kuat.” “Terserah kau saja.” Embusan angin kian terasa, menyibak rambut hitamnya ke belakang. Bersamaan dengan menikmati pertarungan yang nyata, keris itu bercerita tentang masa lalu Najendra. “Tuan sejak kecil memang memiliki kekuatan spiritual yang tinggi, jadi karena itulah tuan mudah sekali diikuti oleh banyak jin dan sejenisnya. Sehingga mudah sekali kerasukan.” Keturunan kerajaan yang memang memiliki keterikatan dengan alam jin pada dasarnya mereka memiliki ketahanan terhadap itu namun tidak dengan Najendra yang hanya sebatas memiliki kekuatan spiritual tinggi, dia sulit mengendalikannya. “Tuan itu kuat, sekarang kita hanya perlu membuka batasan yang ditetapkan oleh orang tuamu.”Pada tahun kelahiran sang pangeran, semua menyambutnya dengan meriah. Lantaran anak lelaki itu sudah digadang-gadang akan menjadi raja berikutnya di Kerajaan Agung. Namanya Najendra. Namun, sedari kecil fisiknya lemah. Sang Raja memutuskan untuk membuatnya belajar bela diri agar semakin lebih kuat meskipun kekuatan spiritualnya melebihi para orang dewasa. “Bila pangeran memiliki kekuatan spiritual tinggi, maka beliau akan rentan terhadap segala jenis jin.” Itulah pesan yang disampaikan oleh sang ahli pengobatan. Tidak buruk memiliki kekuatan spiritual tinggi namun Najendra kerap kali diserang oleh para jin, mereka merasuki tubuh Najendra dan mengendalikannya sesuka hati. Itulah yang membuat semua orang gemetar ketakutan. Hingga suatu hari, Najendra merasa muak belajar, baik ilmu akademis maupun ilmu bela diri. Ayahnya pun mengalah dan kemudian memberikan "pelindung" miliknya yaitu Keris Sakti pada Najendra. Seiring berjalannya waktu, sang ayah pun turut menutup indera batin milik
Sesosok pemuda berambut hitam berdiri di atas genangan air, melihat penampilannya yang sedang mengenakan pakaian sederhana yang tidak cocok untuknya. Najendra terdiam sejenak lantas mendongakkan kepala, menghadap langit dengan memikirkan banyak hal. “Sepertinya kamu sudah membiasakan diri dengan alam sekitar. Bagaimana keadaanmu?” tanya Dukun Jaka.“Tidak ada hal yang spesial, guru. Aku seperti biasa, kepalaku pusing karena ocehan darimu setiap malam,” keluh Najendra seraya menghela napas. “Pangeran Najendra, akan pergi sekarang?” tanya Intan dengan raut wajah cemas.“Iya.” “Tolong berhati-hatilah.”“Iya, itu pasti.”Dua tahun telah berlalu, ada perubahan sedikit dari dalam dirinya. Baik itu dari sikap atau sifat hingga kekuatannya. Tenaga dalam yang ditekan kuat hingga terlihat seperti orang biasa, takkan ada orang yang sadar tentang betapa kuatnya dia setelah lama berlatih. “Semoga pangeran beruntung,” ucap Intan.“Terima kasih. Tapi jangan sebut aku dengan panggilan itu.”“Inta
“Pangeran, bukan ... sekarang aku hanya perlu memanggilmu dengan nama saja, Najendra.” “Bersikaplah acuh seperti biasa, Gardapati. Etika kesopanan itu tidak diperlukan saat berhadapan dengan musuh,” ucap Najendra. Dia kembali berdiri setelah terjatuh, tubuhnya sedikit lunglai dengan pendarahan yang tidak sedikit ini. Mengatur napas saja sudah kesusahan, tangannya pula gemetaran. Najendra sulit memenangkan pertarungan ini sampai di titik di mana dia harus memaksakan dirinya sendiri. “Aku mungkin lebih lemah darimu, Gardapati!” Seraya berteriak, Najendra mendorong telapak tangan yang berlumur kobaran api. Gardapati terkejut, tubuhnya terdorong mundur cukup jauh hingga di kursi tahktanya. “Ajian ini ...,”Gardapati cukup terkejut dengan ajian yang dimiliki oleh Najendra. Kemudian dia bertanya, “Kau belajar dari siapa?” “Tidak ada gunanya menanyakan hal itu. Lagi pula kau akan mati. Jangan kau pikir aku tidak tahu apa ajian milikmu, sehingga aku dengan mudah mengantisipasi hal in
Begitu dia membuka mata, Kerajaan Timur sudah berada di ujung tanduk. Tidak menunggu lama hingga kobaran api meluluhlantakkan semua hal. Bangunan, jalanan dan manusia. Jerit tangis selalu terdengar setiap saat, derita hidup dari banyak kalangan bagai penghuni di alam neraka. Api membumihanguskan seluruh bagian dari Kerajaan, termasuk beberapa daerah yang dikuasainya. Keluarga Ningrat pun tidak ada yang selamat, kejadian itu benar-benar membuat seseorang jadi gila. Sudah lama ini direncanakan, lebih tepatnya semenjak Pangeran Najendra mulai beranjak dewasa. Sosok jenderal perang yang sekarang berjabat patih lah adalah si pengkhianat. Dia memulai perang karena inisiatifnya sendiri. Dia berpikir, “Pangeran itu tidak akan mampu memimpin kami. Dia berbeda dengan Kanjeng Sinuwun. Pangeran tidak pantas, dia bahkan tidak jauh lebih kuat dari anak buahku.” Tentang Najendra, dia selalu meremehkan. Tetapi itu benar adanya. Sosok pangeran yang dihadapkan dengan kehancuran kerajaannya sendiri
Intan datang setelah mendengar suara teriakan dari dalam kamar Najendra. Kedatangannya membuat Najendra terkejut namun dia merasa tenang karena berkatnya, siluman ular itu pergi. Tempat yang saat ini mereka singgahi adalah bekas Kerajaan Agung, balai utama yang pernah ditempati oleh Gardapati. “Pangeran tidak apa-apa?”“Ya, aku baik-baik saja,” jawab Najendra dengan sedikit gugup, dia mengalihkan pandangan karena malu. Sedetik kemudian Intan baru tersadar dengan pakaian Najendra yang setengah terbuka, secara spontan Intan berbalik badan. Lalu berkata, “Saya mohon ampun, Pangeran Najendra. Ah, bukan ... maksudnya saya memohon maaf karena tidak melihat pangeran sedang berganti pakaian. Saya pergi.” Setelah itu Intan pergi. “Eh?” Dengan bodohnya Najendra baru sadar akan hal itu, ia pun bergegas membenahi pakaian yang dikenakannya. “Dasar siluman itu!” ucap Najendra memaki.“Tuan memanggil saya?” Ekor ular itu muncul dan menahan kedua tangan Najendra. Siluman ini malah kembali mu
Malam sudah tiba, rembulan mulai menampakkan diri di balik awan. Balai yang dipikir tidak ada penghuninya ternyata hanya sekadar sepi saja. Pengembara itu melirik ke arah kanan dan kirinya seakan sedang mencari sesuatu. “Kau pemilik tempat ini?” “Tidak juga,” jawab Najendra ambigu. Pengembara itu lantas menghela napas, merasa menyesal karena sudah bertanya. “Apa yang kau tunggu? Duduklah di dekat meja pendek di sana, sebentar lagi makanannya akan datang.”"Jangan bilang yang akan mengantarkan makanan adalah jin atau setan?" pikirnya dalam benak. “Sepertinya aku belum mengenal siapa dirimu. Pertama-tama perkenalkan namaku Wira. Aku seorang pengembara yang kebetulan sedang cari makan.”“Hm, ya.” Najendra hanya berdeham dan menjawab singkat."Tuan rumah yang tidak ramah. Menyebabkan," gerutu Wira dalam batin.Setelah menunggu beberapa saat, seorang gadis cantik berambut ikal dengan jepitan manis yang sedikit mengikat bagian rambutnya datang sambil membawakan nampan yang penuh dengan
Dalam kesengsaraan, Najendra terus berjuang menghadapi kondisinya saat ini. Seperti anomali ataupun terserang penyakit ghaib, tubuhnya mendadak kejang begitu sampai di kamar sendiri. Najendra tidak bisa fokus, matanya yang mendelik namun sulit melihat ke sekitarnya. Kondisi itu terus berlanjut sampai pada akhirnya dia kembali terjatuh di tempat, Najendra sangat yakin ini adalah ulah para jin yang sekarang bersemayam dalam tubuhnya. "Tenaga dalamku terhambat. Padahal sebelumnya aku sudah mengontrol dengan baik tapi sekarang kembali seperti di awal kondisi. Menyebalkan," gerutunya dalam benak. “Tuan terlihat kesakitan, saya tidak tahu harus apa tapi akan lebih baik tuan berbaring di ranjang,” ucap Intan.“Aku tahu, Intan. Tapi aku sulit bergerak saat ini,” tutur Najendra dengan wajah yang semakin pucat. Intan sedikit panik, dia hendak menuntun tubuh Najendra tetapi itu adalah hal sulit baginya karena perbedaan berat badan yang cukup jelas. “Kalau begitu berbaringlah di atas pahaku,
Sedari kecil, Najendra selalu bermain dengan girang walau hanya sendiri. Waktu yang dia habiskan dari pagi hingga menjelang malam membuat para Abdi dalem kewalahan. Pada saat itu tanpa sengaja Najendra melihat ada seseorang yang diam-diam menggerutu, memaki ayahnya yang merupakan seorang raja. “Kanjeng tidak mengerti ... Mahendra, pria itu ... tidak memahami apa-apa, menyebalkan.” ***“Aku baru ingat ada kejadian seperti itu. Itu bukan Gardapati melainkan orang lain.” Kembali pada saat ini. Pada awalnya si keris sakti berkata bahwa apa yang dimimpikan oleh Najendra itu kenyataan, ruh Gardapati sendiri yang mengatakannya. Lalu membawa Najendra ke desa kecil, letak desa itu berada di luar daerah kawasan wilayah Kerajaan Agung.“Apa Tuan Najendra sudah tahu siapa pengkhianatnya?” “Aku hanya ingat wajahnya. Nama ataupun jabatan, kalau itu aku tidak tahu.”“Saya khawatir ini akan membuat tuan gelisah.”“Bisa-bisanya mahluk sepertimu mengkhawatirkan aku.”“Tentu saja. Mahluk setengah