Share

Pelajaran

Hari telah berganti, pertukaran nyawa seringkali terjadi. Matahari dan bulan yang berganti peran dengan cepat, jejak kerajaannya pun sekarang lenyap. Kini satu-satunya keturunan ada di sini dan hidup.

“Kerajaan Agung lenyap?”

“Ya. Lalu kau sendiri itu siapa? Tidak mungkin orang biasa sepertimu bisa memegang keris.”

“Biar aku beritahu, akulah Pangeran Najendra. Aku adalah bagian dari Kerajaan Agung yang sudah lenyap itu!”

Lagi-lagi pria tua itu tertawa bahak-bahak. Dia menertawakan Najendra sebab berpikir itu adalah lelucon yang paling lucu.

“Kau pikir ini lucu 'kan?”

“Iya, iya ... itu lucu sekali. Lalu?”

“Jika kau membawaku ke tempat Gardapati maka kau pasti bisa hidup mewah. Bahkan jika itu hanya kepalaku saja,” tutur Najendra serius, seolah-olah ingin menyerahkan nyawa begitu saja.

“Bicara apa sih, anak muda ini? Aku tidak tertarik dengan benda-benda mewah yang mungkin akan membuatku kaya. Ikutlah denganku.”

Najendra terdiam seribu kata, matanya membelak kaget saat mendapati jawaban dari pria tua ini.

“Bukankah bukti keris ini saja cukup?”

“Selain dari kerismu, pakaianmu yang sudah usang juga masih kelihatan seperti pakaian ningrat.”

“Jadi kau tahu?!”

“Kalau aku tahu, kau mau mati ya? Hei nak, aku mungkin bisa membantumu melakukan sesuatu. Termasuk tentang dirimu yang lemah itu.”

“Apa maksudmu? Ah, bukan, apa alasanmu?” Najendra mengganti pertanyaannya.

“Nanti kau akan tahu sendiri.”

Sambil menggiringnya ke suatu tempat, pria yang sudah berumur panjang ini mengenalkan namanya, Jaka. Dia adalah seorang dukun sakti yang sebenarnya tinggal di area luar hutan. Entah apa alasannya dia bisa berada di hutan liar ini.

Najendra dibawa ke rumahnya, saat itu dia dipertemukan dengan seorang gadis manis yang memiliki senyum indah.

“Nduk, siapkan air matang untuk tamu.”

“Baik, pak.”

Sebelum melakukan perintah bapaknya, dia dan Najendra saling bertatapan satu sama lain. Tapi tidak lama kemudian mereka saling membuang muka karena malu.

"Cantik sekali," batin Najendra kesengsem.

Apa yang dirasakan oleh Najendra sekarang, gadis itu pun turut merasakannya. Jantung berdebar dan wajah bersemu merah. Padahal hanya sekadar tatap mata tapi rasanya seperti sedang berada di ujung jurang.

“Hei! Jangan melamun, ayo duduk!” Dukun Jaka berteriak sambil mendorong pelan punggung Najendra.

“Dukun, kau ini aneh. Sudah tahu siapa diriku tapi kau justru ingin membantu? Aku masih tidak percaya ini.”

“Ya sudah kalau tidak percaya. Aku melakukan ini karena aku punya hutang budi dengan keluargamu. Dan satu hal lagi, apa kau benar-benar berniat untuk mati?” tanya Jaka.

“Mati? Tentu saja tidak! Aku ingin tetap hidup dan membalas perbuatan Gardapati terhadap keluargaku!” ungkapnya lantang dan serius tidak hanya dari kata, namun juga ekspresinya.

“Bagus.”

“Apakah kau kuat?”

“Entahlah. Tapi jangan berharap aku akan jadi kaki tanganmu.”

“Apa? Lalu bagaimana caraku untuk membalas perbuatan dia? Aku butuh—!”

Seketika mulutnya dibungkam oleh satu tindakan kecil dari Dukun Jaka. Dukun itu menaruh jari telunjuk di dahi Najendra sambil tersenyum.

“Belajarlah jadi lebih kuat, bukan mengandalkan orang lain di sekitar. Dasar anak manja,” tutur Dukun Jaka yang menghina.

“Jadi lebih kuat? Aku ...,”

Najendra akui, dirinya hanya pernah sekali belajar bela diri dan itu terjadi di usia 7 tahun. Najendra masih sangat kecil, tetapi bukannya dia tetap melanjutkan pelajaran tersebut, dia justru merengek dan meminta untuk berleha-leha saja.

“Keris ini pun ada padaku agar bisa melindungi nyawaku. Seharusnya ini di tangan Rama ...,”

Najendra menyebut bapaknya dengan sebutan Rama.

“Membuatku jadi lebih kuat? Bagaimana cara kau melakukannya?”tanya Najendra.

“Nanti lihat saja. Untuk sekarang, beristirahatlah dan ganti pakaian lusuhmu itu.”

Dukun Jaka, Dukun Sakti yang mengungkapkan alasannya untuk membantu adalah karena ingin membalas hutang budi yang dia miliki pada keluarganya. Entah apa itu, namun yang pasti Najendra masih sulit untuk mempercayainya begitu saja. Terlebih setelah dikhianati oleh Raden Adipati yang seharusnya sangat loyal pada sang raja.

Najendra mengangkat tangannya yang membawa potongan singkong rebus itu sambil membayangkan sesuatu yang terlintas. Darah yang mengalir deras.

“Aku terluka? Bukankah aku terluka?!” ujarnya tiba-tiba. Najendra yang panik lekas mencari luka yang harusnya dia miliki tapi itu tidak ada pada tubuhnya.

“Ada apa?” tanya si dukun.

“Aku baru ingat. Seharusnya aku sudah mati di tangan Gardapati, dia membunuhku dengan menggunakan tombak milik Rama, tapi aku tidak melihat adanya luka di tubuhku. Apakah ada di punggungku?”

Dukun menggelengkan kepala, menjawabnya tidak ada.

“Tidak ada bekas luka apa pun.”

“Ini aneh.”

“Tidak aneh. Kau pikir itu berkat siapa kalau bukan karena keris saktimu itu!” kata Jaka seraya menunjuk keris milik Najendra.

***

Pada hari berikutnya, Najendra terbangun pagi-pagi sekali. Berulang kali dia berpikir tentang ke mana perginya luka itu tapi dukun itu sendiri bilang kalau lukanya tidak ada yang berarti sembuh berkat keris sakti miliknya. Ini tetap tidak masuk akal, namun Najendra memahaminya karena dia sendiri pun sampai saat ini masih hidup.

“Sepertinya aku cukup beruntung.”

“Oh, rupanya kau sudah bangun. Kemari! Cepat ikuti aku!” seru Dukun Jaka dari kejauhan, memanggil Najendra.

Mereka pergi menuju ke hutan liar lagi. Seolah hutan ini tidak membahayakan, jujur saja Najendra masih diliputi ketakutan.

“Apa hutan ini benar-benar aman?” tanya Najendra sambil mempercepat langkahnya agar dapat menyusul dukun.

“Tidak ada yang aman. Di sini adalah tempat berbahaya.”

“Lalu kenapa mengajakku kemari?”

“Ingin kuat atau tidak?”

“Iya, tentu saja,” jawab Najendra pasrah. Dia sepenuhnya tidak memahami jalan pikiran dukun satu ini.

Ribuan pohon tumbuh besar dan tinggi, semak-belukar tumbuh sembarangan namun ada jalan yang terbentuk mungkin karena dukun itu sering melewatinya. Dia menunjukkan lebarnya hutan yang berada di tengah-tengah.

Tampak puluhan pohon mengitari, di bagian tengah ini hanya ada sebuah batu besar yang terihat seperti ukiran arca.

“Duduk dengan tenang di atas batu itu. Pastikan kamu tidak tidur dan tetap menjaga batas alam bawah sadarmu.”

“Kenapa aku harus—”

“Banyak omong! Cepat lakukan meditasinya!” pekik si dukun, memotong kalimat pemuda itu.

Dengan posisi duduk bersila di atas batu besar. Najendra menghadap arah timur. Berulang kali menarik dan membuang napas agar lebih rileks walau hanya sejenak, namun sayangnya pikiran pemuda itu tidak pernah terlepas dari pemberontakan malam itu.

“Jaga batas alam bawah sadarmu, jangan sampai kau terbawa emosi,” ucap Jaka sambil meletakkan keris di pangkuan Najendra lalu dia mulai menepuk-nepuk punggungnya pelan.

“Kau akan mengajariku apa sebenarnya?” tanya Najendra dengan mata yang tertutup.

“Bukan aku, tapi "pelindung"-mu.”

Sebelum dapat menyahut perkataan dukun, Najendra seperti terseret oleh sesuatu yang besar. Seolah dirinya berada di tengah-tengah pusar lautan, dari punggungnya terasa begitu dingin dan menyiksa.

Hanya berselang beberapa saat, semua pemandangan yang dilihatnya telah berubah total. Najendra berdiri diam dengan mata terbelalak, mulutnya sedikit menganga saking dia terkejut akan hal tersebut.

Hutan yang berwarna kehijauan dengan langit gelap, menjadi hutan dengan langit kemerahan.

“Jangan bilang dukun itu membawaku ke alam lain ya?!” terka Najendra yang langsung sadar.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status